Bab 2

1259 Words
Adrian menatap Andara dingin dengan menyilangkan kedua tangannya di d**a. Pria itu lalu mengambil gunting yang berada di laci meja, dengan perlahan ia melangkah mendekati Andara. Murid satunya itu begitu santai, padahal dirinya tidak memakai alas apa pun di kakinya. Ketika Adrian sudah berada di depannya, pria itu berjongkok lalu tanpa aba-aba ia menggunting rok yang dipakai Andara. Pria itu mengguntingnya pada bagian paha kirinya, hanya sedikit saja namun tetap membuat Andara terbengong dibuatnya. Andara bukannya marah, tapi gadis itu malah tersenyum puas. Ia tentu saja bangga dengan roknya sekarang. Bagaimana tidak? Ia sekarang terlihat lebih seksi diantara teman-temannya yang lain. Andara memutar-mutar tubuhnya di hadapan Adrian, sedangkan Adrian? Pria itu semakin geleng-geleng kepala tidak mengerti dengan jalan pikiran murid nakalnya itu. Ia sengaja menggunting rok yang dipakai oleh Andara agar muridnya itu jera dan tidak memakai rok mini lagi di sekolah. Tapi ternyata dugaannya salah. Andara malah terlihat senang. Tidak merasa risi ataupun malu. “Apa kamu tidak malu? Memakai rok seragam seperti itu?” “Kenapa harus malu? Ini keren, Pak. Saya jadi merasa murid paling seksi di sekolah ini,” ujarnya bangga dengan dagu yang ia angkat tinggi. Adrian memijit pelipisnya yang tiba-tiba merasa sakit. “Lalu, kenapa kamu memakai sepatu berwarna putih?” “Bosan kali Pak, hitam putih mulu sepatunya.” “Lalu, seragammu? Saya perhatikan. Kamu selalu memakai seragam adik kamu,” Andara tertawa geli mendengar ucapan Adrian. “Bapak yah, diam-diam memperhatikan saya. Saya pikir, cuman saya aja yang merhatiin Bapak. Ternyata Bapak juga merhatiin saya, ah senangnya,” kata Andara dengan kedua tangan memegang dadanya. Adrian semakin keras memijit pelipisnya, kepalanya serasa mau meledak menghadapi muridnya yang nakal. “Lebih baik kamu keluar, saya bisa stres lama-lama menghadapi kamu!” Andara menyeringai, ia bukannya sakit hati diusir oleh Adrian. Gadis itu malah semakin menyunggingkan senyumannya. Setelah pamit, Andara berjalan meninggalkan ruangan Adrian. Gadis itu tidak peduli dengan pandangan teman-temannya yang menatapnya aneh. Karena baginya, orang-orang yang menatapnya tidak suka itu hanya orang-orang yang iri terhadapnya. *** Adrian memasuki kelas Andara, sebenarnya pria itu malas mengajar kelas Andara. Apalagi gadis itu duduk di bangku pertama yang dekat dengan meja guru. Dirinya seperti kena kutukan setiap bertemu dengan Andara, selalu berakhir dengan dirinya sakit kepala. Andara tersenyum begitu melihat Adrian yang telah berdiri di depan kelasnya. “Ehem, pagi anak-anak. Hari ini Bu Tiwi tidak bisa mengajar karena ada urusan keluarga, jadi hari ini saya yang akan menggantikan beliau,” ucap Adrian datar, yang langsung saja dapat kor dari murid-murid cewek. Berbeda dengan murid cowok, wajah mereka berubah menjadi lesu. Baginya, belajar dengan Bu Tiwi lebih menyenangkan dibandingkan dengan Pak Adrian. Masalahnya hari ini pelajaran Biologi. Bagaimana mereka semua mengerti, kalau guru yang mengajar mereka itu guru cowok yang killer-nya minta ampun. “Baiklah, buka buku kalian. Sudah sampai mana pembahasan oleh Bu Tiwi minggu lalu?” tanya Adrian sambil membuka buku paketnya. “Sistem Reproduksi Manusia, Pak,” teriak mereka semua. Wajah Adrian seketika menjadi kaku. Benar bukan, dirinya berada satu ruangan dengan Andara itu sebagai kutukan. Buktinya hari ini dirinya harus menjelaskan tentang reproduksi manusia. Hah, yang benar saja! “Hm... Kalian sudah mengerti bukan, jadi saya tidak perlu menjelaskan bab tersebut. Kalau begitu, buka bab selanjutnya,” mereka semua menuruti membuka bab berikutnya, tapi tidak dengan Andara. Cewek satu itu malah mengangkat tangannya tinggi. Adrian menghela napasnya berat, begitu melihat murid nakalnya yang mengangkat tangan. Dengan wajah dingin, Adrian memandang Andara. “Ada apa, Andara?” “Eng... Ada beberapa materi yang saya tidak mengerti, Pak.” “Materi apa yang kamu tidak mengerti?” “Hmm... tentang terjadinya pembuahan sel telur, Pak. Itu gimana? saya kurang mengerti, Pak,” tanya Andara dengan wajah polosnya. Ucapan Andara sukses membuat suasana kelas menjadi hening seketika. Wajah Adrian begitu memerah menahan malu, bagaimana mungkin dirinya bisa menjelaskan perihal seperti itu kepada murid-muridnya. Meskipun ini pelajaran, tapi ia enggan menjelaskannya. Terlebih sekarang dia melihat senyum jail Andara. Yang ia tahu, bahwa Andara hanya menjahilinya saja. “Kamu bisa tanyakan nanti pada Bu Tiwi,” Adrian berujar tegas, yang artinya tidak ada bantahan. Andara mencebikkan bibirnya sebal, pertanyaannya tidak dijawab oleh Adrian. Andara kemudian dengan setengah hati mendengarkan penjelasan yang dijelaskan oleh Adrian. Harus berapa kali dirinya katakan, kalau pria di depannya itu begitu sangat HOT. Cara Adrian menjelaskan begitu lugas dan dapat dimengerti oleh mereka semua, sehingga mereka begitu dengan mudahnya menyerap semua yang dijelaskan oleh Adrian. Dirinya juga tidak tahu sejak kapan dirinya menyukai Adrian. Awalnya ia hanya mengagumi guru tampan itu satu tahun yang lalu. Saat dia menggantikan guru Kimianya yang pensiun. Namun semakin lama ia memperhatikan Adrian, dirinya semakin menyukai pria itu. Pria itu seperti Papanya, begitu tegas dan berwibawa. Sehingga ia menyukai Adrian dengan sifat yang seperti itu, meskipun dirinya tahu bahwa Adrian sudah bertunangan beberapa bulan lalu. Tapi tak membuat dia berhenti untuk mengejar pria itu. Baginya semakin Adrian menolaknya, semakin dia senang untuk mengejarnya. *** Andara lagi-lagi mendapati rumahnya sepi. Semenjak Papanya kembali pada istri pertamanya, ia selalu mendapati rumahnya yang kosong. Ia sampai saat ini tidak percaya kalau Papanya yang selama ini ia kagumi dan hormati ternyata diam-diam sudah memiliki istri. Yah, dirinya tidak percaya kalau Mama adalah istri kedua Papa. Karena perbedaan umur Mama dan Papa yang begitu jauh, membuatnya lupa pada fakta bahwa Papa sudah memiliki istri dan seorang anak yang dia baru tahu kakak tirinya itu berbeda beberapa tahun dengannya. Dan dirinya baru sadar kalau selama ini Omanya selalu bersikap sinis dan tidak baik kepada ia dan Mamanya, mungkin karena mereka yang menganggap Mama penghancur rumah tangga anak mereka. Ia tahu kalau Papa begitu mencintai Mama, tapi kejujuran Papa satu tahun lalu membuat ia dan Mama membenci Papa. Ia masih ingat wajah terluka Mama yang begitu menyayat hatinya. Dirinya hanya bisa diam menangis melihat kepergian Papa tanpa mencegahnya. Sebulan setelah kejadian itu, Mama pindah ke Bandung ke tempat kakek dan neneknya dan meninggalkan dirinya di sini. Karena ia menolak untuk pindah sekolah, meskipun Mama membujuknya ia tetap tidak mau. Bukan tanpa alasan ia bertahan tinggal di sini. Ia ingin mengejar cita-citanya dan ia ingin mempersatukan kembali keluarganya seperti dulu. Beberapa bulan yang lalu, Papa menjemputnya dari sekolah dan mengajaknya untuk tinggal bersama Tante Emy, istri pertama Papa. Tapi Andara menolak dengan tegas. Ia tidak mau satu atap dengan Mama dan kakak tirinya. Baginya ia lebih baik hidup sendiri kelaparan daripada harus satu atap dengan Mama tirinya. Ia pernah satu kali bertemu dengan tante Emy. Wajah Tante Emy memang cantik, tapi dirinya tahu bahwa Tante Emy tidak menyukai dirinya sama sekali. Untung saja dia tidak bertemu dengan kakak tirinya. Ia tidak bisa membayangkan jika harus bertemu dengan orang-orang munafik. Saat bertemu dengan Mama tirinya saja ia muak melihat wanita itu berpura-pura baik kepadanya. Dan untung saja Papanya mengerti sekali tentang sifatnya. Mengingat itu semua membuat Andara meneteskan air matanya. Ia begitu merindukan Papa dan Mamanya seperti dulu. Dengan sebal, ia menghapus air matanya. Andara melemparkan tasnya asal di ruang tamu. Tanpa mengganti seragamnya, ia kembali menutup pintu rumahnya. Dengan bersenandung pelan, ia berjalan melewati beberapa rumah untuk menuju sebuah mini market yang terletak di luar kompleknya. Ketika memasuki pintu minimarket, ia tersenyum sambil menyapa beberapa karyawan di minimarket itu. Ia membawa keranjang yang berisi makanan siap saji. Setelah membayar barang belanjaannya, Andara keluar lalu duduk di bangku yang sudah disediakan di sana. Ia membuka pop mi ukuran besar. Dengan mata berbinar, ia menatap mi tersebut kemudian ia memakannya tanpa merasa risi dengan seseorang yang sedari tadi duduk dengannya yang kini tengah memandangnya kesal. “Jorok,” ujar seseorang yang duduk satu meja dengannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD