Penjara

2556 Words
    Lea terbangun dengan paksa karena mimpi buruk yang menariknya dari alam bawah sadar. Mimpi buruk yang sebenarnya  telah lama tak menghampiri malam-malamnya,  kini telah kembali datang dan mengusik tidurnya. Napas Lea memburu, keringat sebiji jagung tampak membasahi kening serta punggungnya. Baru terbangu tidur saja, Lea selelah ini. Lea memejamkan mata berusaha untuk mengatur napas dan menepis banyangan mimpi buruk, yang tak lain adalah kejadian nyata saat dirinya mengalami kecelakaan. Lea terus berusaha memanggil kewarasannya agar kembali.     Masih dalam keadaan setengah sadar, Lea menangis karen teringat mendiang keluarganya yang meninggal selama kecelakaan. Lea tidak boleh seperti ini. Situasi dan kondisi saat ini sama sekali bukan waktunya untuk bersedih hati dan mengingat mereka semua. Lea kembali mengatur napas dan pada akhirnya Lea bisa kembali tenang. Untungnya Lea masih ingat apa yang diajarkan oleh psikiaternya dulu. Ya Lea mendapatkan cara untuk mengendalikan dirinya sendiri ketika serangan panik tiba-tiba menyerangnya.     Kini kesadaran Lea telah kembali sepenuhnya. Ia membuka matanya lebar-lebar. Walaupun gelap gulita, Lea sadar jika kini dirinya tengah berbaring di kasur tipis di sebuah ruangan lembap yang tidak terlalu luas. Lea juga menyadari bahwa mulut, tangan serta kakinya, tak lagi dibatasi pergerakannya. Setelah duduk bersandar, Lea melihat jeruji besi di salah satu sisi ruangan gelap yang ia tempati. Tanpa bisa ditahan, Lea tersenyum miris.     Lea menekuk kakinya dan memeluk kedua lututnya dengat erat. Ia mulai menangis dengan suara pelan. Setelah menjadi barang yang dilelangkan, sekarang dirinya dikurung bak hewan peliharaan. Bagaimana bisa nasibnya berubah semenyedihkan ini? Lea sadar, jika dulu nasibnya juga tak terlalu baik. dimulai dari mengalami kecelakaan yang menyebabkan dirinya menjadi sebatang kara, serta harus menanggung sebuah cedera parah yang membuatnya cacat seumur hidup.     Tapi jelas nasib Lea saat itu lebih baik, karena setidaknya Lea mendapatkan kehidupan baru dan bisa melanjutkan kehidupannya lagi. Lea memiliki keluarga baru di panti dan bisa hidup layak dengan usahanya sendiri. Mengingat semua itu, sungguh membuat Lea kembali merindukan panti dan penghuninya. Ya, Lea rindu bunda dan adik-adiknya di panti. Sekarang bagaimana kabar mereka? Apa mereka bisa hidup dengan baik? Atau mungkin tengah mencari keberadaannya? Apa mereka juga merindukannya seperti Lea yang merindukan mereka?     Lea kembali melirik jeruji besi yang disinari cahaya yang sangat minim namun terlihat memberikan sentuhan hangat di penjara yang dingin dan lembap ini. Ia tersenyum samar saat tiba-tiba mengingat sosok Dante yang juga selalu membawa kehangatan disetiap kehadirannya. Netra birunya yang indah selalu menyorot lembut dan bisa membuat Lea tenang di situasi terburuk apa pun. Netra indah yang selalu saja membuat Lea iri karena ingin memilikinya juga. Memikirkan itu, Lea tak bisa menahan diri untuk mengejek dirinya sendiri. Bagaimana bisa Lea sekonyol itu?     Terlepas dari itu Lea penasaran, sekarang apa yang dilakukan oleh dokter tampan itu? Apa ia mencarinya setelah tahu jika dirinya menghilang berhari-hari? Atau mungkin menjalani harinya seperti biasanya dengan senang. Ya dengan senang, karena kini salah satu beban hidupnya telah menghilang.     Jujur saja, Lea memang merasa menjadi beban bagi Dante. Setiap saat, Dante terus memperhatikan dirinya. Padahal Lea hanya seorang pasien yang kebetulan ditangani oleh tangan dinginnya sebagai seorang dokter. Tapi kebaikan hatinya membawa Dante terus memperhatikan dan merawat Lea, walaupun Lea sudah ke luar dari rumah sakit dan bisa menjalani hari-hari yang normal.     Kebaikan itu pula yang mungkin membuat Lea merasakan bibit-bibit romansa yang bermekaran pada hatinya yang polos. Ya, Lea memang sudah tertarik pada Dante. Sikap Dante yang lembut dan manis rupanya sudah membuat Lea tersentuh. Tapi Lea mencoba untuk terus menolak perasaan yang tumbuh subur dalam hatinya itu. Lea berpikir jika Dante melakukan semua hal baik itu karena rasa kasihan, bukannya karena memiliki ketertarikan seperti dirinya miliki. Karena itulah, selama ini Lea mencoba untuk menahan sikapnya agar tidak terbawa suasana dan perasaan.     Ah jika saja Lea tahu jika malam itu adalah kali terakhirnya bertemu dengan Dante, Lea tidak akan mau mengusir Dante begitu saja seperti itu. Lea akan menghabiskan waktu yang lebih lama dengan dokter tampan itu. Ya, setidaknya mungkin Lea tidak akan merasa semenyesal ini. Lea menghela napas lelah. Kini tangisnya telah mereda tapi rasa rindu yang besar membuatnya sesak bukan kepalang.     Lea merasakan rindu yang begitu besar memenuhi lerung hatinya, tapi rindunya ini bukan untuk keluarganya di panti. Rindu yang teramat ini ditujukan untuk Dante, dokter baik hati yang telah berhasil membuatnya ke luar dari keterpurukan hidup. Apakah saat ini Dante juga merasakan rindu yang sama sepertinya?     Lea memeluk perutnya yang terasa sakit. Selain rindu yang menyiksa, ternyata rasa lapar juga kembali menyiksa Lea dengan kejamnya. Sudah berapa lama Lea terkurung di sini? Dan sudah berapa lama Lea tidak makan? Terakhir kali, Lea ingat jika dirinya diberi makan yang cukup oleh pria yang membawa aroma kayu-kayuan yang menenangkan. Jika saja pria itu kembali datang dan memberikannya seperti terakhir kali, Lea pasti akan merasa cukup senang. Setidaknya dengan kehadirannya saja yang membawa aroma kayu-kayuan, sudah bisa membuat Lea sedikit tenang.     Larut dalam pemikirannya, Lea tersentak saat mendengar jeruji besi terbuka dengan suara yang keras. Ia beringsut ketika sosok pria yang barusan membuka pintu mendekat ke arahnya. Kini semua kemungkinan terburuk seakan-akan berkeliaran dengan liarnya di benak Lea. Siapa pria ini? Apa yang akan pria itu lakukan padanya? Apa dia akan memukulnya? Menyiksanya? Atau mungkin … membunuhnya?     Mata Lea membulat saat melihat pria itu mengeluarkan sebuah tali. Lea segera menggelengkan kepalanya dan menyembunyikan kedua tangannya. Ya, Lea sudah bisa menebak apa yang akan pria itu lakukan. Sungguh, Lea tidak mau lagi diikat. Pergelangan tangannya saat ini sudah memar parah, karena ikatan yang selama berhari-hari mengikat bagian yang sama. Hanya dengan sedikit tekanan saja memar tersebut sudah terasa begitu menyakitkan. lea tidak mau memar tersebut semakin parah dan kembali menyiksanya.     “Please Mister,” mohon Lea dengan berurai air mata. Tapi perkataannya tak didengar, atau mungkin pria itu tak mengerti apa yang dikatakan oleh Lea. pria itu tetap menjalankan tugasnya yaitu mengikat tangan dan menutup pandangan Lea dengan kain hitam.     Kini kedua tangan Lea telah kembali diikat menjadi satu di belakang punggungnya. Tentu saja Lea meringis karena ikatan tersebut terlalu kencang. Padahal pergelangan tangan Lea tengah terasa sakit, ditambah dengan diikat seperti ini, bertambahlah rasa sakit yang menyiksanya ini. Beberapa saat kemudian, pandangan Lea juga ditutup secara sempurna. Lea meringis saat salah satu tangannya ditarik, guna membuatnya berdiri dan melangkah menuju arah yang tak diketahui oleh Lea.     Lea kini menebak-nebak, apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah Lea akan dipertemukan dengan sosok yang telah membelinya? Lea tahu jika pria berkacamata yang tempo hari Lea temui bukanlah penawar asli melainkan hanya kaki tangannya. Begitupula dengan pria yang tengah menariknya ini. Lea bisa menyimpulkan jika pria ini juga hanyalah seorang bawahan. Sedikit banyak Lea penasaran dengan orang yang telah membelinya. Sebenarnya apa alasan mereka-mereka mau mengeluarkan uang sedemikian banyaknya untuk membeli kehidupan seseorang?     Apa mungkin mereka semua tidak mendapatkan pelajaran di sekolah mereka, mengenai kehidupan yang sama sekali tidak bisa dibeli oleh uang? Apa mungkin mereka berpikir semua uang yang mereka miliki bisa digunakan untuk membeli harga diri bahkan nyawa orang lain? Dan apakah mereka tidak berpikir bagaimana jika mereka yang berada di posisi orang-orang yang mereka injak-injak? Seharusnya mereka berpikir betapa terluka dan terhinanya semua orang itu karena perlakuan mereka yang tidak beradab.     Telapak kaki Lea merasakan jika lantai yang ia tapaki sangat berdebu. Tak berapa lama, lantai kotor tersebut tergantikan dengan lantai dingin yang kesat. Lea mendesis saat dirinya dipaksa untuk berlutut, kaki kirinya tertekan dan menimbulkan rasa sakit yang semakin menjadi. Seharusnya saat ini Lea meminum obat yang diresepkan oleh Dante. Obat itu tentu saja akan mengurangi rasa sakit yang menyerang kakinya ini. Sayangnya, Lea tidak mungkin meminta obat pereda sakit di sini. Lea tidak berada dalam posisi yang bisa melakukan hal itu. Tutup mata Lea dibuka, dan Lea harus menyesuaikan diri dengan cahaya terang yang menusuk kedua matanya saat ini.     Lea segera mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ruangan tersebut cukup luas dan berdekorasi indah. Satu set sofa yang tampak mewah berada di salah satu sisi ruangan. Lalu ada karpet lebut yang menghampar di bawahnya. Lea sudah bisa menebak jika pemilik dari bangunan ini, pastilah orang yang kaya, Sangat kaya malahan. Ah berarti benar perkiraan Lea jika orang yang membelinya adalah orang yang benar-benar kelebihan uang dan kebingungan menghabiskan uangnya untuk apa, hingga berpikir untuk membeli gadis-gadis.     Diam-diam Lea mengumpat dan mengutuk orang yang telah membelinya. Lea membayangkan jika orang yang membelinya sama seperti pria paruh baya yang terakhir kali ia lihat. Pria yang sebelumnya memenangkan pelelangan sebelum pria berkacamata datang dan memenangkan penawaran tertinggi dengan cek kosong yang bisa diisi dengan sepuas hati oleh Mio. Lea berpikir seharusnya jika sudah tua Bangka dan bau tanah, mereka harusnya diam saja di rumah dan nikmati masa tua mereka dengan anak cucu mereka.     Setelah puas mengutuk, Lea kembali mengedarkan pandangannya, dan ia melihat di setiap sudut ruangan ada pria tinggi besar yang berjaga dengan sebuah tongkat hitam di tangan mereka. Mereka hanya berdiri tegak tanpa melakukan apa pun. Tapi hanya sebatas kehadirannya para pria tersebut sudah sangat sukses mengintimidasi.     Lea menarik pandangannya dan sadar jika di sini, ada sekitar sepuluh gadis—termasuk dirinya—yang berjajar dengan posisi berlutut sama seperti Lea. Gadis-gadis cantik yang memiliki daya tarik yang berbeda, Lea juga yakin bahwa mereka semua berasal dari negara yang berbeda-beda. Terlihat jelas dari rupa mereka yang terlihat asing. Lea juga yakin, bahwa hanya dirinya yang berasal dari Indonesia.     “Nona-nona, selamat datang.” Lea menoleh saat mendengar ada seseorang yang berbicara dengan bahasa ibunya. Sedikit, hanya sedikit harapan yang kini terasa dalam hatinya. Mungkin saja ini kesempatan Lea untuk mendapatkan pertolongan dan lepas dari tempat yang mewah tapi terasa menakutkan ini.     Tapi begitu Lea mengangkat pandangannya, seketika itu pula Lea menahan napas saat matanya bersitatap dengan pria berkacamata yang ia temui di rumah pelelangan. Pria itu yang membelinya saat pelelangan. Berarti kembali pupus harapan yang dimiliki oleh Lea untuk lepas dari jeratan menakutkan ini.     “Untuk saat ini, saya harap kalian semua menutup mata dengan erat, dan jangan membukanya hingga ada perintah. Jika tidak, nasib kalian mungkin akan lebih buruk dari saat ini.”     Tubuh Lea gemetar saat mendengar nada peringatan yang jelas dalam kamat tersebut. jelas Lea bisa mengartikan jika ucapan si pria berkacamata tersebut tak lain adalah, jika membuka mata artinya kalian mati. merasakan jika ucapan pria itu sama sekali tidak main-main, Lea tidak bisa menahan tubuhnya yang bergetar karena merasakan aura membunuh yang kental.     Lea mau tak mau segera menutup matanya dengan erat, dan menunggu dalam diam. Tapi indranya yang lain bekerja dengan begitu tajamnya. Kini telinga Lea mendengar si pria berkacamata kembali berbicara dengan bahasa asing. Sayangya, seberapa pun lea mencoba untuk memahami perkataannya, Lea tetap tak bisa.     Hingga akhir pun, ucapan pria berkacamata itu terdengar seperti orang berkumur-kumur, karena Lea sama sekali tidak mengerti. Suara isak tangis penuh rasa takut terdengar samar dari samping kanan Lea. karena posisi Lea yang berada paling ujung kiri, tentu saja isak tangis yang Lea dengar dari sisi kanan tubuhnya. Pasti gadis-gadis itu merasa ketakutan dan tak bisa menahan diri untuk menangis, karena situasi yang tidak bisa dimengerti ini.     Lea merutuki dirinya sendiri. Kenapa dirinya malah merasa simpati kepada orang lain? Padahal Lea sendiri tak dalam kondisi yang lebih baik. Lea juga tidak memahami situasi saat ini, dan tidak bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Kini jelas Lea merasa takut, sangat takut malahan. Lea rasa orang-orang normal yang berada dalam situasi yang sama sepertinya seperti ini, pasti juga akan merasakan takut.     Meskipun merasa begitu takut, Lea tak membiarkan dirinya sendiri untuk menangis. Lea harus menghemat energinya, dan memakai tenaganya untuk berpikir secara jernih. Lea harus mencari celah sekecil apa pun untuk menyelamatjan dirinya sendiri. Ketika sibuk berpikir, tiba-tiba Lea merasakan suhu turun beberapa derajat. Hal itu terjadi bertepatan dengan suara langkah kaki yang terdengat mendekat.       “Buonanotte, Signore.” *Selamat malam, Tuan.       Lea tak mendengar sahutan sama sekali. Karena sebenarnya sosok yang baru datang tersebut tak mau repot-repot menjawab. Sosok yang tak lain adalah tuan dari pria berkacamata tersebut memilih mengamati kesepuluh gadis yang berlutut di hadapannya. Tatapannya yang tajam rupanya bisa dirasakan oleh para gadis yang masih menutup mata mereka rapat-rapat sesuai dengan perintah pria berkacamata. Tubuh para gadis bergetar merasakan intimidasi yang terasa begitu jelas.     Jelas saja para gadis merasa begitu terintimidasi walaupun tak bisa melihat pria itu. Karena sosoknya memang terlihat begitu mengintimidasi. Pria itu memiliki tinggi hampir mencapai 190 sentimeter, hanya dengan berdiri saja, sosoknya sudah terlihat mendominasi ruangan mewah tersebut.     Wajahnya terlihat rupawan, dan rahangnya terukir dengan tegas. Jelas sekali jika dirinya berasal dari kelas yang tinggi. Kerupawanan wajahnya terasa bertambah dengan kulitnya berwarna perunggu, tanda jika dirinya sering menghabiskan waktu di luar ruangan. Perpaduan tersebut sungguh eksotis dan menawan. Siapa pun yang melihat sosoknya pasti tidak akan rela melepaskan pandangan dari makhluk ciptaan Tuhan itu.     Tapi hal yang menakjubkan darinya tidak hanya sampai di situ saja. Pria itu memiliki rambut tebal yang sewarna pasir tampak berkilau diterpa sinar lampu, tapi yang paling memukau darinya tak lain adalah manik matanya yag berwarna hijau bening. Sungguh sosoknya semakin tampak semakin memukau, karena wajahnya yang rupawan itu tak menampilkan ekspresi yang berarti.       “Ne ho presso solo uno. Per il resto, non mi interessa.” *Aku hanya akan mengambil satu. Untuk sisanya, aku tidak peduli.       Pria berkacamata yang ternyata bernama Ken mengangguk dan memasang sikap hormat pada tuannya. Dalam hati, Ken tengah mempertanyakan mengenai rencana yang dimiliki tuannya ini. Karena jujur saja, ini kali pertama Ken tidak bisa membaca apa yang tengah direncanakan oleh tuannya. Ken mengetatkan rahangnya, saat menyadari kelancangan dirinya. Seharusnya Ken tidak boleh melakukan hal ini. Ia percaya jika tuannya memiliki rencana yang  matang dan jauh menatap masa depan.     Ken melirik tuannya yang mulai melangkah dan meneliti para gadis satu persatu dengan teliti. Tapi tuannya tampak tak tertarik dengan gadis-gadis itu, dan jujur Ken merasa cemas. Padahal Ken sudah berusaha memenuhi apa yang diminta tuannya, untuk mencari gadis yang sesuai dengan kriteria yang ia sebutkan. Apa mungkin tidak ada satuun gadis yang bisa menarik perhatiannya?     Ken menahan napasnya. Apa mungkin kali ini dirinya tidak bisa memenuhi tugasnya dengan? Tapi, begitu sampai di hadapan gadis bergaun merah darah, Ken menghela napas lega saat tuannya berlutut di hadapan gadis bergaun merah itu. Tuannya mengulurkan tangan dan meminta sesuatu dari Ken.     Dengan segera Ken mengeluarkan sebuah suntikan dan menyerahkannya pada tuannya. Lalu dengan gerakan yang cepat dan sangat rapi, Ken melihat tuannya menyuntik gadis Asia bergaun merah. Ken hanya menatap datar, dan tak peduli dengan apa yang dirasakan oleh gadis tersebut. Ken bisa dengan jelas melihat jika gadis Asia itu berontak dalam pelukan tuannya.     Gadis Asia yang tak lain adalah Lea itu, tampak berontak saat merasakan sengatan rasa sakit di bagian leher kirinya. Awalnya Lea merasa ditenangkan oleh aroma kayu-kayuan yang berasal dari seseorang yang berlutut di hadapannya. Tapi ternyata ketenangan Lea hilang sedetik kemudian. Hal itu terjadi karena dirinya diserang oleh sengatan rasa sakit pada lehernya, rasa sakit yang cukup dikenali Lea. Rasa sakit yang disebabkan jarum suntik yang menembus jaringan kulitnya.     Pemberontakan Lea rupanya menjadi sia-sia. Lea yakin obat yang disuntikan tersebut sudah mengalir pada darahnya. Kini bahkan Lea sudah merasakan efek dari obat tersebut. Lea kesulitan membuka matanya, kedua kelopak matanya terasa berat, seakan-akan telah direkatkan oleh lem super kuat.     Tanpa penolakan berarti, akhirnya Lea kembali jatuh dalam ketidaksadaran yang hampa. Lea melemas dan bersandar pada pelukan pria asing yang menyuntiknya. Pria tersebut menyeringai saat melihat Lea tak lagi memberikan perlawanan karena sudah jatuh tak sadarkan diri. Pria yang tak lain adalah sang tuan itu, segera mengangkat Lea dalam gendongannya, dan pergi membawanya menuju penjara sebenarnya bagi Lea.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD