Provokator

1043 Words
Pertama kali melihat Salwa yang waktu itu benar-benar masih jelek. Hahahaha. Tapi sekarang lihat lah. Ia cantik dan manis sekarang. Manis juga hubungannya dengan kakaknya. Ia jadi iri. Ia kan tak punya adik perempuan. Jadi hanya bisa menatapnya sambil makan dan menahan senyum. Senang sekali ya bisa melihat Salwa lagi? Padahal belum lama juga ia melihatnya. "Eh iya, mas Ahmad jurusan apa?" Ia hampir lupa kalau belum mengajak lelaki ini bicara. Dari tadi hanya sibuk dengan masnya sendiri. Tatapannya memang teralihkan pada Ahmad. Ahmad spontan menghindari tatapan itu. Sejujurnya, jantungnya makin berdebar kalau ditatap begitu. Aneh ya rasanya? Hahaha. "HI," tukasnya. "Kamu gak lihat itu banyak baliho mukanya dia?" Ahmad terkekeh mendengar itu. Salwa ikut tertawa. "Lihat sih. Tapi baru tahu kalo itu mas Ahmad," ujarnya. Said mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan gambar baliho Ahmad yang ada di fakultasnya. Lalu apa katanya? "Lihat ini, dek. Udah kayak politisi dia." Salwa tergelak. Ya memang sih. Dari gayanya mirip politisi yang sedang kampanye. Ahmad tertawa sambil geleng-geleng kepala. Said memang begitu. Suka melucu kalau sedang normal begini. Lalu ia teringat kalau harus membahas soal naskahnya. Jadi Salwa yang sudah selesai makan, ia sodori dengan naskahnya. Ya kan siapa tahu bisa lolos dan masuk series begitu. Kan lumayan. Kapan lagi coba? Cita-citanya kan memang tak jauh-jauh dari dunia hiburan. Namun dituntut untuk menjadi intel. Serba galau memang. Meski setidaknya sudah ada kakaknya yang meneruskan. Kalau Ahmad kan memang tak punya pilihan lain. Ia satu-satunya turunan ayahnya. Jadi ya mau tak mau harus bertanggung jawab penuh. Meski itu jelas berat sekali. Tapi ia sudah beradaptasi sejak kecil. Karena jiwa hackernya sudah bakat sejak lahir. Memang bawaan. Tapi bukannya mengambil jurusan yang berkaitan dengan komputer, ia memilih Hubungan Internasional. Mereka berbicara banyak hal meski ya untuk beberapa hal tak bisa dibicarakan sembarangan. Tapi ada saja yang diobrolkan lah. Lebih banyak obrolan untuk mengolok Ahmad juga sebenarnya. Hingga obrolan mereka sempat teralihkan saat ada satu cowok yang datang bersama gerombolannya mengirim tatapan ke arah Ahmad. Suasana menjadi agak tegang. Said menatap Ahmad. Tahu cowok itu siapa. Tapi Ahmad tak meladeni. Salwa juga sadar kalau cowok tadi tampaknya tidak suka dengan Ahmad. "Kamu ada masalah apa sama dia?" Ahmad berdeham. Ia tak menatap cowok yang sedang memprovokasinya. Tahu sih kalau cowok itu tak terima atas tindakannya yabg terakhir. Gara-gara ia membawa pacarnya ke kosan. Padahal ia hanya ingin menolong cewek itu dari cowok yang kasar macam ini. "Pacarnya mantannya si Aidan bukan?" Ia mengangguk. Memang oacarnya itu. Ia tak suka karena tau rekam jejaknya seperti apa. Bisa-bisanya juga malah berpacaran dengan cowok seperti itu. Karena ia dan teman-temannya memang pembuat onar. Dari rumor saja, Ahmad sudah yakin benar kok kalau ia adalah titipan di sini. "Aku yang traktir," tukasnya. Ia beranjak lebih dulu untuk membayar. "Makasih loh, mas," timpal Salwa. Ia hanya mengangguk sembari berjalan menuju kasir. Said sudah berbicara lagi pada adiknya itu. "Kalo kamu ketemu sama dia, dek. Minta aja traktir. Duitnya banyak." Salwa terkekeh. "Anak konglomerat ya, bang?" Ia kan tak tahu apa-apa soal Ahmad. Apalagi jarang pula melihatnya selama ini. Baru kali ini bertemu lagi. "Bukaaan. Nanti lah abang cerita. Tapi kalo kamu ketemu dia, jangan sungkan. Ahmad baik. Kan dulu juga sering ke rumah. Tapi kamu yang suka gak ada di di rumah. Keluyuraaaan mulu. Nginep di sana-sini kayak orang gak ounya rumah aja." Salwa tertawa. Ya namanya juga anak remaja. Pasti hobinya bersama teman-teman kan? Setelah dewasa, ia akan sadar kok kalau yang harusnya paling dekat dengan dia itu ya saudara-saudaranya. Bukannya orang lain. Tapi ya namanya juga anak remaja. Tak bisa diatur dan diterka juga jalan pikirannya. "Ahmad s****n!" Ada yang sengaja berteriak seperti itu ketika mereka sudah berada di parkiran. Ahmad tentu mendengarnya tapi ia enggan terprovokasi. Memang begitu. Cowok s****n itu memamg begitu. Kalau ada kesempatan, Ahmad yakin, ia pasti akan dihajar olehnya dan teman-temannya. Mereka itu beraninya main keroyokan. Lalu ia menoleh ke arah Salwa yang sejujurnya dongkol sekali dengan lelaki s****n itu. Padahal mereka yang mencari perkara begitu. Tapi tak terima kalau ada yang perduli untuk menolong orang yang mereka zalimi. "Gak usah diladenin. Kamu harus hati-hati." Said mengingatkan. Tapi Ahmad malah menoleh pada Salwa. "Kalau ketemu dia di jalan, cari pertolongan atau telepon abangmu ini," ujarnya. Ia tahu kinerja komplotan mereka itu. Siapapun yang sekat dengan Ahmad akan terkena imbas. "Adekku gak bakal kena lah. Yang bakal kena itu si Zahra yang ada. Kamu bilang lah itu ke si Zahra buat hati-hati." Ia menghela nafas. "Kesannya ini aku dekat sekali sama dia." Said langsung terbahak. Ia tak terima kalau dijodohkan dengan Zahra. Apalagi Said yang berbicara di depan Salwa pula. Kan bukan Zahra yang ia suka. "Zahra yang--" Mulut Salwa langsung disumpal dengan tangannya. Ahmad tertawa melihat Said dipukul adiknya itu. "Bau sambel ih! Pedes lagi!" Ia mendumel. Said tertawa. Mungkin cuci tangannya kurang bersih tadi ya? @@@ Ia gugup. Belum ada juga balasan dari Ahmad soal wawancaranya. Mungkin sibuk? Ia tak tahu kalau Ahmad sedang dalam perjalanan menuju kontrakannya Salwa. Ya hanya bisa menahan senyum melihat keakraban Salwa dan kakaknya dari belakang. Ya manis sih. Ia jadi iri. Hahaha. Tapi khayalannya bukan seperti itu. Eeh astagfirullah. Veronika membuka pintu kamarnya begitu mendengar suara pintu kamar sebelahnya dibuka. Itu pertanda kalau temannya sudah pulang. Ia sudah mendengar langkah kaki sih. Tapi tak yakin. Tampaknya kali ini benar. Ya memang benar. Itu temannya. "Kau tahu mas Ahmad tinggal di mana?" "Mau ngapain memangnya?" "Aku ada wawancara gitunsih sama dia." "Ooooh. Aku juga kurang tahu sih kontrakannya yang mana. Cuma daerahnya aku tahu. Gak jauh dari Sardjito itu loh." "Asrama?" "Asrama tapi masih lurus lagi gitu. Kan perumahan di situ. Nah banyak tuh yang pada ngontrak dan ngekos di situ." Ia mengangguk-angguk. "Kau ada waktu kapan gitu buat temenin aku?" "Emang kapan wawancaranya?" Ia nyengir. "Masih nunggu sih. Ini beberapa kali ganti jadwal. Mungkin karena dia sibuk." "Ya wajar sih kalo sibuk, Ver. Dia kan megang jabagan juga di BEM. Belum lagi kalo ikut perlombaan. Andalan kampus banget tuh. Apalagi kalo urusan intelijensi. Waaah. Bakat banget sih. Keren deh. Lo juga harus nonton debatnya yang tahun kemarin. Menang tauk pas di Dubai!" Ia baru tahu. Belum banyak sih yang bisa ia korek. Rencananya akan ia tanyakan nanti saja. Biar sekalian. Karena pasti ada banyak hal yang bisa ia tulis bukan? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD