Salwa

2029 Words
"Mereka itu anak FEB, Ver." "Kau tau banyak?" Ia kaget. Padahal harusnya tak usah kaget. Beta kan tipe netizen kepo. Soal gosip-gosip terhangat kampus pasti ia tahu. "Ye lah. Makanya keliaran dikit ih. Banyak kegiatan yang bisa lo lakuin selain ngurusin komunitas Batak." Ia terkekeh. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju kampus. Yeah, ia biasanya nebeng Beta ke kampus. Mereka kebetulan satu fakultas. Fakultas apa? Ya Fisipol. Beta mengambil Sosiologi sementara ia nyasar ke Komunikasi. Maunya sih ambil Hubungan Internasional tapi tak lolos. Nasib ya? Ya rezekinya barangkali memang di sini. "Siapa tadi namanya?" "Kak Renita sama Linda. Cuma ada gosip soal mereka." "Gosip apa?" "Mereka dulu akur teru sekarang kayak anjing dan kucing gitu. Gak pernah dekat lagi." "Berantem kali. Biasa lah cewek suka gitu." "Ya sih. Paling-paling juga soal cowok." Veronica mengangguk-angguk. Biasanya juga memang tak jauh-jauh dari hal itu. "Tapi mungkin bisa jadi gak tahan juga temenan sama kak Renita." "Kenapa?" "Ih. Kau masih ingat kan waktu kita PPSMB? Sok galak kali dia. Belum tahu dia bapak kita kek mana kalo udah marah pakek bahasa Batak?" Veronica terbahak. Ya Beta memang begini. Beraninya hanya dari belakang kok. Hahaha. Mumpung tak ada orangnya. Ia beruntung karena tak pernah berurusan dengan perempuan itu. Ya Beta juga sih. Tapi karena kejadiannya waktu itu di lapangan, semua mahasiswa baru dari berbagai jurusan tentu saja tahu perkara Renita memarahi beberapa orang yang terlambat. Tak lama, motornya sudah masuk ke dalam gedung fakultas. Beta memarkirkak motornya lalu keduanya sama-sama berjalan. "Eh iya....kalo si mas Ahmad itu anak HI berarti satu fakultas kita dong?" "Berani kau? Nanti mamak kau jantungan." Ia terkekeh. "Ya kan gak aku dekati juga." "Janji ya? Jangan kau centil-centil di depannya. Keknya, dia bukan tipe orang yang bisa deket-deket sama sembarang cewek." "Gitu?" Beta mengangguk-angguk. Kadang sahabatnya ini tampak liar dan berani. Tapi anehnya di sisi lain, ia tampak polos sekali. "Dah ya. Kelasku ke sana," pamitnya. Veronica mengangguk. Baru hendak masuk gedung fakultas, ia sudah melihat poster besar yang memuat foto beberapa orang yang wajahnya tampaknya akan menjadi familiar baginya. Ia berdiri di depan baliho besar yang semakin lama dikerumuni oleh mahasiswa-mahasiswa dari fakultasnya. "Mas Ahmad! Mas Ahmad" Hanya sedikit ia mendengar orang-orang di sekitarnya yang membicarakan orang lain selain Ahmad. Ya ia akui memang kalau dari wajahnya saja sudah menarik perhatian. Lalu cara bicaranya sewaktu berorasi di depan gedung DPR. Menurutnya, itu sangat keren. Heummmm..apalagi yaaa? Tampaknya juga lembut, sopan, baik, dan hal-hal yang disukai oleh seorang perempuan kepada lelaki tampaknya ada padanya senua. Lantas bagaimana mungkin ada manusia yang bisa sesempurna itu? Ia juga terheran-heran. "Mas Ahmad....," bisiknya lirih ketika hendak menaiki tangga tapi ternyata orangnya muncul tak begitu jauh darinya. Lelaki itu dikelilingi banyak teman-teman. Ya termasuk perempuan. Ia tampak seperti lelaki kebanyakan di sini. Namun entah kenapa, auranya jelas begitu berbeda dibandingkan dengan lelaki yang lain. Ia juga tak paham apa yang sebenarnya membuatnya begitu berbeda. @@@ "Kenapa muka kakakku gak ada ya?" Kiara tertawa mendengarnya. "Kakakmu dapat prestasi apa heh?" "Ya jualan baju pas orang lagi demo," ucapnya sembrono. Kiara tertawa lagi. Salwa memang begitu. Keduanya melanjutkan langkah lagi menuju kantin usai dari kelas. Entah kenapa tiba-tiba ada baliho di gedung fakultasnya. Mungkin untuk memotivasi orang-orang agak bisa turut berprestasi seperti mereka ya? Ya ambil saja sisi positifnya seperti itu. "Kak Said udah semester terakhir?" "Enaaaam." "Ya udah menuju tahun terakhir lah." Ia mengangguk-angguk. Hanya setahun. Akan bersamaan dengannya di sini juga. Ia kan anak Arsitektur yang hanya dua tahun di UGM dan akan menghabiskan sisanya mungkin di Jerman. Ya kebetulan lolos kelas internasional. "Eh ya, jadi nanti ikutan kumpul?" "Kumpul apa?" "Ya nyanyi lah. Kayak biasa." "Astaga!" "Kenapa?" Ia buru-buru memeriksa isi ponselnya di dalam tas. "Aku ada wawancara deh hari ini." "BEM atau yang lain?" "BEM." "Jadi ikutan BEM ya? Demi siapa? Kak Fathur?" Ia terkekeh. Ya kan kapan lagi? Ia bisa bertemu kak Fathur semalam juga sudah menjadi sebuah kesempatan yang sangat langka. "Tadi ada kak Fathur juga kan di posternya." Salwa mengangguk-angguk. Begitu duduk di bangku kantin, ia memperlihatkan hasil jepretannya khusus foto Fathur dari baliho tadi. Kiara tertawa. Ya kalau persoalan Salwa dan perasaannya, ia sudah tahu sejak awal semester ini. Tapi ia sendiri belum pernah bertemu secara dekat untuk mengenal seperti apa Fathur itu. Namun lihat lah, balihonya di mana-mana. Ya keren sih. Apalagi Salwa sudah lama naksir padanya. "Gimana kalau dia ajak kamu pacaran?" "Gak lah." "Kenapa? Kan mungkin aja." "Dia tahu keluargaku kayak gimana." Aaaaaah. Kiara mengangfuk-angguk. Ya tak begitu ketat setahunya. Tapi kalau soal pacaran sepertinya memang tidak mungkin. Ia juga tahu itu. "Jadi cuma sekedar jadi pengagum rahasia nih?" "Mungkin?" Ia nyengir. Ya namanya juga anak muda seumurannya ya bisanya mengkhayal kalau tiba-tiba perasaannya terbalaskan. Tapi kalau tidak? Ya sedih sih. Tapi ya kalau memang harus begitu, ia bisa apa? Tak bisa apa-apa juga kan? Toh ia juga memutuskan untuk fokus kuliah kok. Janjinya ke sini juga untuk kuliah bukan untuk mengurus urusan asmara. "Tapi berat tauk saingan kamu. Banyak banget kan yang suka sama dia." "Ya dari dulu jugaaaaa," ia menghela nafas panjang. "Dari yang paling cakep di sekolah, paling pinter bahkan paling solehah." Kiara terkekeh. Tapi temannya ini manis kok. Justru di dalam kelas, cowok-cowok banyak yang bertanya tentang Salwa. Mau mendekati tapi Kiara selalu bilang, Salwa tak akan bisa pacaran. Lalu ya panjang lah urusan keluarganya, ia ceritakan hingga kisah itu tersebar ke seantero juruzan. Tampaknya akan menjalar ke jajaran fakultas. Apalagi dikala awal kuliah dulu, Salwa pernah dihukum untuk menyanyi di depan anak-anak sefakultas. Tapi alih-alih ditertawakan, ia justru dipuji habis-habisan. Suaranya memang kerena. Tapi tak akan bisa berkarir sebagai penyanyi. Kenapa? Ya tak mau saja. Itu hanya hobi. "Eh ini siapa sih?" Ia begitu ia perhatikan foto di sebelah Fathur, ada perempuan berjilbab panjang yang tamoak tak asing. "Itu kak Zahra. Anak kedokteran." "Ya di sini juga ada tulisanya kaliii. Maksud aku, dia siapa di BEM?" "Wakil ya? Masa lupa sih pas kita PPSMB itu loh." Salwa menggaruk-garuk tengkuknya. "Fokusnya cuma sama kak Fathur sih." Ia terkekeh. Ya ia memang tak begitu memerhatikan sih. "Pokoknya dia perangkat BEM juga. Dan kemarin itu kayaknya ikut kompetisi internasional gitu deh. Di Jepang apa di mana gitu." Aaaaah. "Keren ya?" "Yang jadi anak arsitek emangnya gak keren heh? Harus bangga dong kita." Ia tertawa. "Terus ini? Aaaah. Yang jadi finalis Abang-None Jakarta gak sih?" Ia menunjuk foto perempuan berambut panjang yang berdiri di sebelah kiri Fathur. Kiara ikut melihat lalu mengangguk-angguk. "Cakep banget ya?" Salwa mengangguk bodoh. Ya menurutnya juga begitu. Seingatnya sempat melihat saat PPSMB tapi ia juga tak begitu ingat. Terlalu banyak orang di sana. Lalu matanya menangkan sosok Ahmad yang fotonya berada tepat di samping Renita. Ya manis juga pikirnya. Lalu beralih lagi pada lelaki di sebelahnya. "Kak Jamil nih. Yang ditaksir sama Erisa bukan?" Kiara baru hendak mengangguk eeh orang yang baru saja mereka bicarakan muncul. Siapa? "Siapa nih? Siapa? Kalian ninggalin aku gitu aja!" Ia protes. Itu Erisa. Ia duduk sambil mengerucutkan bibir. "Lagian siap suruh sih ngikutin gengnya Moni? Udah tahu banyak ghibahnya." "Ya ampuuuun. Ini tuh penting tauuuk! Kalian pasti gak tahu kan? Kalo gosip-gosipnya di kampus kita, ada yang jadi sugar baby gitu." "Hah? Apaan tuh? Gula apaan?" Kiara terbahak sementara Erisa menepuk keningnya. @@@ "Oh, mas!" Ia tersenyum kecil. Sempat melambaikan tangan lalu duduk di bangku tinggi yang yaaah dekat kitchen bar lah. Ia memilih duduk di sana karena mumpung kafe olahan pisang ini sedang ditunggui oleh pemiliknya. "Pesan apa nih?" "Biasalah. Smoothy sama roti bakarnya ya." Aidan mengangkat jempol. Ia sibuk menyiapkan makanannya sementara Ahmad mengeluarkan buku catatannya. Ia tampak sibuk mengerjakan sesuatu di ipad sambil melihat buku catatannya. Aidan hanya menatap sesekali sambil sibuk menyiapkan makanannya. Ia mengenal lelaki ini karena bertemu di masjid. Sempat diajak bergabung di BEM tapi ia menarik diri karena sibuk dengan urusan kuliah. Memanggilnya mas karena ya meski seangkatan, Ahmad memang lebih tua sedikit dari padanya. Ya walau itu juga tak bisa dijadikan alasan. Intinya sih, ia dan Ahmad masih terhubung dengan silsilah keluarga abinya yang orang Solo. Jadi kalau dirunut ya mereka ini sepupu tapi jauh sekali ikatannya. "Biasanya puasa daud." Ahmad terkekeh. "Akhir-akhir ini berat badan turun mulu. Kebanyakan beraktivitas, gak puasa juga gak makan." "Program naikin nih? Gak kayak aku aja?" Ahmad tertawa. Ya Aidan memang tampak kurus tapi menurutnya tak begitu masalah. Karena masih bagus-bagus saja menurutnya. Tak lama Aidan membawakan pesanannya. "Kamu lagi lengang gini, beberapa hari di sini terus?" "Ya begitu lah. Sambil ngerjain tugas juga." Ahmad mengangguk-angguk. Ia justru sedang mengerjakan tugas usai menyalin catatan. Setidaknya ia punya satu jam sebelum pergi ke ruang BEM untuk mengurus wawancara anggota baru BEM hari ini. "Mbah gimana?" "Ya gitu lah. Namanya juga sudah tua." Ya sih. Aidan mengangguk. Walau beberapa kali ia sempat mendengar mbahnya Ahmad dibawa ke rumah sakit. "Aku dengar, mas ada hubungan gitu sama mbak Zahra yang anak kedokteran. Benar itu?" Ia hanya penasaran karena seantero fakuktas membicarakan hal ini. "Ndak lah. Dia itu anak kyai, yang punya pesantren sama gontor di mana aku sekolah dulu." Aaaah. Aidan mengangguk-angguk. "Kenapa? Naksir kamu sama dia?" Aidan tertawa. "Gak lah. Bukan tipeku." "Ya lah, tipemu itu siapa tuh? Anggota BEMku bertahun-tahun....." Aidan tertawa. Tentu saja Ahmad mengenal karena dulu mereka juga bertemu di depan ruang BEM. Disaat ia masih menjemput mantan pacarnya saat itu. Tapi kali ini tidak lagi. Usai mengobrol selama hampir satu jam, Ahmad pamit. Ia harus kembali ke ruang BEM untuk memantau perkembangan proses wawancara hari ini. Ia mengendarai motornya menuju ke sana. Lalu sempat solat dulu sebelum akhirnya berkeliling. Ya teman-temannya tentu saja sibuk. Yolanda dan Fatimah sempat melirik ke arah luar saat Ahmad muncul. Lalu berbisik-bisik memanggil Zahra. Kalau ada Ahmad. Gadis itu melotot. Keduanya malah nyengir. Maksudnya, ia ingin fokus mewawancara hari ini. Walau tak urung, ia menoleh juga ke arah luar ketika mendengar suara Ahmad. Ia tentu hapal suaranya bukan? Sementara itu, dari ujung, satu perempuan berlari-lari. Ia tampak terburu-buru karena harusnya ia sudah diwawancara sejak sepuluh menit yang lalu. Namun ia terlambat karena tadi dipanggil untuk berkumpul dengan paduan suara sebelum akhirnya ke sini. Ia berlari dengan kerudung yang juga ikut terayun. Tangan kanan menggenggam ponsel begitu kuat. Ia bahkan belum sempat menyimpan kunci motornya. Jadi masih dipegang ditangan kiri hingga tak sengaja menabrak bahu seseorang, kunci motornya terpental di dekat kaki Ahmad yang sedang mengobrol dengan Ino di dekat pintu ruangan di mana Zahra dan yang lain berada. Ia berdesis. Walau tak urung berjalan mendekat untuk mengambil kunci motornya yang gantungannya jauh lebih berat dibandingkan kuncinya. Tapi ternyata, ada tangan yang sudah lebih dulu terulur mengambil kunci itu lalu menyodorkan ke arahnya. Ia hanya membungkuk sebentar lalu berlari lagi hingga ke ruangan paling ujung tanpa tahu kalau mata Ahmad mengikutinya. "Wes! Wes! Manis ya, Mad?" Ino juga menatap ke arah yang sama. Hahaha. Cowok itu tak tahu kalau Ahmad tampak terperangah. Seakan tersadar akan sesuatu. Ia akhirnya berpamitan pada Ino dan berjalan menuju ruangan berikutnya. Walau kakinya sudah tak sabar untuk segera tiba di ruangan paling ujung di mana gadis itu masuk tadi. Hingga akhirnya ia tiba di sana, ia mengintip di dekat pintu yang setengah terbuka. Teman-temannya tentu saja menyapa tapi ia hanya fokus pada gadis yang sedang membelakanginya dan sedang diwawancara oleh salah satu teman cowok yang tampak salah tingkah saat berhadapan dengannya. Salwa..... Nama itu muncul begitu saja di benaknya. Walau ia juga tak yakin. Benar kah itu Salwa yang ia kenal sebagai adik dari sahabatnya sendiri? Perempuan yang ia lihat masih sangat kecil dulu. Ketika mengantar Said masuk ke gontor lebih dari smpat tahun lalu? Ketika ia pernah menginap di rumahnya waktu ia masih SMP? Yah masih di pesantren. Rasanya sudah lama sekali ya? Dulu ya seingatnya memang masih sangat kecil. Tapi kini? Ia tumbuh jauh kebih tinggi dengan wajah yang masih manis dan tampak kecoklatan tapi jauh lebih bersih dibandingkan dulu. Mungkin karena sudah semakin dewasa? Semakin bisa merawat diri? Sementara itu.... "Apa yang bisa kamu perbuat sebagai bentuk kontribusimu untuk BEM jika bergabung nanti?" "Nyanyi!" "Eh?" Si cowok terkejut. Salwa menutup mulutnya. "Ah maksud saya, mungkin menghibur kalo anggota BEM capek demo di Gejayan dengan nyanyi." Si cowok terkekeh mendengar jawabannya. Kalau cewek yang mewawancarainya dan ia memberikan jawaban begini, ia pasti sudah habis. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD