Orang-Orang Baliho

1069 Words
"Kuliah, bro?" Ia terkekeh. "Ya biasa lah." Ia baru saja berjalan masuk ke dalam ruangannya. Ada beberapa temannya yang duduk di sofa. Mereka tak ada rapat karena anggota BEM yang lain sedang mewawancarai anak-anak baru yang akan bergabung dengan BEM mereka. "Banyak anak baru, meeen!" Hito muncul dengan wajah kegirangan. Ia ditoyor cewek-cewek begitu duduk menyempil di antara mereka. "Ada yang cakeeeep, ada yang maniiiiis," tukas Ino menambahkan. Cowok itu berdiri di ambang pintu. Fathur geleng-geleng kepala. Bukannya tak tertarik, tapi ada yang harus ia periksa. Jadi ia duduk sembari menyalakan laptopnya. Sementara itu, Salwa yang baru keluar dari toilet dan tadi sudah menyelesaikan wawancaranya dengan banyak tawa. Ia beruntung karena yang mewawancarainya tampak terpesona dengan senyuman manis dan jawaban-jawabannya yang lucu. Ia tak bermaksud begitu sebetulnya. Ia hanya lupa mempersiapkan banyak hal. Lalu ia belum juga pulang? Ia sedang celingak-celinguk. Berharap ada seseorang yang ia taksir muncul tiba-tiba di depan mata. Ya mumpung ia berada di sini bukan? Ada banyak anggota BEM yang berkeliaran di sekitar. Meski sebagian besar yang ada di sini adalah teman-teman yang senasib dengannya. Yeah yang ikut seleksi untuk bergabung secara resmi. Ia menghela nafas karena tak menemukan seseorang yang ia cari. Akhirnya, ia membalik badan. Baru selangkah berjalan, seseoeang memanggil namanya. Keningnya malah mengerut. Ya tampaknya wajah itu tak begitu asing. Ia seolah pernah melihatnya entah di mana. "Adiknya Said?" "Oh, iya, mas." Ia segera mengangguk sopan. Meski masih menerka-nerka siapa cowok ini. Tapi kalau mengenal kakaknya dan bahkan dirinya maka mungkin kah lelaki ini tahu keluarganya juga? "Ingat aku? Ahmad, teman masmu di gontor." Aaaah. Ia mengangguk-angguk. Tentu saja kaget. Ya memang ia seperti pernah melihatnya. Bukan kah tadi pagi di fakultas, ia melihatnya di baliho yang tertempel begitu besar di sana? "Kuliah di sini?" Ia benar-benar baru tahu kalau Salwa ternyata melanjutkan kuliahnya di sini. Ia tak pernah tahu. Kadang ya ada basa-basi bertanya pada Said. Tapi kalau bertanya terlalu dalam, rasanya agak malu. Ia memang memendam perasaan itu sendiri untuk menjaga persahabatan mereka. "I-iya, mas." Ia agak tergagap menjawabnya. Karena sungkan dan masih samar-samar mengingatnya. Sementara ingatan Ahmad masih begitu kuat. Pertama kali bertemu dengan Salwa ya saat ia menginap di rumah Said. Waktu itu mereka sedang libur pesantren. Lalu bertemu lagi saat Salwa mengantsr Said masuk ke gontor. Ia tak tahu kalau Salwa ternyata sudah masuk kuliah. Ia pikir gadis ini masih SMA. "Jurusan apa?" "Arsitek." "Anak FT ya? Yang internasional atau...." "Ya. Internasional." Ahmad mengangguk-angguk. Tentu saja senang mendengarnya. Dan sepertinya ia akan menempeleng Said setelah ini karena tak bilang kalau adiknya berkuliah di sini. "Lupa ya sama aku?" Salwa terkekeh. Kekehan yang begitu manis bagi Ahmad. Salwa memang tak bisa berbohong. Wajahnya terlalu polos. Ia benar-benar lupa tentang Ahmad. "Said gak bilang kalau kamu lanjut di sini. Jadi tadi ikut wawancara juga?" Ia berupaya mengajaknya mengobrol. Ya mumpung ada kesempatan kan? "Iya, mas." "Minat masuk bidang mana?" Ia sih berharap satu bidang dengannya mumpung ia kepalanya. Hahaha. Tapi belum juga mendengar jawaban dari Salwa, ia sudah dipanggil Zahra dari kejauhan sana. Salwa berwaw ria melihat gadis itu dari kejauhan. Tentu saja ia tahu gadis itu karena mengenali wajahnya di baliho. Zahra. Si perempuan muslimah yang terkenal kesalehannya, cantiknya, dan prestasinya. Ia memang dikagumi di kalangan ikhwan. Anak kyai juga. Ya intinya bukan orang sembarangan. Gosipnya dan Ahmad memang sudah terbangun sejak dulu. Karena mereka memang begitu dekat bukan? Rumor kalau Zahra tertarik padanya juga bukan hal asing lagi. Seolah-olah sekua orang telah tahu. Karena mata Zahra mengatakan segalanya ketika ia menatap Ahmad. Sementara Ahmad menjaga jarak karena ia tak mau ada fitnah antara mereka. Bahaya perempuan itu sangat luar biasa. Usai menatap Ahmad dan Zahra, ia hendak melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Bukannya ia mau pulang? Tapi ternyata sudah ada dua gadis yang menghadang jalannya. Siapa? "Kamu siapa?" Ia yang harusnya bertanya tapi ia yang malah ditanya lebih dulu. "Aku?" Ia menunjuk dirinya sendiri. Dua gadis itu kompak mengangguk. "Salwa, kak." Ia menjawab dengan polosnya. "Maksudnya, kamu kenal sama mas Ahmad?" Aaaah. "Dia temen masku." "Siapa masmu?" Kenapa mereka ingin tahu? Ingin sekali ia menyahut seperti itu. Tapi ia malah mengangkat tangan secara mendadak. Lalu? "Tungguin akuuuu!" teriaknya tiba-tiba lalu berlari kabur dari kedua gadis itu jelas itu. Ia melirik ke arah mereka begitu tiba di dekat motornya. Tentu saja sambil menggerutu. "Masih jaman senioran kayak gitu? Kampungan banget sih." Ia tampak kesal lantas menyalakan mesin motornya. Sementara itu, Ahmad melirik ke arah keberadaan Salwa tadi. Tapi sudah tak ada di sana. Zahra ikut menoleh ke arah yang sama. "Mas lihat siapa?" Ia tak menjawab dan malah melanjutkan pembicaraan mereka tadi. Padahal ia masih ingin melihatnya. Ahmad tak tahu kalau siapapun perempuan yang dicurigai ingin mendekatinya, akan dihadang dengan kuat oleh teman-temannya Zahra. Mereka bukan geng Renita yang bermain dengan sangat brutal dalam menghadapi lawan. Mereka bermain dengan lebih lembut. Tapi sebenarnya tak jauh berbeda. "Mas tadi ngomong sama siapa?" Ia akhirnya bertanya begitu selesai membicarakan urusan tadi. Tapi lagi-lagi Ahmad tak menjawab. Cowok itu justru membuka pintu ruangan BEM dan menyapa teman-teman mereka yang ada di sana. @@@ "Tema kali ini adalah Hero and Heroine. Saya ingin kali ini junior staf yang mengambil alih wawancara tokoh-tokoh yang ada di baliho itu. Tugas pertama ini adalah pertanda kalau kalian sudah diterima di sini. Jadi jadikan ini batu loncatan. Kalian harus lebih baik. Terutama dalam menyiapkan naskah wawancaranya. Saya akan berikan kontak humas BEM untuk kalian hubungi. Karena toh sebagian besar dari mereka adalah anggota BEM. Tapi sebelum itu, saya bagi dulu orang-orangnya." Veronika berdoa kuat dalam hati. Berharap ia akan mewanwacarai salah satu kakak tingkatnya. Ya dibandingkan yang lain, ia tak begitu tertarik. Menurutnya, kepribadian Ahmad ini sungguh menarik. Jarang ada lelaki sepertinya. Yang terlihat sangat humble di luar tapi berpegang teguh pada agama. Ya mungkin kalau ia bertemu dengan lingkaran Ahmad, itu adalah hal yang biasa. Tapi bagi seorang nasrani sepertinya, itu justru sangat menarik. "Tiana dan Rudi akan mewawancarai Renita." Rudi bercihuy ria. Tiana malah sedih. Respon keduanya yang begitu kontras mengundang tawa rekan-rekan yang lain. Para lelaki tentu sangat tertarik untuk bisa berinteraksi langsung dengan perempuan yang dianggap paling cantik di kampus mereka. Ketika akhirnya nama Veronica dan Beni disebutkan, Veronica menahan gemuruh senangnya dengan senyuman. Ya jangan terlalu kentara lah. "Yaaah tuker yuk sama aku, Ver." Ia terkekeh mendengar keluhan Tiana. Gadis itu sungguh mengagumi Ahmad. Tapi Vero tentu saja tak akan melewatkan kesempatan ini. Kapan lagi ia akan berinteraksi secara langsung? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD