“Ya terus siapa lagi, masa hantu,” jawab Aliana asal. Kini ia sudah mengalihkan perhatiannya dan kembali ke posisi semulanya.
“Serius Al”-“Tanganmu, tangan seni juga ya ternyata. Aku kira tanganmu itu cuma aksesoris, soalnya buat nulis surat untuk Brian saja tulisanmu buruk sekali lalu isi suratnya juga tidak berbobot sekali, hahaha… seperti surat anak SD,” ejek Ren sambil tertanya, kini ia sudah melihat ke depan tepat di tempat Aliana duduk dengan gelas jus jampu di mulutnya.
“Puas ketawanya… baik sekali masa lalu teman sendiri diketawain,” kesal Aliana, pasal surat yang sudah lama berlalu tersebut, surat yang ia tulis saat ia sekolah SMP dan saat itu Brian dan keluarganya belum pintu ke satu kompleks dengannya.
“Kau sangat lucu Al, saking groginya tulisan sendiri bisa jadi jelek begitu,” olok-olok Ren yang masih setia terkikik kecil melihat wajah kesal Aliana.
“Itukan aku masih SMP, sudahlah kau ini datang ke sini hanya untuk membahas itu lebih baik kau pulang,” usir Aliana karena ia kesal dengan anak tetangganya itu.
“Jahat sekali Al, aku kan temanmu,” ucap Ren sambil cemberut karena ia diusir oleh Aliana. “Ngomong-ngomong tentang lukisan itu, kau membuatnya dengan apa maksudnya?” ucap Ren, ia bingung ingin bertanya seperti apa Aliana tentang lukisan tersebut.
“Kau bertanya apa maksud dari lukisanku itu?” tanya Aliana kembali pasalnya kata-kata yang Ren ucapkan tadi terbalik-balik.
“Iya begitu!” jawab Ren dengan semangat.
Aliana menghela nafasnya, dan menegapkan dirinya lalu melihat kearah lukisan yang menggantu di dinding belakangnya.
“Aku membuatnya tidak memiliki maksud apa-apa, aku hanya tertarik karena menurutku itu bagus, Papa mengizinkanku untuk memajangnya jadilah lukisan itu terpampang di sini,” jelas Aliana santai sambil masih menatap lukisan hasil tangannya sendiri tersebut.
“Kau serius? Itu sangat bagus, dan juga… mengerikan, tetapi itu tetap keren,” ungkap Ren yang memuji lukisan Aliana, dan ia juga bangga pada temannya tersebut.
“Aku kira itu tidak mengerikan, dan malah tampak anggun,” sanggah Aliana santai, kini ia sudah kembali meluruskan tubuhnya menghadap depan.
Lukisan itu menggambarkan seorang wanita yang menggunakan gaun berwarna putih tetapi dengan bercak-bercak merah yang menghiasi gaun tersebut, wanita itu seperti menampilkan sebuah tarian balet dengan tubuh membungkuk anggun lalu tangan yang di luruskan satu ke bawah dan satu lagi ke atas, rambut panjangnya menutupi wajah wanita itu, lalu ada sebuah tali yang terikat di tangan wanita ballerina tersebut, tali itu mengikat salah satu tangan yang terangkat ke atas seperti sedang memaksa untuk mebangkit. Tidak lupa kaki wanita itu tidak menggunakan sepatu ballerina melainkan bertelanjang kaki dan lagi bercak-bercak merah menghiasi kakinya yang mengjinjit bertumpu pada dua ibu jari kaki tersebut. Background dari wanita itu adalah sebuah tirau panggung yang terbuka, bagian dalamnya adalah pemandangan kota yang terlihat suram dengan sinar jingga. Tepat di dekat wanita itu berdiri terdapat mawar-mawar berwarna putih seputi gaun yang ballerina tetapi dengan bercak merah yang terdapat di kelopak bunga tersebut.
“Ren?” panggil Aliana untuk menyadarkan Ren yang melamun sambil menatap lukisan tadi.
“Maaf-maaf Al, kau bilang apa?” tanya Ren karena ia mengabaikan Aliana.
“Aku tidak mengatakan apapun hanya menegurmu, kau tidak meminum jus yang sudah kuberikan,” terus Aliana.
“Ah iya, petang ini apa kau punya waktu untuk kita jalan-jalan?” tanya Ren pada akhirnya.
“Ada, hanya saja jika untuk jalan-jalan saja aku juga bisa sendiri, tidak perlu ada teman,” ucap Aliana, yang ia memberitahukan bahwa ia sudah biasa berpergian sendirian.
“Kau ini jomlo sekali, aku mengajakmu jalan-jalan karena aku juga jarang pulangkan dan kita juga jarang bertemu, jadi sekali-sekali apa salahnya jalan-jalan dengan kesendirianmu itu jalan dulu denganku petang ini, dan aku akan mentraktirmu,” jelas Ren panjang lebar, karena ia mengerti Aliana tadi bermaksud untuk menolaknya.
“Serius?” tanya Aliana setelah mendengar kata traktir dari mulut Ren.
“Lebih dari serius, malah aku mau berkomitmen,” balas Ren sambil mengucapkan kata-kata modul pada Aliana.
“Tidak nyambung Ren,” tegur Aliana setelahnya ia kembali meminum jusnya.
“Jadi mau?” tanya Ren memastikan.
“Boleh,” jawab Aliana singkat sambil menarik salah satu sudut bibirnya.
Mereka mengobrol tidak menyadari ada sepasang mata yang memperhatikan mereka dari arah pintu penguhubung dapur dengan halaman belakang. Tatapan datarnya mengisyaratkan tidak perduli, namun ia tetap saja memperhatikan interaksi sepasang manusia di saung halaman belakang yang rindang tersebut.
**
Aliana bangun pagi bahkan lebih pagi dari yang lain, matahari saja belum menampakkan diri, ia bangkit dari tidurnya di kasur miliknya. Merengangkan tubuhnya, pagi hari yang dapat dikatakan subuh itu adalah waktu yang nyaman untuk Aliana berbicara pada Tuhan, Aliana akan menunaikan ibadah subuhnya. Kepribadiannya adalah anak yang tidak lupa pada Tuhan juga, ia berusaha untuk tetap berkomunikasi pada penciptanya, baginya begitulah agar dirinya tetap menjadi Aliana yang tenang dan tentang bagaimana ia mengungkapkan rasa syukurnya terhadap apa yang pencipta telah berikan padanya.
“Sesibuk apapun dirimu, tetaplah untuk bersyukur dan berkomunikasi pada Allah Al,” pesan Hasbie yang Aliana ingat untuk dirinya.
Aliana bersiap setelah rumah beres ia kemas dan memasak sarapan. Ia pun menyiapkan dirinya untuk pergi bekerja.
Dari balik pintu kamar Erisa, “Mbak sarapan aku taruh di lemari makanan,” ucap Aliana dari luar kamar Erisa, setelah ia menyiapkan sarapan untuk orang yang ada di rumah itu, ia yang memang sudah terbiasa untuk memasak menggantikan sang mama, membuat ia memiliki rasa tanggung jawab untuk sang kakak, terhadap asupan untuk sang kakaknya itu. walau yang ia buat hanyalah makanan yang sederhana, Erisa tetap menghargai apapun yang telah adiknya buatnya untuk dirinya. Terbukti Erisa tidak pernah menolak apapun yang Aliana masakkan untuknya dan ia malah sangat berterima kasih pada sang adik karena mengerti sang kakak sangat kelelahan dan tidak sempat untuk memperhatikan adiknya.
“Kamu mau kemana?” saut Erisa dari dalam kamarnya, dan tidak lama ia membuka pintu untuk menemui adiknya tersebut.
“Aku keluar dulu, ya sudah aku pamit, berangkat dulu Mbak…” pamit Aliana pada sang kakak lalu berlari menuruni anak tangga, ia menghindari agar tidak ditanyai lebih lanjut tentang kemana ia akan pergi.
Aliana bekerja bukan soal ia kekurangan uang, tapi untuk mencari pengalaman dan menghindari dari menunggu rumah itu sendirian. “Bukan untuk menjaga hati orang lain, tapi untuk melindungi hatiku sendiri mungkin. Walau sudah lama, dan sedikit tenang, tidak menutup kemungkinan hati ini masih sakit,” pikir Aliana, hari masih pagi udara masih lembab dan dingin, Aliana menggunakan jaket untuk membuat tubuhnya hangat. Orang yang sedang berolahraga paling hanya akan mengira ia juga pergi berolahraga ke suatu tempat seperti anak muda kebanyakan mencari taman kota atau kemana saja untuk berolahraga karena Aliana menyandang ransel berwarna hitam di punggungnya.
(e)
….