Empat hari sudah Syahilla dirawat di rumah sakit. Empat hari itu juga dia tidak dijenguk orangtuanya. Hanya Dokter Aro dan Bu Manda yang selalu memperhatikannya. Dokter Aro tanpa sungkan selalu mengajaknya berbincang. Kadang Syahilla yang merasa canggung sendiri. Seperti saat ini, Dokter Aro tengah duduk di samping branker Syahilla, tengah mengajak berbincang gadis itu.
“Jadi, aslinya kamu pelukis?” tanya Dokter Aro setelah mendengar cerita Syahilla.
“Iya, walau tidak bagus, aku suka melakukannya,” jawab Syahilla tersenyum.
“Kalau kamu sudah sembuh, bisa dong aku lihat hasil lukisan kamu,” ujar Aro tersenyum.
Panggilan yang mulanya Saya-Kamu, kini menjadi aku-kamu. Dokter Aro yang memintanya, katanya agar tidak terkesan formal.
“Boleh boleh,” jawab Syahilla antusias.
Dokter Aro dan Syahilla tampak akrab dengan perbincangan hangat mereka. Berbeda dengan mereka yang tampak senyum-senyum, bu Manda malah kepanasan mendengar obrolan keduanya.
Manda tidak suka saat melihat Syahilla, gadis incaran untuk anaknya malah didekati cowok lain. Apalagi dokter tampan. Bukan maksud Manda mengatai anaknya tidak tampan, tapi siapapun juga tau Aro tampan.
“Dokter, pelankan suara dokter! Suara dokter mengganggu pasien lain!” tegur Manda memberanikan diri.
Aro celingak-celinguk, sepertinya dia sudah bersuara sangat lirih. Memang Aro merasa hawa tidak bersahabat bu Manda kepadanya.
“Maaf ya, Bu Manda. Kami memang bersuara sedikit kencang. Maaf juga untuk yang lain!” ucap Syahilla dengan suara lembutnya. Seketika darah Aro makin berdesir mendengar kelembutan Syahilla, begitu juga Bu Manda yang makin jatuh cinta dengan gadis itu.
“Bukan kamu, Nak Syahilla. Kamu gak salah kok!” ujar Bu Manda menggelengkan kepalanya. Bu Manda mendekati Syahilla, mengelus lengan gadis itu dengan lembut.
Aro menangkap sinyal tidak enak dari Bu Manda. Dengannya saja bisa sewot, tapi dengan Syahilla kenapa sebaik ini.
“Dokter pergi sana, gak enak dilihat orang lain. Masa dokter terus di sini sama pasien sih,” ujar Manda mengusir. Aro mengepalkan tangannya erat, lama-lama geram juga dengan wanita paruh baya itu.
“Sepertinya yang diucapkan bu Manda benar, Dok.” Syahilla ikut bicara. Aro pun dengan pasrah pamit pergi.
Syahilla sendiri sedikit risih kala Dokter Aro terus menanyakan hal yang sedikit pribadi. Manda yang melihat Aro sudah menjauh, langsung mengirimi pesan kepada anaknya untuk menyusulnya ke rumah sakit. Namun, sudah banyak pesan tapi tak kunjung dibalas oleh anaknya.
Di sisi lain, Reza tengah tertawa konyol ketika melihat pesan mamanya. Padahal, Mamanya sendiri tau kalau dia sudah memiliki kekasih, tapi malah mau mendekatkannya dengan seorang gadis.
Reza menjawab kalau dirinya sibuk, pria itu tidak ingin membuang waktu dengan bertemu perempuan yang dimaksudkan mamanya. Apalagi saat ini dia sedang menjalin hubungan dengan Audi, tidak mungkin kan kalau dia berselingkuh. Reza bukan tipe cowok seperti itu.
Mama: Reza, mama jamin kamu akan tertarik dengan gadis ini. Mata beningnya melumpuhkan urat syaraf mama.
Reza tertawa membaca pesan mamanya. Urat syaraf bagian mana yang putus. Kalau syaraf malu, Reza tidak yakin karena setiap saat mamanya akan malu-maluin.
Reza: Mama mending pulang aja kalau anak itu sudah sembuh. Jangan mikir cewek buat Reza. Reza sudah punya Audi.
Reza membalas pesan mamanya. Manda yang melihat balasan anaknya hanya menghembuskan napasnya. Walau Audi baik, naluri keibuannya lebih memilih Syahilla meski dia masih kenal beberapa hari.
Reza memilih meletakkan hpnya. Pria itu mengambil buku, bolpoin serta gitarnya. Kalau tidak ada jadwal manggung, Reza akan latihan menyanyi dan menciptakan lagu.
Petikan gitar dan suara indah Reza menciptakan alunan yang sangat indah. Reza selalu menciptakan lagu-lagu dengan makna paling dalam. Semua itu suara hati terdalamnya.
Bagi penikmat sastra, sudah pasti tau kalau lirik lagu Reza adalah sebuah ungkapan kesepian.
“Aku punya uang, kekasih dan segalanya, tapi kenapa aku masih kesepian!” tanya Reza membanting bolpoin dengan kencang.
Reza masih terus menerka, apa yang belum dia miliki. Namun, jawaban itu tidak kunjung dia dapatkan. Suara bel rumah Reza berbunyi, dengan segera pria itu menuju luar untuk membukakan pintu.
“Audi?” panggil Reza kaget. Pasalnya kalau Audi mau ke rumah, akan mengabari dulu. Ini tumben sekali tidak kabar-kabar.
“Reza, boleh aku masuk?” tanya Audi.
“Kenapa masih nanya? Ayo!” ajak Reza menarik pacarnya untuk masuk.
Tangan keduanya bergandengan erat untuk menuju ruang tamu. Namun, Audi memaksa Reza untuk masuk ke kamar pria itu.
“Kita di sini saja, Audi!”
“Yang, aku mau di kamar kamu,” ujar Audi kekeuh.
“Mau ngapain sih di kamar? Kita ngobrol aja di sini sama aja!” Tolak Reza.
“Yang, turuti aku, ya!” Audi memasang wajah memelas, berharap pacarnya mau diajak ke kamar.
Melihat ekspresi Audi, jelas saja membuat Reza tidak tega. Reza pun dengan pasrah mengikuti mau Audi. Ini kali pertamanya Reza memasukkan Audi ke dalam kamrnya, sebelumnya pun tidak ada yang masuk kecuali mamanya.
“Sekarang sudah di kamarku, kamu mau apa?” tanya Reza merebahkan dirinya di ranjang.
Audi tidak menjawab, dia masih mengagumi isi kamar Reza yang tertata rapi. Ada patung kayu kecil-kecil juga beberapa lukisan.
“Wah bagus sekali lukisannya. Kamu beli di mana?” tanya Audi mengagumi lukisan abstrak yang terpajang di dinding.
“Dari manager kemarin. Katanya dia membeli di pejual jalanan yang ada di aloon-aloon,” jawab Reza.
Reza ikut melihat lukisan itu dengan pandangan yang intens. Kemarin, managernya menceritakan dengan antusias penjual lukisan itu yang ditemuinya tak sengaja di Aloon-aloon. Dan managernya memberikan satu untuk dia pajang. Reza pun penasaran siapa gerangan sang pelukis itu. Hasil lukisannya sungguh indah dan berseni meski mengusung tema abstrak.
“Reza, aku mau bicara serius sama kamu,” ucap Audi menghadap Reza.
“Bicara saja, Sayang!”
Audi menatap Reza, yang ditatap bukannya ganti menatap malah membuang muka. Audi mendekati Reza, tanpa diduga Audi menaiki ranjang dan mengukung tubuh Reza.
“Audi kamu apa-apaan?” pekik Reza kaget.
“Diam, kamu!” tegas Audi makin merendahkan tubuhnya mepet pada Reza.
“Kamu mau ngapain?”
“Aku sudah bosan, Reza. Aku sudah bosan dengan semua kelakuan dan sifat kamu. Kamu bilang mau nikahi aku, tapi sampai saat ini mana?” desis Audi.
Audi sudah Lelah dengan segala tingkah Reza saat dirinya tidak kunjung diajak menikah, padahal sudah lama mereka berpacaran. Desakan orang tua Audi yang mengatakan ingin cucu, membuat Audi harus memaksa Reza untuk menikahinya. Semua orang tau kalau dia pacaran dengan artis terkenal, lalu mau sampai kapan status mereka hanya sebatas pacar, Audi ingin mereka ganti status menjadi suami istri.
“Audi, kita bicara baik-baik, ya!” bujuk Reza.
“Sampai kapan Reza, sampai kura-kura punya sayap?” teriak Audi marah. Sudah cukup kesabarannya menghadapi Reza. Di umurnya yang sekarang, Audi menginginkan rumah tangga untuk masa depannya. Namun, sepertinya Reza tidak ada niatan untuk menikahiya.
“Aku tidak mau tau, kita harus menikah dalam waktu dekat,” ucap Audi menubrukkan bibirnya dengan bibir Reza. Reza memelototkan matanya, ini bukan Audi yang dia kenal. Audi yang biasanya kalem, kenapa berubah menjadi seagresif ini.
Audi melesakkan lidahnya ke bibir Reza. Tangan perempuan itu dengan lencang mengusap d**a kekasihnya. Erangan keluar dari bibir Audi, napasnya memburu seiring gerakan bibirnya. Reza menjauhkan kepala Audi, menatap gadis itu dari bawah dengan tatapan tajamnya.
“Ini salah, Audi. Tidak bisa diteruskan!” ucap Reza dengan lirih.