1. Syahilla
“Buang semua sampah-sampah yang tidak berguna ini!” teriak Narenda menendang cat minyak milik adiknya.
“Kak, ini masih bisa dipakai, kenapa harus dibuang?” tanya Syahilla memunguti kembali cat minyak. Untung cat itu tertutup rapat. Saat kakaknya menendang kencang, tidak akan berceceran.
“Lihatlah rumah ini! Sudah reyot sebentar lagi ambruk, malah kamu kotori dengan cat-cat sialanmu itu!” maki Narendra mencengkram bahu adiknya dengan kasar.
“Kak, kakak itu laki-laki. Harusnya bisa cari uang untuk membangunkan rumah orang tua kita. Bukan malah menuntut aku!”
“Aku tidak sudi! Aku kerja untuk diriku sendiri!”
“Kalau begitu, terima saja tinggal di rumah reyot dan jangan protes!” tandas Syahilla dengan tajam.
“Aku malu, Syahilla. Pernahkan kamu berfikir kalau kita jadi gunjingan tetangga karena rumah kita yang jelek? Kamu kerja cari yang banyak uangnyaa, jangan gini aja!” teriak Narenda menunjuk bahu adiknya dengan jari telunjuknya.
“Kalau kakak malu, kakak sisihin uang gaji kakak buat nabung, biar bisa memperbaiki sedikit-sedikit!”
“Aku bilang pakai gajimu!”
“Kakak saja gak mau usaha, kenapa nuntut aku? Aku perempuan kak, kakak sebagai laki-laki gak malu apa?” teriak Syahilla yang sudah mulai kesal.
“Dasar punya adik gak berguna!” maki Narenda sebelum melenggang pergi.
Syahilla menatap kepergian kakaknya dengan tatapan yang sulit diartikan. Selalu ada pertengkaran adik kakak setiap harinya. Narenda dan Syahilla terlahir dari keluarga sederhana. Ayahnya buruh serabutan dan ibunya buruh jahit. Meski begitu, tak ada tekad dari Narenda untuk memperbarui hidup mereka. Narenda bekerja sebagai kasir di salah satu supermarket yang gajinya bisa dikatakan sesuai UMK, tapi gajinya selalu habis untuk berjudi. Narenda ingin menikah, tapi ia malu dengan keadaan rumahnya yang sudah nyaris ambruk. Maka itu dia memaksa adiknya untuk lebih giat bekerja agar bisa memperbaiki keadaan mereka.
Mulanya, Syahilla bekerja di salah satu Hotel ternama. Namun, Ayah Syahilla tidak rela bila anaknya harus melepas hijab demi uang yang bisa habis. Akhirnya Syahilla di rumah saja sembari melukis. Mungkin, hasil lukisannya tidak pernah ditawar mahal, tapi sedikit-sedikit bisa untuk menabung. Sebenarnya Syahilla mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah, tapi ibunya menentang keras. Ibunya ingin Syahilla bekerja dan bisa mencukupi kebutuhan daripada sekolah lagi yang akan menambah beban keluarga. Syahilla menurut, meski dalam hatinya ingin berontak. Syahilla cukup sadar diri kalau kelahirannya saja sudah membuat orang tuanya pusing.
Syahilla Putri, gadis manis yang berparas ayu. Wajahnya yang teduh kerap kali membuat orang terpesona, apa lagi kebaikannya yang sudah menjadi karakter sejak kecilnya. Selain melukis, gadis berusia dua puluh satu tahun itu menjadi guru di salah satu sekolah penyandang d*********s. Tidak digaji, tapi itu cukup membuat Syahilla senang. Itu sebabnya juga kenapa Narenda sering marah. Narenda selalu mengatakan kalau adiknya hanya membuang-buang waktu untuk hal yang tidak perlu.
“Beras habis, minyak habis, semuanya habis, mana gak punya uang lagi.” Gerutu Ibu Syahilla yang terdengar dari ruang tengah yang hanya bersekat satu dipan lapuk. Syahilla menghampiri ibunya. Melihat wajah kesal yang tengah memaki-maki karena kebutuhan pokok habis.
“Ibu!” panggil Syahilla membuat Farihna menoleh.
“Apa Hilla? Kamu jangan minta uang! Ibu gak punya!” jawab Farihna dengan judes.
Farihna yang paling menentang keras saat Syahilla keluar dari pekerjaannya. Alasannya, tentu saja karena Syahilla jadi tak punya uang lebih. Farihna yang notabennya juga sama sifatnya dengan anak pertamanya, sangat risih melihat Syahilla yang hanya bisa melukis tanpa menghasilkan uang berarti. Apalagi, Syahilla masih punya adik berusia tujuh belas tahun yang butuh biaya banyak.
“Enggak, bu. Syahilla mau kasih ibu uang, tapi maaf, bu. Hanya ada lima puluh ribu.” Ucap Syahilla.
“Makanya kerja yang bener! Kamu udah bangga gitu kasih uang ibu Cuma lima puluh ribu?” sentak Farihna membuat ubun-ubun Syahilla panas.
“Kan, Kak Narenda malah gak pernah kasih ibu uang sepeserpun.” Jawab Syahilla dengan lembut. Ini lah Syahilla, meski dalam keadaan marah dia tetap melembutkan bicaranya kala berbicara dengan ibunya. Beda saat berbicara dengan Narenda yang terkesan ngegas.
“Jangan samakan dengan Narenda. Dia laki-laki uangnya harus banyak ditabung untuk menikah nanti.”
“Apa ibu pikir aku tidak punya kebutuhan lain?” tanya Syahilla.
“Jangan banyak omong! Sama orang tua aja perhitungan. Sini uang kamu, ibu tau kalau kamu punya seratus ribu,” serobot Farihna.
“Tapi mau aku pakai, bu.”
“Jual lukisan busukmu itu biar dapat uang lagi.”
Syahilla menghembuskan nafas beratnya. Ia memberikan uang lima puluh ribuan dua lembar untuk ibunya. Selalu begitu, selalu dia yang mengalah. Padahal, uang lima puluh itu akan dia gunakan untuk membeli bedak padat agar wajahnya tidak terlalu kelihatan kusam, tapi malah diminta ibunya semua.
Syahilla kembali ke kamarnya yang jauh dari kata sederhana. Bahkan kamar tidurnya hanya beralaskan Kasur tipis dan berselimut sarung. Tak ada pintu, yang ada hanya kelambu. Mungkin, kalau orang lain melihat kamarnya, akan muntah karena jijik.
Pandangan Syahilla jatuh pada kaleng bekas jajan lebaran yang dia letakkan di bawah meja. Tangannya terulur mengambilnya. Celengan yang sudah bertahun-tahun tidak Syahilla buka. Celengan tiga impiannya. “Sabar ayah, ibu. Syahilla janji, kalau uang ini sudah terkumpul banyak, Syahilla akan membangunkan rumah untuk ayah dan ibu, juga menaikkan haji ayah dan ibu.” Ucap Syahilla dalam hati.
"Sekarang Syahilla berhayal dulu, siapa tau suatu saat akan terwujud." gumam Syahilla lagi.
Celengan itu memang berisi uang yang tiap hari Syahilla tabung. Tiga impian yang dia harapkan bisa terwujud. Impian pertama, membangunkan rumah orang tuanya, impian kedua menaik hajikan orang tuanya, dan impian ketiganya sesuai doa ayahnya yaitu menikah dengan laki-laki sholeh.
Untuk yang ketiga, Syahilla tidak pernah berharap lebih. Yang dia tau dari dunia ini adalah yang tampan berjodoh dengan yang cantik, dan yang kaya berjodoh dengan yang kaya. Lagian, laki-laki mana yang mau dengan orang miskin dan tak berpendidikan seperti dirinya. Saat ayahnya membahas pernikahan, yang Syahilla bisa lakukan hanya menangis meratapi nasib.
Teman-teman SMA-nya berbondong-bondong pamer pernikahan yang mewah, Syahilla hanya bisa gigit jari karena iri. Terus terang Syahilla iri dengan keberhasilan orang lain, karena dia tidak pernah bisa seperti mereka. Keadaan sangat menyudutkannya. Tidak punya uang dan keluarga yang tidak pernah mendukung.
“Syahilla!” panggil suara laki-laki yang langsung membuat Syahilla tergagap. Syahilla menyibak kelambu, melihat ayahnya yang bercucuran keringat berdiri di sana.
“Ayah sudah pulang.”
“Iya. Ini ayah bawain kamu nasi padang.” Ucap Rahman menyodorkan satu bungkus nasi untuk putri semata wayangnya. Rahman sangat tau kalau putrinya menyukai nasi padang.
“Ayah, buat ibu mana?” tanya Farihna yang ikut nimbrung.
“Eh, ini aja buat ibu. Syahilla puasa.” Ujar Syahilla menyerahkan makanan kembali kepada ayahnya agar memberikan nasi itu pada ibunya.
Syahilla masuk ke kamarnya dengan cepat. Entah kenapa, kalau soal makanan dia selalu menangis. Terlebih, saat ibunya sama sekali tidak mau mengalah. Bukan sekali dua kali kalau ibunya selalu merebut makanannya. Sebenarnya tidak bisa dikatakan merebut. Hanya saja ibunya akan marah pada sang ayah kalau hanya membawakan satu untuk dirinya. Dari pada ramai didengarkan tetangga, Syahilla lebih baik mengalah.
Syahilla melirik dari celah kelambu yang dibuka. Ibunya memberikan makanan itu untuk kakaknya. Sebenarnya Syahilla tidak mau sakit hati, tapi mau bagaimana lagi kalau keadaannya begini. Ibu dan Kakaknya pintar sekali dalam menyayat hatinya tiap hari. Padahal, mereka terikat darah yang saling mengalir.