Shanum turun dari dalam taksi dan masuk ke dalam rumahnya, dengan air mata yang sudah mongering dan Shanum berusaha untuk menampilkan keadaannya yang baik-baik saja. Walau dalam keadaann kacau seperti sekarang. Shanum menatap pada ibunya yang memasak di dapur dengan menyenandungkan sebuah lagu.
Mia melihat pada putrinya yang sudah pulang. Mia berjalan mendekati putrinya, dan melihat penampilan putrinya agak kacau. Shanum kenapa? Ada yang menyakiti Shanum?
“Kamu kenapa nak? Kamu ada masalah?” tanya Mia khawatir.
Shanum menggeleng. Dia tersenyum pada ibunya. “Nggak kenapa-napa Ma. Tadi Shanum nggak sengaja jatuh di depan, karena mau cepat-cepat pulang ke rumah dan cicipi masakan Mama,” Shanum berbohong pada ibunya.
Tidak apalah dia berbohong sekarang. Nanti dirinya akan mencari cara agar bisa mengatakan tentang kehamilannya ini pada ibunya. Shanum tidak mau mengecewakan ibunya untuk sekarang. Dan membuat ibunya pingsan dengan fakta kalau Shanum sedang hamil.
Mia tertawa geli mendengar ucapan putrinya. “Kamu itu! Jangn lari-lari. Rumah kita nggak akan kemana-mana dan kamu masih bisa cicipi masakan Mama sesuka hati kamu!” tegur Mia, membuat Shanum tertawa sumbang mendengarnya dan menelan salivanya secara kasar.
Ya Tuhan … tidak tega rasanya membohongi dan mengecewakan orang tuanya seperti ini. Mereka memberikan kebebasan pada Shanum untuk menjalani hidup sesuka Shanum. Tapi, Shanum malah membuat sebuah kesalahan terbesar dan laki-laki yang menghamili dirinya tidak mau bertanggung jawab atas anak yang ada dalam kandungan Shanum sekarang. Mau bunuh diri Shanum rasanya.
“Iya, Ma. Shanum nggak akan lari-lari lagi. Papa mana Ma? Belum pulang kerja?” tanya Shanum pada ibunya, dan melihat sekeliling rumahnya, dan tidak melihat keberadaan sang ayah—kepala keluarga di rumahnya ini.
“Papa kamu masih di jalan kayaknya. Kamu mandi dulu dan setelah itu kita makan malam bersama. Mama mau selesain masakan Mama yang lain,” ucap Mia mengusap rambut putrinya lembut.
Shanum mengangguk lalu berjalan menuju ke kamarnya dengan keadaan lesuh, dan air mata menetes dengan sendirinya. Raka—pria yang dicintai oleh dirinya akan segera menikah. Dan tidak mau mengakui anak dalam kandungan Shanum. Shanum hanya melakukannya dengan Raka. Dan pria itu juga mengatakan, akan bertanggung jawab padanya saat mereka akan melakukan itu malam di mana Shanum mengiakan ajakan Raka untuk melakukan hubungan terlarang di luar pernikahan itu.
“Kamu jahat Raka! Kamu jahat! Kamu nggak cinta sama aku! Kamu nggak mau tanggung jawab! Ini anak kamu!” ucap Shanum menangis memukul perutnya. Shanum tahu kalau anak dalam kandungannya tidak bersalah.
Dia yang salah! Dia mau saja terbujuk oleh rayuan Raka yang mengatakan akan bertanggung jawab kalau dirinya hamil. Shanum bodoh menjadi perempuan. Rayuan laki-laki seharusnya tak pernah bisa dipercaya. Laki-laki kebanyakan hanya bisa merayu sebelum menghancurkan hidup seseorang.
“Maafkan Shanum, Ma, Pa. Shanum tidak bisa menjadi putri yang membanggakan Mama dan Papa. Shanum telah salah memiliki hubungan pacaran dengan seseorang pria yang hanya mau menghancurkan hidup Shanum.” Sesak rasanya Shanum membayangkan wajah ayah dan ibunya yang selalu membanggakan Shanum pada orang-orang dan saudara mereka. Mengatakan Shanum anak baik dan tidak pernah membuat masalah.
“Shanum! Nak! Kamu udah siap mandinya? Papa kamu sudah pulang, dan kamu keluar makan malam.”
Shanum melihat pintu kamar yang diketuk oleh ibunya. Shanum menghapus air matanya. Shanum berusaha untuk melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Shanum menghidupkan shower dan berdiri di bawah shower sambil menangis. Shanum menutup mulutnya. Dia perempuan pendosa dan murahan. Mau melakukan itu dengan laki-laki yang tidak bertanggung jawab padanya.
“Aku benci dia. Aku benci. Dia mau menikah. Dia meninggalkanku. Dia membuangku!” ucap Shanum memukul tubuhnya dan menarik rambutnya. Dia perempuan kotor yang mau saja dinodai oleh Raka.
Shanum berdiri dan berjalan keluar kamar mandi dengan keadaan basah. Shanum membuka lemarinya dan mengambil pakaian rumahnya. Shanum segera mengganti pakaiannya, dan menatap wajahnya di cermin. Shanum berusaha untuk memasang senyuman baik-baiknya. Sebuah senyuman palsu yang akan ditampilkan olehnya pada ayah dan ibunya.
“Kamu bisa Shanum. Kamu nggak boleh nangis!” ucap Shanum untuk tetap tersenyum. Dan bisa menghadapi dunia yang sangat kejam padanya.
Shanum menaburkan bedak di wajahnya dan tidak lupa memakai lips balm pada bibirnya. Setelah itu Shanum keluar dari dalam kamar. Shanum menuruni tangga, dan menatap pada ayah dan ibunya yang duduk di kursi meja makan dengan tawa yang menyertai keduanya. Dan saling bercanda satu sama lain.
“Masakan kamu memang selalu enak Ma. Papa jadi nggak pernah bosan untuk memakan masakan kamu,” ucap Darma—ayah Shanum yang memuji masakan istrinya.
Mia mendengarnya tampak malu-malu kucing dan mau memukul pelan pundak suaminya ini. Bisa saja suaminya memuji masakan dirinya. Padahal bagi Mia masakannya ini biasa saja dan tidak ada enaknya. Suaminya terlalu memuji masakannya ini.
“Kamu bisa aja Mas. Kamu makan yang banyak. Ini Shanum kemana? Belum muncul juga,” ucap Mia melihat ke arah tangga. Dan tersenyum melihat keberadaan putrinya yang sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.
“Sayang. Kamu sudah turun, ayo, makan. Mama masak makanan kesukaan kamu ini!” ucap Mia menarik tangan putrinya, dan membawa putrinya untuk duduk di kursi meja makan.
Shanum duduk di kursi meja makan dengan senyuman tipisnya. Lalu menatap makanan kesukaannya di atas meja makan. Shanum mau muntah melihat itu semuanya. Shanum menahan rasa mualnya. Dan berusaha untuk biasa saja dan mulai mengambil nasi ke dalam piringnya. Shanum hanya mengambil sedikit saja dan mengambil sedikit sambal juga.
Shanum memakan makanan itu dalam menahan muntahnya. Shanum tersenyum pada ibu dan ayahnya yang melihat ke arahnya dengan senyuman manis dan penuh kebanggaan mereka. Shanum mau menangis lagi melihat itu.
Shanum dengan cepat menghabiskan makanan dalam piringnya. Setelah itu meminum minumannya dengan cepat. Membuat dirinya merasa lega, karena semua makanan itu telah habis dan rasa mualnya perlahan sudah hilang.
Di bawah meja Shanum mengusap perutnya. Memberitahukan pada anaknya untuk tetap tenang dan jangan membuat Shanum dalam kesulitan sekarang. Walau hidup Shanum memang dalam kesulitan dan sebentar lagi ntah apa yang terjadi pada dirinya. Dan bisa saja dirinya tak diakui anak oleh orang tuanya. Membayangkan itu membuat d**a Shanum terasa sesak. Dan jangan menjadi nyata.
“Kamu kenapa? Masih sakit karena terjatuh tadi?” tanya Mia pada putrinya.
Shanum yang mendengar pertanyaan ibunya mengangguk. Dia harus berbohong untuk kesekian kalinya pada sang ibu. Dengan mengatakan kalau dirinya masih sakit akibat jatuh. Padahal dia tidak terjatuh dan memiliki masalah lebih dari itu. Maafkan Shanum, Mama.
“Iya. Shanum masih sakit akibat jatuh tadi Mama. Dan Shanum mau tidur saja dalam kamar. Mana tahu rasanya sakitnya akan hilang,” dusta Shanum. Dan dalam hati kecilnya berkata, kalau dirinya ingin tidur selamanya. Agar dia tidak menjadi aib untuk keluarganya dan tidak menjalani hidup yang berat.
“Kamu minum teh hangat dulu. Ini Mama buatin.” Mia memberikan segelas teh hangat pada putrinya.
Shanum mengambil teh itu, lalu meminumnya. Shanum merasakan lebih baik. Dan sepertinya anaknya juga suka dengan teh hangat buatan neneknya ini. Shanum menghabiskan teh hangat dengan senyuman manisnya lalu meletakkan gelas kosong di atas meja.
“Sudah habis. The buatan Mama memang selalu enak,” puji Shanum tersenyum lebar pada ibunya.
Mia mendengar itu tertawa kecil. Putrinya ini terlalu memuji sekali. Padahal hanya segelas teh apa istimewanya? Tapi, melihat Shanum tampak lebih baik. Mia merasa senang. Tadi, Mia sempat bercerita pada suaminya, kalau Shanum terjatuh. Suaminya khawatir terjadi sesuatu pada anak tunggal mereka ini.
“Shanum, kamu lain kali kalau jalan itu hati-hati sayang. Jangan terburu-buru seperti itu. Dan kamu jatuh jadinya,” ucap Darma tersenyum manis pada putrinya.
Shanum mengangguk. “Shanum nggak akan lari-lari lagi Pa. Lagian tadi Shanum cuman mau cepat pulang. Rindu sama masakan Mama. Semalam Shanum, ‘kan mengginap di rumah teman Shanum. Jadinya, nggak bisa cicipi masakan Mama,” bohon Shanum untuk kesekian kalinya.
Shanum semakin merasa bersalah pada ayahnya. Karena dirinya sudah menjadi anak yang suka berbohong. Padahal ayahnya tidak pernah mengajarkan dirinya untuk berbohong, dan melakukan hal buruk lainnya. Tapi, dirinya sudah melakukan hal yang sangat buruk. Dan sebuah kesalahan yang sangat fatal sekali.
“Kamu itu! Mama kamu nggak akan lari. Mama kamu masih di sini, dan masakin kamu masakan kesukaan kamu,” ucap Darma menggeleng pelan melihat kelakuan putrinya.
Shanum tertawa kecil. “Iya, Papa. Shanum nggak akan ceroboh lagi. Mama tidak akan lari, dan selalu berada di samping Shanum. Dan Shanum akan selalu mencicipi masakan Mama,” kata Shanum tersenyum lebar.
Darma ikut tersenyum lebar. “Kamu istirahat sana. Dan jangan begadang! Kamu itu suka sekali begadang, dan tidak tahu waktu. Nanti kamu sakit!” ucap Darma menyuruh putrinya untuk segera tidur.
Shanum mengangguk, lalu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menciumi pipi ayah dan ibunya bergantian. Setelah itu Shanum berjalan menjauhi ruang makan. Jantung Shanum mau copot ketika mendengar ucapan ayahnya yang sangat menyakitkan untuk dirinya.
“Dia putri kebangaan kita. Kamu lihat tetangga di sini, selalu iri karena kita memiliki putri yang sangat pintar dan bisa dibanggakan!”
Shanum menangis dalam diam dan menaiki tangga sambil meremasi dadanya. Shanummerasakan sakit yang amat dalam. Dan mau mati saja rasanya, karena mendengar perkataan dari ayahnya yang menaruh harapan sangat besar terhadap dirinya. Shanum tidak bisa dibanggakan lagi. Dirinya sudah rusak. Karena dibutakan oleh cinta laki-laki yang ternyata hanya ingin merengut harta berharganya dan tidak benar-benar mencintai dirinya.
“Maafkan Shanum. Shanum bukan anak kebangaan Mama dan Papa lagi. Dan sebentar lagi Mama dan Papa akan menangung malu karena perbuatan Shanum. Shanum tidak seharusnya terbujuk oleh rayuan Raka untuk melakukan itu,” ucap Shanum menutup pintu kamarnya, dan meluruhkan tubuhnya ke lantai dan menyandar di pintu kamar.
Shanum menutup mulutnya dan terus menangis. Sudah tak terhitung ribuan air mata yang menetes di matanya. Shanum tidak peduli air matanya habis karena terus menangis. Shanum hanya bisa menangis. Dirinya mau berteriak, namun, tidak bisa. Nanti orang tuanya mendengar, dan tahu apa yang terjadi pada dirinya. Walau lamban laun orang tuanya akan tahu apa yang terjadi padanya. Untuk saat ini biarkan seperti ini.
“Maafkan Shanum. Maafkan Shanum yang sudah bertindak bodoh. Tak seharusnya Shanum melakukan dosa ini. Dosa yang akan membuat kalian membenci Shanum dan membuat kalian malu!” Shanum menghapus air matanya, dan meringkuk di lantai sambil memeluk perutnya, yang mana di dalam sana ada anaknya.
“Shanum bodoh! Shanum sudah rusak!” ucap Shanum memukul lantai, dan tidak peduli dengan dinginnya lantai. Yang dia pedulikan hanya kesakitan dalam hatinya dan tindakan bodohnya yang merugikan dirinya.
Benar kata orang-orang. Laki-laki setelah berbuat bisa kabur dan mengelak. Sedangkan perempuan tidak. Karena rahim itu terletak pada perempuan bukan pada laki-laki. Dan perempuan yang menangung malu dan aibnya.