Rowena sangat badmood. Ia benci saat mengetahui masa periodenya datang hari ini. Berdasarkan perhitungan, seharusnya besok lusa ia baru datang bulan. Ternyata siklus bulanannya maju dua hari. Apa lagi hal itu dilihat secara langsung oleh Jordan.
Jangan tanyakan mau setebal apapun mukanya di depan pria itu, Rowena tetap saja merasa malu. Seperti saat ini, dia tengah meringkuk di atas kasur. Tidak tahu harus berbuat apa untuk beberapa saat. Rasa nyeri pada perutnya mulai terasa dan dia bahkan belum mengenakan pembalut. Sedangkan Jordan telah pergi sejak mengetahui ada bercak darah pada celana dalamnya.
"Argh ..." Rowena berguling-guling di atas kasur, teringat dengan jelas ekspresi terkejut di wajah pria itu saat keinginannya harus kandas gara-gara kedatangan bibi Flo.
Rowena ingin mengambil ponselnya, namun dia ingat kalau ponsel miliknya berada di dalam tasnya. Sedangkan tas miliknya masih ada di ruang tamu, dia datang ke kamar ini dengan digendong oleh Jordan.
Rowena merasa tidak nyaman, tentu saja dia tidak peduli jika darahnya akan meninggalkan bercak di sprei kamar Jordan. Perutnya sakit dan dia tidak ingin beranjak dari kasur. Tapi dia tidak bisa meminta pertolongan pada siapapun untuk saat ini jika tidak keluar dari kamar ini. Semuanya terasa dilema bagi Rowena.
"Kenapa aku begitu ceroboh?"
Setelah setengah jam lamanya Rowena berada dalam perdebatan pikiran dengan dirinya sendiri. Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Rowena melirik ke arah pintu, berpikir siapa yang telah mengetuk pintu kamar ini. Jika itu Jordan, pria itu seharusnya bisa langsung masuk ke dalamnya tanpa harus mengetuk pintu.
"Siapa?"
"Apa saya boleh masuk ke dalam Nyonya Muda?" Suara wanita paruh baya yang diingat Rowena sebagai bibi penjaga mansion terdengar dari balik pintu.
"Masuk saja Bi, tidak dikunci!" Rowena berteriak, dia senang akhirnya ada seseorang yang bisa dia mintai tolong untuk membelikan pembalut dan baju ganti.
"Nyonya Muda, Tuan meminta saya memberikan ini untuk Anda. Saya juga membuatkan air gula merah hangat untuk meredakan nyeri datang bulan." Bibi Aning meletakkan air gula merah di atas nakas, lalu menyerahkan tas berisi pembalut dan pakaian ganti untuknya.
"Terimakasih, Bibi adalah penyelamatku!" Rowena memegang kedua tangan keriput milik bibi Aning, sebelum dia beranjak menuju kamar mandi untuk segera berganti baju.
Bibi Aning yang melihat tingkah nyonya mudanya hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia semakin kesini, semakin menyukainya. Nona mudanya tidak tampak seperti wanita muda yang akan bertindak arogan dan pilih-pilih. Bahkan Rowena tidak segan untuk memegang kedua tangannya dan tidak memperlakukannya selayaknya pesuruh.
"Tuan telah memilih istri yang tepat."
Tak beberapa lama bibi Aning keluar dari kamar Jordan setelah selesai mengganti sprei dan merapikan kamar. Ia berencana membuatkan makanan untuk nonanya.
Setelah keluar dari kamar mandi, Rowena kembali merebahkan dirinya di atas kasur. Perutnya masih terasa nyeri, dia meminum air gula merah di atas nakas. Meski masih merasa agak nyeri, namun lebih baik dari pada sebelumnya. Rowena merebahkan tubuhnya, hingga suara deru napas teratur terdengar.
Jordan saat ini tengah berada di kantornya. Dia terus membenamkan dirinya dalam tumpukan dokumen yang menggunung di atas meja kerjanya. Dia tidak memiliki cara lain untuk bisa menekan rasa tidak nyaman dalam dirinya. Alhasil Jordan lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya dan mungkin dia akan lembur malam ini dari pada harus pulang ke rumah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pasti akan ada rasa canggung di antara keduanya. Kejadian tadi siang, dia lebih memilih untuk pergi begitu saja. Menekan hasratnya yang sudah di ujung tanduk dan tidak tahu harus bertindak bagaimana. Dia hanya meminta bibi untuk membelikan pembalut untuk Rowena dan membuatkan air gula merah. Untuk pakaian gadis itu, dia sendiri yang memilihnya sesuai dengan ukuran tubuh Rowena.
Suara ketukan pada pintu ruang kerjanya membuat Jordan mengernyitkan keningnya tidak senang karena merasa terganggu.
"Masuk!"
"Tuan, maafkan saya. Saya sudah berusaha untuk menahan Nona Freya untuk tidak masuk, namun dia memaksa untuk tetap masuk."
Suara langkah kaki high heels menggema memasuki ruang kerja Jordan. Tampak seorang wanita dengan dress di atas lutut berwarna peach berpotongan leher V masuk ke ruang Jordan dengan senyum manis di bibirnya. Wanita itu sama sekali tidak peduli pada sosok sekretaris Jordan yang sedari tadi berusaha untuk menahannya untuk tidak masuk ke dalam ruang kerja pria itu.
"Kak Jordan, aku baru saja pulang dari luar negeri. Aku sengaja langsung datang ke sini karena merindukanmu. Aku juga membawakanmu oleh-oleh yang aku yakin kamu pasti akan menyukainya." Freya datang ke sisi Jordan, memegang pundak Jordan dengan sentuhan lembut.
Kedua matanya yang tampak jernih menatap pria di depannya dengan tatapan penuh kagum dan cinta. Jelas sekali dia begitu menyukai pria yang masih saja sibuk membaca dokumen di atas mejanya. Tidak berniat untuk menggubris sosok Freya yang langsung menempel erat layaknya perangko pada sosok Jordan.
"Kak, kenapa kamu mengabaikanku? Apakah tumpukan dokumen itu jauh lebih penting dari pada aku?" Freya tampak merajuk, jelas dia tidak suka diabaikan oleh pria yang sudah sejak dulu dia kagumi.
Jordan hanya bisa menghela napas panjang, menutup dokumen di depannya. Lalu memberikan isyarat pada sekretaris yang masih berdiri di ambang pintu dengan takut-takut karena gagal mencegah Freya masuk ke ruangan bosnya.
"Aku sibuk, pulanglah." Jordan memijat antara kedua alisnya perlahan, jelas merasa pusing dan sedikit frustasi. Dia sedang tidak ingin diganggu hari ini, namun kedatangan Freya sepertinya akan membuatnya merasa jauh lebih kesal lagi.
Freya yang mendapati bahwa dia diusir oleh Jordan langsung memegangi lengan pria itu dengan sentuhan lembut. "Tidak, aku masih merindukan Kak Jordan. Biarkan aku tinggal di sini lebih lama lagi, aku berjanji tidak akan mengganggumu."
Jordan tahu dengan pasti bagaimana sifat keras kepala dari sepupunya ini. Wanita ini tidak akan pernah mau menuruti perintahnya dan akan tetap tinggal, kecuali dia menggunakan beberapa cara kekerasan untuk mengusirnya. Namun jika dia melakukannya, maka konsekuensinya akan jauh lebih rumit dan bahkan akan melibatkan dua keluarga mereka nantinya.
Jordan enggan untuk memperumit masalah ini, jadi dia membiarkan saja Freya duduk di sofa dalam ruang kerjanya. Sementara dia akan tetap melanjutkan pekerjaannya yang menumpuk. Mengabaikan keberadaan Freya yang terus saja mencoba mengalihkan perhatian Jordan dengan beberapa pertanyaan. Bahkan Jordan sama sekali tidak tergerak dengan suara lembut dan manis gadis itu.
Usia Freya sudah memasuki kepala tiga bulan depan. Tidak bisa dikatakan muda, namun gadis itu memilih untuk tidak menikah. Tentu saja alasannya adalah karena dia telah menyukai Jordan sejak dia berusia 19 tahun. Sudah bertahun-tahun, namun perasaannya sampai saat ini masih tidak terbalaskan. Jordan hanya menganggap Freya sebagai adik sepupu jauhnya. Tidak lebih, namun gadis itu malah menyalah artikan hal itu dan terus mengganggunya hingga membuat Jordan merasa muak.
"Kak, aku membuatkan teh untukmu. Aku sengaja membeli teh terbaik yang berhasil kudapatkan dengan susah payah. Kudengar teh ini memiliki khasiat bisa meredakan stress, sangat cocok untuk Kak Jordan saat sedang sibuk menangani tumpukan dokumen ini."
"Taruh saja di atas meja. Terimakasih." Jordan masih tetap fokus pada dokumen di depannya, tidak repot-repot menatap sosok Freya yang terus saja menatapnya dengan lekat.
"Aku juga belajar keterampilan memijat, apa Kak Jordan ingin mencobanya? Aku ingin sedikit bisa meringankan beban di pundakmu." Freya segera berdiri di belakang Jordan, menyentuh kedua pundak pria itu dan hendak memijatnya dengan tangannya yang halus dan lembut.
"Tidak perlu, pulanglah aku ingin sendiri!" Nada bicara Jordan saat ini terdengar lebih dingin dari pada sebelumnya. Jelas saja dia merasa sangat terganggu dengan kedatangan Freya ke ruangannya.
"Tapi Kak, aku hanya-"
Perkataan Freya terhenti saat ponsel milik Jordan yang ada di atas meja bergetar. Pria itu melihat nama yang tertera di layar ponsel miliknya. Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik ke atas walau hanya sedikit. Namun hal itu tidak lepas dari pandangan Freya yang telah memperhatikan Jordan dengan seksama sejak tadi.
"Rowena"
"Siapa wanita itu? Kenapa Jordan sampai tersenyum hanya dengan melihat nama seseorang yang tengah menelponnya saat ini?" Pikiran Freya mulai gelisah, dia tidak pernah melihat Jordan dekat dengan wanita manapun selama ini.
Dia hanya pergi ke luar negeri selama kurang dari satu tahun, namun siapa sangka bahwa akan ada wanita lain yang dekat dengan pria itu. Memikirkannya saja sudah membuat perasaan Freya terbakar rasa cemburu. Kedua tangannya terkepal erat. Dia bertekad untuk mencari tahu siapa wanita yang dekat dengan pria itu. Rowena, dia akan memastikannya untuk menjauh dari Jordan secepat mungkin.
"Jordan hanya akan menjadi milikku!" Batin Freya penuh tekad.
"Ada apa?"
"Kapan kamu akan pulang?"
Jordan melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 7 malam. Dia baru menyadarinya karena terlalu fokus pada pekerjaan. "Entahlah." Dia menjawab sekenanya.
"Kak Jordan, bagaimana kalau kita makan malam sekarang? Tubuhmu masih memerlukan asupan makanan, jangan terlalu sibuk sampai lupa makan. Aku tidak ingin kamu sampai sakit, kebetulan orang tuaku ingin bertemu denganmu. Sudah lama kamu tidak datang ke rumah, ayahku ingin berbicara denganmu."
"Suara siapa itu?"