"Kamu akan, Tuan Jordan. Bagaimana aku harus memanggilmu? Ayah?"
Pada akhirnya tatapan Jordan menajam. Dia tidak suka dipanggil dengan sebutan "Ayah" oleh gadis di bawahnya ini. Seolah dengan tegas menggambarkan perbedaan usia di antara keduanya yang cukup melukai egonya.
"Siapa yang kamu panggil Ayah?"
Rowena tersenyum, "lalu aku harus memanggilmu apa? Suami?"
"Itu terdengar lebih baik."
Jordan pada akhirnya sedikit mengernyitkan keningnya, dengan suka rela masuk ke dalam perangkap yang dibuat Rowena.
"Kalau begitu tidurlah dengan patuh, besok kita akan pergi ke Kantor Urusan Agama untuk mendaftarkan pernikahan."
Jordan hendak bangun dari posisinya yang masih berada di atas Rowena. Namun dengan cepat Rowena mengunci posisinya, membuat Jordan sedikit melebarkan kedua matanya kaget. Rasa lembab dan hangat pada bibirnya dapat dia rasakan dengan jelas. Lembut, hangat, dan manis.
Ini tentu saja bukan ciuman pertamanya. Akan tetapi Jordan akhirnya memegang kedua sisi wajah gadis cantik di bawahnya dan terus menekan bibirnya untuk menyesap rasa lembut dan manis bibir Rowena. Jordan mengerang tertahan saat merasakan rasa amis karena bibir bawahnya digigit oleh Rowena.
"Apa yang kamu lakukan?" Jordan mengernyit kesal karena kesenangannya dihentikan oleh tindakan Rowena yang tidak dia duga. Bisa-bisanya gadis itu menggigit bibirnya.
"Jangan terlalu candu untuk menciumiku sekarang, tunggu sampai kita mendapatkan sertifikat pernikahan besok. Atau, kamu sudah tidak sabar ingin kita melakukannya sekarang? Kalau begitu, biarkan aku yang memimpinnya."
Rowena dengan sigap membalikkan keadaan. Kini gadis itu telah berganti posisi ada di atas tubuh Jordan. Otot perutnya yang keras membuat Rowena bisa membayangkan betapa menyenangkannya jika dia bisa menyentuhnya setiap saat nanti setelah mereka menikah.
Jangan salahkan jiwa primitifnya saat ini, dia selama ini selalu berusaha menahan diri karena berpacaran dengan pria di bawah usianya. Dulu dia tidak ingin membuat kekasihnya merasa tertekan jika dia menunjukkan sisi liarnya. Namun kini, mengapa dia masih harus menahan diri lagi saat berhadapan dengan seorang pria dewasa yang matang seperti Jordan? Seharusnya dia sudah menjadi veteran dalam hal ini bukan? Jadi, tidak perlu malu-malu lagi.
Rowena tanpa malu-malu langsung membuka kancing kemeja milik Jordan hingga terlepas semuanya. Matanya tampak bersemangat ketika melihat deretan perut kotak milik Jordan. Rowena tanpa sadar mulai menghitungnya.
"Delapan? Kukira enam sudah cukup menarik, tapi delapan justru jauh lebih baik lagi. Aku menyukainya, aku akan memperkosamu setiap hari setelah kita menikah."
Mendengar perkataan Rowena yang terlalu blak-blakan, telinga Jordan tiba-tiba saja memerah. Dia tidak menyangka akan diperlakukan seperti ini oleh seseorang yang dia anggap sebagai gadis kecil di matanya. Dia dilecehkan secara verbal dan langsung, tapi anehnya dia menyukai perasaan ini. Apa lagi melihat betapa bersemangatnya Rowena saat melihat bentuk tubuhnya yang telah dia jaga. Ada rasa bangga dalam diri pria itu yang seakan mengembalikan kepercayaan dirinya secara utuh.
"Aku justru tidak yakin apakah kamu sanggup melakukannya. Jangan menangis ketika saatnya nanti."
Perkataan Rowena seperti membangkitkan jiwa primitif Jordan yang selama ini telah dia tekan dalam-dalam. Sebagai pria matang tanpa istri, tentu saja perkataan Rowena seperti umpan yang menunggu untuk dimangsa.
Rowena tersentak ketika dia baru saja berhasil membuka sabuk pinggang yang dikenakan Jordan. Tubuhnya kembali dibalik hingga dia yang kini ditekan oleh Jordan. Jordan melepaskan sabuk miliknya, memegang kedua tangan Rowena dan dia tekan ke atas tubuhnya. Rowena tidak bisa melakukan apapun dalam posisi ini. Namun matanya penuh antisipasi.
Jordan langsung mengikat kedua tangan Rowena dengan sabuk pinggangnya. Setelah itu dia beranjak pergi meninggalkan Rowena di atas kasur. Membuat Rowena tertegun selama beberapa saat. Terus menatap punggung tegap milik Jordan yang perlahan menghilang dari pandangannya.
Rowena tampak linglung di atas kasur. Dia ditinggalkan begitu saja dalam kondisi kedua tangan terikat ke atas.
"Apa aku harus tidur dengan posisi memalukan seperti ini?"
Ekspresi percaya diri pada diri Rowena memudar secara bertahap. Ekspresinya menggelap. Apakah aku sudah tidak menarik lagi? Atau apakah aku tidak seksi hingga ditinggalkan dalam posisi menggoda seperti ini?
Ada banyak sekali pertanyaan dalam benak Rowena, namun semakin memikirkannya. Membuat Rowena merasa semakin frustasi. Tak lama kemudian suara deru napas teratur terdengar. Rowena tertidur saat berusaha berpikir keras. Mungkin karena efek frustasi dan juga alkohol yang membuatnya merasa mengantuk.
Seperti saat ini, Rowena tengah mengerutkan keningnya heran. Ketika terbangun, dia telah dilayani oleh banyak sekali pelayan yang mendandaninya dengan cantik untuk tiba di tempat ini.
Tulisan "Kantor Urusan Agama" tercetak dengan jelas di depan matanya. Dia menatap pria di sisinya dengan dahi berkerut. Bukan, tentu saja dia tidak menyesal sama sekali. Hanya saja, masih sulit untuk bisa dipercaya bahwa dia kini telah berganti status dari kekasih orang, lajang, dan sekarang sudah menikah.
Hidupnya seolah telah berputar layaknya rollercoaster hanya dalam waktu satu malam. Sesampainya di dalam mobil, Rowena memandang Jordan berulang kali. Namun dia tidak mengatakan apapun.
"Apa kamu merasa menyesal sekarang?" Jordan yang melihat ekspresi linglung di wajah Rowena bertanya secara langsung. "Kemana sifat agresifmu semalam?"
Jelas sekali bahwa pertanyaan Jordan merupakan sebuah sindiran. Rowena masih bisa mengingat dengan jelas apa yang telah terjadi semalam. Bagaimana ia menjadi begitu berani dan agresif. Dalam kondisi normal, mungkin dia tidak akan berani seagresif itu. Namun saat melihat sosok di sampingnya kini, Rowena merasa tidak ada salahnya untuk mencoba melakukannya sekali lagi.
"Kalau aku menyesal, bisakah kamu melepaskanku?" Rowena menatap Jordan dengan senyum tertahan di sudut bibirnya.
"Tidak akan semudah itu."
"Kalau begitu aku harus merepotkanmu untuk memegangi pahamu erat-erat sebagai ATM berjalanku."
"Tidak masalah." Jordan dengan mudah mengeluarkan kartu berwarna hitam pada Rowena.
Rowena yang melihat kartu tersebut langsung memicingkan sebelah matanya. Tanpa ragu mengambilnya dan lekas memberikan ciuman penuh mesra di sebelah pipi kiri Jordan.
"Suamiku sangat pengertian. Aku tidak akan sungkan. Aku akan menikmati kehidupanku sebagai istri muda kaya raya yang berbahagia." Mata Rowena berbinar senang. Tidak dipungkiri black card yang diberikan padanya merupakan sebuah godaan. Dia sendiri yang bisa dikatakan sebagai wanita karir cukup sukses di usianya saja hanya memiliki gold card, itupun belum lama ini.
Jordan melihat ekspresi bahagia Rowena, tanpa sadar sudut bibirnya tertarik ke atas. Meskipun gadis di sampingnya tampak tidak segan untuk bersikap genit dan matre, namun dia tidak mempermasalahkannya sama sekali. Apa lagi dia sudah menyelidiki mengenai Rowena secara keseluruhan. Malah gadis itu telah memanjakan anaknya selama ini. Sekarang, giliran dia yang akan memanjakannya sampai istrinya puas.
Sesampainya di dalam mansion, Rowena keluar dari mobil dengan suasana hati yang cerah. Bibi penjaga mansion melihat sosok nyonya baru mereka dan langsung menunjukkan sikap ramah pada Rowena.
"Nyonya, selamat datang di mansion. Saya sudah menyiapkan makan siang untuk Nyonya dan Tuan, jika ada makanan yang disukai oleh Nyonya muda, Anda bisa mengatakannya pada bibi."
"Aku tidak begitu pilih-pilih makanan, selama itu tidak terlalu berlemak dan berminyak." Rowena tersenyum manis, membuat bibi penjaga mansion milik Jordan semakin menyukai sosok nyonya barunya.
"Bibi akan mengingatnya, nanti malam Nyonya bisa mengatakan ingin memakan apa. Bibi akan menyiapkannya."
"Terimakasih Bibi."
Rowena duduk di ruang tamu, disusul oleh Jordan. Pria itu lalu memberikan sebuah dokumen kontrak di depan Rowena. Membuat Rowena mengernyitkan keningnya heran.
"Apa ini? Jangan bilang ini adalah surat kontrak pernikahan?" Hanya dengan memikirkannya saja, Rowena merasa menyesal. Dia memang mengambil keputusan secara terburu-buru, namun bukan berarti dia ingin menjalani pernikahan di atas kontrak seperti ini. Pernikahan kontrak yang selama ini hanya dia nikmati dalam n****+ apakah akan terjadi secara langsung padanya?
Meski enggan, Rowena tetap membacanya. Lagu pula terlalu tidak nyata jika dia menikah secara mendadak dan terlalu berharap bahwa pria itu akan langsung mencintainya. Dia masih memiliki banyak waktu, akan ada saatnya bagi Rowena untuk bisa menaklukkan Jordan secara utuh.
Setelah membaca dokumen di atas meja, ekspresi Rowena yang sebelumnya tampak skeptis perlahan berubah. Beberapa kali dia membaca isi dokumen di tangannya dan menatap sosok pria gagah yang telah menjadi suaminya beberapa kali dengan tidak percaya.
"Tunggu, ini apa maksudnya?" Rowena membolak-balik dokumen di tangannya, namun hasilnya tetap sama.
"Anggap saja mahar pernikahan. Setelah kita nenggelar pernikahan secara resmi, aku akan memberikan lagi nanti."
Untuk sesaat, Rowena merasa bahwa dia seperti telah mengalami keram otak. Dia hanya menikah secara acak dalam misi balas dendam karena diselingkuhi. Lalu dia tiba-tiba mendapat sejumlah aset yang memiliki dividen tahunan bernilai milyaran. Apakah Jordan memang tipikal pria yang seroyal itu? Lalu mengapa pria itu tidak menikah dengan sosoknya yang tampan dan royal selama ini? Rowena sangat yakin pasti ada banyak wanita yang rela melemparkan tubuhnya secara suka rela pada sosok panas Jordan tanpa perlu banyak usaha.
"Apakah masih kurang?"
"Ini, tentu sudah cukup. Aku tidak menyangka kalau suamiku adalah pria yang sangat royal dan tampan, aku semakin mencintaimu."
Rowena yang bisa menguasai dirinya setelah rasa terkejutnya langsung berjalan mendekat ke arah Jordan. Tanpa segan duduk di pangkuan pria itu.
'Sial, bibirnya sangat seksi. Aku tidak tahan, tolong jangan tahan aku. Biarkan aku mencicipinya!' Pikiran Rowena sudah melayang kemana-mana. Tatapan matanya terlalu fokus menatap bibir Jordan yang tipis dan memikat, ingin rasanya menyesap dan merasakannya.
"Ekhem!"
Suara batuk yang tidak terduga membuat Rowena merasa kesal. Dia hanya perlu mengerahkan bibirnya satu inchi lagi untuk bisa menggapai bibir Jordan, namun suara batuk dari seseorang membuat Rowena merasa kesal karena momennya terganggu dengan sia-sia.
"Ayah!"
'Ayah?' Rowena menolehkan kepalanya. Melihat sosok yang tampak familiar. Senyum manis tersungging di bibirnya.
Waktu pembalasan dendam, datang terlalu cepat.