"Sienna, ini lho …." Utari mendorong pintu kamar anaknya tanpa mengetahui jika Sienna masih berada di baliknya.
Sehingga tanpa sengaja menyebabkan perempuan itu terdorong hingga dia menabrak Sebastian yang juga masih berada di tempatnya berdiri.
"Ughh!" Keduanya jatuh dan Sienna berada tepat diatas Sebastian yang hanya mengenakan handuknya.
"Ups!" Utari menutup mulutnya dengan tangan lalu mundur dua langkah ke belakang. "Maafkan Ibu, Nak. Ibu hanya bermaksud memberikan ini. Tadi terjatuh di dekat pintu." Lalu dia menyodorkan tangannya yang menggenggam sehelai pakaian dalam berenda berwarna merah milik Sienna.
"Umm …." Dan kedua orang itu segera bangkit.
"I-iya, Bu." Sienna segera meraih celana dalam miliknya dan dengan wajah yang memerah dia memunguti pakaian yang jatuh berhamburan di lantai.
"Baiklah, Ibu akan membiarkan kalian bermesraan kalau begitu." Utari dengan langkah riang kembali ke bawah.
Keadaan jadi terasa sedikit canggung saat ini. Karena ketika Sienna bermaksud untuk masuk ke ruang ganti milik Sebastian, di saat yang bersamaan pula pria itu berjalan ke arah sana.
"Aku mau menyimpan pakaian ini di lemari," ucap Sienna.
"Aku mau berganti pakaian." Sebastian tidak mau kalah.
"Ya sudah, kau saja dulu!" Lalu keduanya bersamaan.
"Ck!" Sebastian berdecak kesal. "Kau dulu lah, sana simpan pakaianmu. Setelah ini mau apa?" katanya.
"Ya mandi." Dan Sienna bergegas melakukan apa yang suaminya katakan.
***
"Kau pikir kita perlu segera melakukannya?" Mereka hampir saja pergi tidur setelah selesai makan malam bersama dan bercengkrama sebentar dengan orang tua.
"Apa maksudmu?" Dan Sienna hampir saja memejamkan matanya ketika pria di sampingnya malah berbicara.
Sudah dua malam ini mereka mencoba tidur satu ranjang meski ada dua buah bantal yang menghalangi sekedar untuk memberi jarak dan batas yang tak boleh dilewati.
Setidaknya itulah yang dilakukan oleh Sebastian agar dia merasa tenang tidur satu ranjang dengan perempuan dan mengantisipasi sentuhan yang tak diinginkannya.
"Kau tahu lah … hubungan suami istri?" Ragu-ragu pria itu mengatakannya, yang tentu saja membuat Sienna tertawa.
"Kenapa kau tertawa? Memangnya ada yang lucu ya?"
"Kau tahu? Rasanya aneh sekali kita membahas ini, seolah itu perlu." Sienna memiringkan tubuhnya sehingga kini merek berhadapan meski masih terhalang bantal.
"Memangnya tidak perlu ya?" Sebastian menatap wajahnya dalam keremangan kamar.
"Entahlah, aku kan belum pernah melakukannya, dan belum pernah berumah tangga juga. Jadi ya tidak tahu."
Sebastian terdiam.
"Tapi kalau mau punya anak seperti yang orang tuamu inginkan ya kemungkinan harus." Perempuan itu bergeser sedikit.
"Bagaimana? Kau mau melakukannya sekarang, Sebastian?" katanya, dan dia bermaksud menggoda pria itu.
"Eee … apa? Kau bercanda ya? Ahaha … aku hanya bertanya kan? Tidak bermaksud serius. Yang benar saja …." Dia mulai panik.
Baru membayangkannya saja sudah membuatnya merasa ngeri. Bagaimana dia harus bersentuhan dengan orang lain apalagi lawan jenis? Jangan-jangan nanti dirinya pingsan lagi?
"Ah, memang rumit. Mengapa juga dulu aku mau ibu jodohkan ya? Padahal hidup sendiri lebih menyenangkan. Dari pada harus bercapek-capek mengalami interaksi melelahkan seperti ini?" Pria itu membatin.
"Kenapa panik begitu? Aku kan cuma tanya? Siapa tahu kau mau melakukannya?" Lalu Sienna kembali bergeser ke tempatnya semula.
"Memangnya kau mau melakukannya denganku?" Dengan konyolnya Sebastian bertanya.
"Kenapa tidak?" Jawaban perempuan itu membuatnya terhenyak seketika.
"Kau kan suamiku? Selain memang kewajiban, juga kalau bisa menghasilkan keturunan untukmu, bukankah itu akan membuat ibu bahagia?"
"Begitu?" Sebastian tampak memicingkan mata.
"Ya." Sienna mengangguk sekilas. "Jadi, ayo?" katanya lagi, dan dia kembali bergeser mendekati bantal yang memisahkan mereka.
"Eee … tidak! Tidak sekarang!" Namun pria itu kembali menolak.
"Eh … ya sudah." Lalu Sienna menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya.
"Jangan menyesal ya? Karena aku tidak akan menghiraukanmu setelah ini!" Perempuan itu memperingatkan sebelum akhirnya dia membalikkan tubuh ke arah lain. Dan tangannya menutup mulut untuk menahan tawa agar tak terdengar oleh pria di dekatnya.
Kenapa juga aku harus menggodanya? Konyol sekali.
***
"Aku sangat menyesal, mengapa Ibu dan Ayah harus pulang secepat ini?" Mereka mengantar kepergian Utari dan Danar yang pagi itu berniat untuk pulang.
"Rumah sudah terlalu lama ditinggalkan." Mobil sudah siap dan tas berisi pakaian pun telah dimasukkan ke dalam mobil.
"Baru tiga hari?"
"Tetap saja. Kalau pergi terlalu lama dari rumah akan membuatmu merasa sangat rindu." Mertuanya itu berujar.
"Berjanjilah untuk tetap baik-baik saja ya? Dan hubungi kami sesekali." Utari kemudian memeluk anak dan menantunya bergantian.
"Ibu dan Ayah juga harus sering-sering berkunjung karena aku akan menunggu."
"Akan kami usahakan. Tapi alangkah baiknya jika kalian lah yang mengunjungi orang tua ini, bukan malah sebaliknya." Perempuan itu menjawab.
"Baik, Bu. Kalau kami ada waktu senggang."
"Hmm … jangan terlalu mementingkan pekerjaan. Ingat, kalian punya keluarga yang harus dibangun. Jadi sebaiknya menyisihkan waktu sedikit untuk menghabiskannyq bersama, buian hanya bekerja."
Sienna menganggukkan kepala.
"Kau dengar itu, Sebastian?" Lalu sang ibu beralih kepada putranya.
"Dengar, Bu. Dan sebaiknya kalian cepat berangkat karena sebentar lagi lalu lintas akan macet. Belum lagi kami harus pergi bekerja."
Utari berlagak terkejut mendengar ucapan Sebastian. "Kau dengar itu, Sayang? Suamimu mengusir kami?" katanya, yang membuat sang putra memutar bola matanya.
Namun Sienna malah tertawa melihat interaksi ibu dan anak itu yang terkadang seperti musuh jika mereka bertemu.
"Sudah, Bu. Cepat pulang sana, dan jangan banyak drama. Nantia Sienna tertular!"
"Sebastian!!"
"Diamlah!" Sementara Sienna menepuk lengan suaminya untuk membuat dia berhenti bicara.
"Sampai jumpa, Bu?" Pria itu melambaikan tangan pada kedua orang tuanya yang sudah masuk ke dalam mobil mereka.
"Sampai bertemu lagi lain kali, oke?" Dia sedikit berteriak ketika mobil kendaraan roda empat itu melaju.
"Ya, dan semoga tidak secepatnya." Lalu sebastian bergumam pelan meski Sienna masih dapat mendengarnya.
"Apa?" Pria itu melirik yang sejak tadi menatapnya.
"Aku perhatikan, sejak orang tuamu datang sepertinya kau merasa tidak senang?" Mereka melangkah masuk ke dalam rumah.
"Masa? Memangnya kelihatan ya?"
Perempuan itu menganggukkan kepala.
"Menurutku, ya."
"Ah, mungkin hanya perasaanmu saja?"
"Tidak, kau seperti …."
"Hey, berapa lama kau mengenalku?" Sebastian meraih tas dan kunci mobilnya di meja penyimpanan seperti biasa.
"Beberapa bulan. Kenapa?" Sienna pun mengenakan cardigannya. Mengambil tas lalu memeriksa beberapa hal di dalam dan memastikan tak ada yang tertinggal.
"Apa kau pernah melihatku berinteraksi dengan orang lain? Atau setidaknya berbicara selain dengan pasien?" Lalu mereka kembali keluar rumah menuju mobil di tempat parkir.
"Rasa-rasanya jarang sekali." Sienna mengingat-ingat dalam kurun waktu sejak mereka menikah dan bekerja diruangan yang sama.
Pria itu memang hampir tidak pernah berinteraksi dengan siapa pun selain pasiennya di ruang perawatan gigi. Bahkan bertegur sapa dengan sesama dokter atau perawatan sepertinya tidak pernah?
"Lalu mengapa kau bertanya soal hal konyol seperti itu?" Sebastian menghidupkan mesin mobilnya yang kemudian melaju keluar dari area rumah.
"Hal konyol?"
"Ya. Sejak awal kau sudah tahu jika aku merasa tidak nyaman berada di sekitar orang banyak, maka sama halnya jika orang tuaku pun ada di sini."
"Mereka itu orang tuamu kan?"
"Tetap saja. Sejak pindah ke rumah kita aku merasa bahwa kami ini sudah menjadi orang asing, jadi …."
"Rumah … kita?"
Pria itu mengangguk. "Rumahku dan rumahmu?"
"Tempat tinggal kita?" Sienna tersenyum ketika ada perasaan senang meledak dalam d**a.
"Ya, rumah kita."