05 - Sah!

1126 Words
Baru saja Alea mulai memegang sendoknya, terdengar ketukan pintu dari kamar Bian. Bian pun bergegas membukakan pintu sebelum ia sempat membalas ocehan Alea. Alea menatap punggung Bian yang perlahan tampak menjauh. Tak lama, pria itu kembali membawa dua buah paper bag yang salah satunya langsung diserahkan pada Alea. "Itu pakaian kamu yang baru selesai di loundry," ucap Bian, sebelum akhirnya kembali melanjutkan kegiatan sarapan paginya. "Ah, iya terima kasih," ungkap Alea. Setelah itu, senyap. Tak ada pembicaraan lagi di antara mereka selama beberapa menit. Keduanya asyik menikmati hidangan yang tersaji, hingga Bian mengakhiri kegiatannya terlebih dahulu. "Semalam aku sudah lancang membuka pakaian kamu. Jadi, maaf," ucap Bian yang membuat Alea nyaris tersedak. Ia bukan terkejut mendengar fakta itu. Hanya saja, ia tidak menyangka Bian akan kembali membahas hal yang cukup tabu itu di saat seperti ini. Alea menghela napas panjang. Ia jadi kembali teringat dengan rencana sedikit gila yang sejak tadi menghantui pikirannya. "Nggak ada yang tahu apakah kamu cuma gantiin aja atau berbuat lebih. Apa lagi dalam keadaan aku yang udah nggak sadar," kata Alea. "Kamu masih menuduh aku melakukan hal tidak senonoh padamu setelah apa saja yang aku lakukan padamu pagi ini?" protes Bian. "Sudah aku duga. Ini pasti cuma sogokan, kan? Kamu berpura-pura baik agar aku mau melepaskanmu," tuduh Alea. Bian sampai tidak bisa berkata-kata. Seumur-umur, belum pernah ada orang yang menuduhnya macam-macam seperti ini. Imejnya sejak dulu sangat bagus. Dan tiba-tiba, setelah empat puluh tahun di hidup, akhirnya ia menemukan kesialan sebesar ini setelah menolong gadis muda tidak tahu diuntung. "Kamu pikir pernikahan itu sesederhana itu? Lagi pula kamu masih muda. Masa depan kamu masih panjang. Jangan bercanda soal pernikahan!" tegas Bian. "Loh ... siapa yang bilang bercanda? Aku serius kok. Pokoknya, aku mau kamu nikahin aku. Atau kalau tidak, aku akan viralin ini, biar nama baik kamu hancur," ancam Alea. Bian memijat pangkal hidungnya yang terasa pening seketika. "Keputusanku sudah bulat. Aku tidak akan nikahin kamu." "Terserah. Aku akan langsung lapor polisi setelah dari sini. Biar bagaimana pun, kamu udah bawa cewek dalam keadaan mabuk ke hotel, kamu buka-buka pakaian aku, dan itu namanya sudah pelecehan!" tuding Alea. "Oke, fine! Kamu menang!" Bian bangkit dari duduknya. Ia sudah tidak berselera. Dengan penuh emosi, ia pun segera pergi dari kamar. Alea membiarkan Bian pergi. Sebenarnya, ia tahu, Bian tidak macam-macam padanya. Kesuciannya masih terjaga. Alea bisa pastikan itu. 'Tapi sekarang aku benar-benar butuh kamu. Maafkan aku, Bian,' batin Alea. Ia punya alasan tersendiri kenapa dia ngotot ingin dinikahi oleh seorang Fabian Erlangga. *** Alea terduduk kaku di depan meja rias - menatap wajahnya yang baru saja dibersihkan. Senang rasanya, bisa melihat wajah alaminya lagi, setelah berjam-jam ia bak melihat sosok asing karena tertutup make up. Perutnya berbunyi. Sejak tadi, ia memang belum makan. Terakhir kali ia makan adalah kemarin siang, lebih dari dua puluh empat jam yang lalu. Alea menggigit bibir bawahnya saat mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Ia bisa melihat pantulan sesosok pria berpakaian santai keluar dari pintu kamar mandi. "Kamu sudah selesai?" tanya Alea berbasa-basi. Ia hanya ingin membuka percakapan, hingga ia bisa mendapat kesempatan untuk meminta makanan. Pagi tadi, Alea dan Bian baru saja melangsungkan pernikahan yang diselenggarakan secara sederhana - hanya dihadiri oleh keluarga dekat mereka. Yup. Alea menang. Pada akhirnya, Bian terpaksa harus menikahi gadis yang bahkan belum menyelesaikan kuliahnya itu. Pria itu - Bian - menatap Alea melalui pantulan cermin, lalu pergi begitu saja seolah ia tak menganggap keberadaan Alea. "Bian," panggil Alea. Ia masih berusaha untuk sabar. Ia lapar. Benar-benar lapar. "Kalau mau mandi, tinggal mandi! Nggak usah ribet," ujar Bian dingin. Alea berdecak kesal. Ia tahu Bian adalah pria yang dingin. Apalagi setelah Alea berhasil memaksanya untuk menikah. Namun, mau sampai kapan Bian seperti ini? "Kamu ada makanan? Aku lapar," keluh Alea. "Cari di kulkas!" Alea sudah melakukannya tadi. Hanya saja, di sana tidak ada makanan siap santap lain selain roti tawar yang bahkan selainya pun sudah habis. "Maksudnya kayak telur yang tinggal goreng, mie instan, nugget atau apa gitu. Kalau ada yang siap santap bagus lagi tuh," jelas Alea. Bian menatap Alea malas. "Masak bisa, kan? Aku ingat bahan makananku masih banyak di kulkas." "Nah, itu masalahnya." Alea tertawa garing. "Aku nggak terlalu pinter masak. Lagi pula, aku udah keburu lapar. Beneran nggak ada emang?" "Nggak," jawab Bian malas. "Oh iya. Perlu kamu ingat. Sekarang kita sudah menikah, kamu nggak bisa ngancem-ngancem aku lagi. Dan soal urusanmu sendiri, termasuk makanan, kamu urus sendiri! Jangan ngerepotin aku!" Alea cukup terhenyak. Tak menyangka Bian akan tetap sedingin itu padanya, setelah mereka resmi menjadi pasangan suami istri. "Kamu mau ke mana?" Alea bertanya, pasalnya Bian tampak memakai jaket seperti akan pergi. "Urus urusanmu sendiri!" ucap Bian. "Tapi kan, Bi-" Blam Pintu kamar sudah lebih dulu tertutup rapat sebelum Alea sempat menyelesaikan kalimatnya. Alea tersenyum hambar. Ia pikir, nasibnya akan membaik setelah menikah. Namun ternyata sama saja. "Ah ... aku mikir apa, sih? Aku harusnya bersyukur, seenggaknya sekarang nggak harus mikir buat bayar kos lagi karena aku dapat tempat tinggal yang layak seperti ini," monolog Alea. Alea sadar. Hubungannya dengan Bian diawali dengan hal yang salah. Kemungkinan besar, Bian masih menyimpan dendam pada Alea. "Bodo amatlah! Toh ini jalan yang sudah aku pilih sendiri, kan? Tinggal jalani aja, Alea! Lambat laun pasti juga Bian bisa maafin aku dan belajar buat nerima keberadaanku. Aku cuma harus lebih sabar menunggu." Alea menghela napas panjang. Selanjutnya, ia pun mengambil laptopnya dan mulai mencari kesibukan agar tidak terlalu memikirkan masalah hidupnya. Menulis. Sejauh ini, hanya kegiatan itulah yang bisa membuatnya sejenak melupakan permasalahannya di dunia nyata. Menuangkan impiannya tentang hidup melalui karya fiksi yang dapat dinikmati banyak orang. Ia kesampingkan sejenak rasa laparnya. Ia putuskan untuk membeli beberapa makanan siap saji di minimarket seberang gedung apartemen setelah ia berhasil menyelesaikan satu bab. Sementara itu di tempat lain ... "Waduh ... ngapain nih pengantin baru datang ke kelab? Ini kan malam pengantinmu, Bi!" seru seorang pria yang tak lain adalah pemilik cafe ini. "Pesankan aku whisky!" pinta Bian. Adrian - pemilik kelab sekaligus teman Bian itu mengernyirkan keningnya. "Oke, aku tahu kamu nggak cinta sama cewek itu. Tapi, serius kamu milih ngehabisin malam pengantin kamu sama aku dibanding dia?" Bian berdecak. Sahabatnya itu memang suka sekali mengatakan kalimat bermakna ganda. "Cepat pesan! Aku sedang tidak ingin berbasa-basi." "Tapi, Bi. Istri kamu tahu kamu ke sini? Maksudnya, dia kasih-" "Dia aku tinggal di apartemen. Lagian dia sudah dewasa, bisa ngurus diri sendiri. Aku bukan bapaknya!" sengak Bian. "Ya memang bukan bapaknya. Tapi kamu suaminya, bego!" balas Adrian, disusul tawa menggelegar pria itu. Adrian sudah lama menjadi teman Bian. Tepatnya, sejak mereka masih SMA, dan sekarang keduanya sudah memasuki usia kepala empat. Ia sudah tidak heran lagi dengan sisi gelap seorang Fabian Erlangga - termasuk sifat kelewat dinginnya sejak belasan tahun yang lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD