04 - Membuka Mata

1239 Words
Pria itu – Fabian Erlangga – membawa Alea ke hotel yang ia tempati sejak kemarin malam. Ia datang ke kota ini untuk mengisi seminar di salah satu universitas sekaligus memanfaatkan waktu liburnya untuk menikmati suasana baru. Namun tanpa ia duga, ia justru dipertemukan dengan gadis aneh yang kini terpaksa harus ia tampung untuk malam ini. Fabian meletakkan tubuh Alea secara perlahan ke atas tempat tidurnya. Ia memang tidak tahu lagi harus membawa ke mana gadis itu selain ke kamarnya. Sebab, saat di taksi ia membuka dompet gadis itu, domisili gadis itu terlalu jauh untuk ia datangi malam-malam begini. Belum lagi ponselnya yang ber-password sehingga ia tak bisa menghubungi kerabat gadis itu untuk minta tolong. “Baju kamu basah. Kamu masih bisa ganti baju sendiri, kan?” tanya Fabian pada Alea yang masih setengah tepar. “Hng? Nggak bisa. Bukain!” pinta Alea. Gadis itu kembali ngelantur yang membuat Fabian pening. “Kamu ini memang aslinya nakal, atau ini karena efek mabuk saja? Nih, pakai baju saya!” paksa Fabian sambil melempar baju yang baru saja ia ambil dari koper. Alea menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tolong, aku nggak bisa. Aku nggak bisa sendiri. Hiks, tolong aku!” Pupil mata Fabian melebar saat melihat gadis itu malah menangis. Fabian kelabakan. Ia tidak tahu harus melakukan apa untuk menenangkan Alea. Perasaan, ucapannya tadi tidak terlalu kejam. Namun kenapa gadis itu tiba-tiba saja malah menangis? “Aku tuh capek! Aku nggak bisa kalau apa-apa harus sendiri terus? Kamu kenapa, sih? Kalian semua kenapa? Kenapa nggak ada yang mau coba ngertiin aku?” "Coba katakan saja! Sebenarnya kesalahanku tuh di sebelah mana? Aku ada salah apa sama kalian? Hiks." Fabian menghela napas panjang menyadari jika gadis di atas tempat tidurnya itu sudah benar-benar mabuk. Belum sempat pria itu menegur Alea, gadis itu sudah lebih dulu menarik tubuhnya untuk bangkit sambil membungkam mulutnya. “Kamu mau apa?” delik Fabian. Mata Alea tampak semakin memerah. Gadis itu menunjukkan gelagat seolah ada sesuatu yang ingin keluar dari mulutnya – dia akan muntah. “s**t! Cepat ikut saya!” Fabian segera menarik tangan Alea ke toilet dan membantu gadis itu mengeluarkan isi perutnya. “Kamu sangat payah dalam urusan minum. Jadi sebaiknya kamu tidak mengulanginya lagi lain kali!” Fabian menyempatkan memberikan petuah setelah Alea tampak lebih baik. Ia juga membantu gadis itu untuk membasuh mulutnya. Entahlah. Namun di mata Fabian, gadis itu tampak begitu rapuh. Fabian belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Ia sendiri juga tidak mengerti kenapa ia harus peduli dengan gadis yang bahkan baru ia temui sekitar satu jam yang lalu itu. “Baju kamu kotor. Jadi sebaiknya kamu ganti pakai baju saya sebelum kamu tidur! Atau kamu mau saya pesankan taksi untuk-“ “Hiksss …” Ucapan Fabian terhenti saat mendengar isakan Alea kembali terdengar. Detik berikutnya, Fabian merasakan sesuatu yang lembab menyentuh tubuh bagian depannya yang masih terbungkus pakaian. Lagi, ia ingin mengumpat rasanya. Alea memeluk Fabian dengan gerakan tiba-tiba, dan menangis begitu saja di d**a bidang pria itu. Membuat bajunya yang terkena sedikit muntahannya menempel pada Fabian yang kini hanya bisa pasrah meratapi nasib sialnya yang datang bertubi-tubi malam ini. *** Alea mendudukkan dirinya di tepi ranjang tempat ia tidur semalam. Mulutnya terkunci rapat sambil tangannya sibuk mengecek ponselnya. Amat sangat jarang terjadi. Beberapa teman kosnya mengiriminya pesan sekaligus panggilan di waktu yang bersamaan semalam. Dan mereka semua menanyakan hal yang sama, yaitu keberadaan Alea, setelah Gita memberi tahukan pada teman-teman kosnya jika Alea hilang semalam. Ia telah ingat rincian hal yang terjadi semalam. Pikirannya masih begitu kacau. Belum lagi, perutnya yang bergejolak seolah ingin mengeluarkan sesuatu meski Alea yakin kini di dalam sana sudah benar-benar kosong setelah ia memuntahkan segalanya semalam. “Alea,” panggil sebuah suara yang membuat Alea refleks mengangkat kepalanya. “Ah … it- itu. Sekali lagi aku minta maaf. Dan kalau boleh tahu, pakaianku kapan diantar lagi, ya?” ucap Alea kikuk. Tatapannya kini tertuju pada pria bernama Bian yang semalam menolongnya. “Kamu buru-buru?” tanya Fabian atau kerap disapa Bian itu. “Buk- bukan begitu. Cuma aku … teman-temanku mencariku." Tatapan Alea kemudian jatuh ke pakaian yang sedang ia kenakan. "Dan rasanya tidak nyaman memakai pakaian orang lain terlalu lama." “Jangan bahas lagi! Aku memanggilmu cuma mau nawarin, kamu mau makan apa buat sarapan?” “Eh?” “Aku lagi mau pesan makan melalui room service. Jadi sekalian saja,” balas Bian. "Kamu nawarin aku makan? Kenapa?" kaget Alea. Seingatnya, ia tadi sudah mengatakan hal yang seharusnya membuat Bian marah. Lantas mengapa pria itu malah bersikap baik padanya? "Harus banget ada alasan khusus kenapa aku nawarin orang yang tidur di kamarku makanan? Hh ... rasanya nggak enak kalau ada orang yang memperhatikanku dengan tatapan memelas dan lesu seperti kelaparan, saat aku asyik menyantap hidanganku," balas Bian. Alea memincingkan matanya. "Kamu sedang mencoba menghinaku?" "Kamu merasa terhina karena hal itu?" Bian membalik pertanyaan. Alea kesal bukan main. Ia segera bangkit, hendak memukul kepala pria angkuh itu. Namun kemudian, ia teringat kembali jika pria itu masih dapat ia manfaatkan. Alea pun hanya bisa meredam arahanya dengan pergi ke kamar mandi, membuat Bian yang melihatnya geleng-geleng kepala. “Gadis itu tidak apa-apa, kan?” gumam Bian lirih, sambil menatap pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat. Tunggu! Kenapa juga ia harus peduli? Bian kembali menunduk, mencatat pesanan makanan yang harus ia sampaikan pada petugas room service. Namun, pikirannya kembali mengingat kejadian semalam. Khususnya tentang celotehan gadis remaja itu sesaat setelah ia membantunya mengganti pakaian dan merebahkannya di atas tempat tidur, serta ancaman sialan yang beberapa waktu lalu ia dengar. ‘Haruskah?’ batinnya, seolah sedang menimbang sesuatu yang besar. *** Alea terkejut melihat beberapa hidangan di atas meja menyambutnya saat ia baru saja keluar dari kamar mandi. Seingatnya, di atas meja itu hanya ada secangkir kopi saat ia meninggalkan ruangan ini untuk membersihkan diri. Dan kini, saat ia kembali, meja sudah dipenuhi dengan hidangan menggugah selera yang langsung saja membuat perut Alea terasa perih. "Ssshhh ..." Gadis itu meringis. Ia bahkan hampir tak menyadari kepergian Bian dari kamar hotel ini. "Duduk dan makanlah!" Ucapan itu membuat Alea mengejap. Bian baru saja kembali dari balkon untuk menghubungi seseorang. Dan kini, pria itu sudah mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang menghadap ke meja penuh makanan tersebut. "Ayo duduk! Tunggu apa lagi? Aku tahu kamu lapar," ulang Bian sambil menatap Alea. Dia sendiri sudah mulai mengambil sumpit yang kemungkinan akan ia gunakan untuk memakan dimsum. Melihat Alea yang tak kunjung beranjak dari tempatnya, Bian pun sampai khawatir dan kembali menegur Alea. "Nggak usah deh. Nggak enak," tolak Alea, meski cacing di perutnya sudah demo besar-besaran. Perutnya benar-benar kosong. Ia sudah nyaris kehabisan cadangan energi. Bahkan untuk berdiri saja, kaki dan tangannya sudah mulai gemetaran. "Lalu yang enak apa? Kamu cukup pilih-pilih juga ya, soal makanan," ujar Bian. "Buk- bukan begitu. Maksudnya nggak enak kalau aku ngerepotin kamu terus. Aku-" "Toh sudah terlanjur, kan? Jadi, menurut kamu lebih baik sebagian makanan di sini saya buang, daripada dikasih ke kamu?" potong Bian. Alea berdecak sebal. Ucapan Bian terdengar sangat menjengkelkan di telinga Alea. Namun, biar bagaimana pun juga pria itu memang ada benarnya. Bian sudah terlanjur memesan makanan yang tidak mungkin bisa ia habiskan sendiri. Jika Alea menolak untuk memakannya, maka kemungkinan besar sebagian makanan itu hanya akan berakhir di tempat sampah. "Cepat, Alea!" "Ck. Siapa suruh kamu pesan banyak-banyak? Kan tadi aku sudah bilang kalau aku nggak mau makan." oceh Alea, meski akhirnya ia tetap duduk di hadapan Bian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD