Danica yang sudah akan meluruhkan egonya, kembali menjadi kesal dengan pertanyaan yang diajukan Prasaja. Itu adalah pertanyaan manipulatif. Menjebak yang ditanya pada situasi tidak mengenakkan. Menjawab jujur, maka akan merusak semuanya. Sedangkan menjawab tidak jujur, bisa jadi justru melukai diri sendiri.
Dan Prasaja dengan sengaja menjebak Danica dengan pertanyaan tersebut.
Dilematis menyergap Danica. Jika pertanyaan ini diucapkan jauh sebelum ibunya tiada, maka Danica akan langsung bisa menjawab. Ia akan menyerahkan situasi sesudahnya—entah itu baik atau buruk hubungan persaudaraan—pada ibunya untuk mengatasi. Danica akan sangat egois dan tidak peduli perasaan Prasaja.
Namun sekarang, Danica tidak bisa berkata blak-blakan apa yang ia rasakan dan kemudian menjawabnya. Ia hanya punya Surya dan Yuni sebagai kerabat yang sekaligus menjaga aset-aset miliknya. Menyakiti perasaan Prasaja sama saja menyakiti keduanya dan Danica tidak yakin dampaknya akan bagaimana jika Danica menjawat, tidak suka.
Prasaja sendiri menjadi was-was sekaligus penasaran akan jawaban Danica. Gadis itu tak langsung menjawab melainkan memainkan es batu di dalam gelas dengan sendoknya. Seketika Prasaja mengetahui bagaimana perasaan gadis itu terhadapanya.
Meskipun dirinya sudha menduga apa yang Danica rasakan, tetap saja Prasaja ingin mendengar seuah jawaban dari Danica. Ia membutuhkan itu untuk masa depannya.
"Nica...." Dengan suara lembut, Prasaja mendorong Danica untuk segera menjawab.
"Saya tidak tahu."
"Kok, tidak tahu?" Prasaja semakin tidak nyaman dengan jawaban Danica. Ia perlu ketegasan.
"Ya, karena saya tidak tahu maksud pertanyaannya. Suka yang bagaimana yang harus saya jawab?" elak Danica. Ia harus bicara karena Prasaja mendesak, sedangkan dirinya belum siap memberikan jawaban yang sebenarnya.
"Tidak mungkin kamu tidak memahami maksud pertanyaan saya."
"Mungkin paham. Karena masih berupa kemungkinan, saya tidak berani menjawab. Suka anatara pria dan wanita bukan hanya tentang satu hal. Karenanya saya tidak yakin saya harus menjawab yang bagaimana."
"Kalau begitu, jawab saja versi suka yang bagaimana yang kamu pahami."
Danica menatap dalam Prasaja. Laki-laki itu sedang dengan sengaja menggulirkan bola ke padanya.
"Ya. Saya menyukaimu."
Prasaja tersenyum. Sinar cerah mengelilingi wajah tampannya yang bersih dari janggut dan kumis.
"Sebagai seorang yang sudah mengenal sejak kecil. Bahkan, kamu sudah tahu bagaimana saya sejak saya masih bayi. Kamu juga memperlakukan saya dan ibu saya dengan sangat baik. Saya berhutang budi padamu."
"Tidak ada hutang budi, Nica. Apa yang saya lakukan untukmu dan Tante Maniika, bukanlah hal istimewa. Iu adalah hal wajar yang saya bisa lakukan untukmu dan ibumu," ucap Prasaja dengan manis. Ia mengulurkan tangan untuk menggapai jemari Danica.
Danica melirik saja saat jemari tangannya dalam remasan lembut jemari Prasaja. Hatinya bergeming, tidak ada reaksi di dalam dirinya atas sentuhan itu. Sentuhan fisik Prasaja terasa sama saja dengan sentuhan-sentuhan dari pria lain yang hubungan kedekatannya dengan Danica hanyalah relasi biasa.
"Terima kasih, Pras atas semuanya. Karena ada kamu, saya tak merasa sendirian. Saya merasa memiliki saudara yang akan selalu ada untuk saya."
Wajah Prasaja seketika berubah tegang. Ia seperti mendengar kalimat yang salah dari bibir Dnaica.
"Saudara?"
Danica mengangguk kecil. "Ya. Saya menyukaimu sebagai saudara. Karena kamu selalu ada buat saya sejak kecil dan saya sendiri adalah tunggal. Bagi saya, kamu adalah saudara saya."
Prasaja menarik jemarinya dengan perasaan kalut. Sebuah penolakan halus, yang seumur-umurnya Prasaja dekat dengan wanita, baru ini ia ditolak. Selama ini dirinya sudah sangat yakin jika Danica memiliki perasaan untuknya.
"Setelah hari-hari yang kita lalui bersama dan kamu menganggap saya saudara?" tanya Prasaja tanpa menyembunyikan ketidaksukaannya. Prasaja sendiri, jauh di dalam dirinya, menjadi panik. Ini bukanlah hal yang ia dan keluarganya ingin dengar.
"Nggg..., ya..., begitulah."
"Saya memberikan semua untukmua dan kamu menganggap saya saudara?"
Danica mulai tidak nyaman dengan duduknya. Ia ingin melepaskan diri dan berlalu. Sangat jelas Prasaja tidak bisa menerima jawabannya dan intimidasi pertanyaan bertujuan untuk menekan Danica.
"Saya rasa saya sudah sangat jelas menyampaikannya. Sebaiknya kita pulang sekarang." Danica beringsut dari duduknya dan keluar dari pendopo mungilnya.
Untuk beberapa saat. Prasaja masih di tempatnya. Membiarkan Danica meninggalkannya. Ia benar-benar syok. Kepercayaan diri yang ia bangun bertahun-tahun, sekita dihancurkan dengan pernyataan tegas Danica. Pernyataan yang tidak diharapkan.
Prasaja tidak terima. Hidupnya semua untuk Danica. Perasaan Danica adalah yang utama ia jaga. Prasaja harus cepat pulang dan memberitahukan ibunya.
Dengan emosi, Prasaja keluar dari pendopo. Baru saja ia berdiri, ponselnya berdering. Setelah membaca nama si penelepon, Prasaja celingukan mencari sosok Danica dan bernapas lega karena Danica berada jauh.
"Halo," sapa Prasaja pelan dengan tatapan tak lepas dari punggung Danica. "Ada apa, Farah?"
"Mas, ke mana aja kamu? Saya telpon gak pernah diangkat."
Suara nyaring seorang wanita, menjawab sapaan Prasaja.
"Kan saya sudah bilang sama kamu, kalau beberapa hari ke depan, saya akan sangat sibuk."
"Kita perlu bicara, Mas."
"Kalau mau bicara ya bicara aja. Saya kan sudah bilang begitu di pesan WA."
"Saya mau bicara langsung. Kamu ke Surabaya atau saya ke tempatmu?"
Prasaja menggigit bibir bawahnya dengan dongkol. Masalah satunya belum selesai, ada lagi masalah lain. Dan kedua masalahnya terkait dengan wanita.
"Jangan sekaranglah, Farah."
"Kamu ini lagi sibuk apa, sih, Mas? Kamu ada perempuan lain? Iya, begitu?"
Nada suara wanita bernama Farah meninggi. Suara asli yang agak nyaring, terdengar semakin nyaring.
"Kamu bicara apa, sih? Kalau saya bilang sibuk ya sibuk. Sudah, saya masih ada urusan lagi."
"Mas! Kamu jangan main-main, ya. Kamu lagi ada perempuan lain, 'kan? Makanya kamu gak mau bicara sama saya. Susah untuk ditelepon. Alasan sibuk aja dipakai."
"Farah. Saya beneran sibuk. Atau kamu telpon Mama aja untuk tahu sesibuk apa saya. Udah, saya mau ada urusan lagi. Kalau ada yang perlu dibicarakan, kirim pesan aja."
Prasaja langsung mematikan sambungan teleponnya. Tak lupa ia mengubah suara notifikasi panggilan telepon dan pesan menjadi mode senyap. Segera Prasaja melangkah mendekati Danica. Farah bukanlah hal penting bagi Prasaja, karena wanita itu hanyalah mainannya, bukan tujuannya.
Sementara, di seberang telepon, Farah berteriak marah. Ia membanting ponselnya ke tempat tidur. Wajahnya kusut dan pucat dengan rambut yang berantakan tidak dirapikan. Sudah tiga hari dirinya tidak mandi. Makan pun sesukanya jika mau makan.
Tidak ada yang peduli dengan keadaan Farah, selain para asisten rumah tangga yang bingung dengan keadaan Farah yang tidak serapi dan seteratur biasanya.
Sebagai anak seorang polisi dengan jabatan tinggi, Farah hidup dengan disiplin waktu. Dari bangun tidur yang selalu harus jam lima pagi paling lambat. Mandi sehari dua kali, kecuali sibuk atau sakit. Makan yangbterartur. Adalah keseharian Farah di rumah.
Tapi ini sudah tiga hari, Farah menjadi sosok yang tidak disiplin. Untung ayahnya terlalu sibuk dengan kedinasannya dan ibunya juga sibuk dengan organisasi yang terkait dengan jabatan ayahnya. Kedua adiknya sedang berlibur. Otomatis Farah sendirian. Tak ada yang memerhatikan dirinya apalagi peduli.
Farah duduk di tepi tempat tidur dengan kalut. Ada hal yang terjadi dan dirinya harus bicara empat mata dengan Prasaja. Masalahnya, belakangan Prasaja, kekasihnya sulit dihubungi. Selalu asaja ada kesibukan. Kalau pun malam hari ditelepon dan Prasaja kebetulan menerima panggilannya, obrolan tidak bisa lama karena kekasihnya itu sudah cepat-cepat mengakhiri percakapan dengan alasan lelah dan ngantuk.
"Farah. Saya beneran sibuk. Atau kamu telpon Mama aja untuk tahu sesibuk apa saya. Udah, saya mau ada urusan lagi. Kalau ada yang perlu dibicarakan, kirim pesan aja."
Farah menarik napas dalam. Ia membaca nama kontak ibunya Prasaja. Ibu jarinya sudah bersiap untuk melakukan panggilan. Tetapi, hatinya menarik kuat niat Farah. Memberi waktu bagi gadis itu melakukan pertimbangan.
Ibu Prasaja adalah seorang yang kurang nyaman untuk didekati. Sikapnya angkuh dengan dagu selalu naik tinggi jika bicara dengan Farah. Seolah-olah strata Farah adalah rendah. Tapi Farah selama ini mencoba tak ambil pusing. Baginya adalah yang terpenting adalah Prasaja.
Karena ketidaknyamanan itu, Farah urung dengan niatnya. Ia dongkol.
"Pras! Kalau sampai nanti malam kamu tidak angkat telpon saya, liat aja kamu. Saya akan bicarakan ini dengan Tante Yuni!" ancam Farah pada udara kosong.
***