Chapter 33

1305 Words
Dibandingkan saat berangkat, saat pulang, Prasaja berubah menjadi patung. Tak ada kata yang keluar. Tatapannya pada jalan yang dilalui, tetapi pikirannya tertuju pada Danica. Danica sendiri juga tidak ada niatan untuk membuka percakapan apa pun itu. Baginya semua sudah jelas. Ada bagian dari dirinya yang merasa lega karena sudah bicara jujur apa adanya. Sesuatu yang ia simpan demi menjaga perasaan lainnya. Beban sepanjang hidup sih. Danica teringat pembicaraannya dengan ibunya saat baru pertama masuk sekolah menengah atas. *** "Ma..., bilanginlah ama si Pras, gak usah belagak menjadi senior sok perhatian. Saya malu, Ma. Jangan kayak waktu saya SMP dulu," pinta Danica dengan wajah merengut sembari mengambil tempe goreng sebagai lauk pendaping sayur beningnya. "Memangnya Prasaja merugikan kamu?" tanya Manika dengan wajah geli. Wanita itu pun mengikuti jejak putrinya, mengambil tempe goreng yang digoreng gurih dan garing. "Rugilah, Ma. Mama gak tau sih rasanya dipleroki ama lain-lainnya. Kesannya saya lagi cari perlindungan. Gak punya rasa setia kawan. Lainnya lagi di siksa, eh saya di anak emaskan. Gak suka saya digituin, Ma." "Ya, kan enak." "Gak enaklah, Ma. Saya kan juga pingin tau rasanya minta tanda tangan ke senior. Dimarahin. Disuruh ini itu. Ya pokoknya pingin ngerasain rasanya di OSPEK seperti lain-lain. Ayolah, Mama omong sama Prasaja untuk tidak ganggu saya." Danica melihat ekspresi ibunya yang seperti berat untuk menuruti dan sebenarnya Danica memahaminya. Ibunya dan dirinya, sudah tak memiliki siapa-siapa lagi. Orang tua ibunya meninggal saat Manika masih muda. Sedangkan orang tua ayahnya meninggal, tak lama setelah ayah dan ibunya menikah. Hanya ada Pakde Surya dan Bude Yuni yang terhitung sebagai kerabat dari pihak ayah. Kerabat yang jauh. Merekalah yang selama ini menjaga aset-aset yang ditinggalkan ayahnya untuk kehidupan Manika dan Danica. Hal itu yang membuat ibunya memiliki rasa sungkan untuk menyampaikan apa pun dengan lugas. "Nica..., jangan menolak apa yang menjadi kebaikan orang kepadamu. Biarkan saja Prasaja melakukan itu. Kamu kan tidak memiliki siapa-siapa untuk menjagamu. Biarkan Prasaja menjagamu, setidaknya sampai kamu sudah memijak dengan kakimu sendiri. Suatu hari nanti, akan ada saatnya kamu sendiri yang menyemapaikan keberatanmu tanpa perantara Mama dan kamu harus berani menyampaikannya." *** Danica melakukannya hari ini. Setelah sekian lama berkutat dengan perasaan tidak enak hati, akhirnya dengan kelegaan Danica menyampaikan perasaannya. Meskipun tak semuanya ia keluarkan, tetapi yang sedikit itu sudah mewakili isi hatinya. Perjalanan yang amat sangat lambat dan akhirnya sampai juga di depan rumah Danica. Gadis itu mengernyit mendapati gerbang pagar yang terbuka. Danica bertanya-tanya apakah Agasta keluar tanpa menutup pagar, ataukah Mbok Min yang keluar, ataukah ada tamu dari luar yang masuk? "Nica...." Fokus Danica kembali pada Prasaja. Ia melepaskan sabuk pengaman sambil menunggu pria itu melanjutkan apa yang ingin disampaikan. "Danica, saya minta kamu lebih dewasa lagi. Pertimbangkan perasaan saya dan hari-hari yang sudah kita lalui bersama." Danica tidak suka dengan permintaan Prasaja yang jelas-jelas menuntut. Ditambah, Prasaja menganggap Danica tidak dewasa dengan apa yang sudah disampaikan. Ini seolah-olah mengatakan jika Danica tidak berpikir matang dengan ucapannya. Seolah-olah Danica salah dan seharusnya bukan itu jawabannya yang diminta Prasaja. Benar-benar tuntutan dan Danica tidak suka dipaksa. Prasaja mengambil jemari Danica dan membelainya lembut. Cara umum untuk memberikan kesan manis bagi pasangan. "Ada yang harus kamu tahu, Nica. Selama ini, saya hanya menyukaimu dan bahkan hanya mencintaimu. Tak pernah ada seorang wanita pun yang menempati hati saya, karena kamu sudah begitu menguasainya. Saya menjalani hari-hari saya hanya untukmu. Pertimbangkan itu. Jika memang ada dari saya yang tidak kamu sukai, kamu tinggal bilang saja. Saya pastikan saya akan menjadi seperti apa yang kamu inginkan." "Pras. Saya sudah sampaikan apa adanya." "Tidak, Nica. Saya yakin kamu sedang dipengaruhi. Saya memang tidak sempurna. Tapi saya pasti bisa menjadi sempurna di versimu." "Tidak ada yang mempengaruhi saya Pras. Jangan berprasangka yang tidak-tidak," tukas Danica yang semakin jengah karena Prasaja sudah mulai menganggp dirinya tak punya sikap. Dnaica menduga jika Prasaja menuduh Agasta sebagai provokator di setiap pengambilan keputusan di hidup Danica. Kenyataannya tidak sama sekali. Danica menarik tangannya. Ia tidak mau berdebat lebih lama ditambah lagi ini di dalam mobil. Orang lalu-lalang akan penasaran kenapa mereka masih di dalam mobil. "Saya turun dulu, Pras. Terima kasih makan siangnya." Pras tidak menawarkan diri untuk membukakan pintu dan Danica juga tidak menunggu Pras membukakan pintu mobil. Yang penting bagi Dnaica adalah keluar dulu dari dalam mobil yang menyesakkan emosinya dan segera masuk untuk mencari tahu kenapa gerbang pagar terbuka. Prasaja sendiri langsung melajukan mobilnya begitu Danica turun. Tidak ngebut, namun cukup membuat Danica terkejut. Tapi, Danica tak mempermasalahkan. Ia paham jika Prasaja kecewa, marah, lalu begitu saja pergi. Bahkan meninggalkan jejak klakson pun tidak. Danica melangkah masuk dan ia bisa melihat dua pasang mata yang terarah ke padanya. Jelas sekali kalau kedua insan itu memang sedang menantinya muncul karena dapat dipastikan dari tempat keduanya duduk, bisa melihat munculnya mobil Prasaja. Agasta dan seorang wanita muda yang Danica kenali sebagai mantan teman sekolah, yang juga adalah anak ketua RT, duduk bersisian di teras rumah. Maya namanya. Danica tidak terlalu akrab meskipun terhitung tetangga dan teman sekolah. Ini karena Danica sebenarnya tak terlalu menyukai gaya Maya yang selangit. Teman-teman Maya juga tidak satu frekuensi dengan Danica. Maya lebih senang keluyuran dan kumpul-kumpul dengan riuh. Sedangkan Danica lebih senang di dalam kamarnya dan membaca. Ada hal lain yang membuat Danica tak menyukai Maya. Gadis itu selalu membentuk kelompok untuk membicarakannya dan menyebarkan isu tidak menyenangkan. Satu di antaranya adalah, Danica sudah dijodohkan dengan Prasaja. Mencegah teman pria lain untuk mendekati Danica. Membuat Danica tak memiliki kisah indah remaja seperti ditaksir dan menaksir. Akses ditutup karena isu yang dibuat Maya. Tidak ada yang berdiri di antara keduanya. Ini membuat Danica dongkol dalam hati. Ia pemilik rumah harusnya ia disambut dengan sopan, yang dalam etikanya, jika duduk maka harusnya berdiri. Danica memendamnya dalam hati. "Hai, Nica. Apa kabar?" Maya menyapa ramah. Kedua tangannya tak terulur untuk sekedar berjabat tangan biasa. "Baik," jawab singkat Danica. Matanya bergulir ke arah Agasta yang menatapnya tanpa beban, meskipun tatapan Danica sendiri sudah setajam silet. "Tumben setahun ini pulang lagi. Biasanya setahun sekali." Perhatian sekali. Cih..., batin Dnaica muak. "Lagi kangen-kangennya sama Prasaja, ya." Maya mengerlingkan mata. Mencoba menggoda Danica agar tersenyum. Kata-kata 'sok tau', hampir terlepas dari bibir Danica. Ia menelan kata-kata itu dan memilih diam saja. "Habis makan siang sama Prasaja, 'kan?" "Ya." "Eh, kapan-kapan kita keluar sama-sama, yuk. Berempat, ajak Prasaja." Tawaran kencan ganda. Lagi. Setelah paginya Paramita, sekarang Maya. Kedua wanita tersebut tak menyembunyikan hasrat untuk bisa bersama Agasta. Tidak masalah sebenarnya bagi Danica jika Agasta berkencan dengan siapa pun, yang jadi masalah adalah, para wanita memanfaatkan dirinya untuk bisa membawa Agasta keluar. "Kenapa kalian gak pergi saja berdua, sekarang atau nanti malam?" pancing Danica. "Emang gak apa-apa?" Maya dengan manja menoleh ke arah Agasta. Ia sudah diberi sinyal kebebasan oleh Danica dan Maya langsung menyambar sebagai kesempatan. "Gak pa-pa. Memangnya kenapa?" Sama sepeti Maya, Danica pun menatap Agasta. Kini ganti Agasta yang menatap tajam Dnaica. Ada kekesalan di mata itu. Agasta tadi sudah menolak untuk keluar dengan alasan menjaga ayah Danica, kini gadis itu justru menyodorkan Agasta pada orang lain untuk pergi. "Tuh, Gas. Kata Danica gak apa-apa. Danica kan bisa menjaga ayahnya sendiri. Lagi pula kalau ada apa-apa, pasti Dnaica akan hubungi kita. Gimana, Gas? Kita keluar sore nanti atau malamnya?" "Maaf, Maya. Saya tidak bisa. Danica memang bisa menjaga Bapak, tetapi Danica masih belum paham untuk melakukan tindakan pertama jika bapak ada gejala lain. Mungkin kalian berdua bisa pergi sama-sama. Kan sudah lama tidak bertemu. Bisa kumpul-kumpul juga untuk reuni kecil-kecilan. Oh, ya, Maya. Saya masuk dulu. Mau periksa keadaan Bapak. Sudah ada Danica, nih. Mungkin kalian bisa saling ngobrol dulu. Permisi." Seolah kursi itu memiliki batas waktu, yang mana sebelum batas waktunya habis, Agasta harus segera angkat badan, atau kursi itu akan melahapnya masuk. Agasta melangkah lebar masuk ke dalam rumah dengan senyum lebar penuh kemenangan. Sempat tadi ia melihat raut wajah Dnaica yang panik. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD