Yuni meremas jemarinya dan memejamkan mata rapat-rapat. Ia sangat ingin mengusir kenangan yang memalukan sekaligus menyakitkan atas masa lalu. Peristiwa yang menjadi cikal bakal sakitnya hati yang berkelanjutan sampai di masa mendatang.
Rahadyan menepati janjinya. Hingga detik ini, tak ada seorang pun yang tahu peristiwa saat itu. Hanya almarhumah ibunya, yang saat kejadian, mencari dirinya, seketika terkejut mendapati Yuni keluar dari kamar Rahadyan dengan penampilan yang sedikit berantakan.
Yuni masih ingat bagaimana ekspresi ibunya kala itu.
***
Rambut yang digelung seadanya, sudah melorot ke bawah. Sisi kanan dan kiri menjuntai beberapa rambut yang terlepas dari gelungannya, membentukan juntaian kasar yang mengesankan kengerian. Ditambah kedua bola mata tua yang mendelik lebar dan bibir yang menganga juga sama lebarnya. Ibunya, berdiri kaku di tengah-tengah ruang makan.
Yuni pun sebenarnya berada pada situasi yang kurang lebih sama. Syok melihat kemunculan ibunya yang berantakan di ruang makan. Yuni tidak bisa mengira-ngira apa yang ada di pikiran ibunya atau seberapa lama ibunya berdiri di ruang makan. Apakah dari sebelum Rahadyan keluar kamar ataukah justru baru saja masuk ke ruang makan yang kebetulan bersamaan dengan Yuni yang keluar dari kamar Rahadyan.
Yuni tak berani bertanya dan ibunya pun juga tak sanggup bertanya.
"Bantu, tumbuk singkong."
Setelah mengatakan itu, ibunya Yuni berbalik cepat dan berjalan tergopoh-gopoh kembali ke belakang. Yuni hanya menghela napas, mencoba menenangkan jantungnya kala itu. Ia pun mengikuti ibunya ke dapur.
Di dipan bambu, Yuni melihat lesung besi yang tebal dengan beberapa singkong rebus yang masih mengepul di dekatnya. Yuni bergegas duduk dan memasukkan beberapa singkong panas ke dalam lesung. Sempat Yuni melirik ibunya, yang duduk jongkok di dekat tungku bata, melakukan sesuatu dengan kayu bakarnya.
"Mas Dyan, opo isih sare?" tanya ibu Yuni dengan tetap memunggungi Yuni dan sibuk sendiri dengan bara api di tungku bata.
Seketika itu juga Yuni tahu jika ibunya kemungkinan besar baru saja masuk ke ruang makan. Ibunya tak melihat Rahadyan keluar dari kamarnya dan Yuni penasaran, apakah Rahadyan langsung keluar ke teras depan?
"Rungokno, Yun. Aku ra urus karo perkaramu. Tapi, nek ono opo-opo karo keluarga iki, awakmu dudu anakku neh."
Ibunya langsung berdiri dan akan kembali mengurus lainnya.
Hati Yuni menjadi sakit. Ibunya sudah tak bertanya apa yang terjadi, malah memberikannya ultimatum. Yuni kecewa sekaligus marah. Dirinya tak didukung apa-apa.
Dengan kesal, sebelum ibunya benar-benar keluar dari dapur, Yuni mendustai ibunya.
"Mas Dyan sare. Mustine kesel bar main karo aku."
***
Beberapa kali tepukan lembut mendarat di lengan gempal Yuni. Suara seorang pria yang tadinya sayup-sayup terdengar Yuni, semakin terdengar jelas. Perlahan Yuni membuka kelopak matanya yang terasa berat. Dia melangkah jauh ke masa lalu dan sepertinya hampir saja diriya ketiduran.
Surya, suaminya, duduk di sebelahnya dengan wajah serius. Keningnya yang benderang karena rambut yang menilis ke belakang, berkerut-kerut dalam.
"Ma..., Mama barusan ketiduran apa gimaa?" tanya Surya.
Yuni mengembuskan napas dan memperbaiki posisi duduknya yang sedikit melorot.
"Enggak tidur. Cuma mejam mata aja." Ia memajukan tubuh hendak mengambil minuman tehnya. Tetapi Surya dengan sigap meraih cangkir teh Yuni dan menyerahkannya ke Yuni.
Setelah minum beberapa teguk, perasaan Yuni kembali pada masa sekarang. Masa lalu sudah diredamnya dan didorong kuat dengan aliran teh yang melalui kerongkongannya.
"Anakmu laki ada ngomong sesuatu tadi?" tanya Yuni.
Setelah sampai di kantor, Yuni menyuruh Prasaja untuk langsung mencari bapaknya. Prasaja menurut saja.
"Enggak. Gak ada omong apa-apa dia. Cuma wajahnya seperti suntuk gitu. Kenapa? Apa yang terjadi? Bagaimana itu laki-laki yang tidur di rumah Nica? Rahadyan bagaimana kondisinya?"
Berondongan pertanyaan dari Rahadyan, dibalas helaan napas yang berat dari Yuni. Ia melirik suaminya dengan kesal. Surya bukanlah seorang sabar dalam menghadapi situasi baru. Ia cenderung lebih mudah panik jika ada hal-hal yang tak terduga yang mana dirinya sendiri belumlah siap. Surya tidak akan berani mengahadapi sendiri, ia akan menyuruh istrinya maju duluan.
Benar-benar lelaki lemah sekaligus b******k. Tapi Yuni tak ada pilihan.
"Satu-satu kalau nanya. Mbok, pikir saya ini mesin penjawab pertanyaan? Mesin aja perlu satu-satu nanyanya," keluh Yuni.
"Ya terus, gimana tadi? Rahadyan bagaimaa keadaannya?"
"Agasta itu memang dokter dan dia itu tidak mengizinkan kita melihat kondisi Dyan. Alasannya baru beristirahat. Katanya semalaman sampai subuh, si Dyan gak bisa tidur. Ya, udah, kita gak tau bagaimana Dyan dan keadaannya yang sebenarnya selain kalau Dyan itu lagi sakit."
"Sakit apa gitu? Apa gak diomongin?"
"Gak. Si Nica sama si Agasta ndak mau omong apa penyakit Dyan."
"Hmm..., jangan-jangan kena AIDS," gumam Surya yang langsung mendapatkan tabokan di pahanya dari sang istri. Terasa panas, Surya mengaduh dan mendelik ke arah Yuni. "Ya, kan bisa aja. Namanya pelaut, biasnaya juga main sana sini. Jadi yang bisa aja kena AIDS."
"Kamu ini kalau bicara yang bener, ya. Rahadyan itu gak begitu orangnya," bela Yuni.
Memangnya kamu, yang main sana sini, tapi gak ngaku. Baru kena sipilis, diem seribu bahasa. Dasar tengik! gerutu Yuni dalam hatinya. Sebagian dari diri Yuni tidak rela jika orang yang ia masih cintai, diprasangkai buruk.
"Ya namanya juga ngira-ngira. Lagian, jenguk orang sakit aja pakai disembunyikan segala," gerutu Surya sembari tetap mengelus pahanya yang masih terasa panas.
"Ngira-ngiramu itu keterlaluan." Yuni merengut dan melipat kedua tangan di d**a.
Surya menghela napas. Ia memutuskan tak melanjutkan tanya-tanya lagi perihal Rahadyan. Intinya dia sudah paham kalau Rahadyan tidak bisa dijenguk.
"Trus si Agasta itu bagaimana?" tanya Surya kemudian. "Beneran dia dokter atau berlagak jadi dokter?"
"Pras kan sudah bilang kalau waktu lapor ke RT, si Agasta menunjukan kartu tugasnya," jawab Yuni.
"Bisa aja itu palsu."
Kali ini Yuni diam bukan karena kesal, tetapi mulai terpengaruh dengan pemikiran suaminya. Bisa jadi itu benar.
"Kamu suruh anak-anak ke Surabaya buat selidiki, sana," pinta Yuni. Anak-anak yang dimaksud adalah orang-orang yang bekerja secara pribadi dengan mereka, layaknya centeng.
"Agus aja suruh ke sana sendirian."
"Lah, trus yang sopiri saya siapa?"
"Cuma sehari aja. Kamu kan bisa minta tolong Pras atau Mita."
Yuni tak membantah. Kali ini ia menuruti apa anjuran Surya.
"Kalau Agasta itu beneran dokter, gimana, Pa? Anak kita dah jauh dari hitungan," tanya Yuni dengan perasaan tak menentu. "Dari segi fisik aja, itu Agasta sudah kayak artis sinetron. Badannya tinggi, keker, tampan."
"Emangnya anak kita gak tampan? Gak keker? Kok jadi ngejek anak sendiri," gerutu Surya.
"Keker sih, iya. Tampan sih, iya. Tapi tetep gak sebanding. Mana dia itu dokter. Gak menjadi buntut keluarga Rahadyan. Kalau Pras kan itungannya kerja di bawah kepemilikan Rahdyan. Jelas beda kekuatan."
"Kamu ini bukannya dukung anak sendiri, tapi kok malah jatuhin."
"Saya omong realita dan kemungkinan. Kamu juga gak bisa tutup mata akan itu. Anak kita itu beda kelas sama Agasta. Coba kamu pikirkan, Agasta cowok, bisa jadi dokter spesialis, pastinya dia itu dari keluarga kaya-raya. Dan yang jelas keluarganya bukan dibawah nejang keluarga Rahadyan.
Kerasa kan beda levelnya?"
"Kalau kayak gitu. Suruh Mita pepetin itu Agasta. Jangan ke sana kemari gak jelas sama cowok-cowok lain. Udah tua juga. Lama-lama gak laku. Mumpung masih cantik, manfatin buat dapat lebih tinggi."
"Caranya gimana?"
Surya mengangkat bahu dengan malas. Ia berdiri dari sofanya dan beralih ke meja kerjanya.
"Kamu kan ibunya. Cari caralah biar Mita dekat sama itu Agasta. Kalau bisa tahun ini mereka kawin. Jadi gak ada sandungan lagi."
Yuni lagi-lagi menghela napas kasar. Ditatapnya tajam sang suami yang Yuni yakin sedang pura-pura membuka berkas. Setiap diskusi, selalu berakhir seperti ini,
Berakhir pada Yuni yang harus berpikir dan mengambil keputusan. Surya selalu cuci tangan. Jadi jika ada kegagalan atau kesalahan, Yuni adalah pihak yang paling mudah disudutkan. Cara licik Surya yang paling dibenci Yuni.
***