Sebuah kisah dari masa lalu...
***
Hari yang suram bagi Yuni, di sore ini. Untuk kedua kalinya ia dipecat dari tempatnya bekerja sebagai penjahit pakaian wanita. Padahal, ia hanya meminjam sehari saja pakaian yang sudah jadi, untuk bersenang-senang. Pakaiannya pun tidak rusak apalagi kotor. Toh, ia mengembalikannya pun dalam keadaan rapi sudah disetrika ulang.
Selama ini Yuni bekerja pada sebuah butik besar, yang menjahit gaun-gaun kebaya atau gaun pesta. Ketrampilannya menjahit yang bagus, apalagi ia lulusan SMK jurusan mode, membuat Yuni mudah diterima di beberapa butik besar.
Masalahnya Yuni, memiliki rasa iri dan ingin memiliki. Ia lelah hidup miskin yang membuatnya tak pernah memiliki pakaian-pakaian bagus. Bahkan untuk praktek menjahit saja, ia harus membeli kain sisa dengan harga termurah dan itu juga menunggu ibunya mendapat belas kasih dari ibunya Rahadyan.
Begitu muaknya ia dengan kemiskinan yang menyebabkannya tak bisa tampil maksimal, Yuni bertekad untuk hanya menkahi ornag kaya atau setidaknya pria yang bisa memberinya kenyamanan materi.
Rahadyan adalah pria yang harusnya paling mudah didapatkan. Hubungannya dengan pria itu adalah kerabat jauh dari pihak ibu. Ibunya bekerja di rumah Rahadyan dan sesekali ia dengan sangat terpaksa membantu juga di sana.
Saat-saat begitu, ia bisa melihat dan ngobrol juga dnegan Rahadyan. Lelaki tampan yang lucu sekaligus supel. Tertampan di kotanya. Setidaknya banyak gadis menyukai Rahadyan termasuk dirinya. Tetapi, Rahadyan terlalu santai. Bukan pemain dan hanya membiarkan saja yang menyukainya.
Yuni sudah mencoba mendekati Rahadyan dengan berbagai cara, tetapi, tidak berhasil. Rahadyan tak memedulikannya seperti pria itu tak memedulikan banyak gadis lainnya.
Di tengah lamunannya yang beralih dari kekesalan dipecat pada Rahadyan, ternyata sepeda Yuni justru mengarah ke rumah Rahadyan, bukan rumahnya. Bahkan, Yuni sudah masuk ke pelataran rumah Rahadyan yang sepi.
Yuni mengernyit, mendapati rumah dalam keadaan sepi. Pintu depan bahkan tertutup. Biasanya jika sore menjelang, pintu depan terbuka lebar. Yuni menuntun sepedanya ke samping rumah, memarkirnya di sana, dan berjalan lebih masuk, sampai ke dapur belakang.
Yuni mendapati kompor kayu menyala dengan sebuah dandang nasi terpasang di atasnya. Kemungkinan ibunya sedang menanak nasi. Ia mendengar bunyi gemerisik, Yuni pun menoleh ke arah asal suara. Ibunya menyapu halaman belakang yang luas. Kebun tepatnya.
Ibunya terlalu serius menyapu, wanita tua itu tak menyadari kedatangan Yuni. Yuni juga tak berniat memberitahukan kedatangannya, ia justru melangkah masuk ke dalam.
Tak ada siapa-siapa. Tak terdengar suara. Yuni terus melangkah untuk mencari tahu. Ia membuka pintu kamar utama, tempat orang tua Rahadyan tidur. Saat ia mengetuk, tak ada sahutan. Perlahan Yuni membuka dan di dalam kosong.
Yuni langsung menduga jika ibu Rahadyan pergi, entah ke mana dan ada urusan apa.
Yuni penasaran apakah ibu Rahadyan pergi bersama putra tunggalnya. Yuni pun beralih ke kamar Rahadyan. Kali ini dirinya tak mengetuk, melainkan langsung membuka pintu kamar dengan sangat perlahan.
Gelap yang temaram. Jendela rupanya ditutup. Sedikit cahaya yang masuk, tetapi cukup untuk penerang, meski tak seberapa. Yuni bisa melihat ada yang tidur. Itu Rahadyan.
Mengendap-endap, Yuni melangkah masuk. Ditutupnya pintu kamar dengan amat sangat perlahan. Meski semua dilakukan dengan sangat hati-hati, tapi sebenarnya di dalam dirinya, menggelinjang sebuah keinginan.
Yuni berdiri di sisi tempat tidur Rahadyan yang menempel ke tembok. Pria itu tidur bertelanjang d**a dengan hanya menggunakan celana kain yang panjangnya hanya sampai sepaha. Posisi tidurnya tengkurap dan agak ke tengah tempat tidur.
Masih ada ruang yang sedikit, tapi sangat cukup jika Yuni ingin merebah di sisinya. Kegilaan Yuni tak bisa dibendung lagi. Frustasi dan harapan menajdi satu. Ia melepaskan pakaiannya sendiri tanpa rasa ragu. Hanya menyisakan BH dan celana dalam.
Ia semakin panas. Tak ada perasaan malu atau sungkan, Yuni pun merebah di sisi Rahadyan. Merasakan hangat yang keluar dari tubuh jantan tersebut. Jemarinya semakin berani dengan mengusap punggung lebar Rahadyan.
Perut Yuni mulai panas. Tubuhnya mengharap lebih. Yuni merapatkan dirinya ke Rahadyan, bahkan salah satu kakinya terangkat dan menumpu pada paha dan jga b****g Rahadyan. Tanpa bisa dicegah, desahan keluar dari bibir Yuni.
Tubuh Rahadyan tersentak. Kepalanya yang tadi miring menoleh ke tembok, terangkat dan menoleh ke sisi lain, sisi Yuni. Menyadari ada seorang wanita di kamarnya, Rahadyan meloncat bangun. Ia duduk sembari mengerjapkan mata berulang kali, memastikan apa yang ia lihat. Sedangkan Yuni, tak berniat bangun, ia tetap dengan posisi merebahnya, tetapi kali ini dengan pose menantang, yaitu telentang.
"Mbak Yuni...?" Suara Rahadyan berat, parau, khas seseorang yang sedang menahan volume sekaligus karena bangun tidur.
"Sini, Dyan. Tidur lagi," ajak Yuni santai.
"Ngapain di sini, Mbak? Bajumu..., bajumu mana?" Rahadyan celingukan.
Yuni kali ini memilih bangun dan duduk di depan Rahadyan. Dengan cepat ia meraih kedua pergelangan tangan Rahadyan. Diarahkannya kedua tangan ke payudaranya yang masih dilindungi BH. Telapak tangan yang hangat. Lagi, Yuni mendesah.
Rahadyan dengan kesar menarik tangannya, melompat turun dari tempat tidur. Ia melihat seonggok pakaian milik Yuni, Rahadyan memungutnya dan melemparkannya ke Yuni.
"Pakai bajumu, Mbak, dan keluar dari kamar ini."
"Ayolah, Dyan. Kamu gak usah malu. Saya juga rela melakukannya."
"Saya ndak mau, Mbak. Ini salah."
"Enggak. Gak ada yang salah Dyan. Kamu mau dan saya juga ikhlas menyerahkannya."
"Saya tidak mau, Mbak. Kamu itu saudara saya. Saya gak bisa melakukan hal beginian dengan saudara perempuan saya."
"Saya hanya sudara jauh. Sangat jauh. Bahkan saking jauhnya pertalian darah itu sudah memudar."
"Sudahlah, Mbak. Pakailah bajumu."
Rahadyan berbalik. Ia memutuskan keluar dari kamar. Tapi, Yuni melompat bak kijang betina. Ia langsung mendekap tubuh Rahadyan dari belakang. Mengusap perut lelaki itu dengan lembut.
"Kita punya waktu untuk melakukannya, Dyan. Kamu gak perlu takut apa-apa. Tidak ada orang dan saya tidak akan bersuara."
Perlahan, jemari Yuni turun semakin ke bawah dan perempuan itu tersenyum semakin lebar. Ia bisa merasakan milik Rahadyan yang kaku. Reaksi atas keinginan duniawi yang sangat alami.
"Kamu menginginkannya, Dyan. Jangan kamu tahan."
Rahadyan menarik napas, segera ia sentak jemari Yuni. Wajahnya memerah padam saat berbalik menghadap Yuni.
"Jangan kurang ajar, Mbak," ucap Rahadyan dingin.
"Jangan munafik, Dyan. Kamu sudah nafsu. Kamu sebenarnya mau. Buat apa kamu menahannya. Toh, sayanya saja tidak keberatan dan tidak sedang menuntut apa-apa selain memuaskan hasrat kita."
"Bener, Mbak. Nafsu saya sudah naik. Tubuhmu yang gak pakai baju, bikin saya nafsu."
Yuni tersenyum lebar. Salah satu tangannya menjulur ke balik punggungnya, menggapai kait BH-nya.
"Kalau gitu, kita bisa mulai, 'kan?" tanya Yuni lembut.
"Tidak ada yang dimulai. Saya memang sedang nafsu, tetapi saya bukan hewan, Mbak. Otak saya masih punya akal dan hati saya masih punya budi."
Rahadyan memungut kembali baju Yuni yang tadi disentak Yuni dan jatuh lagi ke lantai. Tidak lagi diserahkan ke Yuni, Rahadyan meletakkannya di tempat tidur.
"Saya akan melupakan kejadian ini, Mbak. Saya tidak akan pernah mengingatnya. Pakailah pakaianmu, Mbak, karena saya tidak akan pernah menyentuhmu."
Setelahnya Rahadyan bergegas keluar kamar, membiarkan Yuni yang mematung kaku.
***