Bunyi dering ponsel Danica yang ribut, akhirnya berhasilkan membangunkan gadis itu dari tidurnya yang terasa baru sebentar. Tubuhnya bahkan berteriak untuk tidur saja lagi, mengabaikan bunyi ponsel dari penelepon yang entah siapa.
Awalnya Danica menuruti tubuhnya yang lelah untuk lanjut tidur saja. Dia kelelahan setelah menyetir dari Jogja dan pikirannya sedang kusut untuk mendapatkan ide menulis. Ditambah, karena benar-benar terlalu lelah, susah baginya untuk bisa langsung tertidur.
Tapi si penelepon sepertinya tak peduli dan bukan seorang yang putus asa. Si penelepon terus saja menyambungkan panggilan di setiap waktu panggilan berakhir. Danica pun akhirnya memekik kesal. Ditinjunya bantal yang ada di sebelahnya dan mulai duduk bangun.
Danica mengernyit karena tidak mengenali nomer yang menelepon. Tapi dari notifikasinya, si penelepon sudah mencoba menelepon dua belas kali dan ini adalah telponnya yang ketiga.
"Siapa, sih? Iseng banget atau serius banget ini?" gumam Danica sembari melirik ke bagian kanan atas layar yang menunjukkan waktu saat ini. Waktu menunjukkan jam tiga subuh.
"Halo? Siapa? Tau gak ini jam berapa? Yang bener ajalah kalau nelpon orang. Lain kali tau adablah kalau menelpon. Untung juga ini cuman nelpon bukan bertamu. Kalau bertamu, saya teriakin kamu maling!"
"Udah cerocosnya?"
Danica tersentak. Suara seorang pria. Suara yang berat dan tegas. Suara yang bagi Danica adalah suara maskulin seorang pria dalam cerita n****+-novelnya.
"Siapa ini?" tanya Danica dengan memperhalus volumenya.
"Saya Agasta."
"Hah? Agasta?" Danica mencoba mengingat-ingat nama tersebut. Tapi, mau mengernyit sampai serapat apa pun lipatan di dahinya, nama Agasta tak ada dalam memorinya.
"Bisa bukakan pagar? Di sini dingin sekali."
"Pa...pagar...?" Danica langsung melompat dari tempat tidurnya. Ia menjadi gelisah. Ada orang asing yang sekarang ada di depan pagar rumahnya. "Kamu siapa, heh?"
"Cepat buka pagarnya. Di sini ada orang tua yang kedinginan."
Dan telepon ditutup begitu saja. Danica menjadi gelisah tidak keruan. Ia cepat-cepat keluar kamar dan menuju ruang tamu. Tanpa menyalakan lampu ruangan, ia menuju ke sudut ruanga di mana ada kaca nako panjang yang biasa digunakan untuk mengatur cahaya masuk. Kaca jendela bertingkap itu, ia turunkan agar bisa melihat keluar tanpa perlu ia harus keluar.
Danica melihat seorang pria dengnan postur tubuh tinggi menjulang, berdiri depan pagar, dengan kepala celingukan ke dalam. Tapi, kepala itu berhenti dan menatap tepat ke arah Danica yang kepalanya terlihat dari luar seperti bergaris-garis.
"Woeee! Nica! Buka pagarnya! Kasihan ini Bapak kedinginan."
Danica terlonjak sampai ia mundur selangkah. Pria di luar yang mengaku bernama Agasta, berteriak memanggil namanya dengan cara biasa. Padahal, dirinya belum memperkenalkan diri. Tapi kalau dipikir-pikir, adalah wajar jika Agast tau namanya, kan pria itu meneleponnya, yang artinya pria itu tahu perihal dirinya, termasuk namanya.
Notifikasi pesan masuk berbunyi untuk Danica.
Agasta: Kamu mau bunuh orang? Di sini ada orang tua sakit yang harus segera masuk!
Danica: Orang tua siapa? Alasan aja. Kamu mau rampok, 'kan?
Agasta: Rugi merampok rumah tua dan bobrok begitu. Harga mobil saya, bisa buat beli kamu rumah baru. Cepat buka pagarnya!
Danica mencibir kesombongan Agasta. Kembali ia mencoba melihat lebih jelas keluar. Fokusnya pada mobil yang terpakir. Melalui celah-celah pagar rumahnya, ia bisa melihat jenis mobil itu.
"Emang mobil milyaran. Sialan. Siapa, sih?" gumam lirih Danica.
Pikiran bahwa pria itu pria jahat, mulai tertepis. Danica memutuskan keluar dan mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan Agasta. Ia mengambil kunci gembok pagar dan mulai keluar rumah.
Di luar, udara dingin dan kabut, langsung membungkus Danica. Sontak gadis itu menggigil. Menyesali diri karena buru-buru keluar sedangkan dirinya hanya mengenakan celana pendek dan kaos longgar. Harusnya tadi ia memakai celana olahraga dan jaket.
Danica menatap mobil yang mesinnya masih menyala dan pria di depan pagar bergantian.
Pria bernama Agasta mengenakan jaket hitam yang sangat tebal. Menggoda untuk dipinjami Danica. Pria itu juga menggunakan penutup kepala, menghidarinya dari rasa dingin yang menerpa. Semakin dekat, dengan cahaya lampu neon dekat pagar, Danica bisa melihat jika cowok itu sangat tampan dengan jambang tipis yang terlihat tumbuh di sekitar pipi dan dagu. Persis seperti bayangan bad boy di setiap cerita yang Danica tulis.
"Mana orang tuanya?" tanya Danica ketus.
Danica harus melipat kedua tangannya di d**a kuat-kuat. Dinginnya kota kelahirannya yang berada di bawah kaki gunung, membuat Danica menggigil setengah mampus.
"Di mobil." Agasta melepaskan jaketnya dan melalui celah jeruji besi pagar, Agasta meyodorkan jaketnya. "Pakai cepat. Trus buka pagarnya ini."
Danica tak bisa menjaga gengsinya. Dinginnya sudah sampai ke sumsum tulangnya. Ia menerima jaket Agasta yang setelah dikenakan malah kedodoran. Panjangnya yang jika dipakai Agasta hanya sampai bok0ng, setelah dipakai Danica malah menjadi panjang sampai ke lutut.
Setelah meresleting jaketnya, Danica membuka pagar rumahnya. Danica hanya membuka secukupnya, tapi Agasta dengan cekatan membuka pagar lebih lebar lagi.
"Eh, mau apa?" tanya Danica bingung.
"Masukin mobil." Dan Agasta melesat setengah berlari masuk ke dalam mobilnya. Tak memberikan kesempatan bagi Danica bertanya.
Danica pun mau tidak mau mundur. Terpaksa memberi jalan mobil mewah Agasta masuk.
Setelah mobil terparkir, Danica menghampiri dengan bingung. Agasta keluar dan menuju ke pintu penumpang. Pintu dibuka dengan cara digeser. Agsta kemudian menarik plat, yang sepertinya digunakan untuk meluncurkan sesuatu. Danica menduga itu untuk kursi roda.
Untuk alasan yang tak dimengertinya, jantung Danica berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia belum punya perkiraan siapa yang akan keluar. Tetapi dirinya sudah memiliki keresahan tentang siapa yang akan keluar.
Terdengar erangan lirih dari seseorang yang sepertinya sangat lemah dan suara Agasta yang menenangkan dengan lembut. Erangan itu adalah erangan seorang pria. Perasaan Danica makin tidak nyaman. Bukan takut. Lebih ke tidak nyaman saja.
Setelah beberawa waktu yang terasa sangat lama, akhirnya dari dalam mobil, meluncur perlahan sebuah kursi roda yang didorong Agasta dengan hati-hati.
Seorang pria renta, dengan jaket tebalnya yang berwarna cokelat muda, bagian leher yang dililit kain rajutan wol warna cokelat juga, tetapi lebih gelap, dan dibagian pangkuan kakinya ada selimut kotak-kotak yang terlihat tebal juga.
Danica hanya bisa mendelik, bergeming, dengan isi kepala yang terdiam tidak tahu harus apa. Ia tak mengenali siapa pria itu, apalagi Agasta. Dua pria, beda usia, asing, kini berada di depan rumahnya.
Reaksi si pria tualah yang membuat Danica penasaran.
Pria itu menatap rumah itu dengan senyum bergetar. Sudut matanya yang bergaris-garis, terlihat berkedut. Tak lama, salah satu tangannya, dengan bergetar, mengusap matanya. Sepertinya ia tak ingin air mata jatuh.
Danica iba, tetapi juga bingung. Perlahan ia mendekati Agasta yang berdiri di belakang si pria tua sembari tetap memegangi gagang kursi roda.
"Dia siapa?" tanya Danica dengan suara berbisik. Danica menjijit dengan susah payah agar bisa lebih dekat dengan telinga Agasta.
Agasta terhenyak. Ia melotot sampai kedua bola matanya akan lepas. "Kamu gak kenali beliau?"
Danica mengernyit. Ia sudah mengamati pria tua itu. Tetapi, ia yakin tak mengenalinya. Derngan lemah, Danica menggelengkan kepala.
"Memangnya dia siapa?"
"Nika...." Si pria tua mengeluarkan suara sembari menunjuk ke dalam rumah. Senyumnya semakin lebar.
Danica terhenyak. Namanya memang tertulis Danica, tetapi sapaannya adalah Nica atau dibaca Nika.
***