Danica memasuki kamar ibunya. Segera ia menyalakan lampu karena kamar menjadi terlalu gelap. Apalagi sudah malam, tak ada bias cahaya dari luar. Seharusnya ada cahaya dari luar saat malam, tetapi lampu luar yang ada di dekat kamar ibunya, sudah lama putus. Tak ada yang bisa mengganti lampunya.
Aroma kapur barus menggelitik hidung Danica. Gadis itu tak suka aromanya, tetapi Mbok Min sepertinya tak peduli. Mungkin bagi Mbok Min dari pada kamar ibunya bau pengap dan mengundang binatang aneh seperti kecoa, lebih baik diberi kapur barus yang pastinya selain bisa menjaga aroma kamar, juga bisa mengusir serangga.
Yah, setidaknya bukan bunga melati di atas kasur, batin Danica. Tentunya akan menciptakan suasana horor bagi kamar yang sudah lama tak ditempati apalagi pemilik kamar sudah meninggal, jika kamar itu beraroma bunga melati. Bunga yang identik dengan pemakaman.
Tahun pertama setelah Danica di jogja, saat pulang dan masuk ke rumah melewati kamar ibunya, aroma melati menguar dan membuat perasaan Danica beribu-ribu kali lebih tak nyaman. Ada perasaan horor saja. Dirinya yang tak penakut, jadi agak takut juga. Karenanya ia melarang ada bunga melati masuk ke dalam rumah. Yang kemudian tak hanya melati, bunga sedap malam pun tak diperkenankan Danica ada di kamar ibunya. Alhasil, sebagai pengganti agar aroma kamar yang lembab tidak menyengat, maka diganti dengan kapur barus.
Danica melangkah perlahan, lebih masuk lagi ke dalam kamar. Ia duduk di tepi ranjang yang diberi seprai merah muda dengan lukisan bunga bakung yang lebar di bagian tengah. Danica membelai kasur ibunya perlahan. Kerinduan menyusup menjadi sendu.
Pernah di suatu masa, ia tidur di kamar ibunya, bersisian. Tidak ada televisi di kamar ibunya, karena ibunya lebih senang kesunyian. Sebelum tidur, ibunya akan membaca buku sampai dirinya benar-benar diserang kantuk.
"Ma...."
"Apa?" tanya ibunya saat itu sambil tetap membaca. Sepertinya bagian yang sedang dibaca ibunya begitu penting hingga ibunya bergeming dari panggilannya.
"Mau tanya."
"Tanya ya tanya aja."
"Mama lagi baca gitu," ucap Danica dengan nada merajuk. Berharap ibunya mau lebih memerhatikannya. Tidak enak rasanya bicara kalau tidak ditatap.
Berhasil. Ibunya menghentikan membaca dan menatap Danica. "Mau tanya apa?"
Tatapan lembut ibunya, membuat Danica tidak enak hati dan berniat mengurungkan saja niatnya bertanya. Tapi, hatinya mendesak Danica muda untuk bertanya saja. Kalau ibunya marah, tinggal minta maaf dan diterima saja kemarahannya dengan diam. Paling juga besok baik lagi ibunya.
"Kamu mau tanya apa? Papamu?" tebak jitu sang ibu.
Untuk sesaat Danica terperangah. Ternyata benar kata orang, bahwa seorang ibu adalah Tuhan bagi anaknya. Tak ada yang bisa benar-benar disembunyikan. Semua akan terawasi dan mudah diketahui, bahkan sebelum itu disampaikan. Sebuah anugerah bagi seorang ibu dan bisa jadi sedikit mengesalkan bagi sang anak yang ingin menyimpan sesuatu bagi diri sendiri.
"Apa yang mau kamu tanya?" tanya ibunya saat itu dengan nada sangat biasa. Seolah ibunya tak terbebani apa-apa jika Danica bertanya.
"Mmm..., anu...."
"Ona anu ini unu, kamu mau tanya apa?" tanya ibunya dengan nada gemas. Sontak Danica tertawa dan ibunya tersenyum dengan sudut bibir yang melukis tawa tersembunyi.
"Kalau masih susah bertanya, gak usah tanya. Mama mau lanjut baca."
"Memangnya seru?" tanya Danica.
"Jauh lebih seru dari pertanyaanmu itu." Ibunya menowel lembut hidung bangir Danica.
"Memangnya saya mau tanya apa menurut, Mama?" tantang Danica.
Ibunya tak langsung menjawab. Wanita lembut itu justru menatap Danica dengan tatapan sendu. Ada helaan napas sebelum ibunya itu mulai bicara.
"Kalau kamu tanya di mana papamu, Mama sudah tegaskan untuk kesekian kalinya kalau Mama tidak mau memberitahumu. Mama tidak rela kalau kamu yang ke sana untuk menemuinya. Bukan kamu yang harusnya ke sana dan menemuinya."
"Kalau saya tidak ke sana, apakah Papa akan ke sini, Ma?"
Danica menatap mata ibunya yang berubah sendu. Keceriaan seketika terhempas. Ibunya menatap dirinya dalam bisu yang bagi Danica saat itu, terasa lama. Sampai kemudian ibunya kembali menatap bunya dan membaca.
"Kamu dan papamu adalah takdir. Kalian pasti bertemu."
"Yeah.... Tapi, mungkin takdir bisa saya permainkan, Mama," ucap lirih Danica sembari tetap membelai tempat tidur ibunya. "Saya pergi jauh dan saya berharap Papa tidak akan bisa menemukan saya. karena jika bertemu, saya tidak yakin saya bisa mengendalikan diri saya."
Pintu kamar ibunya yang terbuka lebar, diketuk Mbok Min. Bentuk kesopanan yang diajarkan ibunya. Bahwa meski daun pintu terbuka lebar, jika ingin masuk, tetap harus ketuk pintu dulu.
Mbok Min melangkah mendekat dengan senyum lucunya.
"Kenapa, Mbok? Makan malam dah siap?" tanya Danica yang langsung berdiri.
"Makannya sudah siap. Tapi, di depan ada Mas Prasaja."
"Aduh...." Danica tak menyembunyikan keluhannya. Malam ini ia sangat ingin sendiri, tak ingin ada lain-lain orang selain dirinya, Mbok Min, dan masa lalu. Meskipun begitu, Danica juga tidak enak hati menolak kedatangan Prasaja.
"Mbok, gak usah dibikinkan apa-apa," ucap Danica.
"Lho? Kenapa?"
"Pokoknya gak usah. Biar dia cepat pulang."
Mbok Min mengangguk dengan senyum geli. Ia sangat paham jika majikan mudanya itu tak menyukai Prasaja apalagi kedatangannya.
Dengan langkah malas, Danica ke teras depan.
Di teras, Prasaja berdiri memunggungi pintu dan menatap keluar dengan kedua tangan saling menumpu di belakang tubuhnya. Prasaja selalu berpakaian rapi dengan kemeja dan celana kainnya. Sepanjang ingatan Danica, Prasaja tak pernag mengenakan kaos selain kaos olahraga saat sekolah, selebihnya selalu berkemeja. Bahkan saat bermain pun di masa kanak-kanan, Prasaja mengenakan kemeja.
Mendengar langkah kaki dengan sandal setengah diseret, Prasaja mengetahui jika Danica datang. Tepat setelah langkah kaki tak terdengar, Prasaja memutar tubuhnya dan memberikan senyuman manis untuk Danica. Ia melangkah cepat mendekati Danica dan memeluk gadis itu dengan sangat biasa.
Sedangkan Danica, sangat risih jika dipeluk Prasaja. Bagi Danica, ia dan Prasaja tak sedekat yang dikira orang-orang. Danica sendiri adalah seorang yang mandiri dan hampir tidak pernah meminta bantuan siapa-siapa apalagi Prasaja. Namun, keluarga mereka selalu menjadikan Prasaja sebagai andalan untuk Danica dan ibunya.
Hal yang sangat tak menyenangkan bagi Danica, karena dengan begitu seolah-olah dirinya dan ibunya memiliki hutang budi. Ditambah lagi, Yuni dan Surya selalu menemukan cara agar dirinya dan Prasaja selalu bersama. Dan Prasaja tidak ada penolakan.
Danica melepaskan dirinya dari pelukan Prasaja dan memberikan senyuman terpaksa.
"Kamu kan sudah saya bilangin, kalau pulang mbok ya omong ke saya. Biar saya jemput saja," ucap Prasaja sembari mengusap-usap kepala Danica.
Gadis itu menepis lembut tangan Prasaja dan duduk bangku teras. Parsaja juga mengikuti dengan duduk di bangku satunya. Keduanya dibatasi meja kecil. Danica heran dengan tenangnya sikap Prasaja yang pelukannya tak ia balas dan belaian tangannya di kepala, sudah ia tepis.
"Saya gak mau merepotkan," ujar Danica.
"Kamu gak ngerepotin saya apa-apa, Nica. Justru kamu begini, membuat saya terus-terusan khawatir."
"Ah, kamu itu berlebihan." Bukannya senang, Danica malah semakin malas.
"Kok, berlebihan. Saya serius, lho, kepikiran kamu. Lagian kamu makin sudah ditelpon. Mana, pesan WA saya lama kamu balas."
Danica menghela napas diam-diam. Kata-kata Prasaja lebih terdengar seperti protes ketimbang sebuah pernyataan biasa.
"Maaf. Saya sibuk."
"Sibuk bikin n****+ baru?" tanya Prasaja.
"Iya."
"Tapi, tumben kamu pulang. Biasanya nanti akhir tahun. Kamu sakit?" Prasaja memajukan tubuhnya dan mengulurkan tangan menyentuh kening Danica.
Sontak Danica memundurkan kepalanya. "Saya gak sakit, Pras. Saya gak apa-apa."
Prasaja cukup keheranan dengan reaksi Danica yang menghindarinya. Tapi Prasaja memilih diam tidak protes. Ia menarik tangannya yang tadi terulur.
"Lalu kenapa?"
Mungkin karena perasaan tidak suka saja yang membuat Danica berprasangka akan nada bicara Prasaja yang seperti seorang kekasih.
"Tidak apa-apa, Pras. Hanya ingin pulang saja." Danica malas menyampaikan kalau ia memimpikan ibunya.
Prasaja mengamati wajah Danica dengan seksama. Mencoba mengira-ngira kemungkinan-kemungkinan.
"Kalau memang ada sesuatu, coba bicara sama saya. Kamu kan bukan siapas-apa lagi dalam hidup saya. Jangan membatasi dirimu, Nica. Ceitakan semua ke saya."
Rasanya perut Danica mulas. Ia tak suka didesak.
"Tidak ada apa-apa, Pras."
"Sungguh, ya?"
Danica memberikan senyumnya untuk meyakinkan Prasaja. "Iya, Pras."
"Sudah makan?"
"Sudah," dusta Danica.
"Beneran sudah?" Prasaja melihat jam tangannya.
Tindakannya bikin Danica kesal sebenarnya. Ini seolah menguji kejujuran Danica dari kebiasaan gadis itu. Pun begitu, Danica enggan protes atau marah-marah. Untuk banyak harinya, Prasaja selalu ada di dekat Danica.
"Iya, sudah. Tadi saya kelaparan, dan saya minta Mbok Min masak sore-sore."
"Kalau kamu lapar kenapa gak bilang saya."
Hadeh. Apa-apa apa saya harus bilang kamu? keluh Danica dalam hati.
"Saya gak mau repotin kamu aja."
"Selama itu buatmu, saya gak pernah repot atau kenapa-napa."
"Terima kasih."
Danica dengan sengaja menguap. Pengusiran secara halus ketimbang ia bicara dengan jelas yang nantinya berdampak buruk. Danica sadar diri kalau masih butuh Prasaja untuk mengurus perkebunan dan peternakannya.
"Kamu ngantuk?"
"Iya," jawab Danica lemas. Gemas juga kenapa itu perlu ditanyakan saat ia sudah berakting dengan benar.
"Mau tidur?"
Rasanya Danica ingin berteriak saja kalau ia sedang tidak ingin diganggu lama-lama dan bahwa tadi ia sedang berakting.
"Iya. Saya lelah, Pras. Kamu taukan jauhnya jarak Jogja ke sini dengan mobil."
"Tadi memangnya gak sempat tidur?"
Danica mendelik. Kekesalannya sudah sampai ubun-ubun. Pertanyaan datar Prasaja justru mengintimidasi dirinya. Prasaja sudah dirasa Danica berlebihan. Keduanya hanyalah teman, tidak lebih dari itu. Harusnya, Prasaja tak perlu berlebihan bertanya. Danica tak punya tanggung jawab untuk menjelaskan detail kegiatannya.
"Saya tidur. Tapi saya lelah, Pras. Please.... saya mau istirahat. Boleh?" Danica akhirnya bersikap lebih tegas. Ia sudah teramat jengah dengan sikap Prasaja.
Prasaja seperti tak menyadari kekesalan Danica. Ia justru tersenyum dan memajukan tubuhnya lagi untuk mencubit kedua pipi Danica.
"Oke, Cantik. Saya pulang dulu, ya. Kamu istirhat aja. Pasti capek."
Danica menepis tangan Prasaja dengan wajah ditekuk kesal, tapi Prasaja jutsru tertawa. Dalam hati Danica mengingatkan diri sendiri untuk tak menerima Prasaja jadi tamu.
***