"Siapa kamu sebenarnya?” tanya Feeya dengan mata memerah dan berair, air matanya juga membasahi pipinya, napasnya terengah karena emosi bercampur kecewa.
Revan terdiam karena tidak mengerti atas pertanyaan yang Feeya lontarkan padanya.
"Dasar penipu! Pembohong! Kenapa orang kaya selalu mempermainkan perasaan orang miskin?" cecar Feeya bertubi dengan banyak pertanyaan.
"Apa maksud ini semua, Sayang? A-aku —”
"Cukup!” Feeya mendorong d**a Revan yang hendak memeluknya.
"Cukup sandiwaramu, berhentilah berakting, Eiichiro Revan Ryuzaki!" sentak Feeya, berhasil membuat Revan terhenyak.
Sontak membelalak terkejut karena wanita itu mengetahui nama lengkapnya. Baru saja Revan membuka mulut hendak menjelaskan mengapa dia harus menutupi jatidirinya, Feeya sudah lebih dulu pergi.
===
BRAKKK!!!
"AKH!!!" pekik seorang gadis.
Kedua mata Revan membola ketika dia melihat seorang gadis terjatuh, parahnya gadis itu tertimpa motor elektrik atau listrik yang Revan tabrak.
Tidak sengaja, Revan yang sedang memarkir motor sportnya tidak melihat dan mendengar ada suara motor lain di belakangnya. Suara motor listrik yang sangat halus, milik gadis bernama Feeya. Dia baru saja membelinya karena motor tersebut sedang viral dan kebetulan tabungannya mencukupi.
Baru beberapa hari Feeya pakai, sial pagi ini motornya tertabrak saat di parkiran kampusnya.
"Ma-maaf, saya tidak tahu kalau ada kamu di belakang," ucap Revan, segera membantu menarik motor yang menimpa Feeya kemudian dia membantu gadis itu berdiri.
Beberapa orang mendekat untuk melihat kejadian yang mengejutkan itu.
"Kamu gak apa-apa kan?" Kembali Revan bertanya meski kalimat pertamanya tidak mendapat respon dari lawan bicaranya.
Sebagai korban wajah Feeya sudah berlipat, cemberut karena kesal.
Revan memeriksa tubuh Feeya, takut ada cidera atau luka. Tapi Feeya langsung menepisnya.
"Saya gak apa-apa," jawab Feeya, acuh. Dia lebih memilih memeriksa motor listriknya ketimbang tubuhnya yang baru saja tertiban motornya sendiri.
"Yahhh, lecet," sesal Feeya, pelan. Akan tetapi, Revan mendengar.
Revan jongkok disebelah Feeya dan mengusap bagian yang lecet tersebut.
"Saya akan tanggungjawab, kita bawa ke bengkel ya biar di poles lagi," ajak Revan seraya melirik Feeya tepat disampingnya dengan wajah cemberut dan lirikan mata yang sulit di artikan oleh pria berdarah setengah Jepang itu.
Feeya menghela napas panjang. Kemudian dia mengulas senyum tipis meski tidak kentara.
"Gak apa-apa, bukan sepenuhnya salah kamu juga sih," tolak Feeya.
"Tapi motor kamu baru dan—"
"Saya bilang gak usah, ya gak usah!" sentak Feeya.
Merasa tidak ada yang perlu di khawatirkan, beberapa orang yang berada disekitar keduanya membubarkan diri, kecewa karena tidak terjadi keributan yang bisa mereka jadikan konten di sosmed mereka. Tinggallah Revan dan Feeya berdua saja di sana.
"Heum, kamu mahasiswa baru di sini?" tebak Feeya.
Kedua alis Revan terangkat dan dia menunjukkan dirinya sendiri.
"Saya baru lihat wajah kamu," tambah Feeya.
"Iya, saya baru di sini," jawab Revan.
Pria berwajah oriental itu membantu Feeya memarkir motor listrik warna merah muda itu tepat di sebelah motor sport miliknya.
"Benar gak perlu ke bengkel?" Revan kembali memastikan karena melihat goresan di badan motor listrik milik gadis manis itu terlihat jelas.
"Ck!" Feeya berdecak.
"Benar gak usah," sambungnya.
"Kenapa?" Feeya menggedikan dagunya karena Revan begitu intents melihat dirinya dari atas sampai bawah.
"Kamu gak lecet?" sahut Revan, masih penasaran dengan kondisi Feeya.
Gadis yang tingginya hanya sedada Revan itu berputar ke kiri dan ke kanan melihat tubuhnya sendiri, dia tidak menemukan luka sedikitpun kecuali celana jeansnya yang sedikit kotor di bagian sampingnya.
Feeya menggeleng, "Saya baik-baik saja," jawabnya.
"Kalau besok-besok kamu merasa sakit, bilang saya ya," paksa Revan, karena masih khawatir dengan kondisi Feeya.
Feeya mengangguk.
"Oh iya, perkenalkan nama saya Revan, kamu?" Mengulurkan tangannya.
Feeya membalasnya, keduanya bersalaman dan berkenalan setelah sekian lama berinteraksi.
"Feeya, Safeeya Jayakrisna."
Revan tersenyum hangat, membuat Feeya terpesona dengan senyum berlesung pipi itu.
Feeya melihat jam tangannya kemudian dia menepuk keningnya sendiri.
"Astaga, maaf ya, Van. Kelas pertama saya sudah mau mulai, saya hampir terlambat," pamit Feeya.
"Okay, sampai bertemu lagi." Revan melambai ketika Feeya berjalan lebih dahulu dan menoleh kearahnya, dia pun balas melambai.
"Heum, manis juga, lucu lagi," gumam Revan seraya melanjutkan langkah kakinya menuju gedung rektorat yang ada di sebelah gedung Fakultas Sastra.
***
"Lucu banget sih kamu, di saat semua orang manfaatkan status orang tua mereka, meneruskan bisnis keluarganya, kamu malah mau mulai dari nol dengan menjadi Dosen," tutur Raiden.
"Papa sendiri dulu juga jadi Dosen kan?" sahut Revan sembari menjatuhkan punggungnya, bersandar ke sofa.
Raiden mengendus kesal karena dia selalu kalah ngomong dari Revan, putra pertamanya itu selalu berhasil me-Skak Mat dirinya.
"Dari awal keluarga kita berprofesi sebagai Dosen, Pa. Apa salahnya kalau aku pun mengikuti jejak kalian semuanya," tambah Revan antusias.
"Ayolah, Pa. Beri aku posisi Dosen," rengek Revan, merajuk.
Raiden menghubungi pihak management Universitas Ryuzaki, Universitas yang telah lama berdiri dan dikelola oleh keturunan Ryuzaki sendiri yang sudah lama memiliki latarbelakang pendidikan.
"Baik kalau begitu, saya akan infokan padanya," tutup Raiden. Komunikasi via telpon pun berakhir tanpa banyak percakapan.
Raiden menghela napas panjang.
"Posisi Dosen reguler sudah penuh, Van."
Revan mendengus, kecewa karena niat baiknya berbagi ilmu dengan sesama harus pupus. Jauh-jauh menuntut ilmu di Negeri Sakura sana dan berniat membaginya dengan Negeri dari pihak sang ibu harus secepat itu punah. Padahal Universitas itu milik keluarganya sendiri.
Rasa kecewa Revan hanya sebentar karena tidak lama, telpon di meja kerja Raiden berdering. Pria setengahbaya itu langsung mengangkatnya.
"Ya," sahutnya.
" ... "
"Heum, dia pasti senang mendengar kabar ini, terimakasih banyak."
Revan terus menatap mata sang ayah sepanjang Raiden menerima telpon tersebut. Meski tidak bisa mendengar ucapan lawan bicara di seberang telpon sana tapi Revan cukup pintar mengambil kesimpulan kalau Raiden menerima kabar baik.
Raiden tersenyum, senyum yang sama seperti milik Revan sang putra. Senyum yang penuh pesona dan membuat kaum hawa klepek-klepek jatuh hati langsung saat itu juga saat melihatnya.
"Ada kosong, Dosen untuk semester pendek, mau?" tanyanya langsung menawarkan pada putranya.