Shita menyerahkan selembar kertas pada Wulan sambil tersenyum. Dia mengajak teman sebangkunya itu mengobrol di tengah pelajaran memakai surat. Sambil melengkungkan bibir, Wulan menerima surat itu. Sebenarnya dia agak terganggu, tapi dia tidak memprotes.
Apa hobimu?
Kalimat itulah yang tertulis pada kertas itu, dalam hati Wulan mendengus.
Anak ini berisik sekali, sih! Batin Wulan. Gadis bisu menulis jawaban atas pertanyaan teman sebangkunya yang super kepo itu lalu menyerahkannya pada Shita dengan senyuman yang tersungging di wajahnya. Menyembunyikan emosi adalah salah satu keahlian Wulan, meskipun dia sedang sangat kesal sekalipun, gadis itu dengan mudah akan tetap tersenyum.
Melukis.
Kalimat itulah yang dituliskan Wulan dalam kertas jawabannya. Shita tampak semangat saat membaca tulisan tangan Wulan itu, lalu menuliskan kalimat di bawah tulisan tangan Wulan dan menyerahkannya kembali pada Wulan.
Wulan kembali melengkungkan bibir saat menerima kertas itu, walau dalam hati dia mencibir. Kapan anak ini akan berhenti menggangguku? Wulan membaca tulisan tangan Shita yang terakhir di kertas itu.
Wah ... hebat! Kamu suka melukis apa?
Dengan terpaksa Wulan kembali menuliskan kalimat di bawah tulisan tangan Shita itu sebagai balasan.
Macam-macam, aku aliran naturalisme, jadi aku berusaha menampilkan suatu objek secara alami.
Wulan memberikan kertas itu pada Shita. Teman sebangkunya itu kembali membaca dan bertanya lagi. Sekitar sepuluh menit mereka terus mengobrol tentang hal-hal yang menurut Wulan sama sekali tidak penting.
Shita adalah anak yang sangat serba ingin tahu dan itu sedikit mengganggu privasi Wulan. Sayangnya, gadis berkulit gelap dengan rambut ikal dikuncir satu mirip buntut kuda itu sama sekali tidak sadar dengan tindakannya tersebut. Selama satu jam pelajaran Kimia, Wulan dengan terpaksa menanggapi pertanyaan Shita yang datang bertubi-tubi dan membuatnya cukup kesal.
Aku kepikiran Anita.
Shita tiba-tiba mengalihkan pembicaraan dengan menuliskan kalimat itu pada kertas yang sedari tadi mereka jadikan media surat-menyurat. Wulan diam sejenak saat membaca tulisan itu kemudian menuliskan jawabannya.
Ya, kasihan dia.
Shita menuliskan kalimat yang panjang di bawah tulisan Wulan itu.
Kata ayahku sulit melacak pelakunya, apalagi jika hanya bermodal nama dan alamat f*******: saja, karena semua informasi di f*******: bisa dipalsukan. Aku ingin menemukan orang-orang bejad itu dan menghajar mereka! Kamu mau bantu?
Wulan terdiam setelah membaca tulisan itu, dia kemudian menoleh pada Shita yang tersenyum dengan memprovokasi. Wulan kemudian menuliskan jawaban atas pertanyaan itu pada kertas yang sama.
Maaf, pulang sekolah nanti aku ada urusan.
Shita tampak kecewa saat membaca tulisan tangan Wulan, tapi dia tetap tersenyum kemudian ikut menuliskan kalimat lagi pada kertas yang hampir penuh itu.
Yah ... ya, sudah, kalau begitu kapan-kapan kalau lagi senggang ikut, ya!
Shita menyerahkan kertas itu pada Wulan. Wulan membacanya, dia kemudian melenggut dan tersenyum. Shita dan Wulan kemudian menghentikan aktivitas surat-menyurat mereka karena mereka harus mengerjakan hidangan soal kimia yang disediakan oleh guru di papan tulis. Wulan diam-diam mencuri pandang pada Shita dengan tatapan penuh arti.
***
"Bunuh diri!" jawab dokter ahli forensik Sasa dengan tegas saat Yudha bertanya bagaimana pendapatnya tentang kasus yang sedang dihadapi Yuda sekarang.
Yudha sedang makan siang bersama dua seniornya Iptu Raka dan dokter forensik Sasa yang lebih tua empat tahun darinya di kantin. Mereka sama-sama berasal dari Kota Malang di Jawa Timur jadi cukup akrab karena sering mudik bersama.
Raka dan Sasa adalah senior yang kompeten, cekatan, dan berpengalaman. Yudha sangat sering meminta nasihat dan masukan mereka jika menemui kesulitan dalam pekerjaannya, terutama dari Raka yang selalu berkepala dingin.
Yudha mengerutkan dahi mendengar pendapat Sasa, dia lalu menengok Raka, meminta pendapat. Raka yang sedang menyantap nasi pecel Madiun itu mengangguk setuju.
"Luka di pergelangan tangan itu luka yang nggak lazim untuk kasus pembunuhan, apalagi nggak ada bekas k*******n lain maupun perlawanan." Raka menerangkan.
"Bisa saja kan korban dibuat pingsan terlebih dulu baru kemudian dipotong urat nadinya." Yudha bersikeras.
"Memang, tapi dari hasil autopsy nggak ada tanda-tanda korban meminum obat tidur atau semacamnya sebelum meninggal."
Yudha diam sejenak dan berpikir. Masuk akal juga yang dikatakan kedua seniornya itu, tapi rasanya Yudha kurang puas. Dia lalu menatap Sasa lagi.
"Apa benar penyebab kematiannya karena perdarahan dari nadi di pergelangan tangannya itu? Bukan karena hal lain?"
"Kamu meragukan kemampuanku, ya? Kalau kubilang 'itu' ya 'itu'!" seru Sasa sambil melotot. Yudha hanya menyengih. "Kurasa motifnya karena diperkosa, mungkin dia merasa malu, jadi memilih bunuh diri. Tulis saja begitu di laporanmu," kata Sasa yakin.
Yudha menghela napas panjang. "Kalau hanya begitu saja rasanya aku kurang puas, apa sebaiknya kuselidiki saja pelaku pemerkosanya, ya? Paling nggak orang itu bisa dijerat pasal 285 atau 287 KUHP, kan? Jadi bisa dipenjara 9-12 tahun supaya arwah gadis itu tenang."
"Wah ... kamu keren sekali, Yudha! Selamat berjuang, deh!" Sasa tersenyum memberi dukungan.
"Ya, ada baiknya begitu." Raka sepakat.
Yudha merasa senang memperoleh dukungan dari kedua seniornya itu. Dia memang bersemangat ingin menyelidiki pelaku p*********n itu, tapi sebenarnya dia tak tahu harus menyelidiki mulai dari mana.
***
Sepulang sekolah, Shita menuju Kafe dekat sekolah. Kuota internetnya sedang habis, untungnya ada banyak kafe seperti ini kota Surabaya. Dia bisa mendapatkan akses wifi gratis setelah memesan es teh. Gadis itu memilih duduk di dekat jendela lalu mulai menjelajahi f*******: melalui smartphonenya. Dia mencari akun dengan nama yang telah diberitahukan Anita tadi.
Jari-jari Shita dengan lincah menyentuh layar touche screen, mencari akun itu. Namun tampaknya akun itu telah diblokir sehingga tidak dapat diakses. Shita mendesah kecewa. "s****n! Apa mereka sengaja memblokir akun setelah melakukan perbuatan bejadnya!"
Shita menendang kursi saking kesalnya. Ternyata benar apa yang dikatakan ayahnya, mustahil mencari orang hanya bermodalkan alamat f*******:. Sekarang Shita bingung, bagaimana dia bisa membantu Anita? Padahal dia sudah telanjur berjanji.
Shita keluar dari aplikasi f*******: dan membuka daftar kontak. Dia mencoba menghubungi Igo, tetapi hanya suara operator seluler yang mengatakan bahwa nomor cowok itu sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Shita meletakkan kepalanya di atas meja dengan frustrasi. Sekarang apa yang harus dikatakannya pada Anita?
Sementara itu di luar Kafe, dalam jarak sekitar sepuluh meter berdirilah Wulan. Selama sepuluh menit terakhir, gadis itu hanya diam dan mengamati tindak-tanduk Shita dari kejauhan. Wulan menghela napas kemudian membalikkan badan hendak pergi, namun tiba-tiba dia merasakan perasaan yang aneh. Dadanya terasa sesak dan tubuhnya terasa dingin, kepalanya pun terasa pusing.
Wulan memegangi dadanya dan menarik napas dalam-dalam untuk menstabilkan napasnya. Wulan kemudian kembali menoleh pada Shita yang masih duduk di depan meja komputer dalam warnet.
"Ah ... bagaimana ini?" erang Shita sambil mengutak-atik akun f*******: yang telah diblokir itu dengan asal-asalan.
Tuk! Tuk! Tuk!
Terdengar tiga ketukan di kaca jendela yang berada tepat di samping Shita, secara spontan Shita menoleh. Wulan berdiri tepat di balik jendela itu dan tersenyum padanya.
"Loh, Wulan?" tanya Shita bingung melihat keberadaan Wulan di sana, pasalnya tadi saat diajak Shita, Wulan mengaku dia ada urusan sepulang sekolah.
Wulan meniupkan napasnya pada kaca. Dia lalu menuliskan sebuah kata dengan telunjuknya pada kaca yang berembun itu.
"Ikuti aku." Shita membaca tulisan tangan Wulan itu lalu memandang Wulan dengan bingung dan mengulang kalimat yang baru diucapkannya dengan nada bertanya. "Ikuti aku?"
Wulan yang berada di balik jendela mengangguk.
***