Gadis bertubuh mungil itu berdiri di depan sebuah toko di pojok pasar. Rambutnya yang hitam lurus dibiarkan terurai sampai sepinggang. Parasnya cantik, jika dia tersenyum dia punya lesung pipit di pipi kanannya yang membuatnya terlihat semakin manis.
Dia berdiri di depan toko sambil membawa keranjang yang masih kosong di tangannya. Tak lama kemudian pemilik toko langganannya itu keluar. Wanita berusia empat puluh tahun dengan badan gemuk itu tersungging dan menyapanya.
"Oh, Hallo, Wulan," sapa pemilik toko itu.
Gadis bernama Wulan itu mengangguk.
"Hari ini belanja apa?" tanya pemilik toko itu.
Wulan mengeluarkan selembar kertas dari dalam sakunya dan memberikannya pada pemilik toko itu. Pemilik toko itu membacanya dengan seksama kemudian tersenyum.
"Baiklah, tunggu sebentar ya, biar kuambilkan."
Wulan menyengguk. Pemilik toko itu memasuki toko, tak lama dia kembali dengan membawa keresek hitam besar berisi barang-barang belanjaan Wulan. "Ini, semuanya lima puluh dua ribu rupiah."
Wulan merogoh sakunya dan menyerahkan dua lembar uang dua puluh ribu rupiah, selembar uang sepuluh ribu rupiah dan selembar uang dua ribu rupiah. Si pemilik toko menerima dan menghitungnya.
"Oke, pas ya uangnya."
Wulan mengangguk. Dia lalu menunjuk jalan dan melambaikan tangan pada pemilik toko itu. Pemilik toko itu tersenyum mengerti. "Ya, terima kasih banyak, lain kali datang lagi ya, nanti kuberi diskon."
Wulan tersungging kemudian berlalu. Pemilik toko itu mengawasi kepergiannya dengan prihatin. "Kasihan, sudah bisu begitu, malah tinggal sendiri."
Wulan menuju tempat kosnya yang letaknya tak jauh dari pasar itu. Sambil membawa keranjangan belanjaannya yang penuh dan cukup berat. Dia melewati jembatan penyeberangan. Saat sudah sampai di anak tangga di seberang jalan seorang gadis menabraknya hingga seluruh barang belanjaannya jatuh berantakan di tangga. Gadis itu tak meminta maaf dan melewatinya begitu saja. Wulan tak berkomentar apa-apa, dengan menghela napas, dia memunguti barang belanjaannya yang sudah berserakan di anak tangga satu-persatu. Tiba-tiba tubuh Wulan terasa dingin dan jantungnya berdebar kencang. Wulan melihat sebuah pemandangan.
Seorang gadis tergeletak di atas aspal, matanya terbelalak, darah segar mengalir dari kepala, mata, hidung dan mulutnya.
Wulan terkesiap, dia bangkit berlari, meninggalkan barang-barang belanjaannya yang masih berserakan di anak tangga.
***
Igo berlari sekuat tenaga sambil sesekali menengok ke belakang. Shita masih berlari mengejarnya. "Berhenti, Igo!" jerit Shita marah.
Igo jelas tak mau menurut dan malah mempercepat larinya. Memangnya dia mau mati apa kalau berhenti? Dia menaiki tangga ke jembatan penyeberangan, lalu tanpa sengaja menabrak seorang gadis berambut panjang yang berlawanan arah dengannya. Tiba-tiba Igo merasakan seluruh tubuhnya serasa dialiri listrik bervoltase rendah. Igo mengerang dalam hati. Jangan lagi! Seketika Igo melihat sebuah gambaran.
Seorang gadis terbaring di atas aspal. Lima pemuda mengerubunginya. Dua orang memegangi tangannya dan dua lainnya mencekal kakinya, pemuda terakhir merangkak di atas tubuhnya.
"Aku akan membuatmu senang, Sayang," bisik pemuda itu di telinga sang gadis sambil menyeringai. Dia kemudian membuka resleting celananya. Gadis itu meronta dan menjerit ketakutan.
"Jangaaaannn!"
Igo kembali ke dunia nyata, dia memicingkan mata menatap gadis yang baru saja ditabraknya itu. Gadis itu diam sambil memandangi jalan raya di bawah jembatan penyeberangan dengan pandangan mata kosong. Igo mengawasi gadis itu dengan prihatin, dia tidak sadar kalau Shita sudah berhasil mengejarnya dan mengarahkan tinju padanya. Begitu sadar Igo segera menghindar. Bogem Shita meleset dan mengenai tembok jembatan penyeberangan, membuat retakan di sana. Mata Igo melotot, bagaimana jadinya kalau tinju itu tadi mengenai wajahnya.
Sementara itu, dari anak tangga di seberang jalan Wulan muncul. Gadis itu berhenti dan menatap gadis berambut panjang yang tadi menabraknya. Gadis itu berdiri di pinggir jembatan dengan pilu, setetes air mengalir dari pelupuk matanya.
Wulan terpegun, dia berusaha berteriak tapi suaranya tak keluar. Gadis itu lalu menaiki palang jembatan. Wulan terperanjat, dengan sekuat tenaga dia berlari dan meraih tangan gadis itu sebelum gadis itu sempat jatuh ke bawah jembatan. Igo dan Shita turut terperangah. Mereka segera membatu Wulan menaikkan kembali gadis itu ke atas jembatan. Gadis itu meronta-ronta.
"Lepaskan aku! Biarkan aku mati! Biarkan aku mati!" jeritnya dengan suara memilukan.
Shita tidak tahan melihat tingkah gadis itu. Dia melepaskan satu tamparan keras di wajah gadis itu. Gadis itu tergemap, rasa nyeri dan panas menjalar pada pipinya akibat tamparan Shita. Gadis itu menatap Shita geram, namun Shita mendongak dan balas memelototinya lebih garang.
"Kenapa? Sakit? Kalau kamu jatuh rasanya akan jauh lebih sakit dari itu!" bentak Shita.
Gadis itu tertegun, air matanya merebak dan membasahi pipinya.
"Kamu pikir mati itu enak? Kamu pikir dengan mati semua masalahmu akan selesai? Lalu bagaimana dengan orangtuamu dan keluargamu? Bagaimana perasaan mereka jika kamu mati!" hardik Shita marah.
Gadis itu terdiam. Tubuhnya bergetar dan bahuya naik-turun dengan cepat. Gadis itu menangis dengan putus asa. "Aku nggak tahu harus bagaimana lagi," desahnya. "Aku sudah kotor...."
Gadis itu menutupi wajahnya dengan telapak tangannya dan menangis tersedu-sedu. Shita memeluk gadis itu dan menepuk-nepuk punggungnya. "Tenanglah, semua masalah pasti ada jalan keluarnya," kata Shita menenangkan.
Wulan mengelus d**a, merasa lega karena telah berhasil menyelamatkan nyawa gadis itu. Wulan lalu menoleh pada cowok yang tepat berdiri di sebelahnya, yaitu Igo. Mata Wulan terbelalak lebar dan bibirnya sedikit terbuka, dia sungguh tidak menyangka akan bertemu pemuda itu di situ. Mengambil kesempatan karena yang lain sedang tidak memperhatikan dirinya, Wulan berlari panik dari jembatan penyeberangan itu.
Igo menghela napas lega kemudian memandang sekitar. Banyak orang yang berhenti dan mengamati mereka dengan penuh tanya, namun si gadis bertubuh mungil yang menyelamatkan gadis gila yang hampir melompat itu sudah tidak ada di sekitar mereka.
Igo tertegun. Ke mana perginya gadis itu tadi? Dalam Kafe, Haru melihat pemandangan itu, tanpa ekspresi. Dia kembali meneguk coklat panasnya. "Pertunjukannya batal," keluh Haru kecewa. Dia kemudian bangkit dari kursinya. "Ayo pergi, Pak Johan." Haru menuju kasir untuk membayar pesanannya. Sekretarisnya, Johan mengikutinya dari belakang.
Sementara itu di atas jembatan, Shita sudah berhasil menenangkan gadis yang hendak bunuh diri tadi. Gadis itu sudah berhenti menangis dan hanya sesenggukan. Shita melepaskan pelukannya dari gadis itu. "Sekarang tenanglah, dan katakan apa masalahmu," kata Shita.
Gadis itu menghapus air matanya, dia masih sedih dan bingung. "A-aku nggak tahu harus mulai dari mana...," erangnya lirih.
"Ceritakan saja semuanya pelan-pelan, kami akan membantumu sebatas yang kami bisa, ya kan, Igo?" tanya Shita pada sahabatnya. Shita menengok ke samping tempat Igo berdiri, namun ternyata pemuda itu sudah menghilang entah ke mana.
"SI k*****t ITU kabur lagi!" teriak Shita marah saat menyadari ketidakhadiran Igo di sana.
Sementara itu, Igo yang sudah berhasil kabur dari Shita menyusuri pasar. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebungkus permen karet. Dia membuka bungkus permen karet itu dan mengunyahnya. "Dasar orang yang merepotkan," olok Igo malas.
Tak lama kemudian ponsel Igo berdering. Igo mengeluarkan benda itu dari dalam sakunya, sebuah panggilan dari nomer ponsel yang tidak dikenalinya tercantum di sana. "Halo, apa benar ini Pak Igo, penjual informasi?" Terdengar suara seorang wanita dari dalam ponsel itu.
Igo menyeringai. "Iya, ada yang bisa saya bantu?" tanya Igo.
***
Olimpiade Olahraga Siswa Nasional