3. Baiklah, Aku Ikut Kamu, Jiddan (BAIK, J)

1273 Words
"Aku percaya kamu Jika pada akhirnya kamu berkhianat, kesalahan bukan lagi milikku Karena aku sudah menyerahkan kepercayaan itu padamu, maka pertangungjawabkan semua perkataanmu dihadapan Tuhan Bukan dihadapanku lagi" Laeli minu *** Happy Reading *** Sepanjang mata memandang, aku hanya melihat rumah rumah berdinding bambu dan papan kayu. Derik suara terus terdengar, sepertinya suara serangga. Sinar hangat mentari juga terasa hangat dikulit. Suasananya memang menyenangkan, namun tempat ini begitu asing. "Ini di mana?" Selama aku hidup, tak pernah sekalipun menjumpai tempat seperti ini. "Seperti inikah sebuah desa? Tapi kenapa tak nampak satupun manusia? Hewan pun hanya deriknya saja yang terdengar." Dengan dahi membentuk siku, aku menatap sekeliling. Kuputar tubuhku ke kanan, searah jarum jam. Rumah bercat hijau, bercat kuning, bercat coklat, itulah yang nampak oleh mataku. Mendongak ke atas, langit tampak biru, cerah tanpa awan. Pohon-pohon tinggi dengan daun kecil, ada juga yang pohonnya nampak berruas dengan daun kecil tapi panjang. Jangan lupakan pohon-pohon pendek sepanjang jalanan berbatu yang kini aku pijak. Semua nampak asing. Di kota tidak ada tanaman semacam itu. "Kemana orang-orang? Kenapa sepi sekali?" "Gimana kalau aku teriak? Apa akan ada orang yang keluar?" "Coba aja kali ya?" Sambil mengetuk-ngetuk dagu. "HALO!!!" "APA ADA ORANG DISINI?" "HALLOOOO!" Krik krik krik Teriak-teriak kaya gimana juga ternyata gak ngaruh. Tetep aja sepi dan gak ada orang sama sekali. Sampai akhirnya terdengar suara "Pergilah!" "Pergilah!" "Pergilah!" Itu suara seorang perempuan! Ketika kutengok sekeliling tetap saja tak ada orang. Hingga tiga kali suara itu terdengar tak sekalipun kudapati penampakan manusia! Suara itu terdengar dekat, jelas masuk dalam pendengaran. Nadanya begitu halus, mendayu. Meski suara itu mengatakan perintah yang terdengar justru bujuk rayu, membuai. Suara itu menyuruhku pergi, namun kemana hari beranjak? Sedangkan tempat ini begitu asing. "Halo!" "Woyy siapa disana! Keluarlah! Tolong tunjukan jalan kembali!" Tetap tak ada sahutan sama sekali. Justru yang terdengar, " Pergilah!". Hanya satu kata itu saja yang kembali terdengar. "Haloo" "Hoii" "Tolong..." *** Hah hah hah Mimpikah? Tadi itu mimpi? Kenapa terasa sangat nyata? Dimana tempat itu? Asing memang, tapi kenapa terasa tenang? Beranjak dari tempat tidur, aku melangkah menuju pintu balkon kemudian membukanya. Duduk diam pada sebuah kursi yang terdapat di balkon. Dari tempatku duduk saat ini, dapat kulihat lampu-lampu rumah benderang kekuningan disetiap halaman. Sesekali terdapat lentera yang berkelip, sepertinya lampu kendaraan. Satu kata untuk menggambarkannya, cantik. Ketika menatap langit, jangan mengharapkan bintang bertebaran karena satu kerlipanpun tak ada. Hanya lampu-lampu di kejauhan sana yang dapat menjadi hiburan. Kamarku memang di lantai dua sehingga memudahkan untuk menatap keindahan tersebut. Hah Kembali teringat pada mimpi yang membuatku terbangun. Entah kenapa mimpi itu terasa sangat nyata. Dan setelah ku ingat-ingat kembali, ternyata mimpi seperti itu bukan baru kali ini saja. Sebelumnya aku bermimpi serupa yang menyuruhku pergi. Ada yang berupa tulisan ada juga yang berbentuk bisikan, seperti mimpi barusan. Bahkan seperti itu datang sebelum Jiddan mengajak pergi. "Jiddan!" Celetukan tiba-tiba datang dari mulutku. Ah iya, Jiddan. Apa mimpi ini berkaitan dengannya? Pergi? Apakah maksudnya aku harus pergi mengikuti ajakan Jiddan? Jika iya seperti itu, artinya aku memang harus benar-benar pergi. Jika sebelumnya aku mengiyakan ajakan Jiddan dengan separuh keterpaksaan, sekarang harus dengan sepenuh perasaan. Baiklah Jiddan, aku ikuti kemanapun kamu pergi!. 02:15 Kalau aku telepon Jiddan sekarang apakah masih bangun? Kulihat jam digital pada ponsel menunjukan dini hari. Tapi masa iya jam segini Jiddan masih bangun? Coba aku telepon aja kali ya. Tut... tut... tut... Hingga dering terakhir panggilan pertama tidak ada jawaban. Tut... tut... tut... Panggilan kedua berakhir sama seperti panggilan pertama. Tut... tut... "Assalamualaikum," sapa Jiddan ketika panggilan diangkat. "Wa alaikum salam. Jiddan aku ganggu ya? Kamu tadi masih tidur? Maaf ya ganggu?" Aku merasa tak enak hati karena menghubunginya dini hari seperti ini. Namun hatiku akan jauh lebih gak enak kalau tidak segera menghubunginya, gelisah. "Gak, kamu gak ganggu. Maaf ya gak langsung angkat panggilan kamu." Pernah sekali waktu aku nelfon Jiddan namun tidak ada jawaban. Padahal saat itu aku sangat membutuhkannnya. Mobil ku mogok dan ingin Jiddan yang menjemputku karena memang tidak orang lain yang dapat diandalkan. Namun apa daya dia sedang sibuk dengan dunianya hingga aku harus basah tersiram hujan ketika memeriksa mobil. Menunggu hujan reda dengan pakaian basah di dalam mobil sampai akhirnya Jiddan menghubungi aku. Ketika sampai Jiddan segera merawatku. Meminta maaf berkali-kali bahkan sekilas aku melihat matanya berkaca-kaca. Setelah kenadian itu, tak pernah sekalipun Jiddan tidak menjawab panggilan dariku. Baru kali ini kembali terulang. "Gak masalah. Aku aja yang gak tahu waktu hubungin kamunya," terangku agar Jiddan tak perlu merasa bersalah. "Ya sudah. Ada apa kamu nelfon jam segini? Kenapa belum tidur? Kamu gak lagi di arena kan?" Aku tahu kamu khawatir tapi tidak perlu dengan pertanyaan beruntun. "Aku udah tidur, tapi tadi kebangun karena mimpi aneh." Menyender pada kursi yang kududuki, hp aku taruh di meja kecil samping kursi dan kupasang air pods. "Gak berdoa kali sebelum tidur. Jadi mimpi aneh-aneh." Jiddan mengingatkan tentang berdoa sebelum tidur. "Udah doa ih!" Sangkalku. "Ini tuh beneran aneh. Bukan baru sekali ini aja aku mimpi kayak gini tau." Jelasku kemudian. "Terus apa?" "Dalam mimpi ada suara yang nyuruh aku pergi. Pernah juga aku dapet tulisan didalam mimpi yang nyuruh aku pergi juga. Tapi aku gak tahu harus pergi kemana. Teruskan aku inget kemaren kamu ngajak pergi, ya udah deh jadinya aku telepon kamu sekarang. Siapa tahu mimpinya berkaitan dengan ajakan kamu kemaren." Aku menerangkan pajang lebar, semoga Jiddan setia mendengarkan. Beberapa saat Jiddan hanya terdiam. Entah apa yang terjadi di tempatnya. "Jiddan!" Peringatku. "Ah, Iya. Ohh ajakan aku yang kemaren itu." Jeda sejenak. Kudengar Jiddan seperti mengambil napas panjang. "Mungkin saja ada kaitannya dengan ajakan aku kemaren. Jalan Allah siapa yang tahu?" Tukas Jiddan. Kemudian melanjutkan, "Jadi kamu mau ikut aku? Di sana nanti tempatnya mungkin gak pernah ada dalam bayangan kamu. Sama sekali tidak akan dapat kamu duga. Mungkin ke tempat yang becek penuh lumpur?" "Ihh, jangan nakutin gitu deh." Aku protes dong sama kata-katanya barusan. "Tapi ya udah deh aku ikut kamu aja. Terserah kemanapun kamu pergi aku ikut aja," lanjutku dengan setengah hati. "Jangan ikut kalau ragu! Kalau kamu ragu, kamu hanya akan kecewa jika keputusan yang kamu buat tidak sesuai harapan." Jiddan kembali mengingatkan. "Iya, janji gak akan ragu. Aku percaya kamu gak akan bikin aku susah!" Kali ini aku menjawab dengan lebih yakin. Aku percaya Jiddan. "Kamu sudah berjanji jadi harus ditepati. Jangan lupa minta ijin sama orang tua. Kamu bukan pergi buat sehari dua hari, tapi kemungkinan satu bulan." Jiddan kembali menerangkan. "Hah, harus yah." Aku berkata pada diri sendiri. "Ya udah nanti aku hubungi," putusku. "Kemanapun kamu pergi sebisa mungkin ijin dulu walaupun cuma lewat pesan. Siapin aja sama alat salat. Satu ransel aja jangan banyak-banyak barang yang mau dibawa. Selebihnya manfaatkan apapun yang ada di sana nantinya." Sekali lagi Jiddan mengingatkan. "Siap, Kapten!" Semangat ketika menjawab demikian. Kalau aku berkata panjang pasti Jiddan juga akan menyahuti tak kalah panjang. "Masih ada waktu sebelum subuh, kamu tidur lagi aja. Bangun lagi pas subuh. Assalamualaikum." "Iya. Waalaikumsalam." Menuruti kata Jiddan aku masuk kembali ke kamar. Menuju tempat tidur dan mencoba menutup mata. Semoga aku dapat memejamkan mata barang sejenak. Bebas, lepas, meski hanya salam lelap. Menghubungi orang tuaku? Cukuplah dengan pesan karena beberapa kali kucoba telfon selalu saja sibuk. Bahkan pada dini hari seperti inipun mereka tetap sibuk. Aku tidak bisa menyalahkan mereka sekalipun aku tak lagi diperhatikan. Aku tahu mereka sibuk. Dan semua yang mereka kerjakan hasilnya untuk diriku bukan? Setidaknya aku masih memiliki Jiddan. Bukankah Jiddan memang yang terbaik? *** Terima kasih sudah membaca. Ditunggu vote dan komentarnya yaa Jika kamu menyukai cerita ini, jangan ragu untuk membagikannya. Barangkali ada orang lain yang menyukainya juga?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD