10

2630 Words
    “Atuh Eneng, jangan begini. Nanti Bibi yang dimarahin sama Juragan,” ucap seorang perempuan pada Yasmin yang tengah sibuk bekerja di kebun.     Yasmin menggelengkan kepalanya ia tersenyum dengan cantiknya. Lalu menuliskan sesuatu pada notesnya. “Tidak apa-apa. Karena Ambu dan Abah sedang ke kota, mereka tidak akan tau jika aku bekerja di ladang. Lagipula bekerja seperti ini baik untuk kelancaran persalinan nanti. Dokter Revin sendiri berpesan padaku untuk tetap aktif bergerak.”     “Duh si Eneng. Tapi kalau sudah cape, harus istirahat ya. Bibi tidak mau sampai hal buruk terjadi,” ucap perempuan setengah baya yang juga adalah seorang pekerja di kebun milik Iis dan Aan.     Yasmin mengangguk dan kembali melangkah menuju ladang di mana dirinya akan bekerja. Dengan susah payah, Yasmin duduk di sebuah kursi kecil. Kandungan Yasmin yang sudah menginjak usia lima bulan, memang agak menghabat aktifitas sehari-harinya. Karena itu pula, Iis dan Aan sudah melarang kerasa Yasmin untuk bekerja di ladang. Mereka merasa khawatir melihat Yasmin yang hamil bekerja dan kelelahan. Mereka takut jika hal itu akan berdampak buruk pada bayinya.     Tapi Yasmin sendiri tidak mau hanya diam di kamarnya. Selain karena dokter yang menyarankan Yasmin untuk melatih otot-ototnya sebelum melahirkan, ia juga ingin memiliki kegiatan. Lebih tepatnya, Yasmin ingin bekerja agar memiliki uang. Tinggal empat bulan lagi ia melahirkan, jadi, banyak yang harus ia persiapkan. Dimulai dari biaya persalinan hingga barang-barang perlengkapan bayi yang harus ia beli. Tentunya, Yasmin tidak mau merepotkan Iis dan Aan mengenai hal itu. Walaupun keduanya sudah mengatakan beluang kali akan menangung semua keperluan Yasmin. Termasuk biaya persalinan nanti. Yasmin tetap ingin bekerja demi menghasilkan uang sendiri.     Ketika matahari bersinar dengan teriknya, saat itulah Yasmin tidak lagi bisa bertahan untuk bekerja di ladang seperti hari-hari sebelumnya. Setelah berpamitan pada buruh yang menjadi penanggung jawab ladang, Yasmin memutuskan untuk pulang. Meskipun terasa cukup panas, Yasmin tidak bisa berjalan cepat-cepat karena dirinya memang sangat berhati-hati dalam melangkah.     Saat itulah, Yasmin bertemu dengan Revin—dokter muda yang memeriksa kandungan Yasmin. Revin yang mengendarai sebuah sepeda menghentikan sepedanya dan bertanya, “Kamu baru dari mana?”     Yasmin mengeluarkan notesnya dan menulis, “Saya baru saja dari ladang.”     “Kamu masih bekerja?” tanya Revin saat mengerti apa yang terjadi.     “Iya, bukankah Dokter sendiri yang menyarankan saya untuk memiliki aktifitas yang menguatkan otot-otot saya?”     Revin mendesah. Revin tahu apa yang dimaksud oleh Yasmin. Tapi sepertinya Yasmin yang salah tangkap dengan apa yang ia katakan. “Ya, itu memang saranku. Tapi tolong perhatikan untuk tidak terlalu lelah seperti ini. Kamu memang perlu bergerak secara rutin, tapi harusnya kamu juga jangan membuat tubuhmu kelelahan. Ini bisa saja berbahaya untukmu dan janinmu.” Revin yang memang sudah dekat dengan Yasmin, menyeka keringat di kening Yasmin dan merapikan anak-anak rambut yang menempel di sekitar kening serta pipi Yasmin.     “Sekarang kamu pasti mau pulang, bukan?” tanya Revin yang segera diangguki oleh Yasmin.     “Kalau begitu, mari kuantar. Aku sangat handal naik sepeda, jadi, kau tidak perlu takut.”     Yasmin tersenyum dan dengan bantuan Revin, ia duduk di bagian belakang sepeda. Setelah berpegangan dengan baik pada pinggang Revin, sepeda pun dikayuh oleh Revin menyusuri jalanan desa yang lengang. Keduanya tidak menyadari jika sejak tadi, gerak-gerik mereka sudah diamati oleh beberapa pasang mata yang menatap tajam.       ***         Seorang pria berusia sekitar lima puluh tahunan, duduk di tengah sofa mewah dan terlihat serius mendengarkan penjelasan bawahannya melalui sambungan telepon. Ia mengerutkan keningnya beberapa saat sebelum menutup sambungan telepon tersebut. Tak lama, seorang wanita cantik yang tak lain adalah Keni memasuki ruangan dan duduk di samping pria tersebut.     “Sayang, makan malam sudah siap. Kebetulan Agam juga sedang ada di rumah, jadi, mari makan bersama,” ucap Keni.     Pria bernama Malvin tersebut menoleh dan menanamkan sebuah kecupan di pelipis Keni. “Kalau begitu mari makan. Pastikan jika Agam ikut makan malam bersama.”     “Tentu, Sayang.”     Keduanya lalu bangkit dan melangkah menuju ruang makan. Ternyata Agam sudah tiba lebih dulu dan kini telah duduk di kursinya. Malvin dan Keni juga segera duduk di kursi mereka masing-masing, lalu makan malam pun dimulai. Tidak ada perbincangan selama makan malam berlangsung. Hal itu menunjukkan jika keluarga tersebut memang memiliki kelas dan menerapkan tata karma dengan baik.     Barulah setelah makan malam usai, Malvin angkat bicara. “Jangan kembali ke kamarmu dulu. Ada yang ingin Papa bicarakan denganmu.” Malvin lalu bangkit dan melangkah menuju ruang kerjanya lebih dulu.     Agam tentu saja merasa bingung, memangnya apa yang akan dibicarakan oleh ayahnya itu? Agam lalu mengerutkan kening lalu menatap pada ibunya, bertanya melalui tatapan matanya. Sayang Keni juga tidak mengetahui apa yang ingin dibicarakan oleh Malvin. “Mama juga tidak tahu apa yang ingin papamu sampaikan. Jadi, ikuti Papa saja, Sayang. Mama akan berada di sana setelah membawa kudapan,” ucap Keni setengah memerintah. Putranya ini akhir-akhir ini memang sangat sulit jika diminta untuk berbicara berdua dengan ayahnya sendiri.     Agam menghela napas dan melagkah pergi. Bukannya ia tak mau bicara dengan orang tuanya, hanya saja akhir-akhir ini Agam merasa sangat lelah. Ketika malam tiba, Agam selalu memilih untuk menghabiskan waktunya di kamar pribadinya. Tidak seperti malam-malam sebelumnya dimana Agam selalu menghilangkan penat dan rasa frustasinya di ruangan VIP club malam. Bahkan Joe saja merasa jika Agam sangat aneh karena hal tersebut. Beberapa kali Joe datang ke rumahnya dan merengek mengajak Agam untuk bersenang-senang, tapi Agam menolak dengan tegas.     Agam mengetuk pintu kerja Malvin dan masuk ketika dipersilakan. Tanpa perlu diperintah, Agam segera duduk di sofa yang berseberangan dengan tempat ayahnya duduk. Keduanya tidak membuka suara sama sekali. Kecanggungan dan keheningan dibiarkan meraja begitu saja. Pembicaraan baru dimulai bertepatan dengan masuknya Keni pada ruangan tersebut.     “Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Malvin membuka pembicaraan dengan pertanyaan standar. Tentu saja, Malvin harus memberikan pemanasan lebih dulu sebelum melempa bom yang akan meledakkan suasana.     “Lancar seperti biasanya, Pa. Mengurus kampus seperti itu lebih mudah daripada mengurus perusahaan besar seperti sebelumnya,” jawab Agam setengah sombong.     “Syukurlah kalau begitu,” ucap Malvin lalu menyeruput nikmat teh yang telah disajikan oleh istri tersayangnya.     “Apa Papa tidak akan membiarkanku kembali mengurus perusahaan?” tanya Agam setengah tidak sabar, tentunya Agam tidak mau tertahan lebih lama untuk menjadi pengurus universitas, padahal Agam tidak menempuh pendidikan untuk menjadi seseorang yang bekerja dalam bidang pendidikan seperti yang ditugaskan ayahnya.     Memang benar, Agam menjadi rektor karena tugas dari ayahnya. Entah karena apa, Agam yang tadinya mengurus salah satu perusahaan milik keluarga, tiba-tiba diperintahkan untuk mengambil alih universitas. Tentu saja pada awalnya Agam keberatan, tetapi setelah Malvin berjanji akan kembali memberikan kepengurusan perusahaan padanya, Agam akhirnya setuju. Sayang, hingga saat ini Malvin belum juga melaksanakan janjinya.     “Semuanya masih tetap seperti yang terakhir Papa katakan. Papa tidak akan memberikan posisimu yang sebelumnya, sebelum kamu membuat Papa puas.”     Agam mengerang frustasi mendengar ucapan Malvin. “Puas yang Papa maksud ini seperti apa? Padahal aku sudah membuat kemajuan pesat di universitas yang Papa percayakan padaku. Selain prestasinya meningkat, aku juga sudah membuat universitas ini mendapat akreditasi A di setiap prodinya. Bahkan universitas ini sudah menjadi rekomendasi di setiap sekolah menengah atas dan kejuruan. Apa lagi yang Papa butuhkan agar Papa puas?”     “Papa semakin tidak puas, saat kamu bertanya apa yang akan membuat Papa puas. Kamu ini calon pemimpin. Seharusnya kamu bisa bijak mengambil langkah. Setidaknya jadilah contoh bagi adikmu.”     “Jangan menyangku-pautkan hal ini dengan adikku, Pa. dia sudah besar, dan tidak memerlukan contoh lagi dariku.”     Keni mendesah. Ia sudah bisa mengira-ngira jika pembicaraan yang dimaksud suaminya, tak lain adalah seperti ini. Setiap pembicaraan mereka pasti tidak jauh-jauh dari masalah pekerjaan, serta kritik Malvin atas tingkah laku Agam. Lalu Agam bersikap keras kepala dan tidak menyadari tindakannya yang memang sering sesukanya. Semua ini terkadang membuat Keni pusing tujuh keliling. Untung saja, saat ini putra bungsunya tidak berada di rumah. Jika ia ada, sungguh kekacauan akan  lebih parah daripada ini.     “Ah sudahlah. Apa hanya ini yang ingin Papa bicarakan denganku? Jika iya, aku akan segera kembali ke kamar. Aku lelah, ingin tidur.”     Malvin menggeleng. Ia meletakkan cangkir tehnya lalu menatap putranya dengan tajam. “Apa tidak ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan dengan Papa?”     “Apa maksud Papa? Bukannya Papa yang ingin membicarakan sesuatu padaku?”     Malvin masih menatap lekat putra sulungnya itu dengan tajam, mencoba mengintimidasinya. Sayangnya, putranya itu sungguh bebal. Bahkan ia sudah tak lagi bisa membuatnya terintimidasi atau ketakutan atas ancamannya. “Apa yang sudah kamu lakukan akhir-akhir ini?” tanya Malvin.     Keni yang mendengar pertanyaan suaminya tak bisa menahan diri untuk merasa penasaran. Ia menatap putranya dan ikut bertanya, “Memangnya apa yang telah kamu lakukan, Agam?”     Agam mengerutkan keningnya. “Aku tidak melakukan sesuatu yang berbeda. Aku bekerja, dan terkadang melepas penat bersama teman-temanku di club.”     Kini Keni menoleh pada suaminya. “Sayang, bukankah itu keseharian biasa putra kita. Lalu apa yang membuatnya aneh? Kenapa kamu sampai bertanya seperti itu?”     Malvin tersenyum lalu mencium kening istrinya sebelum berkata, “Putra kesayanganmu itu sudah menyembunyikan sesuatu yang besar dari kita, Sayang.”     “Menyembunyikan sesuatu? Apa yang kamu sembunyikan dari Mama?” tanya Keni langsung pada Agam.     Agam sendiri terlihat bingung dan mencoba untuk mengingat apa yang mungkin ia lewatkan dan ditemukan oleh papanya. Beberapa saat kemudian, Agam terlihat terkejut lalu menatap papanya dan bertanya, “Apa mungkin?”     “Sepertinya putra kita sudah mengingat apa yang ia sembunyikan dari kita,” ucap Malvin dengan seringainya.     “Sebenarnya apa yang terjadi? Bisa jelaskan pada Mama?” tanya Keni pada Agam.     Agam menghela napas dan membuang wajah tak mau menatap mata Keni. Ia jelas tidak mau sampai ibunya itu mendengar apa yang telah ia lakukan. Agam menggeretakkan rahangnya. Ia kecolongan karena Melvin bisa mengetahui masalahnya dengan Yasmin. Setelah ini, Agam mencaritahu siapa gerangan sumber informasi Melvin. Tapi sekarang yang terpenting adalah bagaimana caranya meloloskan diri dari situasi sulit ini.     Agam harus mencegah Malvin mengatakan apa pun pada Keni. Karena Agam tidak berani membayangkan reaksi apa yang akan ditunjukkan oleh ibunya itu. Besar kemungkinan jika Keni akan marah besar dan menyumpahinya sebagai anak yang tidak bermoral lalu mengusirnya dari rumah. Lebih parah lagi, ibunya bisa tidak mengakuinya lagi sebagai anak.     “Agam sepertinya kesulitan menjelaskannya sendiri, Sayang. apa kau mau mendengar penjelasannya dariku?”     Agam tertarik dari lamunannya saat mendengar suara Malvin. Agam berubah panik saat Keni terlihat menyutujui usulan Malvin. Tidak, Keni tidak boleh mendengar apa pun!     “Papa!” seru Agam menghentikan ucapan Malvin.     “Perhatikan nada bicaramu, Agam! bertindaklah sopan di depan orang tua!” perintah Keni tegas dan membuat Agam bungkam seketika.     “Mama jadi semakin penasaran dengan rahasia yang kamu sembunyikan. Maafkan Mama, karena Mama perlu tahu mengetahui hal tersebut. Ayo Pa, jelaskan!”     Agam mendengkus saat melihat seringai di wajah Malvin. Beberapa saat kemudian, Agam menutup matanya saat papanya memulai penjelasannya. “Papa mendapat laporan akurat, jika ternyata Agam sudah meniduri seorang gadis yang tak lain adalah mahasiswinya sendiri.”     “Apa?!” tanya Keni dengan suara melengking.     Agam membuka matanya dan kembali bertemu tatap dengan netra kedua orang tuanya. Jika ibunya menatap penuh kemurkaan, maka ayahnya tengah menatapnya dengan penuh goda. “Itu belum selesai, Sayang. Agam malah membuat gadis itu dikeluarkan dari kampus dan diusir oleh keluarganya.”     Wajah Keni semakin tidak sedap dipandang setelah dirinya mendengar penjelasan suaminya. Dengan menahan amarah, Keni bertanya, “Apa gadis itu sukarela berhubungan denganmu?”     Agam tidak menjawab dan terus-terusan mengalihkan pandangannya. Hal itu membuat Malvin semakin tergelitik untuk memanaskan suasana. “Tidak seperti itu ceritanya, Sayang. Agam meniduri gadis itu, saat gadis itu tak sadarkan diri.”     “Agam!” jerit Keni penuh amarah dan membuat Agam tersentak dari posisinya, sedangkan Malvin menahan senyumnya. Tentu saja Malvin merasa terhibur karena Keni sudah menggantikan dirinya untuk memarahi Agam. Jangan pikir jika Malvin tidak marah saat tahu jika Agam melakukan hal yang tidak bermatabat ini. Agam menjebak dan membuang gadis seakan-akan gadis itu bukanlah seorang manusia yang tidak memiliki harga diri dan kehidupan.     “Apa ini yang selama ini Mama dan Papa ajarkan padamu?! Kenapa kamu bisa melakukan hal seburuk ini?” tanya Keni dengan nada tinggi. Keni benar-benar ingin mendapatkan jawaban dari putra sulungnya itu. Sayang, Agam tidak memiliki keberanian untuk menjawab pertanyaan tersebut.     “Sayang, Agam bahkan membuat calon cucu kita hidup menderita di luar sana.” Malvin pada akhirnya melemparkan bom nuklir yang membuat suasana panas seketika. Dalam hati, pria itu bersorak saat melihat reaksi istri dan putra sulungnya.     Hening beberapa saat. “Calon cucu?” beo Agam dan Keni bersamaan. Keduanya memasang ekspresi terkejut yang menggelitik perut Malvin.     “Kenapa seterkejut itu? Keturunanku adalah bibit unggul. Tidak mengherankan jika sekali percobaan sudah membuahkan hasil,” jelas Malvin. Seakan-akan merasa bangga dengan apa yang terjadi dan dilakukan oleh Agam.     “Apa kau serius Sayang? Kita sudah menjadi calon Opa dan Oma?” tanya Keni dengan antusias. Keni dengan cepat melupakan kesalahan putranya dan berubah menjadi begitu senang saat mendengar kabar jika dirinya akan segera menjadi seorang nenek. Malvin mengangguk dan kembali mencium  istrinya yang terlihat begitu bahagia.     Agam sendiri terlihat syok untuk beberapa saat sebelum tersadar dan menanyakan kebingungannya. “Yasmin hamil?” tanya Agam masih belum  bisa menyadarkan dirinya dari keterkejutan kabar yang ia dengar.     “Ah calon menantu Mama namanya Yasmin. Cantik sekali namanya, pasti sama cantiknya dengan pemiliknya. Mama ingin bertemu dengan mantu Mama secepatnya,” puji Keni dengan netra yang berbinar. Keni memang sejak dulu sudah mengharapkan seorang menantu yang hadir di keluarga besar Risaldi.     Malvin memeluk istrinya dan berkata, “Sayang sekali, calon menantu kita telah diusir oleh keluarganya karena kehamilannya itu. Sekarang dia tidak tahu di mana rimbanya.”     “Apa?! Jadi dia benar-benar diusir dari rumahnya? Dalam keadaan hamil?” tanya Keni tidak percaya. Malvin mengangguk serius.     Bukan hanya Keni yang tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Sebelumnya, Malvin juga tidak percaya dengan infomasi yang ia terima mengenai Yasmin dan keluarganya. Tentu saja Malvin tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tua Yasmin. Mungkin mereka marah dengan apa yang terjadi. Tapi keduanya menutup hati dan tidak mau mendengar penjelasan dari putrinya, mereka tidak memercayai darah dagingnya sendiri.     Lebih parahnya lagi, mereka tega mengusir Yasmin. Padahal mereka tahu jika saat itu, Yasmin tengah mengandung. Apakah tidak ada setitik pun rasa iba mereka pada Yasmin. Hingga saat ini pun, Malvin tidak habis pikir. Jika dirinya bisa membuang akal sehatnya, Malvin pasti sudah menghajar habis-habisan ayah dari calon menantunya itu. Malvin benar-benar merasakan marah mengingat bagaimana perlakuan pria itu pada Yasmin dan calon cucunya.     “Karena itu, Papa ingin bicara dengan Agam. Papa ingin Agam mencari Yasmin dan membawanya secepatnya ke rumah ini. Papa tidak mau ada hal buruk yang terjadi padanya atau pada calon cucu Papa,” ucap Malvin pada akhirnya. Tentu saja Agam tidak menyangka Malvin bisa mengetahui hal ini sampai sejauh ini dan menekannya dengan informasi yang ia miliki.     Agam terlihat kesal dan berkata, “Cukup, jangan memanggilnya seperti itu lagi. dia hanya wanita bisu yang menjijikan. Aku tidak mungkin membawanya ke rumah ini, apalagi menjadikannya sebagai seorang istri.”     Wajah Keni dan Malvin sama-sama terlihat buruk. Jelas jika keduanya sama-sama tidak senang dengan ucapan Agam yang terdengat keterlaluan. Keni menghela napas dan berkata, “Apa pun yang kamu rasakan saat ini, Mama tidak peduli. Kamu sudah keterlaluan dengan ucapan dan tindakanmu. Sekarang, kamu harus bertanggung jawab atas semua tindakanmu itu.”     “Papa dan Mama tidak mau tau, kamu harus membawa Yasmin ke sini. Kalau tidak, kamu akan tau apa akibatnya,” putus Agam pada akhirnya menutup pembicaraan serius mereka.     Agam mengutuk dalam hatinya. Kenapa Yasmin tidak bisa membuat Agam hidup dengan tenang? Apa belum cukup sebelumnya Yasmin membuatnya marah dan kesal? Kenapa setelah menghilang pun Yasmin tetap membuat hidupnya sulit. Kenapa namanya saja sudah membuat hidup Agam sulit. Sial bagi Agam. Rencananya yang sempurna menjadi kacau karena ayahnya tau perihal Yasmin. Lebih kacau lagi, saat dirinya tidak tahu fakta bahwa kini Yasmin tengah mengandung benihnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD