“Pak, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya Tini saat dirinya menyajikan teh untuk suaminya. Kini keduanya tengah berada di ruang keluarga yang menyatu dengan ruang tamu.
“Apa lagi selain diam untuk sementara waktu di rumah,” jawab Heru singkat. Ia mengabil cangkir teh dan menyesapnya perlahan seakan-akan tengah menikmati setiap tetes minuman yang ia minum.
“Tapi bagaimana dengan pekerjaan Bapak? Ratna juga tidak mungkin terus meminta izin untuk tidak masuk sekolah, absensinya bisa-bisa sangat buruk. Akan sulit bagi Ratna mendapatkan beasiswa jika hal itu terjadi.” Tentu saja Tini sangat memikirkan Ratna. Kini Ratna tengah berada di kelas dua belas, masa-masa krusial di mana dirinya akan segera menghadapi ujian nasional. Setidaknya, Tini ingin Ratna menjadi orang yang berguna. Tidak seperti kakak perpempuannya yang malah membuat nama baik keluarga yang telah susah payah dibangun menjadi hancur begitu saja.
“Lalu Ibu pikir apa yang harus Bapak lakukan?! Apa Ibu pikir Bapak masih memiliki muka untuk bertemu orang-orang setelah kabar memalukan itu menyebar ke sepenjuru kota? Bapak malu, Bu! Bahkan Bapak tidak berpikir bisa menjalani hari seperti sebelumnya! Bapak terlalu malu untuk melangkah ke luar rumah!” seru Heru dengan nada tinggi. Tentu saja, Heru tidak memiliki wajah untuk bertemu dengan orang-orang. Heru merasa jika harga dirinya telah diinjak-injak oleh adiknya sendiri.
Tentu saja semua yang terjadi ini membuat Heru meledak karena amarah. Bahkan kemarin saja, Heru tidak segan-segan untuk menyiksa putrinya sendiri. Itu untuk membuat Yasmin sendiri sadar akan kesalahan apa yang telah ia lakukan. Heru masih tidak habis pikir, memangnya apa yang Yasmin pikirkan hingga berani melakukan hal nista seperti itu? Apakah dirinya tidak berpikir ratusan kali sebelum membuat namanya dan keluarganya hancur? Sungguh, Heru seakan-akan merasa telah dilempari oleh kotoran tepat pada wajahnya.
Teriakan Heru itu sukses membuat Tini bungkam seketika. Memang benar apa yang dikatakan Heru. Kini hampir semua warga kota tahu mengenai foto asusila Yasmin. Bahkan tetangga-tetangga setiap harinya masih sibuk mengomentari Yasmin dan cara didik Heru pada putri-putrinya. Semua orang mencaci dan menghujad keluarga tersebut. Karena hal itu pula, Heru dan Ratna tidak bisa bekerja serta sekolah seperti biasanya. Bagaimana bisa mereka beraktivitas dengan biasa, sementara lingkungan sama sekali tidak mendukung.
Pembicaraan keduanya terdengar oleh Ratna yang sebenarnya akan melangkah menuju dapur. Ratna merasa kedua orang tuanya sungguh keterlaluan, dan tak bisa menahan diri untuk berkomentar. “Ibu, Bapak, kenapa tidak dengar penjelasan Kakak dulu? Ratna yakin, Kakak tidak mungkin melakukan hal tercela seperti itu. Jika pun iya hal itu melibatkan Kakak, harusnya kita dengarkan cerita dari sisinya. Mungkin ada hal yang terlewat. Kalau ada sesuatu yang tidak benar, hal itu bisa kita gunakan untuk membersihkkan nama Kakak.”
“Apa Bapak pernah mengajarkanmu untuk menguping pembicaraan orang tua dan menyela pembicaraan kami?” tanya Heru tajam. Kemarahannya tentu saja belum reda. Dan kini putrinya yang bungsu seakan-akan tidak mengerti dengan apa yang dirasakannya. Ia bahkan berani menunjukkan sikap tidak sopan di hadapannya.
“Apa kakakmu sudah memberikan efek buruk padamu?” timpal Tini. Tentu saja, Tini tidak merasa senang. Padahal dirinya sudah susah payah membentuk Ratna menjadi pribadi yang penurut dan manis. Tini membentuk Ratna agar menjadi putrinya yang paling sempurna dan bisa menutupi kekurangan Yasmin yang memalukan. Sejak dulu, Tini memang tidak terlalu menyukai Yasmin karena kekurangannya.
Ratna memejamkan matanya saat mendengar ucapan kedua orang tuanya. Keduanya memang sudah terlalu keras hati. Bahkan mereka tidak bisa merasa iba sedikit pun pada Yasmin yang sudah bisa dipastikan lebih tertekan karena semua yang terjadi. Apakah mereka tidak bisa sedikit saja membuka hati dan telinga mereka untuk mendengar penjelasan dari sisi Yasmin? Apakah mereka tidak bisa bersikap sebagai orang tua yang harusnya melindungi darah daging mereka sendiri? Dan apakah mereka masih pantas disebut sebagai orang tua setelah melakukan semua ini?
“Tidak perlu membela kakakmu itu. Dia memang salah, dan sudah sepantasnya mendapatkan hukuman. Tapi jika ia memang berbuat salah, seharusnya hanya dia yang mendapatkan hukumannya dan tidak melibatkan kita. Dia benar-benar menghancurkan kehormatan keluarga kita,” ucap Tini sembari meremas tangannya penuh emosi. Ah ia benar-benar marah sekarang.
Ratna yang mendengarnya menatap tak percaya pada ibunya. Setelah semua ini, Tini masih berpikir tentang kehormatan keluarga? Kenapa orang tuanya tidak terpikir kemungkinan jika kakaknya itu telah dilecehkan? Atau dipaksa, atau bahkan dijebak? Kenapa mereka menutup hati sampai seperti ini.
Ratna tidak mau lagi berbicara pada kedua orang tuanya. Jika keduanya tidak mau lagi mengakui Yasmin sebagai anaknya, maka Ratna yang akan mengurusnya. Ratna tahu, kini hanya dirinya yang menjadi kekuatan bagi Yasmin. Dan Ratna tidak akan membiarkan hal buruk lainnya terjadi pada kakaknya itu. Ratna akan berdiri dan melindungi kakaknya dari apa pun yang akan melukainya.
Tak banyak kata, Ratna mengambil makanan untuk kakaknya yang masih dikurung di kamar. Ratna masuk ke kamar dan meletakkan makanan di atas nakas. Ia berlutut di samping ranjang. Tangannya terulur dan menyentuh sisi wajah Yasmin yang terngah meringkuk di atas ranjang. Betapa terkejutnya Ratna saat merasakan jarinya tersengat rasa panas dari tubuh kakaknya.
“Astaga, Kakak!” pekik Ratna merasa begitu panik.
***
“Apa ada kabar baik?” tanya Agam pada Tio yang berdiri di sampingnya.
Agam sendiri masih sibuk memeriksa satu persatu dokumen di atas meja kerjanya di ruang rektor. Tio menatap tuannya untuk beberapa saat, sebelum menjawab, “Seperti yang Tuan harapkan, semuanya berjalan sesuai rencana. Karena kabar yang telah tersebar luas, keluarganya mengurung diri di rumah, tidak ada aktivitas di luar rumah. Bahkan ayah dan adiknya absen di tempat kerja dan sekolahnya. Seperti yang Tuan perkirakan, ayah Yasmin memang memiliki pendirian kuat serta keras kepala. Ia memilih untuk mengurung diri demi melindungi harga dirinya yang masih tersisa.”
Agam mengangguk puas lalu meletakkan kertas yang ia pegang dan bersandar santai. “Kalau begitu, tolong panggil Joe. Aku ingin memberikan sesuatu padanya,” ucap Agam. Senyuma tipis kini terlihat terpasang apik pada wajah rupawannya.
Sepeninggal Tio, Agam mengeluarkan ponselnya dan mencari sesuatu di internet. Ternyata, Agam membaca artikel mengenai Yasmin. Entah kenapa, Agam yang melihat foto Yasmin tersebar, terlihat tak senang. Apalagi, sesudah Agam membaca satu persatu komentar di bawah artikel. Sedetik kemudian, ponsel Agam sudah melayang dan menghantam dinding hingga hancur berkeping-keping.
Wajah Agam terlihat tak sedap dipandang. Suasana hatinya hancur begitu saja, dan alasannya selalu sama seperti sebelumnya. Alasannya tak lain adalah Yasmin. Agam menutup matanya, mencoba untuk mengenyahkan semua pemikiran aneh yang berkeliaran di kepalanya. Ya, pikiran aneh. Karena bukannya merasa senang dengan melihat semua hinaan yang tertuju pada Yasmin, Agam malah merasakan sebaliknya. Ia marah. Bahkan kemarahannya hampir saja membuat Agam meledak dengan alasan yang tak masuk akan dan tak mau Agam terima.
***
Ratna terus menangis sembari mengganti kompres di kening Yasmin. Kakaknya itu demam tinggi, dan kedua orang tuanya sama sekali tidak mau memanggil dokter. Mereka pikir jika demam Yasmin adalah hal yang biasa karena tekanan dan kondisi tubuhnya yang melemah setelah mendapatkan hukuman dari Heru. Tapi Ratna yakin jika sakit Yasmin tidak akan sembuh sebelum mendapatkan perawatan dari tenaga professional.
Tapi seberapa pun Ratna mencoba untuk menyakinkan kedua orang tuanya jika Yasmin memang perlu diperiksa dan mendapatkan resep dokter, kedua orang tuanya tetap berkeras hati dan berpegang pada ucapan mereka sebelumnya. Ya, mereka tetap tidak mau memanggil dokter. Dan membiarkan Ratna untuk merawat Yasmin seadanya. Keduanya benar-benar yakin jika Yasmin akan sembuh dengan sendirinya.
Tapi Ratna tidak merasakan hal yang sama seperti kedua orang tuanya. Ia merasa yakin jika Yasmin memang harus segera mendapatkan penanganan dari dokter. Ratna tentu saja merasa cemas karena demam Yasmin yang terasa semakin parah saja. Ketika Ratna menempelkan punggung tangannya pada kening Yasmin, Ratna merasa kulitnya terbakar karena suhu tubuh Yasmin yang memang di luar kewajaran. Rasa cemas Ratna semakin parah saat Yasmin sulit untuk makan. Padahal jika Yasmin tidak makan, Yasmin tidak akan bisa minum obat. “Kakak, makan dulu sedikit. Kalau Kakak tidak minum obat, Kakak tidak bisa minum obat.”
Yasmin membuka kedua matanya, lalu menggeleng pelan. Ia kembali memejamkan matanya dan jatuh tidur kembali. Yasmin memang merasa sangat lelah. Ia bahkan tidak bisa bertaham membuka matanya lebih dari lima detik. Kelopak mata Yasmin terasa begitu berat dan memaksa Yasmin untuk kembali memejamkan matanya sesegera mungkin. Napas Yasmin juga terdengar berat dan putus-putus, seakan-akan Yasmin tengah kesulitan untuk bernapa.
Melihat kondisi Yasmin yang sedemikian rupa, tentunya Ratna tidak tega. Untuk kesekian kalinya, Ratna menangis tersedu-sedu. Ia terus berusaha untuk menurunkan suhu tubuh Yasmin denga berbagai cara yang ia ketahui. Sayangnya, semua yang ia lakukan tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Suhu tubuh Yasmin tetap tinggi, dan Yasmin masih tak sadarkan diri. Mungkin karena merasa risi dengan tingkah Ratna yang terus menangis, pada akhirnya Heru mengalah dan menelepopn dokter untuk datang ke rumah.
Sore mulai beranjak berganti menjadi malam. Sore yang mendung, berganti menjadi malam yang dihiasi hujan deras. Untungnya tepat saat sebelum hujan turun dan mengguyur tanah dengan derasnya, dokter yang dipanggil oleh Heru sudah tiba. Tini membuka pintu dan mempersilakan dokter tersebut untuk segera masuk ke dalam rumah. Tak banyak kata, dokter pun dibawa menuju kamar Yasmin. Agar bisa segera memeriksa kondisi Yasmin dan membuat konidisi Yasmin membaik. Jika itu terjadi, tentunya baik Heru maupun Tini bisa tenang karena tidak terganggu dengan tangis putri bungsu mereka yang meratapi kemalangan kakak perempuannya yang tidak tahu malu itu.
Ratna bisa menghela napas lega saat tahu jika orang tuanya akhirnya memanggil seorang dokter untuk Yasmin. Dokter tersebut segera mengecek kondisi Yasmin dengan serius. Saat itulah Yasmin sadar dan menatap dokter yang memeriksa kondisinya. Yasmin mengedipkan kedua kelopak matanya dengan begitu perlahan, seakan-akan jika gerakan yang lebih cepat dari ini akan melukai dirinya. Napas Yasmin juga belum juga membaik. Ia masih terlihat kesulitan bernapas, tapi Yasmin terlihat begitu tenang dan tak rewel.
Ekspresi sang dokter sama sekali tidak berubah saat dirinya menyuntik Yasmin. Setelah selesai, dokter terseut membereskan peralatannya, lalu menuliskan sebuah resep untuk diserahkan pada wali pasien yang tentunya harus segera ditebus di apotek terdekat.
“Bagaimana kondisi putriku?” tanya Heru saat sang dokter masih sibuk menuliskan resep untuk Yasmin. Heru hanya berbasa-basi. Tentunya ia tidak mau membuat rumor yang menyebutkan jika dirinya bertindak kejam pada putrinya yang tengah jatuh sakit sedemikian parahnya.
“Kondisinya cukup buruk. Tubuhnya penuh memar dan dia mengidap mal nutrisi. Kedua hal tersebut memicu demam tingginya saat ini. Aku sudah menuliskan resep. Silakan ditebus di apotek terdekat. Singkatnya, tolong jaga asupan nutrisi, kondisi fisik dan mentalnya. Selain karena kondisi fisiknya, kondisi kandungannya saat ini sangat riskan, jadi, tolong diperhatikan,” jelas dokter dengan lancar dan jelas. Tatapan sang dokter terlihat datar, tanpa satu pun emosi yang terlihat di sana.
Semua orang membeku mendengar penuturan sang dokter. Setelah dokter berpamitan dan Tini membayar jasanya, Heru menatap tajam pada putri sulungnya yang terpaku di ranjang. Ratna juga terlihat masih belum pulih dari keterkejutannya. Kandungan? Itu artinya Yasmin hamil? Jadi, semua foto dan kabar yang tersebar itu memang benar adanya?
Ratna menutup mulutnya terkejut saat Heru menarik Yasmin dengan kasar, dan berteriak, “Ibu kemasi barang-barang anak tidak tahu malu ini!”
Yasmin sama sekali tidak berontak, ia masih tenggelam dalam keterkejutan. Ratna sendiri segera tertarik pada kenyataannya dan menahan tangan ayahnya. “Jangan seperti ini, Pak. Bapak akan melukai Kakak!”
Tini tidak peduli dengan apa yang tengah dilakukan suami dan putrinya, ia malah melaksanakan perintah suaminya untuk mengemasi barang-barang Yasmin. Sebenarnya, Tini bukannya tidak peduli dengan apa yang terjadi. Kini hatinya meraung, menangisi apa yang telah terjadi. Lebih tepatnya menangisi nasibnya yang menyedihkan karena memiliki seorang anak yang telah membuatnya malu.
Hujan semakin deras di luar sana, bahkan petir dan guntur terdengar bersahut-sahutan. Ini sudah malah, dan semua orang tidak ada yang mau beraktifitas di luar rumah. Sungguh tega rasanya jika Heru mengusir Yasmin saat ini juga, walaupun semarah apa pun dirinya.
Ratna terus mencoba menahan ayahnya, tapi tenaganya tidak sebanding. Heru masih dengan perkasa menarik Yasmin menuju pintu utama, ia membuka pintu dan mengempaskan Yasmin begitu saja ke luar rumah. Saat itu juga hujan deras mengguyur tubuh ringkih Yasmin. Tubuhnya yang lemah karena serangan sakit, tidak bisa menahan dinginnya udara malam yang bercampur dengan dinginnya air hujan.
Tini datang dan memberikan tas berisi pakaian Yasmin pada Heru. Tak banyak kata, Heru langsung melempar tas tersebut ke arah Yasmin. “Bapak!” teriak Ratna. Ia sudah akan merangsek dan melindungi kakaknya, tapi Heru dengan sigap menahan Ratna.
“Jangan pernah berpikir untuk memanggil wanita itu sebagai kakakmu. Karena mulai saat ini, dia bukan lagi keluarga kita. Aku tidak pernah memiliki putri yang memalukan sepertinya, dan kau tidak pernah memiliki kakak sepertinya. Mulai saat ini, Yasmin yang kita kenal sudah mati. Jika kalian bertemu atau berpapasan dengannya, jangan pernah menyapa, jangan pernah berpikir pula untuk membawanya kembali. Karena aku, telah membuangnya!”
Ratna menatap tak percaya pada Heru. “Apa Bapak sadar dengan apa yang Bapak katakan? Bapak membuang Kakak? Bagaimana bisa Bapak melakukan hal itu, terlebih dengan kondisi Kakak saat ini! Di mana letak nurani Bapak?!” jerit Ratna frustasi dengan tingkah ayahnya yang merasa menjadi manusia paling sempurna dan luput dari kesalahan apa pun.
“Diam Ratna! Beraninya kau meninggikan suaramu di hadapanku! Terlepas dari ketidaksopananmu itu, aku akan menegaskan satu hal. Aku melakukan semua ini dengan kesadaran penuh. Aku, memang membuang Yasmin. Mulai detik ini, dia bulan lagi putriku dan bukan lagi anggota keluarga ini.” Heru mengalihkan pandangannya pada Yasmin yang masih terduduk di bawah derasnya hujan.
“Cepat pergi dari sini, atau aku akan memanggil keamanan untuk menyeretmu!” perintah Heru tanpa setitik pun rasa kasihan melihat kondisi putri sulungnya.
“Bapak—”
“Jangan pernah memanggilku seperti itu lagi. Sejak kau melakukan tindakan tidak bermoral, saat itulah kau sudah siap memutuskan hubungan denganku. Kau, bukan lagi putriku. Pergi, aku tidak akan peduli lagi denganmu. Jika pun kau mengahbiskan malam dengan pria-pria berbeda tiap harinya, aku tidak peduli. Hubungan kita benar-benar berakhir di sini.”
Yasmin menatap sendu pada ayahnya yang kini menutup pintu dengan kasar. Kini pintu itu sudah tertutup sempurna, dan artinya Yasmin memang sudah benar-benar diusir dari keluarganya. Artinya lagi, Yasmin tidak lagi bisa masuk dan menganggap orang-orang yang berada di dalam sana sebagai rumah tempatnya pulang serta mebgadu atas semua kelelahannya menjalani hidup. Yasmin menatap kosong. Samar-samar Yasmin masih bisa mendengar raungan Ratna yang memanggil-manggil namanya. Tapi beberapa saat kemudian derasnya hujan seakan-akan menelan suara tangis pilu Ratna.
Yasmin pun merasa begitu hancur. Hidupnya sebelumnya sudah cukup berantakan dengan foto-foto asusilanya yang tersebar, dan kini ada janin yang tak ia ketahui asalnya tengah tumbuh dengan tenang dalam rahimnya. Yasmin sudah benar-benar ditinggalkan. Bahkan satu-satunya orang yang mau berada di samping Yasmin saja, sudah dipisahkan secara paksa.
Sekarang apa yang harus Yasmin lakukan? Ke mana Yasmin harus pergi? Ia tak memiliki uang, ia juga tak memiliki tujuan. Yasmin meraih tasnya dan mencoba bangkit. Tubuhnya yang lemah kesulitan untuk berdiri dengan tegap di bawah guyuran hujan yang mulai terasa menyakitkan pada kulitnya.
Yasmin menengadah menatap langit yang gelap. Ia berbisik pada hujan, memohon agar Tuhan memberikan belas kasih padanya. Yasmin tidak ingin hal yang luar biasa, ia hanya ingin hidup tenang. Bahagia dalam kesederhanaan. Hidup di tengah-tengah masyarakat yang bisa menerima kekurangannya, bisa menerima dirinya dengan dosa-dosa yang menyertainya. Apakah hal itu sangat mustahil baginya? Dan apakah meminta semua itu adalah sebuah keserakahan bagi gadis bisu sepertinya?
Di bawah guyuran hujan. Yasmin menyusuri jalanan gelap dalam kesendirian yang terasa begitu menyesakkan. Yasmin pasrah. Ia hanya membiarkan kedua kakinya melangkah dituntun oleh sang takdir. Dalam hati Yasmin terus berdoa, agar dirinya menemukan tempat yang terbaik yang tentu saja mau menerimanya yang tak lain adalah gadis cacat yang berlumuran dosa ini.