12

2608 Words
    Malvin menenangkan istrinya yang memang beberapa hari ini, suasana hatinya selalu buruk. Hal itu tak terlepas karena dirinya yang ingin segera bertemu dengan calon mantu dan cucunya yang ternyata masih belum ditemukan oleh Agam. Ya, Keni sudah sangat ingin bertemu dengan Yasmin. Bahkan saking tidak sabarnya, Keni meminta suaminya saja yang mencari Yasmin dan tidak mau lagi menunggu hasil pencarian Agam. Keni tidak mau lagi mengandalkan Agam yang terlihat bermain-main dengan kewajibannya itu.     “Sayang, aku tidak mungkin mencari Yasmin. Karena ini tugas Agam. Tentu saja Agam harus menyelesaikan kekacauan yang telah ia perbuat. Jika Agam tidak belajar dengan semua yang terjadi, maka usaha kita selama ini akan sia-sia,” ucap Malvin serius mencoba untuk membuat Keni mengerti. Malvin tentu ingin membuat Agam sadar dengan menggunakan masalah ini. Bukannya Malvin tega dan tidak mau membawa Yasmin dan calon cucunya untuk hidup nyaman di rumah mewahnya ini, tapi Malvin rasa ini memang cara terbaik untuk membuat semuanya kembali ke tempatnya.     Keni menatap suaminya dengan sendu. “Tapi Yasmin di luaran sana sendirian. Bagi kita saja yang normal, hidup sendirian tanpa sanak saudata sudah terasa begitu berat. Apalagi untuk Yasmin yang memiliki kekurangan serta dengan kondisinya yang tengah hamil, sudah dipastikan jika dirinya menanggung beban yang lebih berat. Kita tidak mungkin membiarkan situasi ini lebih lama. Aku benar-benar khawatir dengan kondisinya,” ucap Keni cemas. Dirinya memang benar-benar peduli dengan kondisi Yasmin. Ia tidak ingin Yasmin terus hidup menderita. Seharusnya kini saatnya Yasmin menikmati kebahagiaan sebagai seorang ibu yang dimanjakan.     Malvin mengulas senyum. “Tidak perlu secemas ini, Sayang. Sedikit banyak aku tahu kondisinya saat ini.” Ya, Malvin tidak berbohong. Ia tahu di mana kini Yasmin berada. Malvin juga tahu bagaimana kondisinya dan apa saja yang Yasmin lakukan sehari-hari. Tentu saja itu semua berkat kerja keras semua anak buahnya yang telah Malvin sebar. Malvin merasa sangat lega saat mengetahui jika kondisi Yasmin baik-baik saja dan sudah memulai hidupnya yang baru.     Keni menggenggam kedua tangan suaminya dengan penuh harap. “Benarkah? Lalu di mana dia sekarang? Bisa bawa aku ke sana? Aku ingin bertemu dengannya.” Keni tidak ingin menunda waktu lebih lama lagi. Ia ingin segera bertemu dengan Yasmin. Jika suaminya ini bilang, bahwa mereka harus membiarkan Agam yang menemukan dan pulang Yasmin sendiri, berarti tidak salah bukan jika Keni meminta untuk dibawa ke tempat Yasmin. Toh itu artinya, Agam memang masih harus melakukan tugasnya, karena Yasmin tidak dibawa pulang olehnya.         Malvin menggeleng lalu mencium kening istrinya sebelum memeluknya dengan erat. “Maaf Sayang, aku tidak bisa. Belum saatnya kamu bertemu dengan Yasmin.”     “Baiklah, kalau begitu buat Agam segera menemukan Yasmin,” putus Keni tegas. Jika dirinya sama sekali tidak boleh bertemu dengan menantunya itu, maka Keni harus bertindak tegas untuk memaksa putranya untuk segera menemukan Yasmin. Keni masih tidak bisa merasa lega jika Yasmin belum dibawa dan tinggak di kediaman Risaldi ini. Tentu saja, karena Kini yakin hanya keluarga Risaldi yang bisa memberikan perlindungan pada Yasmin.     Malvin menghela napas. “Baiklah. Aku akan pastikan jika Agam segera bergerak mencari Yasmin. Aku akan pergi bicara dengan Agam, kau di sini saja. Jika kau ikut, Agam bisa-bisa mengetahui rencana kita,” ucap Malvin yang segera diiyakan oleh istrinya. Setelah mencium kening istrinya sekali lagi, Malvin bangkit dari sofa dan melangkah menuju ruang kerja putranya yang berada di lantai tiga, satu lantai dengan kamar Agam. Tanpa mengetuk pintu, Malvin masuk dan melihat Agam yang menatap tajam pada kertas di atas meja.     Sekali lihat saja, Malvin bisa tahu jika kini pikiran putranya tengah melayang jauh. Malvin duduk dan menyilangkan kakinya sebelum berkata, “Bagaimana proses pencarian Yasmin? Kau sudah mulai mencarinya, bukan?”     Agam bangkit dari duduknya dan melangkah untuk duduk bersama ayahnya. “Sudah berapa kali kubilang, aku tidak berminat untuk mencarinya. Tolong, Papa dan Mama memahamiku sedikit saja,” ucap Agam setengah frustasi.     Bagaimana Agam tidak merasa frustasi jika beberapa minggu ini, Agam kehilangan konsentrasi dan tidak mengerjakan pekerjaannya dengan baik. Kini bahkan berkas-berkas yang harus Agam baca dan tanda tangani sudah menumpuk di atas mejanya. Sebuah sejarah bagi Agam, karena dirinya tidak pernah mengalami kesulitan dalam bekerja dan menumpuk pekerjaannya sampai sebanyak ini. Dan semua ini tidak terlepas dari Yasmin yang selalu datang dan mengganggu pikiran Agam. Menyebut namanya saja Agam sudah sangat kesal, bagaimana mungkin Agam mencari wanita yang kabarnya tengah mengandung keturunannya itu.     Malvin menatap putranya dengan datar. “Kau tidak sepenuhnya tidak berminat mencarinya. Papa tau jika kau meminta Joe untuk mencari berita mengenai keluarga Yasmin, bukan?” tanya Malvin tepat sasaran.     “Ck. Sebenarnya apa yang tidak Papa ketahui?” tanya balik Agam dengan nada setengah kesal. Bagaimana Malvin bisa mengetahui hal ini? Padahal, Joe selalu bekerja dengan sangat rapi dan selalu bisa menutup semua misinya dengan sukses. Tapi kenapa Malvin masih bisa mengetahui kabar ini?     Malvin mengangkat bahunya. “Entahlah Papa juga bingung, sebenarnya apa yang tidak Papa ketahui, ya?” Agam bisa menangkap dengan jelas nada bangga dan sombong dalam suara ayahnya itu.     Agam mencibir sikap ayahnya tapi tak ia ungkapkan. Tentu saja Agam tidak mau mendapatkan balas dendam dari ayahnya. Karena yakinlah, ayahnya ini selalu memiliki cara balas dendam yang tidak pernah terbayangkan. Balas dendam yang direncanakan oleh Malvin selalu membuat orang-orang jera karenanya. Agam tidak memiliki waktu untuk menantang orang seperti ini, karena tentu saja hal itu akan membuat hidupnya semakin tidak nyaman saja. Jadi, Agam tentu saja memilih untuk memendam kekesalannya.     “Kamu sendiri tau, jika Papa bisa tau semua hal. Itu artinya, Papa juga bisa menebak alasan di balik semua tindakan tidak masuk akalmu ini,” ucap Malvin serius. Ekspresi penuh goda yang sebelumnya menghiasi wajah tampannya sudah menghilang, raib entah ke mana.     Agam menatap wajah Malvin yang berubah serius. Sudah bisa ditebak jika Malvin memang tahu motiv di balik tindakannya pada Yasmin. Tapi Agam tidak mau mengakui hal itu. Ia tak mau mengakui jika dirinya masih terbayang akan masa lalu. Agam tidak mau mengakui jika dirinya belum bisa melangkah maju. Agam tidak mau mengakui jika dirinya … masih kalah dengan luka yang tertoreh jelas dalam hatinya ini.     “Apa yang maksud Papa? Aku tidak mengerti,” ucap Agam tidak berniat meladeni ucapan ayahnya.     “Tidak perlu berpura-pura.” Malvin menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya kasar. Malvin mengenal putranya lebih daripada siapa pun. Ia yang menyaksikan Agam lahir dan tumbuh besar seperti ini. Jadi, ia tahu kemungkinan apa saja yang tengah Agam pikirkan dan rencanakan. Malvin juga tahu, jika Agam masih terbayang dengan masa lalu. Lebih tepatnya terpengaruh oleh luka yang ia dapatkan sewaktu kecil. Di mana Malvin juga ambil alih atas penderitaan yang dialami oleh putranya itu.     “Papa tidak bisa memaksamu untuk melupakan masa lalu yang terasa menyakitkan, Papa juga merasa menyesal karena tidak bisa mencegah kau mendapatkan luka itu. Tapi Papa selalu berdoa agar kamu bisa terus melangkah menuju masa depan. Papa tidak ingin kamu menyesal setelah melampiaskan kemarahanmu atas masa lalu, pada seorang gadis polos yang tidak memiliki salah apa pun padamu. Cepat cari Yasmin, atau kamu akan kesulitan mencarinya.” Malvin bangkit dari posisinya.     Sebelum meninggalkan ruangan tersebut, Malvin berkata, “Jangan sampai dendam masa lalu membuat buta untuk melihat masa depan.”     Agam mengetatkan rahangnya lalu melemaskan tubuhnya untuk bersandar santai di sofa. Ia memejamkan matanya mencoba untuk menenangkan diri. Tapi yang terjadi adalah, Agam malah mengingat kejadian kemarin. Kejadian yang membuatnya terus berpikir keras, dan tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya sendiri.         Agam duduk di sebuah sofa tua yang hanya bisa menampung satu orang dewasa saja. Tio dan Joe terlihat berdiri tepat di belakangnya. Agam menatap tiga orang yang kini berlutut di hadapannya. Ketiga orang tersebut bergetar hebat seakan-akan terintimidasi dengan keberadaan Agam yang sama sekali tidak pernah mereka bayangkan.     “Aku tanya sekali lagi, apa yang kalian lakukan pada Yasmin?” tanya Agam dengan suara rendah. Tanpa melakukan hal apa pun lagi, Agam jelas sudah memberikan intimidasi yang luar biasa bagi orang-orang di sekitarnya. Termasuk bagi Tio dan Joe yang sebenarnya tak memiliki kesalahan apa pun. Apalagi untuk ketiga orang yang berlutut di hadapan Agam. Mereka tak bisa menahan diri untuk bergetar ketakutan karena kesalahan yang telah mereka lakukan.     Ya, benar. Ketiga orang tersebut tak lain adalah Heru, Tini, dan Ratna. Sore tadi tiba-tiba Agam dan rombongannya merangsek masuk ke rumah Heru dan menyekap ketiganya. Awalnya tentu saja Heru memberontak dan melawan, apalagi istri serta putrinya juga menjadi sandera sama seperti dirinya. Tapi karena intimidasi dari orang-orang yang dibawa oleh Agam, Heru tidak lagi bisa melawan.     Apalagi saat ini, Agam sendiri yang mulai menginterogasi Heru dengan kuat. Agam yang bertubuh tinggi tegap duduk di tengah ruangan dan menatap tajam pada keluarga Yasmin itu. Kesabaran Agam menguap begitu saja saat dirinya tak mendapatkan jawaban yang ia harapkan. “Apa bisunya Yasmin adalah penyakit keturunan? Kenapa kalian semua tidak menjawab pertanyaanku? Apa mungkin kalian yang normal ini ingin memiliki kondisi yang sama dengan Yasmin? Mungkin kalian tidak tahu, aku lebih dari mampu untuk membuat kalian tidak lagi bisa berbicara.”     Agam memicingkan matanya saat sadar jika kini gadis yang tak lain adalah adik dari Yasmin menatapnya dengan tajam. “Tatapan yang cukup menakutkan. Apa yang ingin kau katakan gadis kecil?”     “Jangan menghina Kakak! Kakak memang bisu, tapi ia orang baik yang tidak patut dihina! Kamu tidak berhak untuk merendahkan Kakak!” teriak Ratna dengan netra yang berkaca-kaca. Meskipun takut, Ratna tetap harus meneriakan isi hatinya. Sudah cukup selama ini diirnya menahan diri untuk menyerang orang-orang yang telah membuat kakaknya hidup dalam penderitaan di bawah hujatan kejam mereka.     “Orang baik? Benarkah? Apa orang baik bisa melakukan hal yang tidak bermoral hingga hamil di luar nikah? Jika itu definisi orang baik yang kau miliki, lalu bagaimana dengan orang-orang yang berada di penjara? Atau para p*****r di jalanan? Kau menyebut mereka sebagai apa, huh?” tanya Agam dengan nada sinis yang tentu saja melukai harga diri Ratna dan keluarganya.     Ratna baru saja akan meluapkan kemarahannya, tapi Tini menahan Ratna dan memperingatkan Ratna agar tidak memperkeruh keadaan. Heru menghela napas lalu berkata, “Sebenarnya apa yang kamu inginkan? Jika kamu bertanya apa kami adalah keluarga gadis bernama Yasmin, maka jawbannya iya. Kami memang keluarganya, tapi itu dulu. Kini, dia bukan lagi putriku. Bahkan namanya saja akan kucoret dalam kartu keluarga.”     “Bapak!” seru Ratna frustasi saat mendengar ucapan ayahnya.     Agam juga terlihat semakin tidak senang saat mendengar kelanjutan ucapan Heru. “Dia sudah bukan lagi anakku. Jadi, apa pun masalahmu dengannya, jangan pernah mencarinya lagi ke sini. Jangan pula bertanya tentangnya pada kami, karena hubungannya dengan kami putus bertepatan saat kami tahu kehamilannya. Ka—”     Ucapan Heru tidak terhenti saat dirinya mendapat pukulan tepat pada wajahnya. Semua orang tampak terkejut dengan hal tersebut. Terutama Agam. Ia tak percaya jika dirinya yang memberikan pukulan hebat tersebut. Hal yang lebih tidak bisa dipercaya adalah, bukan hanya satu tapi pukulan beruntun yang diberikan olehnya.         Agam mengusap wajahnya dengan kasar. Kemarin dirinya memang tidak seperti biasanya. bisa-bisanya ia main tangan. Padahal selama sekolah dan kuliah, Agam dikenal sebagai siswa yang tidak pernah bertindak kasar dan berkelahi. Agam tidak pernah main tangan walaupun memiliki kadar emosi tinggi. Tapi karena auranya yang mengintimidasi membuat orang-orang tidak berani mendekat. Hanya dengan kata-kata tajamnya saja, Agam sudah bisa membuat orang-orang menjaga jarak aman darinya.     Tapi untuk pertama kalinya Agam mengotori tangannya sendiri untuk memukuli seseorang karena merasa begitu marah. Ya, Agam marah saat mendengar Heru mengatakan omong kosong mengenai Yasmin yang tak lain adalah putrinya sendiri. Ini kali kedua Agam menemukan orang tua yang bersikap seperti sampah. Orang tua yang bahkan tidak memiliki setitik pun kasih sayang pada darah dagingnya sendiri.     Agam tidak yakin. Kenapa semua orang mengatakan jika hubungan darah lebih kental daripada apa pun? Bukankah sudah banyak bukti jika hal itu tidak benar? Omongan mereka semua yang mengatakan jika hubungan anak dan orang tua tidak akan terputus, serta tidak ada istilah mantan anak serta mantan orang tua, keduanya sama-sama omong kosong.     Bagi Agam, hanya mama dan papanya lah orang tua yang paling tulus di dunia. Agam tidak akan memercayai orang tua yang lainnya, karena mereka semua hanya orang gila yang mengenakan kedok orang tua yang ingin dihormati. Agam mendesah saat sadar pikirannya sudah bercabang ke mana-mana. Padahal awalnya Agam hanya ingin berpikir langkah apa yang harus ia ambil setelah mendapat konfirmasi langsung dari keluarga Yasmin, bahwa Yasmin memang diusir ketika dirinya sudah diketahui mengandung.     Sayangnya sejak kemarin Agam tidak bisa berpikir dingin. Kemarahan terasa mengepul di dalam dadanya saat dirinya mengingat perkataan Heru atas Yasmin. Agam semakin merasa frustasi saat sadar dirinya marah akan hal yang tidak masuk akal. Mengapa dirinya bisa semarah ini hanya karena mendengar ucapan tidak mengenakan tentang Yasmin? Bukankah Agam harusnya senang?     “Sial,” maki Agam. Sepertinya Agam harus mengalihkan pikirannya lebih dulu. Jika tidak, bisa-bisa Agam melakukan hal yang lebih gila daripada kemarin.       ***           “Ini minggu ke-23, ya?” tanya Revin sembari menuntun Yasmin berjalan menyusuri jalanan desa.     Yasmin menoleh dan mengangguk. Tangannya yang bebas ia gunakan untuk mengusap perutnya yang membuncit di balik gaun ibu hamil yang ia kenakan. Benar, kehamilan Yasmin sudah memasuki bulan keenam. Tidak terasa jika dirinya sudah melalui hari-hari yang sulit seperti ini jauh dari keluarga dan kerabatnya sendiri. Yasmin sangat bersyukur, di sini semua orang dengan baik hatinya menjaga dan merawat Yasmin yang sebatang kara. Mereka tidak menunjukkan jika mereka memperlakukan Yasmin dengan baik, karena merasa kasihan atau iba.     Yasmin malah melihat mereka semua melakukan kebaikan itu karena tulus. Karena jujur saja, jika mereka hanya mengasihani dirinya, Yasmin tidak akan berlama-lama tinggal di desa ini. Yasmin memang bukan orang kaya, tapi Yasmin ingin hidup dengan jerih payahnya sendiri. Yasmin ingin hidup dengan hasil keringatnya sendiri. Untungnya semua orang termasuk kedua orang tua angkatnya mengerti dengan apa yang diinginkan Yasmin.     “Nah kamu harus sering-sering berjalan-jalan di pagi serta sore hari. Tapi ingat, jangan sampai kamu kelelahan. kamu cukup membuat kaki serta pinggangmu semakin kuat saja. Jangan terlalu berlebihan, ya,” ucap Revin memberikan saran sebagai seorang dokter. Kini Revin memang sudah memiliki aktivitas rutin untuk menemani Yasmin jalan-jalan pagi dan sore. Entah sejak kapan Revin memiliki kebiasaan ini, tetapi jujur saja, Revin menikmati kebiasaan barunya ini.     Yasmin hanya bisa kembali mengangguk dan tersenyum dengan cantiknya. Ternyata hal itu membuat Revin salah tingkah. “Jangan pernah tersenyum seperti itu di hadapan pria lain!” perintah Revin.     Dengan gerak bibirnya, Yasmin bertanya, “Kenapa?”     “Aku takut jika orang-orang itu akan jatuh cinta padamu,” jawab Revin cepat.     Yasmin tersenyum geli mendengar ucapan Revin yang terdengar seperti gombalan anak SMA. Melihat senyum Yasmin kali ini, Revin semakin gemas. “Ah aku sepertinya sudah gila. Aku ingin melipatmu dan menyimpanmu untukku sendiri. Kamu terlalu cantik dan menakjubkan untuk kubagi dengan orang lain.”     Ucapan Revin rupanya lagi-lagi memantik rasa geli Yasmin. Ibu hamil itu kembali tersenyum dan mencubit pinggang Revin dengan gemas. Tentu saja Revin mengaduh mendapatkan cubitan yang sebenarnya tak seberapa sakit itu. Yasmin tidak tahu saja, jika ucapan Revin yang ia anggap sebagai guyonan itu adalah ucapan serius yang berasal dari dasar hati Revin. Melihat Yasmin yang tersenyum lebar, Revin juga tak bisa menahan diri untuk tersenyum.     Tangan besar Revin terulur dan mengusap puncak kepala Yasmin dengan sayang, menikmati sensasi lembut yang ia dapatkan dari helaian hitam rambut Yasmin yang panjang. Yasmin sendiri tidak menolak perlakuan Revin tersebut, ia sudah menganggap Revin sebagai kakaknya sendiri, jadi Yasmin tidak merasa risi dengan perlakuan manis yang Revin berikan. Karena tentunya, Yasmin hanya menganggap semua perlakuan itu adalah sebuah kasih sayang yang ditunjukkan oleh seorang kakak pada adiknya.     Keduanya terlihat begitu dekat. Bahkan interaksi mereka terlihat begitu manis. Tapi untuk beberapa mata yang kini mengawasi keduanya, interaksi itu terasa menusuk mata. Mereka semua kini menatap tajam pada punggung Revin. Melalui tatapan tajam tersebut mereka mengutuk Revin, dan berharap Revin tidak lagi bisa melihat matahari esok pagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD