"Hei," seseorang menepuk pundak Kayla dan memanggilnya.
Kayla yang sedang dalam lamunannya langsung tersentak. Dia mendongak untuk melihat siapa yang melakukan itu.
Juna melambai padanya saat dia sadar siapa yang melakukannya.
"Boleh aku duduk disini?" tanya Juna menunjuk ruang kosong di sebelah Kayla.
"Ya," balas Kayla mengizinkan.
Juna lalu duduk disana. Dia ikut menunggu bis bersama Kayla lagi pagi ini.
"Sepertinya kita akan sering bertemu disini," ucap Juna saat sadar Kayla sudah tidak menggunakan headsetnya lagi.
Kayla mengangguk menyetujui, "Iya sepertinya."
"Baju baru bukan?" tanya Juna melihat penampilan Kayla.
"Iya, kenapa kamu tau?"
Juna malah tertawa pelan setelahnya, "Sepertinya kamu memang lupa buat melepas tagnya, itu masih tersangkut diujungnya," jelasnya.
Kayla spontan melihat ujung bawah kemejanya. Ternyata benar, ia lupa melepaskannya.
"Astaga. Jadi, sedari tadi ini menggantung disini," ungkapnya tak menyangka.
Juna dan Kayla tertawa bersama.
"Kapan kamu akan kembali ke kota asalmu?" Juna bertanya penasaran.
"Akhir bulan ini sepertinya. Aku hanya ditugaskan selama satu bulan," jawab Kayla.
"Ah, jadi hanya sementara ya? Kukira kamu memang menetap untuk bekerja disini karena kamu bilang melakukan wawancara sebelum masuk."
"Kantor disana memang seperti itu. Mereka tidak bisa langsung memercayai seseorang yang akan bekerja disana. Jadi, masih perlu melakukan beberapa tes agar kita bisa masuk dan bekerja, meski kita hanya karyawan pindahan." tepat saat Kayla menyelesaikan penjelasaanya, bis mereka tiba.
***
"Halo, Vira. Lo kosong ga hari ini?" tanya Risda dari sambungan teleponnya.
Ini masih pagi sekali saat Risda menghubungi Vira.
"Iya, kosong kok," balas Vira. Ia sedikit heran karena Risda menelponnya dengan nada gusar. Itu juga membuat kening Vira mengeryit.
"Kenapa?" tanya Vira saat suara Risda belum terdengar.
"Gue kesana ya, ada yang mau gue ceritain," ujar Risda dan langsung memutuskan panggilannya sepihat tanpa mengizinkan Vira mengucapkan sepatah katapun.
Vira menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Dia memang sangat tahu sifat Risda jika dia sedang merasa gusar.
Selagi menunggu Risda datang, Vira akan mandi terlebih dahulu. Tepat setelah Vira selesai membersohkan dirinya, Risda sudah ada di dalam kamarnya.
"Kenapa sih, da? Pagi-pagi udah bikin gue bingun aja," tanya Vira penasaran.
Mereka berdua mengambil posisi duduk diatas kasur bersama-sama dan saling berhadapan.
"Ada sesuatu yang penting banget," ucap Risda.
"Iya, apa?" Vira semakin tidak sabar dengan kelakuan Risda.
"Tadi, pagi-pagi banget... Gue ditelpon sama Liam," ungkap Risda serius.
"HAH!" Vira benar-benar terkejut mendengarnya.
"Kenapa? Kok bisa?" tanya Vira semakin penasaran.
"Wah, ini sih fakta yang paling bikin gue ga bisa nafas," ucap Risda.
Risda menarik nafasnya sejenak, "dia bilang kalau sebenarnya dia gagal nikah," lanjutnya.
Pernyataan yang diucapkan Risda semakin membuat Vira tak habis fikir. Bahkan benar kata Risda, Vira juga tak bisa nafas setelah mendengarnya.
"Kenapa bisa?" tanya Vira heran.
Risda mengangkat bahunya, "Gue juga ga tau pastinya. Terus ada lagi,"
"Apa?"
"Dia nanyain tentang Kayla," tutur Risda.
"Ah, ya tuhan," Vira mendesahkan nafasnya kasar, "terus lo bilang apa ke dia?" tanyanya lagi.
"Gua cuma bilang kalau Kayla baik-baik aja. Gue ga bilang kalau sebenernya Kayla lagi ke luar kota," ucap Risda menjelaskan.
"Bagus, gue setuju lo bilang gitu. Bukannya gimana... tapi, gue ga mau Kayla sakit hati lagi. Jadi bukannya lebih baik kalau kita sembunyiin fakta ini dulu dari dia?"
Risda mengangguk, "Bener, kita sepemikiran," ucapnya menyetujui rencana Vira.
"Maafin kita ya Kay," gumam mereka bersama.
Mereka tahu tidak mudah bagi Kayla untuk melupakan Liam, seseorang yang sudah bersamanya selama bertahun-tahun. Tapi, mereka juga tahu bagaimana rasa sakit yang di terima Kayla saat mengetahui orang yang dia cintai begitu lama justru meninggalkannya dan akan menikahi wanita lain. Dan kini, ketika semuanya gagal... Orang itu justru ingin kembali ke Kayla.
Mereka berdua hanya tak ingin Kayla merasakan hal yang sama untuk kedua kalinya nanti. Mereka tak ingin Kayla hanya mendapat harapan yang tidak bisa menjadi kenyataan. Meski mereka sadar, mereka tak akan bisa mengendalikan takdir. Mereka hanya berharap masa depan yang baik untuk Kayla.
***
Flashback
Drttt drttt
Getaran dan suara dari ponsel Risda membangunkannya di pagi hari sekali. Matanya membuka secara terpaksa. Di mencoba melihat siapa yang sudah membangunkannya di jam segini.
Liam is calling...
Setelah membaca itu matanya langsung membelalak. Tubuhnya yang tadinya tengkurap malas-malasan langsung terduduk tegap saat sadar siapa yang menelfonnya.
"Ya tuhan, apaan nih?" tanyanya yang juga bimbang akan menjawab panggilan itu atau tidak.
Risda berdehem beberapa kali berusaha menormalkan suaranya. Ia memutuskan untuk mengangkatnya. Ponselnya didekatkan ke telinganya saat tombol hijau sudah ditekannya.
"Halo," ucapnya.
"Halo Risda," suara Liam terdengar diseberang sana.
"Iya, kenapa Liam? pagi banget nelpon gue?"
"Gapapa sih sebenernya, gue cuma mau nanya keadaan Kayla aja," ucap Liam tenang. Dan itu membuat kening Risda berkerut heran, dia merasa sangat aneh dengan kalimat yang diucapkan Liam.
"Maksudnya?"
"Iya gue cuma mau tau kabar Kayla aja."
"Lo... Kok lo berani tanya soal Kayla, padahal lo udah punya Desi," ungkap Risda yang mulai merasa sedikit kesal mendengarnya.
Tanpa Risda ketahui, disisi lain Liam sedang tersenyum simpul. "Gue gagal nikah, Da," ungkap Liam yang tak disangka-sangka oleh Risda.
"Hah?" Risda kebingungan.
"Iya, gue ga jadi nikah sama Desi,"
ucapnya lagi untuk meyakinkan Risda.
Risda terdiam.
"Gue... Boleh ga nanyain Kayla ke lo kali ini?" Liam bertanya dengan nada berharap.
"Dia baik-baik aja, Kayla sehat," jawab Risda.
"Ah, syukurlah kalau gitu. Yaudah, makasih ya, Da. Sorry udah ganggu jam pagi lo," ujar Liam merasa lega.
Panggilan mereka lalu berakhir. Setelah itu, Risda dengan cepat mencari kontak Vira, dia langsung menghubunginya.
Flashback off
***
"Siang, pak," sapa Kayla saat memasuki ruangan atasannya.
"Pagi, Kayla. Silahkan duduk," ujar Dave-- atasan Kayla, mempersilahkan Kayla duduk di kursi depan meja kerjanya.
"Ada apa ya pak?" tanya Kayla setelah duduk.
Dave mengeluarkan satu map yang berisi beberapa lembar kertas ke hadapan Kayla.
"Ini yang pernah diajukan dari kantor kamu untuk dibawa kemari, Saya sudah isi. Nanti kamu periksa dulu, kalau sudah tolong beritahu saya secepatnya agar kita bisa adakan rapat," ucap Dave menjelaskan.
"Baik, pak. Saya akan periksa secepatnya," balas Kayla.
"Ya sudah, itu saja."
"Terima kasih pak, saya permisi dulu," pamit Kayla sambil membawa berkas-berkas yang diurusnya.
Kayla keluar dan kembali ke meja kerjanya.
"Kenapa, Kay?" tanya Fanny saat melihat Kayla keluar dari ruangan atasan mereka.
"Ini, tugas yang di ajuin sama kantor aku disana," jawab Kayla.
Fanny mengangguk-angguk, "Nanti pulang kantor kita mau ke rumah makan seafood di depan. Itu buka baru, jadi ada diskon," jelas Fanny.
Kayla berfikir sejenak, dia mengingat-ngingat apakah ada keperluan setelah pulang kantor nanti.
"Boleh deh," balas Kayla saat merasa jadwalnya kosong nanti.
"Oke, nanti kita pergi sama-sama."
Kayla mengangguk. Ia beralih ke berkas-berkas yang harus diurus secepatnya.
Drttt
Ponsel Kayla berdering, Nama Kontak 'Nenek' tertulis disana. Tanpa pikir panjang, Kayla langsung mengangkatnya.
"Halo," ucap Kayla sebagai pembuka.
"Halo, Nduk," suara Resti terdengar di ponsel Kayla.
"Iya kenapa Nek?"
"Nenek tadi ke rumah sakit sama Vira,terus Nenek dapat resep dari rumah sakit seperti biasanya. Tapi Nenek lupa dimana biasa kamu membelinya," jelas Resti.
"Oh gitu. Disitu ada Vira ga Nek?"
"Iya ada."
"Tolong kasih ke dia, Nek. Biar aku yang jelasin ke dia." setelah itu Resti memberikan ponselnya ke Vira.
Vira dan Kayla berbincang sedikit sekaligus memberitahu alamat dimana dia biasa membeli obat untuk Resti.
"Oh disana, Kay. Oke, gue ngerti," ucap Vira setelah mengetahui lokasi apotiknya. Dia juga mengembalikan ponsel ke Resti.
"Terima kasih ya, Nduk. Nenek tutup teleponnya," ucap Resti sekaligus mengakhiri panggilan itu.
Kayla kembali meletakkan ponselnya. Dia melirik jam, ternyata sudah waktunya jam istirahat siang. Dia kembali melihat pekerjaannya yang baru selesai setengah. Dia harus menyelesaikannya segera.
"Ayo makan siang dulu, Kay," ajak Fanny seperti biasa.
"Kayaknya kali ini aku gabisa ikut kalian dulu, masih banyak yang harus aku selesaiin," ujar Kayla merasa tidak enak karena harus menolak ajakan Fanny.
"Yakin?" tanya Fanny yang diangguki Kayla.
"Ya sudah gapapa kok. Kamu mau titip apa? Biar aku bawain."
"Emang disini boleh makan ya?"
"Ga boleh sih, bolehnya cuma minum," balas Fanny terkekeh.
"Ya sudah, aku boleh titip Cokelat panas aja ga?"
"Iya boleh. Tungguin ya, aku pergi dulu sama yang lain," pamit Fanny dan berlalu pergi bersama yang lain meninggalkan Kayla sendirian di ruangan itu.
Kayla menghela nafasnya pelan. Ia kembalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Matanya menari-nari melihat tulisan-tulisan di semua kertas itu. Dia memeriksanya dengan teliti agar tidak ada kesalahan saat kembali menyerahkannya.
Terus seperti itu hingga waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Pekerjaan yang diperintahkan atasannya sudah dia selesaikan, dia akan memberikannya kembali ke ruangan atasaanya. Tetapi, perkataan Fanny menghentikannya.
"Pak Dave sudah pulang duluan, Kay," ucap Fanny.
"Yah," ujar Kayla langsung terduduk lemas.
"Yang sabar ya Kay."
Kayla memaksakan dirinya tersenyum. "Iya, masih bisa besok kok sebenernya," ucapnya pasrah. Sebenarnya dia ingin menyelesaikan semuanya sekarang. Tapi mungkin dirinya sedang ambisius hari ini.
"Siap-siap pulang juga, Kay. Kita mau ke depan kan," ucap Fanny mengingatkan Kayla akan rencana mereka.
"Iya." Kayla segera membereskan barang-barangnya. Dia lalu keluar bersama karyawan lain untuk pergi ke rumah makan yang baru buka di depan kantor mereka.
"Selmat datang," ucap seorang pegawai rumah makan itu, menyapa pelanggan yang baru masuk.
Berbagai makanan banyak yang tertera diskon. Mereka memesan berbagai makanan untuk diri mereka sendiri-sendiri.
"Ayam goreng sama lalapan satu ya kak, terima kasih," ucap Kayla memesan pesanannya lalu menyusul yang lain ke tempat duduk mereka.
Pesanan mereka datang tak lama kemudian. Mereka menghabiskan makanan sambil berbincang ringan layaknya rekan kerja pada umumnya. Meski Kayla orang baru disana, ia sangat diterima dan diperlakukan dengan baik oleh karyawan lainnya. Dia merasa sangat bersyukur untuk itu.
"Hati-hati, ya," ujar Kayla dengan melambai pada Fanny yang pulang terakhir sebelum dirinya. Yang lain sudah pulang duluan tadi.
Kayla lalu melangkah menuju halte bus seperti biasa. Dia menikmati perjalanannya. Langit sudah berubah menjadi gelap ketika dia akan pulang. Kayla melewati cafe dimana tempat Juna bekerja. Tapi dia tidak melihat keberadaan laki-laki itu seperti hari-hari sebelumnya dari luar cafe.
Kayla mengangkat bahunya tak ingin tahu. Dia kembali melangkahkan kakinya ke halte bus. Tepat saat dirinya tiba, bis tumpangannya juga datang disaat yang bersamaan. Tanpa menunggu lama, dia sudah naik kedalam bis itu.
Ada banyak kursi penumpang yang kosong, jadi Kayla bisa duduk dengan nyaman kali ini. Dia juga memilih duduk di dekat jendela agar bisa menikmati pemandangan kota dengan langit malamnya. Kepalanya dia sandarkan ke kursi, tapi tatapannya tak berpaling dari luar jendela sedetikpun.
Kayla benar-benar menikmatinya. Hingga tanpa dia sadari, bisnya telah berhenti di halte tujuannya. Dia baru tersadar beberapa detik kemudian. Kayla turun dari bis dan kembali berjalan ke arah kontrakannya.
***
Di hari berikutnya, Kayla sudah terlihat rapi dengan setelan kantornya seperti biasa.
Jika dihitung-hitung, dia sudah berada dikota ini lebih dari satu minggu. Dia keluar dari kontrakan dengan senyum yang lebar.
Kayla berjalan menyusuri trotoar yang akan membawanya menuju halte bus. Seperti biasa, dia menunggu bis datang dengan duduk dan memasang headset dikedua telinganya. Sebuah lagu terputar membuat dirinya merasa tenang di pagi hari.
Bis sudah tiba, dia lalu naik ke dalam bis daln berangkat menuju kantornya. Saat tiba dikantor, Kayla menyapa karyawan-karyawan dengan ramah, dia sudah mulai mengingat nama-nama mereka.
"Pak Dave sudah datang, Fan?" tanya Kayla saat sampai di meja kerjanya. Fanny sudah lebih dulu tiba di kantor karena dia sedang menikmati kopi di meja kerjanya.
"Iya sudah, Kay. Baru aja," ucap Fanny karena tadi dia sempat melihat atasannya tiba sebelum Kayla.
"Oke, aku ke ruangannya dulu ya," pamit Kayla dengan membawa berkas-berkas kerjaan yang sudah diselesaikannya.
Dia mengetuk terlebih dahulu pintu ruangan Dave sebelum masuk.
"Selamat pagi, pak. Maaf mengganggu," ucap Kayla masuk perlahan. Dia masih berdiri diambang pintu.
"Oh, kamu. Ya, masuklah," ucap Dave mempersilahkan Kayla untuk masuk.
Kayla duduk dihadapan Dave. Dia meletakkan berkas-berkasnya diatas meja.
"Sudah saya selesaikan pak," ujar Kayla.
Dave menerimanya, dia membolak-balikkan lembaran-lembaran itu.
"Oke, saya akan hubungi pihak-pihak lainnya. Besok kita rapatnya, kanu harus tetap ikut di rapat itu," jelas Dave.
"Baik, pak. Kalau begitu saya permisi dulu," Kayla pamit dan keluar dari ruangan Dave. Dia kembali berjalan ke meja kerjanya.
"Gimana?" tanya Fanny melihat Kayla yang sudah kembali.
Kayla mengacungkan kedua jempolnya kepada Fanny sambil tersenyum senang.
"Tapi, masih harus rapat lagi besok," ucap Kayla.
"Semangat," ucap Fanny. Meski dia tidak tahu tentang apa yang ditugaskan untuk Kayla disini dari kantor asalnya, ia tetap menyemangati Kayla.