Kayla keluar dari kamar mandi dan kembali ke tempat duduknya. Saat kembali, Juna sudah tak ada disana. Kayla melihat ke sekeliling dan tak menemukan laki-laki itu bahkan di balik barnya dia tak ada.
Kayla melihat Tyo yang dekat dengan posisinya. "Tyo," panggil Kayla.
"Iya, Kay?" tanya Tyo.
"Juna kemana?"
Oh itu, dia pergi gara-gara ada urusan penting. Dia bilang minta maaf karena harus ninggalin kamu," jelas Tyo.
"O-oh gitu ya," balas Kayla.
"Dia juga titip pesan kalau kamu mau pulang bilang ya, supaya aku yang antarkan," ucap Tyo lagi.
"Ah jangan, ga usah gapapa, makasih," tolat Kayla tak ingin merepotkan orang lain lagi.
Tyo menaruh telunjuk didepan mulutnya menyiratkan ubtuk tidak membantah, "Ini amanah Kayla, jadi,harus dilakukan," ujarnya tak menerima penolakan dari Kayla.
Kayla hanya pasrah tak kembali menolak. Dia lalu membuka ponselnya, sebuah pesan masuk.
From Juna.
Maaf, Kay. Tapi, aku harus pergi. Aku sudah minta Tyo untuk mengantarmu pulang, tolong pulang saja bersamanya.
Tulis pesan singkat yang dikirim Juna kepada Kayla. Kayla membacanya dan tersenyum. Dia menggumam dengan mengatakan "gapapa."
Kayla kembali meletakkan ponselnya dan menghabiskan sisa kopi miliknya. Wajahnya yang sembab sudah tak begitu terlihat karena Kayla sedikit memolesnya dengan bedak.
Ia membereskan barang-barangnya bersiap ubtuk pulang. Tyo yang melihat itu segera mendekati Kayla.
"Sudah mau pulang?" tanya Tyo.
"Iya," balas Kayla.
"Ya sudah, tunggu sebentar ya." setelah mengatakan itu Tyo segera melepas apronnya lalu menyimpannya. Dia keluar dari barnya dan mendekati Kayla.
"Yuk," ajak Tyo yang diangguki Kayla.
Tyo menyiapkan motonya lebih dulu, lalu Kayla menaikinya dibelakang. Tyo melajukan motornya setelah memastikan Kayla duduk dengan benar diboncengannya. Dia membelah jalanan yang penuh dengan kendaraan lain.
***
Beberapa menit sebelumnya.
Kayla masuk ke dalam kamar mandi setelah meminta izin Juna. Juna melihat Kayla yang kini sudah menutup pintu kamar mandinya.
Dia mengalihkan pandangannya dari sana. Entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal dihatinya setelah mendengar cerita Kayla, bahkan saat melihat perempuan itu menangis tersedu, rasanya Juna ingin marah.
Drtt drtt
Pomselnya bergetar, Juna mengambilnya dan nama seseorang tertera disana.
Juna segera mengangkatnya.
"Halo, Sus," ucap Juna mengawali panggilan telefon itu.
"Halo, tuan. Bisa segera ke rumah sakit? Ada sesuatu yang terjadi, nanti saya ceritakan detailnya," ucap seorang suster itu buru-buru dan suaranya terdengar panik.
Juna yang mendengar itu segera bangkit berdiri dengan perasaan yang kalut, kepanikan menjalar pada dirinya. Dia segera menghampiri Tyo yang sedang membuat minuman.
"Aku pergi dulu ya," ujarnya buru-buru.
Tyo menahan lengan Juna dan bertanya, "Kenapa, Jun?" tanya Tyo karena menyadari gerak-gerik Juna yang sangat panik.
"Rumah sakit, susternya bunda baru aja telepon," jelas Juna.
"Bilang ke Kayla ya, aku minta maaf harus pergi. Oh iya antarin dia pulang ya ,yo," lanjut Juna.
Tyo mengangguk mengerti, "Ga mau pake motorku, Jun?"
"Ga usah, aku naik ojek aja. Motornya kamu pakai buat antar Kayla," balas Juna cepat-cepat. Dia lalu membalikkan badannya, "Aku pergi dulu," pamit Juna.
Dia berlari secepat kilat keluar dari cafe dan mencari pangkalan ojek terdekat.
"Rumah sakit jiwa mawar, ya pak," ucap Juna.
Setelah memberitahu alamat tujuannya kepada seorang ojek, mereka segera menuju kesana dengan cepat. Rasa panik masih terus mendominasi Juna selama perjalanan.
"Terima kasih, pak," setelah membayar ojeknya, Juna segera berlari ke dalam rumah sakit.
Karena merasa panik, dia lebih memilih menaiki tangga menuju lantai lima ketimbang naik lift. Dia berlari tanpa henti menuju kamar dimana bundanya dirawat.
Juna membuka pintu setelah sampai didepan kamar itu, dari depan saja sudah terdengar suara-suara teriakan yang Juna yakini adalah suara bundanya. Hal yang pertama dia lihat adalah bundanya yang memberontak dalam pegangan dua orang suster sambil berteriak.
"Bunda," panggil Juna segera mendekat.
"Bunda tenang," ucap Juna lagi tapi tak dihiraukan oleh bundanya.
Juna mengambil alih bundanya dari kedua suster itu. Dia berdiri dihadapan bundanya dan menggenggam erat kedua tangannya.
"Bunda ini Juna," ujar Juna berusaha menenangkan bundanya.
"Bunda tenang," ucap Juna sekali lagi dengan suara yang mulai bergetar.
Dengan sekuat tenaga, Juna langsuk memeluk bundanya. Dia membawa bundanya ke dalam dekapannya. Dan di detik itu juga bundanya langsung terdiam.
"Juna?" tanya bundanya memanggil nama Juna.
"Iya bunda, ini Juna," jawab Juna sambil terus memeluk bundanya. Dia juga mengelus-elus pelan punggung bundanya agar lebih tenang.
"Sudah pulang, nak?" tanya bunda Juna. Kedua tangannya kini terangkat balas memelu Juna.
"Iya, Juna baru pulang," balas Juna lagi.
Kemudian Juna mengisyaratkan kedua suster itu untuk keluar lebih dulu. Setelah memastikan keduanya keluar dan menutup pintu, Juna baru melepaskan pelukannya. Dia menangkup wajah bundanya dengan kedua tangannya.
"Bunda kenapa?" tanya Juna.
Lama terdiam yanpa ada balasan. Bahkan tatapan bunda Juna bukan yertuju padanya. Matanya seperti linglung tak tau arah.
"Bunda..." panggil Juna lagi.
Disaat panggilan itu, bunda Juna langsung menatap Juna tepat dimatanya. Dan di detik berikutnya, ia melepaskan kedua tangan Juna yang berada di wajahnya dengan kasar. Dia menghempaskannya begitu saja dan mundur kebelakang hingga punggungnya membentur kepala ranjang. Kakinya ia lipat.
"Bunda? Kamu siapa?" pertanyaan itu terlontar dari mulut bunda Juna. Saat mendengarnya membuat hati Juna terluka.
Bunda Juna mengidap penyakit alzheimer. Itu membuatnya dapat melupakan apapun termasuk keberadaan Juna sebagai seorang anak. Bunda Juna telah mengidap penyakit itu selama empat tahun belakangan. Mungkin karena penyakit bundanya juga Dinda memilih meninggalkannya.
Juna baru memasukkan bundanya ke rumah sakit ini selama satu setengah tahun. Itu karena dia sekarang memiliki lebih sedikit waktu dqripada dahulu untuk menjaga bundanya di rumah. Dia juga tidak bisa membiarkan bundanya tinggal di rumah sendirian, dia khawatir bundanya melakukan tindakan yang bahaya tanpa ada pengawasan.
Bundanya seperti itu semenjak ayahnya meninggal dunia. Sesuatu seperti merenggutnya dari alam sadarnya. Dia lebih sering mengingat mendiang ayahnya ketimbang dirinya yang sebagai anak.
Pernah suatu waktu saat Juna meninggalkan bundanya di rumah untuk pergi bekerja, bundanya pernah memecahkan kaca dan mencoba mengiris lengannya dengan pecahan kaca itu. Untung saja Juna pupang lebih awal dan bisa menghentikan tindakan bundanya yang membuat jantungnya seperti berhenti berdetak.
"Bunda.." panggil Juna yang melembut.
"Kamu siapa?" tanya bundanya lagi. Dia semakin merenggut dirinya ke belakang.
"Juna, ini Juna... bunda," balas Juna yang juga masih menjaga jaraknya.
"Kamu itu siapa?" nada suara bunda Juna meninggi. Dia membuat Juna terdiam.
Juna mematung, jiki sudah seperti ini hanya ada satu cara untuk menenangkan bundanya.
"Galih, ini aku Galih," ucap Juna yang menyebutkan nama mendiang ayahnya.
Di detik ini juga bunda Juna mengangkat kepalanya menatap Juna.
"Galih?" tanyanya memastikan.
"Iya ini aku, sayang," ujar Juna.
Rasanya seperti membohongi dirinya sendiri ketika harus melakukan itu. Membiarkan dirinya dilupakan oleh bundanya sendiri dan membuat dirinya berpura-pura menjadi seorang suami yang merupakan ayah kandungya sendiri. Sulit melakukan kedua peran itu.
Juna kin berani melangkah mendekat ketika bundanya tak lagi berkutip.
"Maaf ya, aku baru pulang," ujar Juna yang kini sudah berada dihadapan bundanya.
"Kamu dari mana saja?" tanya bundanya. Kini dia bisa lebih tenang dan melunak. Tubuhnya fia majukan kembali agar tak menyentuh kepala ranjangnya. Dia juga sudah tak meringkuk ketakutan lagi.
"Kerja, aku baru saja pulang bekerja," balas Juna yang kini menarik sebuah kursi di dekatnya untuk dia duduki.
"Kamu sudah makan?" tanya Juna sambil mengelus lembit rambut bundanya.
Bundanya menggeleng, "Belum," ucapnya.
"Kenapa ga makan?" tanya Juna lagi.
"Makanan disini ga enak. Ga ada rasanya," balas bundanya sambil memberikan mimik wajah seolah-olah ingin muntah.
Umurnya sudah mencapai angka lima puluh tahun, tapi tingkahnya yang saat ini seperti terlihat berumur dua puluh tahun.
Juna terkekeh, "Mau makan apa kalau gitu?" tanyanya.
"Ayam goreng."
Juna mengangguk, "Oke. Aku keluar dulu ya kalau gitu, buat cari ayam gorengnya," ujar Juna.
"Iya," balas bundanya.
Juna bangkit dari duduknya. Dia berjalan keluar meninggalkan bundanya yang menatap kepergiannya. Saat akan berjalan keluar dari rumah sakit, seorang suster memanggilnya.
"Tuan," panggil suster itu. Juna berbalik, itu adalah salah satu suster yang merawat bundanya.
"Ya sus?" tanya Juna.
Suster itu berdehem sebentar. "Begini... Tadi sewaktu ibu tidak bisa tenang, dirinya ga sengaja nyenggol peralatan rumah sakit dan itu membuatnya rusak," jelas suster itu dan kembali berdehen sekali.
"maaf.. Jadi, tuan harus mengganti ruginya" lanjutnya.
"Berapa?" tanya Juna.
"Dua juta, tuan," jawab suster itu.
Juna mengangguk, "Ya sudah, nanti saya transfer. Maaf ya karena bunda saya," ucap Juna.
"Ah tidak apa-apa, tuan. Terima kasih banyak," ujar suster itu.
"Iya, saya pergi dulu," ujar Juna dan berlalu pergi dari sana.
Dijalan dia segera mentransfer sejumlah uang yang disebutkan tadi ke pihak rumah sakit. Setelah itu dia kembali menyimpan ponselnya. Dia melirik jam tangannya, saat ini sudah pukul delapan malam. Biasanya, banyak pedagang kaki lima di pinggir jalan saat keluar dari gerbang rumah sakit.
Juna lalu berjalan mendekati penjual ayam goreng di tempat dimana dia biasa membelinya.
"Ayam gorengnya satu ya, mas," pesan Juna.
"Pasti ibu lagi ya, den," ujar sang penjual.
"Iya mas," balas Juna sambil tersenyum.
"Ibu sehat?"
"Sehat kok mas. Cuma lagi lupa lagi aja."
"Gapapa. Kalau den sendiri sehat?"
Juna mengangguk, "Selama bunda sehat, saya juga harus sehat," ujarnya.
Penjual itu kembali sibuk menggoreng ayamnya. Sedangkan Juna, dia kembali mengambil ponselnya. Dia membukanya dan melihat riwayat pesannya.
Satu pesan balasan dari Kayla dan satu pesan dari Tyo. Dia membuka pesan dari Kayla lebih dulu.
Iya, makasih ya. Tyo sudah antarin aku kok.
Begitu tulisnya. Setelah itu dia membuka pesan dari Tyo.
Jun, ban motorku bocor. Jadi maaf, ga bisa antar Kayla. Tapi aku pesankan dia ojek online kok.
Membaca itu membuatnya bingung. Itu berarti Kayla berbohong. Dia kemudia membuka kembali riwayat pesannya dengan Kayla dan mengetikkan sesuatu disana.
Sudah sampai rumah, Kay?
Tak lama balasan dari Kayla muncul.
Iya sudah.
Juna menghela nafas lega. Entah kenapa dia merasa seperti itu. Dia lalu membalas pesan dari Tyo.
Iya, Yo. Untung Kayla selamat sampai rumahnya.
Setelah itu ia mematikan ponselnya dan meletakkannya kembali disakunya. Tepat juga saat itu pesanannya selesai.
"Makasih ya, mas," ujar Juna dan berlalu pergi.
Juna kembali masuk ke dalam rumah sakit dan kamar bundanya.
"Aku kembali," ujar Juna saat masuk ke kamar bundanya. Baru saja selangkah, dia melihat bundanya yang malah sudah tertidur nyenyak diranjangnya.
Juna berjalan mendekat dengan berhati-hati, perlahan senyumnya terbit. Dia meletakkan ayam goreng yang tadi dibelinya diatas nakas. Dia tak berniat membangunkan bundanya. Tangannya membenarkat selimut bundanya hingga menutupi tubuh bundanya sampai bahu.
Dia lalu kembali duduk ditempat yang tadi dan melipat kedua tangannya disamping bundanya. Kepalanya ia letakkan diatasnya dan ikut tertidur menyusul bundanya.
***
"Nek," panggil Vira yang baru saja masuk ke dalam rumah Resti bersama Risda.
"Iya," jawab Resti dari arah dapur.
"Oh kalian," ucapnya saa melihat Vira dan Risda yang masuk kedalam dapur.
"Nenek ngapain?" tanya Risda.
"Baru mau buat sarapan," jawab Resti.
"Wah, sarapan apa Nek?" kini giliran Vira yang bertanya.
"Bubur ayam, nenek pingin makan bubur ayam soalnya," jawab Resti lagi.
Seperti biasa Vira ataupun Risda selalu membawakan sesuatu saat ke rumah Resti. Kini mereka membawakan bahan-bahan pokok untuk dapur. Dia menyimpannya pada tempat-tempatnya, dia juga memasukkan beberapa ke dalam kulkas.
Resti melihat itu, "Ya ampun nduk, Nenek kan sudah bilang... Jangan bawa apa-apa kalau kesini," ujarnya.
"Gapapa Nek, daripada Nenek repot-repot keluar rumah lagi," jelas Risda dan diangguki Vira.
Beberapa menit dilewati hingga bubur ayam buatan Resti telah jadi. Dia meletakkannya diatas meja makan. Dia lalu duduk disusul oleh Vura dan Risda.
"Ayo makan," ajak Resti.
Mereka lalu memakan sarapan itu dengan lahap. Setelah selesai mereka duduk-duduk sebentar disana.
"Nenek sudah telepon Kayla?" tanya Vira.
"Belum."
"Ya udah, kita video call dia aja sekarang," ucap Vira yang mengeluarkan ponselnya.
Dia mencari kontak Kayla dan melakukan panggilan kepadanya.
Beberapa detik hingga panggilannya diangkat.
"Kayla," panggil Vira.
"Iya, halo Vir," balas Kayla dari sana.
"Ada Nenek sama Risda juga disini," ucao Vira sambil menunjukkan wajah mereka bertiga.
"Halo, nduk," sapa Resti.
"Nenek, nenek apa kabar?"
"Sehat kok. Kita baru saja selesai sarapan," balas Resti.
"Sarapan apa tuh?"
"Bubur ayam," jawab Vira dan Risda bersamaan.
"Yah aku ga kebagian," ucap Kayla dengan nada kecewa. Mereka semua lalu tertawa.
"Kamu lagi dimana Kay?" tanya Vira.
"Dijalan Vir. Lagi di dalam bis, mau ke kantor," jawab Kayla.
"Oh gitu ya."
"Kalau gitu sudah dulu ya, nanti Nenek hubungi lagi," ucap Resti karena melihat keramaian didalam bis yang ditumpangi Kayla.
"Iya, Nek," balas Kayla.
Vira lalu mengakhiri panggilannya setelah berpamitan.
"Kalau gitu kita juga berangkat kerja dulu ya, Nek," ucap Risda.
"Oh iya, hati-hati ya."
"Iya, Nek. Terima kasih Nek, kita pergi dulu."
"Sama-sama, terima kasih juga," balas Resti dan melambaikan tangannya kearah Vira dan Risda yang masuk ke dalam mobil.
Mobil mereka lalu melaju meninggalkan pekarangan rumah Resti.