Kayla sedang dalam perjalanan menuju kantornya. Dia baru saja melakukan panggilan dengan Resti dan teman-temannya.
Kayla turun di halte berikutnya tak lama setelahnya.
Tepat saat turun dari bis, dia mendongak dan bertemu pandang dengan Juna. Laki-laki itu sedang berdiri tak jauh di depannya.
Kayla melangkah mendekatinya.
"Hai," sapa Juna saat Kayla sudah tiba dihadapannya.
"Hai juga. Kenapa disini?" tanya Kayla heran kenapa Juna bisa berada di halte ini tapi tidak berangkat bersamanya menggunakan bis.
"Baru mau ke cafe, tadi habis kembalikan motornya Tyo," jelas Juna.
"Terus... Kenapa bisa disini bukannya langsung ke cafe?"
Juna menggaruk belakang kepalanya, "Itu... Em... Mau nunggu kamu saja," ujarnya.
Kayla mengangkat alisnya bingung, "Untuk?" tanyanya lagi.
Juna menipiskan bibirnya, "Maaf," ucapnya.
Kayla semakin mengerutkan keningnya. Dia melihat ke sekeliling, lalu dia menarik lengan Juna untuk duduk di halte.
"Maaf karena apa?" tanya Kayla saat mereka sudah duduk.
"Itu.. Yang kemarin... Maaf karena sudah tinggalin kamu mendadak," jelas Juna sambil menatap Kayla.
Kayla tersenyum dan perlahan terkekeh, "Astaga, kukira kenapa," ucap Kayla.
"Tidak apa-apa, Juna. Pasti itu penting sekali," lanjunya.
Juna tersenyum, "Terima kasih Kayla. Terima kasih sudah mengerti meski kamu tak tau apa alasanku," ucap Juna tulus.
"Iya, lagipula seharusnya aku juga berterima kasih. Terima kasih sudah temani aku kemarin, terima kasih sudah mendengar ceritaku," balas Kayla tak kalah tulus.
"Tidak masalah, nanti kalau butuh tempat lagi datang saja ke aku," ucap Juna.
Kayla mengangguk mengerti. Dia lalu kembali berdiri dan diikuti oleh Juna.
"Aku pergi ke kantor dulu," ucap Kayla hendak berpamitan karena sudah hampir waktunya masuk ke kantor.
"Ayo," ucap Juna membalas perkataan Kayla.
"Hah?" bingung Kayla.
"Ayo aku antar sampai depan kantormu," Jelas Juna.
"Tidak usah, tidak apa-apa, Juna. Aku tidak mempermasalahkan yang kemarin, jadi jangan merasa bersalah lagi," ujar Kayla yang berusaha menjelaskannya pada Juna.
"Bukan, Kayla. Aku bukan merasa bersalah lagi, tapi aku hanya ingin mengantarmu. Serius," ujar Juna lagi.
"Kamu tidak ke cafe? Bukannya kamu harus kerja?"
"Iya aku ke cafe. Tapi, nanti setelah mengantarmu," jelas Juna.
Kayla menatap Juna lekat ke dalam matanya. "Baiklah," putusnya memberikan izin Juna untuk mengantarnya.
"Terima kasih."
Merwka kini berjalan beriringan menyusuri jalan yang mengarah ke kantor Kayla. Bukan hanya mereka berdua yang hendak pergi bekerja. Jalanan trotoar dilewati banya manusia yang hendak beraktivitas salah satunya bekerja.
Kayla dan Juna tiba di depan kantor Kayla setelah beberapa menit kemudian.
"Terima kasih," ujar Kayla pada Juna.
Juna mengangguk sekali, "Sama-sama," balasnya.
"Pergilah," ujar Kayla.
"Kamu masuklah lebih dulu," ucap Juna menyuruh Kayla masuk ke dalam kantor.
"Oke, karena sepertinya aku akan terlambat. Kalau begitu aku masuk ya, terima kasih Juna. Sampai jumpa nanti," pamit Kayla dan segera masuk ke dalam kantornya.
"Iya, sampai jumpa," balas Juna sambil melambaikan tangan dan membiarkan Kayla masuk.
Setelah memastikan Kayla sudah masuk, Juna lalu berbalik arah dan pergi menuju cafenya.
Ada satu hal yang tidak Kayla ketahui, bahwa sebenarnya cafe itu miliknya. Dia yang membangunnya dari kecil hingga menjadi seperti ini. Tapi Juna orang yang sederhana, sebanyak apapun uangnya dia tidak pernah membeli kendaraan. Rumahnya saja tidak besar dan sederhana.
Dia sengaja merahasiakan hal itu dari orang-orang. Dia juga memang ingin menjadi baristanya sendiri.
Juna melangkah dengan tenang meninggalkan kantor Kayla. Entah setan apa yang merasukinya pagi ini hingga dia punya keinginan mengantar Kayla. Juna mengedikkan bahunya, yang penting dia merasa senang sekarang.
Sedangkan Kayla, dia melangkah masuk kedalam kantor. Karyawan-karyawan lain yang berpapasan dengannya menyapanya dan Kayla pun membalas sapaan mereka.
Pemandangan didalam kantor masih seperti hari-hari biasanya. Ada yang berjalan mengarah kantin di pagi hari, ada yang membawa berbagai macam minuman untuk mengisi kekosongan perut, ada yang sudah sibuk dengan pekerjaannya, dan kini Kayla melangkah melewati orang-orang itu.
"Pagi," sapa seseorang.
Kayla menengok, melihat siapa yang menyapanya. Itu Liam, dia menyapa Kayla dan berjalan menyamakan langkahnya dengan Kayla.
Melihat itu Kayla memperlebar langkahnya, dia berusaha menjauh dari Liam. Tapi tentu saja percuma karena kaki jenjang Liam yang dengan mudahnya kembali menyamakan langkah mereka.
Kayla mengerutkan dahinya bingung. Dia bertanya-tanya apa yang terjadi oada Liam hingga dia kini kembali mendekatinya.
Tepat saat berada di lorong yang sepi, Kayla tiba-tiba menghentikan langkahnya mendadak. Liam pun mengikutinya. Dia berbalik, hingga kini mereka saling berhadapan.
"Kenapa berhenti?" tanya Liam.
Kayla menghembuskan nafasnya, "Kenapa?" tanya Kayla.
Kini giliran Liam yang mengerutkan dahinya bingung, "Kenapa apanya?" tanyanya balik tak mengerti maksud Kayla.
"Kenapa kamu disini?" tanya Kayla lagi.
"Kerja," jawab Liam singkat.
Kayla menggeleng, "Kenapa kamu deketin aku lagi? Kamu udah punya orang lain Liam," ujar Kayla langsung mengutarakan pikirannya yang selama ini dia tahan.
Liam menahan nafasnya. "Kay..."
Liam maju selangkah, tetapi Kayla malah memundurkan dirinya bersamaan dengan langkah yang dibuat Liam.
"Aku tau aku salah," mulai Liam. "Aku gagal nikah, Kay." tutur Liam yang membuat Kayla mematung.
Jantung Kayla seperti berhenti berdetak. "M-maksud kamu?" tanya Kayla yang masih bingung.
Liam mengangguk, "Aku ga jadi nikah sama dia, Kay," jelas Liam sekali lagi.
Kayla masih terpaku. Ia terdiam cukup lama.
"Kay," panggil Liam menyadarkan Kayla.
Kayla mengedipkan matanya setelah sadar. Dia menatap Liam lama. Lalu kakinya ia langkahkan melewati Liam begitu saja seolah apa yang dikatakan Liam tak berarti padanya.
Kayla berlalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Liam terbelalak menatap pergerakan Kayla yang meninggalkannya begitu saja.
Mulutnya terkatup. Detik berikutnya dia baru mengambil langkah untuk menyusul Kayla.
"Kayla tunggu," ucap Liam sambil menahan lengan Kayla.
Kala berbalik menatapnya, "Apa?" tanyanya.
Liam terdiam, "Apa?" ujar Liam mengulang pertanyaan Kayla.
"Iya apa?" tanya Kayla lagi.
Liam menarim nafasnya dalam. "Kayla... Aku salah," ujar Liam.
"Satu menit," ucap Kayla sebelum Liam kembali berbicara.
"Hah?" bingung Liam.
"Aku kasih waktu kamu satu menit buat bicara," jelas Kayla.
"Oke, satu menit." Liam berdehem sekali.
"Kay... Aku salah. Aku salah ninggalin kamu. Aku salah nyia-nyiain kamu. Aku salah milih wanita lain yang malah ngelakuin hal yang sama seperti yang aku lakuin ke kamu. Maaf Kay, maaf buat semuanya. Aku tau aku ga pantas dapat kata maaf-"
"Cukup. Sudah satu menit," ucap Kayla memotong ucapan Liam. Dia kemudian berbalik. Sama seperti sebelumnya dia akan pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun untuk menanggapi penjelasan panjang Liam tadi.
"Kayla, aku sayang kamu Kay," ucap Liam lagi dengan suara yang sedikit dia perbesar karena Kayla yang perlahan menjauhinya berharap Kayla mendengarnya. Entah keberanian dari mana dia mengatakan kalimat yang sudah lama tak dia katakan lagi untuk Kayla, tapi dia tulus mengatakan itu.
Di lain sisi, Kayla tercekat mendengar kalimat terakhir yang dikatakan Liam. Tapi dia menahan diri untuk tak berhenti berjalan. Ia tetap melangkahkan kakinya menjauhi Liam.
Liam hanya menatap kepergian Kayla dengan pasrah. Dia ingin menahannya tapi dia tak bisa, dia tak berani. Dia tak tahu bagaimana nanti saat mereka bertemu kembali. Tapi keyakinan Liam tidak menurun, bahkan setelah dia melihat kejadian pagi tadi.
Liam melihat Kayla yang diantar oleh Juna mulai dari halte sampai tiba di kantor. Liam melihat bagaimana kedua orang itu berbincang bersama selama perjalanan, tawa mengiringi perjalanan mereka. Liam sakit, hatinya sakit melihatnya. Mungkin ini yang dirasakan Kayla padanya. Jadi dia tak berani berbuat apa-apa, terlebih setelah menyadari kalau dia bukan siapa-siapa Kayla lagi.
Liam hanya bisa memerhatikan dia dari jauh, berharap suatu saat Kayla bisa kembali lagi padanya.
Liam lalu berbalik, dia akan pergi ke ruangan atasan di kantor ini untuk mengurus sesuatu.
***
"Kayla," panggi Fanny.
Kayla menoleh, "Iya Fan?" tanyanya.
Fanny memberikan selembaran berupa undangan kepada Kayla. Kayla membacanya.
"Ulang tahun pernikahan atasan, dua hari lagi. Tadi pak Dave nitip ini buat semuanya, yang ini buat kamu," ucap Fanny.
Kayla mengangguk mengerti. Dia membaca undangannya. "Datang berpasangan?" gumam Kayla membaca satu kalimat di undangannya.
"Iya, setiap ulang tahun pernikahan pak Dave selalu seperti itu kok. Jadi ya, mau tidak mau bawa pasangan," jelas Fanny.
"Ah gitu ya," ujar Kayla sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya.
"Dibawa ya Kay... yang biasa antar kamu ke kantor itu," ucap Fanny yang membuat Kayla bingung.
"Hah? Antar ke kantor?" tanya Kayla.
Fanny mengangguk, "Iya, tadi pagi juga kan. Kalian ga pacaran?" tanya Fanny.
Kayla paham orang yang dimaksud Fanny adalah Juna. "Tidak, Fan. Kami cuma berteman," balas Kayla.
"Ah gitu ya. Padahal kalian cocok kok kelihatannya. Tapi gapapa, ajak dia aja Kay," ujar Fanny memberi saran.
Kayla terkekeh garing, "Nanti dilihat ya," ucapnya.
"Pastiin kamu datang ya, Kay. Ini atasan loh," ujar Fanny mengingatkan.
"Iya Fanny. Aku usahain datang kok."
Fanny mengangkat kedua jempolnya, "Oke kita ketemu disana," ucapnya.
Kayla mengangguk. Mereka lalu kembali pada kerjaan mereka. Mungkin sekitar satu jam lagi Kayla menyelesaikan pekerjaannya dan dia bisa pulang dari kantor.
Dan benar dugaannya, Kayla selesai tepat satu jam kemudian. Dia lalu membereskan barang-barangnya. Teman-teman karyawan lain sudah pulang duluan, kini hanya tersisa beberapa orang disana.
Kayla melangkah keluar dari kantornya. Dia berjalan menuju halte biasanya. Cuaca sore ini cukup bagus, tapi pikiran dan hati Kayla yang kurang bagus. Dia terus teringat dengan ucapan Liam pagi tadi kepadanya. Kayla berusaha melupakannya, tapi tidak bisa. Itu seolah sudah merekat dikepalanya. Kalimat itu sudah lama tak ia dengar dari laki-laki itu dan pagi tadi, Liam kembali mengucapkannya setelah apa yang terjadi.
Bahkan Kayla benar-benar terkejut soal pernyataan Liam mengenai pernikahannya yang dibatalkan. Entah apa yang dirasakannya saat ini, ia tak bisa mendeskripsikannya.
Kayla terus bergelut dengan pikiran-pikirannya hingga dia tak sadar kalau seseorang juga sudah berjalan disampingnya dan terus menatap kearahnya. Bahkan ketika orang itu berdehem untuk mengalihkan perhatian Kayla, iti sama sekati tak berfungsi.
"Kayla," panggilnya sambil melambai-lambaikan tangannya didepan wajah Kayla.
Kayla terkejut, dia mengedipcngedipkan matanya dan dengan cepat menoleh kesampingnya. "Astaga Juna, kamu bikin kaget tau," ucapnya sambil mengelus d**a.
Juna malah tertawa melihat ekspresi Kayla saat sadar dari lamunannya.
"Dari kapan kamu disini?" tanya Kayla sambil terus melanjutkan langkahnya.
Juna membuat dirinya seolah-olah berfikir keras, "Lima menit yang lalu mingkin," jawabnya.
"Kenapa kamu ga bilang-bilang?"
"Sudah kok, kamu aja yang ga sadar. Pikiranmu kemana sih? Hm?"
Kayla refleks menggaruk belakang kepalanya tak gatal, "Ada kok. Ga kemana-mana," ucapnya membalas peekataan Juna.
"Oh gitu... ga keman-mana ya, oke deh aku percaya," ucap Juna seperti meledek Kayla.
Kayla memukul pundak Juna pelan karena kesal, "kamu mengejekku," ucapnya.
"Engga kok," ujar Juna sambil mengangkat kedua tangannya seolah terintimidasi.
Mendengar itu membuat Kayla memutar kedua bola matanya kesal. Sudah jelas-jelas tadi raut wajah Juna terlihat mengejeknya, tapi masih saja ngeles.
Juna kembali dibuat tertawa karenanya. Tanpa terasa, mereka sudah sampai di halte bis seperti biasa. Hanya perlu menunggu beberapa menit dan bisnya tiba disana.
Mereka lalu naik bersama. Kursinya lumayan kosong kali ini, jadi mereka berdua bisa duduk bersama. Kayla di dekat jendela, dan Juna disampingnya.
"Tanganmu sudah baik-baik saja?" tanya Kayla melihat tangan Juna yang pernah terluka.
"Sudah dong. Aku malah mau main basket lagi nanti," jawab Juna sambil mengangkat tangannya bahkan memukul-mukulnya sendiri memberi tahu kalau tangannya sudah sembuh total.
"Syukurlah," ujar Kayla.
"Kamu mau ikut?" tanya Juna.
"Ikut kemana?"
"Lihat aku tanding basket nanti malam. Gimana, mau?" tanya Juna lagi.
"Emang boleh?" tanya Kayla.
Juna mengangguk, "Boleh dong selama kamu mau," ucapnya.
"Ya sudah, boleh deh. Aku juga kosong nanti malam, bosan juga kalau di kontrakan terus," ucap Kayla menyetujui.
"Oke, nanti aku jemput jam tujuh ya."
Kayla mengangguk. Tak lama mereka tiba di halte tujuan mereka.
"Aku duluan ya," pamit Kayla.
"Sampai bertemu nanti jam tujuh ya, Kay," ujar Juna sambil melambaikan tangannya kepada Kayla. Kayla membalasnya dengan mengacungkan tangan membentuk tanda oke.
Mereka lalu berpisah di halte, berjalan dengan berlawanan arah menuju rumah masing-masing.
***
Pukul 18.30
Kayla tengah bersiap-siap untuk ikut dengan Juna melihat pertandingan baskenya. Dia hanya berpenampilan seperti biasanya. Sebuah pesan dari Juna masuk ke ponselnya.
Aku berangkat sekarang buat jemput kamu.
Seperti itu bunyi pesannya. Tepat saat itu juga Kayla selesai bersiap. Dia kini tengah menunggu Juna di depan kontrakannya sambil duduk-duduk.
Suara desing motor terdengar semakin mendekat. Dia berhenti tepat di depan kontrakan Kayla. Juna membuka kaca helmnya dan memanggil Kayla.
Kayla berjalan mendekat. Juna memberikan satu helm lain ke Kayla dan perempuan itu menerimanya.
"Yuk," ujar Juna setelah membenarkan penyangga kaki diboncengan motornya seperti biasa. Lebih tepatnya motor Tyo.
Bedanya, kali ini Juna juga menjulurkan tangannya untuk membantu Kayla naik. Kayla menatap tangan Juna dulu kebingungan, tapi dia langsung mengerti dan menerima uluran Juna. Dia sudah berada diboncengan Juna sekarang.
"Sudah?" tanya Juna.
"Sudah," balas Kayla di belakangnya. Juna lalu melajukan motornya perlahan dan pergi dari sana menuju tempat pertandingan basketnya.