30 - Sebelumnya

2205 Words
"Maafkan saya Tuan, segera tarik Nona Qeila kebelakang," "Herlena!" Dorrrr. Lexion keluar dengan cepat setelah mendengar suara bodyguardnya di earphonenya, menarik Herlena kebelakang dan adu tembak pun terjadi. Membawa Herlena kembali masuk kedalam mobilnya membawanya pergi dari sana. Ditempatnya, Herlena masih dalam mode kagetnya. Hanya memandang jalanan dengan tubuh kakunya, punggungnya pun masih tegak tanpa menyandarkannya pada dan sandaran mobil. "Bagaimana? Sudah aman?" "Belum Tuan, mereka berjumlah banyak. Saya sarankan membawa Nona ketempat anda ataupun untuk lebih aman membawanya ke mension utama. Perintah Tuan besar juga sudah ada, beliau meminta saya menyarankan pada masa membawa Nona ke mension." jawaban dari ketua pengawalnya terdengar membuat Lamunan panjang Qeila tersentak. "Pelakunya? Ada bayangan?" "Pak Detan, saya yakin sekali ini adalah bawahan Pak Detan." Lexion mengepalkan tangannya erat, membawa mobilnya membelah kota Bandung yang dingin. Didekatnya tangan Qeila gemetar, suara tembakan itu seakan membawanya ke masa lalu. Benar-benar mirip dengan semua itu. "Mereka ingin membunuhku?" suaranya saat mobil Lexion memasuki kawasan mension Andatio. "Ya, Detan tidak pernah main-main dengan apa yang ada di otaknya. Aku akan meminta bodyguard perempuan mempersiapkan barangmu, nanti aku akan memintanya meneleponmu ingin membawa barang apa saja. Kita tidak bisa kembali kesana, Detan semakin gila," memarkirkan mobilnya, Lexion segera keluar membukakan pintu mobil untuk Qeila. "Apa sebaiknya perjalanan kita ditunda?" "Tidak, kita akan tetap berangkat malam ini juga. Pengawalan ketat akan mengiringi kita malam ini, ayo masuk. Kamu harus membersihkan diri, mungkin papa sudah menyiapkan kamarmu dan juga membelikanmu pakaian. Atau mungkin Tanteku sudah membawakanmu pakaian dari butiknya." Lexion mengenggam tangan Herlena, membawanya masuk kedalam rumah. Mungkin masih dalam mode shocknya, Herlena hanya menerimanya tanpa menepisnya sama sekali. "Papa awalnya sudah menduga ini," Mata Qeila bertemu dengan Andatio, pandangan laki-laki itu berbeda dari pertemuan mereka tadi. "Saya salut dengan cara kamu melawan ayahmu sendiri, tidak perlu khawatir karena Andatio selalu ada depanmu sebagai temeng. Pelayan!" salah satu pelayan perempuan maju, "bawa Tunangan Lexi masuk ke kamarnya, layani dengan baik." lanjutnya. "Baik Tuan, mari Nona." Qeila menatap dua laki-laki berbeda umur didepannya, setelah melihat keduanya mengangguk barulah Qeila mengikuti langkah kaki pelayan itu masuk ke lorong panjang. *** Kakiku masih gemetar hingga sekarang, suara tembakan itu masih menggema terpantul sempurna menemani gemaan sepatu hak tinggiku di mension ini. Biasanya aku suka menilai rumah seseorang mengingat pekerjaanku adalah arsitek akan tetapi suasananya berbeda sekarang, sangat berbeda. "Ayo masuk Nona," aku tersentak, tidak menyadari kapan pintu megah itu terbuka. "Saya akan mengambii tas anda dulu di mobil Tuan Lexi, Nona." Aku memasuki kamar ini sendirian, beberapa paper bag tertata rapi diatas kasur. Bukannya langsung memeriksanya aku malah menghempaskan badanku di ranjang, menatap langit-langit kamar yang desainnya cukup unik. "POLISI DATANG! BAWA SEBAGIAN ANAK-ANAK PERGI! CEPETAN!" "Hiks hiks, kak Herlena! Tolong!" Sakit kepalaku datang lagi, kapan aku terbebas dari ingatan itu? Mengabaikan sakit kepalaku, aku bangun membuka blazerku menyisakan kemeja. Membuka sepatuku yang langsung menampilkan tumitku memerah karena terlalu lama menggunakan sepatu tinggi itu. Kubuka ikatan rambutku, sedikit melegakan. "Bahkan merek kosmetik yang aku pakai mereka juga tau?" aku bergidik ngeri, tapi tetap bangun menuju meja rias. Menghapus make-upku dan langsung menampilkan wajahku tanpa make-up. "Dia benar-benar sudah kehilangan akalnya?" heranku, belum cukup sejam aku sedikit merendahkannya tapi balasan Detan sudah seluar biasa ini? "Apa jadinya kalau tadi aku tertembak? Masa iya aku akan masuk rumah sakit lagi? Bulan ini sudah berapa kali aku masuk rumah sakit?" aku terus bergumam, kini membongkar isi paper bag. "Mudah-mudahan Dokter Arfan tidak tau," "Ponsel anda berdering sejak tadi, Nona." Aku berdecak kesal saat pelayan itu datang membawakan tasku, baru juga namanya disebut tapi orangnya sudah menelpon berkali-kali. Entah siapa yang memberitahunya soal ini padahal bagusnya dia sibuk mengurus istrinya saja. "Bisa siapkan air hangat untukku? Aku ingin mandi air hangat untuk menyegarkan pikiranku." pintaku pada pelayan, mengabaikan ponsel yang terus berdering. "Bisa Nona, akan saya siapkan." Aku termasuk tipikal orang akan sopan jika orang itu sopan padaku juga, seperti pelayan itu sejak tadi begitu baik padaku. Setelah dia masuk kamar mandi, aku menatap ponsel dimana pesan beruntun dari dokter itu masuk tanpa henti, apa dia tidak sibuk? Dokter Arfan. Ada berita yang menayangkan adanya adu tembak didepan gedung apartemen tempatmu tinggal, Qeila. Kamu aman kan? Kamu baik-baik saja kan? Astaga Qeila, jangan membuatku bergegas kesana dan membawa Kena bersamaku. Qeila Saya baik-baik saja. Balasan singkatku dibalasnya dengan panggilan telepon lagi, kulempar ponselku ke ranjang tanpa menjawabnya sama sekali. Lagian dia bisa menelpon Lexion untuk menanyakan detailnya tapi kenapa sekarang malah ke aku? "Sudah siap, Nona." "Terimakasih." "Jika membutuhkan sesuatu, silahkan pencet tombol merah yang ada di samping ranjang. Saya permisi," Kulirik tombol yang Pelayan itu maksud, ternyata benar-benar ada. Tidak mau ambil pusing, aku segera masuk kedalam kamar mandi dengan membawa serta paper bag yang mereka belikan untukku, tentunya berisi pakaian. Butuh waktu 30 menit, aku keluar dengan wajah dan badan segar. Dibalut kaos berwarna putih serta celana kulot berwarna biru tua. Ada jasnya juga, aku memilih melaksanakan shalat dulu, setelahnya keluar ruangan mencari ruang makan. "Tidak perlu, Pa. Herlena tidak suka dilibatkan banyak hal. Lagian kami akan berangkat sebentar lagi, sengaja kami percepat agar nanti Herlena cepat istirahat juga. Pengawal yang papa berikan sudah lebih dari cukup, Detan tidak akan berani bertindak sampai ke wilayah sana." Kuhentikan langkahku, Lexion juga sudah berganti pakaian. Baju dan celananya berwarna senada denganku, bedanya dia sudah memakai jasnya sedang aku belum memakainya sama sekali. "Papa hanya kurang suka dengan dia, calon menantu keluarga kita malah ingin dilukai." Kuputar bola mataku malas berjalan ikut bergabung dengan mereka dimeja makan, tanpa mereka suruh ataupun di bantu pelayan. Aku sudah mengambil makanan sendiri, mata mereka berdua terus menatapku. "Ada apa? Makan harus minta izin dulu?" heranku, keduanya menggeleng kompak. "Terus?" "Tidak papa, makanlah." Aku duduk disamping Lexion, tidak membalas lagi perkataan Lexion. Makan dengan tenang mengabaikan percakapan mereka berdua yang tak jauh dari kata bisnis, bisnis dan bisnis. "Tidak bisakah saya makan dengan tenang tanpa adanya pembahasan kerja?" sindirku membuat kedua orang ini berhenti berbicara, Andatio hanya tertawa dan pamit meninggalkan meja makan. Tinggalah aku dan Lexion di meja makan. Aku makan dalam diam, mengabaikan Lexion yang sejak tadi mengamatiku makan. "Apa Dokter Arfan menelponmu?" aku mulai membuka suara, agak risih dengan tatapannya. "Ya, memintaku menjagamu dengan baik." jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dariku. "Apa wajah tanpa polesan ini agak aneh?" kuhentikan acara makanku, "Kamu cantik." hm, aku tidak suka dengan pujian fisik, aku lebih suka dipuji dalam hal prestasi ataupun hal kerja kerasku selama ini. Melanjutkan makan lebih baik daripada membalas perkataan anehnya, memakan sampai habis. Pelayan segera maju mengambil piringku, wow sigap juga mereka. Mereka lalu menyiapkan beberapa cemilan untukku dan juga segelas jus alpukat kesukaanku, meminumnya dengan cepat yang langsung menyegarkan pikiranku, apa yang keluarga ini tidak ketahui tentangku ya? Aku sudah sperti di dongeng saja. Kulirik Lexion bersamaan jus Alpukatnya yang habis, "Apa kita akan langsung berangkat? Hm, haruskah baju kita bahkan celananya couple begini? Tidak bisakah saya memakai dres ataupun baju kesukaanku? Saya tidak terbiasa dengan begini?" "Kita akan segera berangkat, bersiaplah. Barangmu juga sudah siap, aku lupa menghubungkan ponsel kalian berdua. Aku tunggu di ruang tamu," bukan jawaban itu yang kumau. "Kak Langit!" langkah Lexion terhenti. Aku segera berdiri berdiri tepat didepannya, biasanya jika aku menggunakan sepatu tinggi pasti tinggi kami akan setara tapi sekarang berbeda, hanya beda beberapa centi saja. "Rasakan ini," ku injak kakinya lalu meninggalkannya, pasti sakit. Siapa suruh aku mencoba bernegosiasi malah berbuat seenaknya, aku tidak suka diatur. Masuk kedalam kamar pun aku tidak memakai jasnya. Hanya memegangnya tak lupa mengambil tasku, kami akan berangkat menuju Jakarta barat. Tinggal entah berapa lama disini. Aku berdiri di balkon kamar sejenak, menatap Langit Bandung selama beberapa saat. Bandung, untuk sementara kita akan berjauhan tapi tenang saja. Aku akan kembali kemari lagi, menjalani hari-hariku di kota ini, menemukan jati diriku tanpa dijatuhkan lagi. Bandung, tunggu aku sebentar saja. Aku hanya pergi memperjuangkan mimpiku agar lebih banyak dikenal orang-orang, Jakarta memang lebih dari segalanya tapi menurutku Bandung lebih menarik minatku. Penuh dengan ketenangan yang kudamba selama ini palingan hanya ada beberapa orang suka sekali menganggu ketenangan. "Ayo Qeila!" aku tersenyum sesaat dan keluar kamar. Masih memakai sandal biasa, sepatuku ku pegang malas memakainya. Saat diruang tamu aku tidak memperdulikan Lexion, langsung keluar mension menuju mobil. Malas berurusan dengan orang yang selalu saja mau mengatur. Duduk nyaman didalam, kali ini kami berdua duduk di kursi belakang akan menempuh perjalanan 2 jam lebih atau mungkin 3 jam jika menemui macet. Kamu pasti kuat Qeila, tidak ada yang mustahil di dunia ini. "Jasnya belum dipakai?" tidak kujawab, aku memilih memasang headset di telinga lalu mendengar musik piano penenang pikiran, Benfa yang harusnya berangkat denganku entah berada dimana sekarang. Karena ulah Detan, aku harus berada di mobil yang sama dengan Lexion. Padahal lebih asyik berangkat dengan Benfa walaupun sama saja sih spertinya, keduanya sama-sama suka bertanya ini itu. Didepan mobil kami terdapat dua mobil pengawal di belakang ada dua juga. Aku serasa menjadi orang paling penting, apakah begini rasanya di ratukan? Begitu dilindungi? Tapi bisa saja Lexion melakukan ini karena aku salah satu pekerja penting di projectnya kali ini. "Sepatunya juga belum dipakai?" padahal aku sudah mamakai headset tapi kenapa pertanyaannya masih terdengar jelas? Tidak bisakah Lexion diam? "Aku pilihkan sepatu yang agak rendah, takutnya tumitmu akan semakin memar. Kamu mau makan sesuatu?" ayo Qeila anggap suara itu hanyalah lagu pengantar tidurmu. Tapi entah kenapa, aku benar-benar perlahan memejamkan mataku menjemput alam mimpi setelah seharian bekerja kesana kemari. *** "Berapa lama obat tidur itu bekerja?" tanyanya, orang yang ditanya segera membuka topinya. "30 menit, Tuan. Anda bisa bertemu pak Detan selama 25 menit. Pak Detan sedang ada pertemuan penting di restoran dekat dengan perusahaannya, Jespara." jawab Joe, kepala pengawal keluarga Andatio. "Segera kesana." "Baik Tuan." Lexion memandang Herlena yang terlelap disampingnya akibat obat tidur yang Lexion berikan pada jusnya tadi, Lexion ingin bertemu dengan Detan tanpa sepengetahuan Herlena. Kelakuan Detan sudah menguji kesabarannya. "Saya ingin restoran itu kosong saat tiba disana, aku ingin memberikan sedikit ancaman pada Detan Jespara," "Saya laksanakan, Tuan." Joe segera memerintahkan bawahannya. Lexion memperbaiki tatanan rambut Herlena yang tidur dengan nyaman, sedikit memundurkan sandaran kursi agar Herlena nyaman terlelap. Matanya menatap sendu perempuan yang telah mengisi hatinya selama belasan tahun lamanya. "Herlena, andaikan kamu tetap tenang dan tidak melakukan apapun maka kamu tidak akan merasakan semua ini. Aku mempunyai cara tersendiri untuk membawa kamu kembali, memberikan kamu donor mata yang terbaik bukan mata dia." bisiknya lirih, Lexion tersenyum miris. "Kamu tidak akan merasakan masa lalu yang kelam, ingatanmu masih aman. Malahan mungkin andaikan itu semua tidak terjadi kita sudah bahagia di negara lain. Bukankah kamu mempunyai perasaan yang sama denganku? Apakah sampai sekarang rasa itu masih sama?" tidak ada jawaban, perempuan cantik tanpa make up didepannya masih memejamkan matanya entah memimpikan apa. "Tuan, kita sudah sampai." Ekpresi wajah Lexion berubah sangat cepat, berubah menjadi tenang. "Kamu disini, jaga Herlena dengan baik. Aku akan kedalam, minta beberapa bodyguard menjaga dari jarak pandang yang Bagus." Lexion memperbaiki jasnya, keluar dari mobilnya masuk kedalam restoran. Cukup salut dengan kesiagapan Joe melakukan tugasnya, terlihat dari dinding restoran yang transparan didalam sana hanya ada Detan dengan rekan kerjanya, Lexion kenal orang itu. Salah tahu rekan kerjasama Lexion yang berasal dari Jakarta. "Selamat malam Pak Detan dan Pak Delion." sapanya ramah, Lexion tersenyum tipis melihat Detan menatapnya tajam. "Selamat malam juga Pak Lexion, sebuah kehormatan bisa bertemu anda disini. Saya hanya mendengar dari beberapa rekan di Jakarta jika anda menetap disini ternyata benar, mari duduk." bukan Detan yang balas menyapanya tapi Pak Delion. "Terimakasih Pak Delion," ia ikut duduk, tepat disamping orang itu. "Saya langsung memberikan penyambutan yang baik saat mendengarkan anda di sini," lanjutnya. "Wah, pantas saja saya merasa aneh kenapa tiba-tiba restoran ini menjadi sepi padahal tadi ramai, spertinya anda cukup terpengaruh disini Pak Lexion. Saya merasa tersanjung,"keduanya tertawa, Lexion tau Detan makin berang melihantnya karena menganggu pertemuan pentingnya. "Saya merasa tidak enak, harusnya membawa anda ke tempat saya sebagai penyambutan yang baik tapi malam ini saya harus berangkat ke Jakarta, ada banyak project yang banyak," Delion yang umurnya sepantaran dengan Angga itu hanya mengangguk paham. "Spertinya anda membawa seseorang didalam mobil itu Pak Lexion? Penjagaannya sangat ketat." Ketiganya Kompak menatap keluar dimana sekeliling mobil yang tadi Lexion tumpangi terdapat beberapa bodyguard yang menjaga. "Iya Pak Delion, didalam sana ada tunangan saya yang sedang terlelap. Sempat shock karena baru saja mengalami insiden mengerikan. Ada seseorang yang ingin membunuhnya," Delion membulatkan matanya, "wah orang itu berani sekali mengusik keluarga anda, tolong beritahu saya jika anda sudah tau dalangnya karena siapapun orangnya saya tidak akan mau bekerjasama dengannya," Lexion melirik Detan, wajahnya memerah padam menahan amarah. "Maafkan saya Pak Delion, sayangnya saya ingin merahasiakannya takutnya bisnis orang itu malah jatuh. Saya pamit dulu, kemari hanya untuk menyapa anda. Sampai bertemu di Jakarta nanti." Lexion berdiri disusul Delion, keduanya bersalaman. "Saya tidak main-main dengan perkataan saya tadi Pak Lexion, saya benar-benar akan memutuskan kerjasama saya dengan dalang dibalik kejadian tunangan anda, resikonya terlalu besar," Lexion hanya tertawa, mengangguk paham. Beralih bersalaman dengan Detan yang juga ikut berdiri menariknya mendekat hingga wajah keduanya berdekatan. "Saya tidak main-main dengan ucapan saya Pak Detan, berani anda membuatnya merasakan hal yang sama lagi seperti tadi maka saya akan dengan senang hati melihat perusahaan Jespara terjatuh." bisiknya tajam, dan kembali memasang senyumnya. Ia berlalu dari sana, masuk kembali kedalam mobilnya melanjutkan perjalanan menuju Jakarta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD