29 - Pertemuan Besar

2024 Words
Memakai sepatu tinggi adalah kesukaanku, ditemani rok selutut serta kemeja dengan warna yang sama. Memakai bleazer sebagai pelengkap. Rambut kuikat menjadi satu membiarkannya mengayun ke kanan kiri setiap kali aku berjalan. Kali ini aku berangkat ke perusahaan Andatio bersama Benfa, sejak tadi berceloteh tanpa henti disampingku. Kali ini bukan hanya melibatkan satu perusahaan saja tapi banyak perusahaan yang terlibat. Mobil mahal milik Benfa memasuki kawasan cabang perusahaan Andatio yang ada di Bandung,mobil Benfa sudah terparkir dengan jejeran mobil mahal lainnya. Kami berdua keluar bersamaan dengan pemilik mobil di samping. "Selamat siang, Bu Qeila." Benfa mengajakku dekat dengan mereka, bersalaman formal sambil mengembangkan senyum salam pertemuan. Kami berjalan beriringan masuk kedalam perusahaan, menuju lift langsung ke ruangan pertemuan tempat diadakannya pertemuan. Senyumku agak memudar melihat keberadaan Detan diruangan ini, ada Lexion yang melambaikan tangannya memintaku duduk disampingnya, ku ikuti maunya. Duduk disampingnya, berpelukan singkat seolah-olah kami adalah tunangan sungguhan. Beberapa suara bapak-bapak menyambut acara pelukan kami, mengatakan merindukan masa muda yang penuh akan Cinta. Aku hanya tertawa menanggapinya, berusaha bersikap malu-malu. Dari ujung mataku kutemukan wajah Detan yang memandangku tak suka, lagian bukan hanya aku yang perempuan disini. Ada Benfa dan juga beberapa perempuan yang memilih menjadi pebisnis atau melanjutkan bisnis keluarganya. "Persiapan akan berangkat nanti malam sudah siap?" Aku sedikit membungkuk agar bisa mendengar apa yang Lexion bisikkan padaku, suasana ruangan pertemuan sudah ramai tinggal menunggu Andatio sebagai pemimpin rapat kali ini. "Kita akan berangkat ke Jakarta nanti malam, barang bawaan kamu sudah siap?" ujarnya berbisik, aku benar-benar tidak menyangka Lexion melupakan pembahasan kami semalam. Bukan melupakan tapi berusaha mengesampingkannya demi pekerjaan ini. "Belum, ceritanya sepulang dari sini baru saya siapin." karena aku tipikal orang memegang janji, maka ku ikuti keinginan Dokter Arfan untuk tidak membahas apa pun tentang masa lalu. "Aku bisa minta orang lain untuk bantu siapin barang kamu," kami masih saling berbisik, lagian yang lain sibuk dengan urusannya. "Jangan, saya aja." kutepuk pahanya pelan sebagai tanda memintanya berhenti, kami sama-sama tertawa membuat beberapa orang mengalihkan pandangannya kearah kami. Aku bersikap malu-malu lagi, memukul pundak Lexion agar orang di sini semakin menganggap kami sebagai pasangan penuh dengan romantis. "Wah, serasi sekali. Saya jadi tidak sabar menunggu undangan pernikahan kalian berdua, cantik dan tampan." puji salah satu pemimpin perusahaan lain, "Kami belum mempunyai pemikiran kearah sana, tapi tidak tau keinginan takdir bagaimana. Sebagaimana nantinya aja Pak," suara tawa kembali menggema mendengar perkataan laki-laki disampingku, aku mengangguk membenarkan. "Tapi bukannya Bu Qeila tidak mempunyai keluarga, apakah bisa sebanding dengan keluarga Anda pak Lexi?" Ruangan yang sebelumnya penuh tawa kini hening, bisik-bisik terdengar. Tidak bisakah sekali Saja Detan tidak memancing amarahku? Padahal sejak tadi aku tidak memancingnya sama sekali. "Itu urusan pribadi kami Pak Detan, kami sudah membahas itu sejak lama sebelum adanya pertunangan. Tapi saya sangat berterimakasih karena Pak Detan begitu peduli dengan hubungan kami berdua, seolah-olah pak Detan adalah wali dari tunangan saya," Kutatap Detan dengan senyum manisku, aku cukup puas mendengar apa yang Lexion katakan. Aku menatap sekilas Lexion, baru kali ini aku bersyukur duduk disampingnya. Setelah itu pertemuan ini diadakan cukup lama, sangat detail. Hanya istirahat sebentar diwaktu shalat setelahnya lanjut kembali hingga jam lima. Sebagian orang telah kembali, diruangan ini tinggal beberapa orang saja. "Mau aku antar?" kugelengan kepalaku tanpa menatapnya sama sekali. Lebih baik kuperbaiki ikat rambutku daripada harus melihatnya. "Dokter Benfa sudah kembali bersama Pak Bian tadi, lalu apa kamu tumpangi untuk kembali ke apartemen?" oh iya, orang yang mengaku sebagai sepupuku itu memang sudah pulang sepuluh menit setelah ditutupnya rapat dadakan ini, katanya ingin mengurus sesuatu sebelum berangkat nanti malam. "Saya bisa pesan taksi, anda duluan saja keluarnya." balasku, membereskan kertas-kertas catatan. Setelah ini aku akan benar-benar sibuk, keinginan mereka sungguh banyak menemukan desain yang cocok mungkin akan membuat waktu istirahatku berkurang. "Aku mana mungkin meninggalkanmu sendirian sedang Pak Detan masih disini, menatapmu sejak tadi seakan siap membunuhmu." bisiknya, aku menatap kearah Detak duduk. Lexion benar, Detan masih Setia duduk disana ditemani Azura yang masih mencatat beberapa hal di belakangnya, matanya menatapku tajam. Aku takut? Aku tidak pernah sekalipun takut hanya karena seorang Detan Jespara. "Anda belum berniat meninggalkan tempat ini Pak Detan?" sapaku duluan, membuat perbincangan Pak Bian dan Pak Andatio didepan sana terhenti. Menatapku bergantian dengan Detan. "Kenapa? Jangan mentang-mentang anda adalah tunangan pewaris tunggal perusahaan ini jadi bersikap seolah-olah ini adalah milikmu?" aku tertawa kecil, berdiri berniat mendekat padanya. Baru selangkah tapi tanganku tertahan, siapa lagi pelakunya kalau bukan Lexion. "Jangan memulai perang, Qeila." sarannya, "Empat lawan satu, pastinya saya yang menang. Detan tidak mungkin menyakitiku didepan kalian bertiga, bukankah kalian bertiga ada di pihakku?" tolakku, melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tanganku. Aku mana mungkin senekat ini menyapanya andaikan diruangan ini masih ada orang asing, nyatanya semua orang yang tersisa diruangan ini mengenalku dengan baik, mereka tau aku adalah anak yang dibuang oleh keluarga Jespara hanya karena alasan buta. "Selama saya berpindah tempat di Bandung dari dua tahun yang lalu, saya tidak pernah sekalipun mengusik keseharian anda, Pak Detan. Saya tetap pada jalan saya, mengerjakan pekerjaan saya dengan baik. Lalu kenapa saya merasa kalau anda begitu membenci saya? Saya benar-benar tidak tau dimana letak kesalahan saya." Aku memasang wajah sedih, berdiri tak jauh darinya. Mata kami saling bertemu cukup lama hingga kudengar decihannya. "Setiap hari saya hanya bekerja,dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Kemarin, mungkin beberapa minggu lalu anda bahkan menampar saya membuat saya merelakan pekerjaan itu diakui oleh orang lain," semakin berani, aku berdiri tepat didepannya. Hingga saat ini, aku sama sekali tidak pernah mengingat satu kenangan Indah bersamanya. Matanya menatapku tajam, sedang aku tersenyum menunggu jawabannya. "Qeila, ayo aku antar pulang." suara itu tidak ku pedulikan. "Kamu pikir kamu akan sempurna setelah mendapatkan mata orang lain?" ku kerutkan dahiku pertanda bingung, mari bermain sandiwara. "Mendapatkan mata orang lain? Setahu saya,yang tau tentang ini hanyalah orang-orang terdekat saya, Pak Detan. Saya benar-benar merasa spesial karena anda mengetahui tentang informasi paling pribadi saya," aku tertawa kecil. Brakk. Ia berdiri, mendorong kursi yang tadinya ia duduki ke belakang membuat kursi itu berbenturan dengan kursi lain. Tawaku mereda, mundur selangkah menikmati wajah marahnya yang seakan hiburan untukku. Karena kamu, aku harus mempunyai kehidupan gila begini. "Ada apa Pak Detan, apa saya salah bicara?" ku tutup mulutku menggunakan tangan, memasang wajah kaget. Bukankah aktingku cukup Bagus? "Kamu itu anak gagal Herlena, kamu hanyalah anak yang harusnya ibumu gugurkan sejak masih dalam kandungan. Lihatlah, karena sikap tak tega ibumu, dia melahirkan seorang anak tak tau diri sepertimu. Berani sekali melawan orangtua," Tawaku semakin menggema diruangan ini, bukankah baru saja dia mengakuiku sebagai anaknya? Azura saja dibelakang sana memasang wajah kaget tidak menyangka. Ish! Bukan aku yang membuka ranah pribadi tapi dia sendiri. Aku duduk disalah satu kursi, melipat kakiku. Menyandarkan punggungku lalu menatapnya dengan sisa-sisa tawaku, "anak? Herlena? Siapa yang anda maksud sebenarnya? Bukankah sebelum rapat tadi anda mengatakan saya tidak punya orangtua? Kenapa malah mengatakan hal seperti tadi?" ujarku bingung, Kutatap Lexion yang sejak tadi memantau kami berdua, "sayang, bukankah kamu dengar tadi. Pak Detan mengatakan aku tak punya orangtua, lalu sekarang dia menuduhku tidak sopan pada orangtua," la sempat tercengang lalu mengangguk patuh. Detan mengepalkan tangannya melihatku, wajahnya memerah menahan amarah. Ish! Masih kurang seru, kapan lagi aku bisa membuatnya tak berkutik? Sedangkan aku mempunyai 3 pawang sekarang. "Apa jangan-jangan anda adalah orangtuaku?" kujentikkan jemariku, "hm mungkin bukan." aku tertawa kecil, berdiri dan bersiap untuk pergi. Kubalikkan badanku menatap Detan sekali lagi, mataku membulat saat dia berjalan cepat kearahku, bersamaan dengan tanganku yang ditarik kebelakang. "Jaga tangan anda dari tunangan saya, Pak Detan." Aku tertawa kecil dari balik punggung Lexion, aku mengintip sedikit terkikik geli menatap wajah amarah Detan Jespara. Aku mendongak menatap Lexion yang masih menahan tangan Detan yang tadinya ingin menamparku, menggemaskan sekali. Aku sedikit melangkah ke samping agar leluasa memandang mereka berdua, ku lambaikan tanganku pada Detan. Tersenyum sumringah, aku maju kedepan. Memegang lengan Lexion hingga keduanya berhenti saling menatap tajam. "Ayo sayang,kita harus segera pulang karena aku ingin mempersiapkan barangku." Lexion menurut, ikut membalikkan badannya bersamaku. Kuambil barang bawaanku yang ada meja dan kami berjalan meninggalkan ruangan dengan aku masih memegang lengan Lexion. Aku tersenyum setiap kali disapa karyawan, mungkin ingin mencari perhatian padaku. Kulepaskan tanganku saat kami berdua telah sampai disisi mobilnya, aku yang tadinya ingin membuka pintu mobilnya malah mematung karena dipeluk tiba-tiba oleh Lexion. "Aku merindukan kamu, Herlena." Bisikan lirihnya, kenapa membuat jantungku berdetak kencang? Mana mungkin perasaanku yang dulunya mencintainya, katanya. Masih ada hingga sekarang? "Bukankah kita sudah sepakat jangan membahas masa lalu dulu? Kenapa malah sperti ini?" tanyaku, kucoba melepaskan pelukan kami tapi Lexion semakin mengeratkan pelukannya. "Dokter Arfan mengatakan pada saya bahwa anda sudah setuju, lalu kenapa begini?" tidak ada jawaban, ada apa dengan Lexion? "Kak Langit, bukankah di dalam ingatanku. Kakak begitu membenciku? Lalu kenapa malah memelukku erat begini?" kucoba menggunakan nama lama itu, pelukannya terlepas membukakan pintu mobil tanpa memandang mataku sama sekali. Masuk kedalam, aku tercengang lagi karena Lexion memakaikan sabuk pengaman untukku, ia memundurkan badannya berdiri diluar mobil tanpa menutup pintu sama sekali, mata kami saling bertemu. "Jangan menantang Detan sendirian, Qeila. Usahakan ada orang yang mendukungmu disisimu, dia lebih bahaya dari apa yang kamu bayangkan." namaku berubah lagi,Lexion menutup pintu mobil. Aku memandangnya terus menerus hingga masuk duduk disisiku, mobil meninggalkan pekarangan perusahaannya. Bandung, cerita apa yang sedang kamu suguhkan padaku? Seingatku banyak film romantis berlatar Bandung tapi kenapa kisahku malah begini? Mataku menatap keluar sudah hampir adzan maghrib. "Aku suka kamu memanggilku sayang, memegang lenganku, berjalan disampingku dengan senyuman ramahmu tanpa adanya ketakutan sama sekali." dia memulai dongengnya lagi, daripada mendengarnya aku lebih baik mengistirahatkan kepalaku yang masih pening hingga sekarang. "Mungkin besok atau beberapa menit dari sekarang atau mungkin sekarang. Foto pelukan kita berdua sudah tersebar di internet dan akun gosip." Kubuka pejaman mataku cepat, memandang Lexion dengan tatapan tidak percaya. Segera kubuka ponselku, ish! Video kami berjalan beriringan memenuhi artikel sekarang, malahan foto berpelukan tadi benar-benar terlihat. Wajahku tidak terlihat, hanya wajah Lexi yang memejamkan matanya menikmati hangatnya pelukan sepihaknya. "Kali ini akan kubiarkan, agar Detan makin marah. Bukannya kamu suka dengan hal itu?" memang aku suka, aku suka melihatnya direndahkan. "Hm aku punya sesuatu untukmu, aku selalu lupa membelikannya. Aku membelinya sesuai dengan bayanganmu dulu," Sebuah kotak kecil berwarna putih di sodorkan padaku, kuterima dan langsung membukanya. Sebuah cincin sederhana dengan bunga matahari sebagai penghiasnya, ukurannya juga kecil. "Agar orang makin yakin kalau kita sudah tunangan, kamu suka? Dulu, kamu selalu penasaran dengan benda cincin. Kalau memang bisa dipakai di jari kamu ingin bunga matahari sebagai penghiasnya," kuabaikan apa yang Lexion katakan, segera kupakai. "Kak Langit, aku menemukan benda kecil spertinya membentuk bundar." "Kenapa kamu bisa tau bentuk bundar?" "Tante Naesa pernah mengajarkan ini padaku, tapi bentuknya besar sedangkan ini kecil. Mengapa begitu?" "Kamu ini, sudah umur 16 tahun tapi tidak mengenal cincin. Ini namanya cincin, lebih dominan dipakai kaum perempuan sebagai penghias jarinya, bisa didapatkan dari kekasihnya, keluarganya, suaminya atau bisa beli sendiri." "Aku juga ingin." "Memang ada bentuknya?" "Ada, bisa dibilang penghiasnya. Kan kalau bentuk pastinya bundar ya tapi jenisnya beda-beda. Biasa ada kotaknya juga," "Kalau begitu aku pengen yang ada bunga mataharinya terus kotaknya warna putih." Ingatan itu datang tiba-tiba menambah sakit kepalaku. Kugerakkan jemariku menatap cincin yang Lexion berikan, baiklah. Akan kubuat Detan makin emosi padaku, rasa bencinya padaku pasti akan semakin besar. Kuraih tangan Lexion dan menggenggamnya, ku potret genggaman tangan kami. Entah darimana Lexion mendapatkan cincin dijarinya hingga terlihat jelas cincin kami berdua di potretan foto yang aku ambil. Mempostingnya di akun media sosial ku tak lupa menandai Lexion dengan caption emoticon berbentuk love. Senyumku tidak berkurang sama sekali, sesekali melirik cincin yang tersemat di jariku. "Kita akan berangkat bersama, akan ku jemput jam 9 nanti." Eh? Sudah sampai. "Iya." balasku, berniat keluar dari mobil tapi tanganku malah digenggam Lexion. "Aku benar-benar tidak rela kalau kamu terluka, Herlena. Jangan anggap sepele betapa bahayanya Detan Jespara, aku sudah menempatkan beberapa bodyguard disekitar sini. Dan... " "Dan?" "Bukannya ingin memaksamu hanya saja aku ingin kamu sesekali mencoba mengingat alasan semua orang di masa lalu mengataimu pengkhianat." genggaman tangannya terlepas. Tanpa mengatakan apapun lagi, aku segera masuk kedalam gedung apartemen tapi baru beberapa langkah sebuah tangan menarikku ke belakang dan suara tembakan menggema. Aku tidak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi sekarang. "Herlena!" Dooorrr.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD