33 - Ruangan Kerja

2033 Words
Kupijat pelipisku dengan tangan, membuka kacamata bacaku agar lebih leluasa menenangkan pikiranku yang terasa sungguh melelahkan. Rapat dadakan baru saja selesai dilaksanakan dijam lima sore, aku lelah dengan pekerjaan tapi ini adalah hobby ku. Pakaianku hari ini hanya menggunakan celana diatas lutut ditemani baju rajut kebesaran, didalamnya aku menggunakan tanktop mini sebatas perut saja. Kunikmati secangkir kopi hitam yang orang sini sediakan, cukup bisa mengalihkan pikiranku sejenak saja. Ruangan yang Andatio sediakan untukku cukup nyaman, sangat sesuai minatku. Ini lebih mirip kamar kost kecil sebenarnya, karena didalamnya terdapat kasur kecil plus sofa yang bisa dijadikan ranjang dadakan. Sangat berbeda dengan ruang kerja pada umumnya. Bahas lobby sudah, kita menuju meja resepsionis. Ya sedetail itu, mereka seakan memintaku menjelaskan semuanya tapi untungnya mereka tidak mempertanyakan berapa banyak campuran pasirnya atau berapa banyak tumpukan batu bata digunakan tiap pilarnya, bisa gila aku. Rambutku hanya ku ikat asal, awalnya terikat satu. Penampilanku pagi tadi disambut wajah masam ataupun kesal Lexion, bukannya sudah Bagus ya? Lagian kemarin ia mengomentari bajuku terus pagi Tadi celanaku? "Ada apa dengan celanamu hari ini? Kurasa aku harus membeli pabrik yang membuat celana itu lalu memerintahkan mereka hanya memproduksi celana lebar saja," Komentarnya tentu kuanggap angin lalu, aku mengalihkan perhatian dengan memintanya membawaku ke ruangan kerja yang dia janjikan. Kembali keruangan ini, aku kembali meraih tab mulai melihat hasil gambarku. Warga gold perpaduan dengan warna putih, lampu kristal menggantung diatasnya ditemani latar bagian belakangnya dinding dengan pola abstrak nan cantik. Aku hanya perlu mencari lampu kristalnya plus cat yang sesuai dengan warna yang ini. Aku mengetik sesuatu dan mengirimnya, aku mempunyai tim sendiri itupun para pemegang saham yang meminta. Jadinya tugasku hanya memerintah sedang mereka yang bergerak. Ketukan sepatuku menggema diruangan ini, warna silver. Membuka gorden yang sengaja kututup sebelum keluar ruangan tadi, sinar matahari sore langsung menyambutku di dukung tempatku berada di lantai 7 bisa menampakkan kota Jakarta nan Indah. Tok tok. "Masuk!" jawabku. "Untuk bagian yang barusan kakak kirim, salah satu tempatku biasa membeli barang mempunyai stoknya hanya saja harganya engga main-main kak," ketukan sepatuku kembali menggema, "Kisaran berapa?" tanyaku, melihat bentuk-bentuk lampu kristal yang dia perlihatkan lewat tabnya. Gercep juga padahal belum cukup lima menit aku mengirimkan pesan padanya. "Untuk warna-warna gold harga paling bawahnya 115 juta kak, apa keep saja?" "Itu masih tergolong murah untuk hotel Bintang lima, pilih modelan paling elegan sesuaikan dengan desain bagian depan. Bisa?" "Bisa kak." "Hm oke, saya tunggu hasil baiknya besok." Perempuan itu pergi, ya aku memang bergerak cepat. Aku suka saat semuanya siap lebih dahulu jadi nantinya tinggal pasang saja tidak perlu pusing sana sini. Aku kembali menatap langit Jakarta, aku merindukan langit Bandung. "Walaupun aku melepaskanmu bekerja jauh dariku jangan pikir kamu bebas bekerja tanpa lupa waktu, tetap prioritaskan waktu istirahatmu." semalam, dokter Arfan lah yang menelpon tanpa henti baru kuangkat jam 10 malam. Mempunyai seorang kakak laki-laki memang kurang menyenangkan? Aku tertegun dengan pemikiranku sendiri, apa sekarang aku telah menerimanya sebagai kakakku? Apa ingatanku sudah cukup pulih? Tetap tidak, masih banyak ingatan yang belum kuingat dengan jelas. "Makan malam?" "Tidak bisakah mengetuk pintu terlebih dahulu?" balasku ketus, kucek jam di pergelangan tanganku sudah setengah 6. Aku ada janji makan malam dengan Benfa. "Tawaranku. Diterima?" "Tidak, saya ada janji dengan Benfa malam ini, timenya perempuan. Kamu bisa mengajak anak rekan kerjamu yang katanya ingin diperkenalkan denganmu," sindirku telak, memperbaiki ikatan rambutku. Aku memutuskan memperbaiki semua barangku, meraih tas dan bersiap pulang. Jam 8 nanti kamu akan makan bersama bukan hanya berdua sebenarnya tapi bersama Pak Bian juga, makan malam antar keluarga. Setelah semuanya siap aku keluar ruangan disusul Lexion yang terus tersenyum layaknya orang gila di belakangku, tidak kupedulikan. Aku masuk ke dalam lift bagusnya Lexion tidak ikut masuk hanya melambaikan tangannya padaku disertai senyuman manisnya. Manis? Ayolah Qeila, berhenti memuji orang itu. Palingan dia sedang senang karena akan malam dengan anak rekan kerjanya, sehabis rapat tadi aku sempat mencuri dengar orang itu menawarkan putrinya seolah putrinya adalah barang. Tidak sengaja terdengar karena aku berjalan di belakangnya. Aku tidak mendengar jawaban Lexion siang tadi, karena aku segera menyalip langkah mereka dan segera menuju ruanganku. Memang sempat istirahat sebelum ashar tadi, setelah ashar kembali lanjut lagi. Liat terbuka, menampilkan pekerja berlalu lalang. Aku segera berjalan dengan wajah tenang tapi mungkin karena sebagian dari mereka mengenalku jadinya menyapa sopan, kubalas tak kalah sopan seperti ikut berhenti melangkah dan memberikan mereka senyuman ramah. Hari ini aku memutuskan memakai salah satu mobil Benfa karena tidak mau terus menerus diantar oleh Lexion, sejenak sebelum masuk kedalam mobil aku mendongak keatas gedung tepat ketempat kerja Lexion. Dan tadaa. Dia berdiri dibalik jendela menatapku yang sedang berdiri disamping mobil, tempatnya berada di gedung paling atas aku lupa dilantai berapa. Dia melambaikan tangannya diatas sana, aku menatap sekitar sebagian orang malah tersenyum menatap kelakuan bos mereka. Apa dia tidak malu? Padahal dia terkenal dengan wajah datarnya. "Ternyata Pak Lexi sangat mencintai tunagannya, liat saja." "Iya benar, aku jadi ingin merasakan hal yang sama begitu. Sama perempuan lain cueknya minta ampun tapi sekalinya sama perempuan yang dicintai jadi berubah banget," Tidak mau mendengar bisik-bisik mereka, aku memutuskan masuk kedalam mobil tanpa membalas senyuman Lexion diatas sana, kenapa juga aku harus mendongak? Tidak mungkin kan aku masih mempunyai perasaan padanya? Kubawa mobil ini membelah jalan Jakarta yang cukup panas padahal sudah sore, langit sore terlihat cantik ditemani semburan orange. Kuhidupkan radio yang langsung memenuhi suasana mobil yang semula hening. Merasa berita yang Radio beritakan cukup membosankan, aku memutar lagu saja pasti Benfa mempunyai list lagu kesukaannya. Keningku berkerut bingung saat lirik nya mulai terdengar, lagu macam apa ini? Kenapa seakan-akan menyindirku? Aku jatuh Cinta lagi Cinta yang dulu bersemi kembali. Kulirik penyanyinya, dadali? Judulnya Cinta bersemi kembali? Ada apa dengan Benfa? Apa dia kembali jatuh Cinta dengan mantan kekasihnya? Mungkinkah semua terulang kembali Kuingin engkau seperti dulu Tanganku dengan cepat mematikannya, yang benar saja. Aku lebih memilih menyetir mobil tanpa mendengar apapun palingan hanya klakson mobil orang-orang yang lewat atau sesekali kesal karena macet. Aku sampai dirumah mewah Benfa tepat Adzan maghrib menggema, dengan cepat masuk kedalam agar bisa membersihkan diri. Kusapa pembantu yang juga ia balas dengan ramah, melanjutkan langkah ke kamar ditemani ketukan sepatu yang cukup berisik, aku buru-buru naik tangga. "Hati-hati Nona, takutnya jatuh." aku menghentikan langkah cepatku, menuruti permintaan pembantu rumah tangga dibawah sana. Sampai didalam kamar langsung membuka sepatu menyimpannya di rak dibelakang pintu kamar, melempar tas jinjing dan slingbag ke arah ranjang. Mari membersihkan diri agar lebih segar nantinya. *** Sudah pukul 8 lewat tapi Lexion masih sibuk berkutat dengan komputer menyala terang ditemani pemandangan kota Jakarta dimalam hari dari arah jendela, sekretarisnya telah ia minta pulang paling kantornya sudah sepi di jam segini. "Papa menyarankanmu untuk pulang, Son." karena pintu ruang kerjanya yang terbuka lebar membuat orang leluasa masuk tanpa ketuk pintu lebih dulu. Andatio berdiri di daun pintu masih lengkap dengan jas kerjanya, keduanya memang memiliki sikap yang sama yaitu sama-sama gila kerja. Bedanya, Andatio masih ingat waktu sedang Lexion tidak. "Papa memaksamu mematikan komputer itu," suaranya kembali menggema membuat Lexion mau tak mau segera melaksanakannya. "Papa akan keluar negeri selama seminggu, jaga perusahaan dengan baik jangan sibuk mengejar cintamu yang masih belum sadar juga," "Pergilah," usirnya kesal, ayahnya memang jago menyindirnya. "Mungkin akan sulit dihubungi karena jadwal benar-benar padat, kamu jangan sampai lengah membahas project hotel itu, satu persen kesalahan saja bisa membuat kita rugi besar," peringanya pada putranya sebelum benar-benar pergi meninggalkan Lexion sendirian diruangan itu. Ya, satu persen kesalahan saja bisa membuat perusahaannya rugi total. Lexion membuka ponselnya memantau keberadaan Qeila dari sana, tanpa perempuan bodoamat itu sadari cincin yang dipakainya terdapat alat pelacak yang cukup kecil, Lexion membayar mahal untuk itu. "Sudah makan malam ternyata," gumamnya setelah melihat tempat Qeila berada di restoran Bintang lima. Lexion sebenarnya tau Qeila akan malam dengan Bian dan juga anaknya tadi sore itu hanyalah basa basi. Sekedar ingin melihat Qeila sebentar dan berbicara sebentar dengannya sebelum berpisah untuk hari ini. "Tidak, saya ada janji dengan Benfa malam ini, timenya perempuan. Kamu bisa mengajak anak rekan kerjamu yang katanya ingin diperkenalkan denganmu," Ia tertawa pelan mengingat perkataan Qeila sore tadi, Lexion tidak menyangka ternyata Qeila mendengar pembicaraannya dengan salah satu rekan kerjanya, dari ini Lexion tau jika Qeila masih menyimpan perasaan untuknya. "Putriku sudah lama ingin berkenalan dengan anda, sangat suka dengan cara anda yang cukup profesional. Menantuku atau bisa dikatakan suaminya juga menyukai anda, mungkin kalian bisa bertemu dilain waktu." Tunangannya itu tidak tau saja anaknya yang rekan kerjanya maksud itu sudah menikah sejak lama, hanya saja menyukai cara kerja Lexion saja. Tapi Lexion tetap senang, setidaknya dengan ini bisa mengetahui perasaan Qeila. "Silahkan anda atur pertemuannya dengan sekertaris saya, Pak. Nantinya saya akan mengajak tunangan saya juga," "Wah anda sudah tunangan?" "Tentu saja, perempuan yang mempresentasikan hasil karyanya tadi adalah tunangan saya, tadinya saya ingin memperkenalkannya dengan anda tapi sepertinya beliau membutuhkan istirahat setelah seharian bekerja." "Anda pasti sangat mencintainya." Lucu juga mode cemburunya perempuan itu, perempuan pasti mempunyai ciri khasnya setiap merasakan cemburu. Lexion merapikan jasnya sebelum keluar ruangan disambut lorong kantornya yang hanya disininari lampu redup. Ia berjalan santai, menuju lift. Dengan tangan di masukkan ke dalam saku serta senyuman yang tidak memudar sama sekali, perbedaan sikap yang cukup mencolok tapi entah kenapa Lexion tetap jatuh Cinta padanya, bencinya juga masih sama. "Saya kira bapak sudah pulang ternyata belum," Lexion menghentikan langkahnya tadinya ingin menuju mobilnya. "Ini mau pulang,selamat menikmati akhir pekan." ujarnya dengan ramah tapi hanya senyuman tipis saja. Kembali berjalan menuju mobilnya. Supir pribadinya langsung membuka pintu mobil melihat tuannya datang, menutupnya kembali setelah Lexion duduk dengan baik didalam sana. Hari yang cukup panjang tapi menyenangkan di waktu bersamaan. "Tidak ada laporan apapun tentang pergerakan Detan?" tanyanya setelah lima menit mobil meninggalkan kantornya. "Beliau sedang keluar, kemarin yang datang ke pertemuan saja hanya Istrinya kalau tidak salah anda ketemu beliau juga. Spertinya Detan sibuk berbisnis dengan Pak Delion sekarang, mungkin anda ingin bergabung?" "Bisa, atur pertemuan saja beritahu sekertarisku." titahnya, ia tidak akan berhenti melawan Detan sebelum orang itu mengakui Herlena sebagai anaknya. Hanya saja tidak menyangka, ada orang sejahat itu pada anaknya sendiri. *** Didukung tempat ini yang cukup ramai membuatku leluasa melakukan apapun yang aku mau, tempat yang Pak Bian pilih di pinggir tentu hal yang cukup Bagus. Aku bersenandung didalam toilet, memperbaiki lipstik karena baru saja selesai makan malam. Pak Bian sudah pamit, katanya ingin pulang lebih cepat karena ingin istirahat. Aku hanya membiarkannya saja, meninggalkan Benfa yang masih makan katanya lapar setelah seharian bekerja di rumah sakit pilihannya, Benfa akan bekerja disana sampai pekerjaanku yang ada jakarta ini selesai. "Daripada aku kurang kerjaan menemanimu kesana kemari, mending aku mencari pekerjaan sementara selagi kamu bekerja untuk beberapa bulan kedepan. Lumayan kan gajinya bisa digunakan keluar masuk mall setiap bulannya," Aku menggeleng beberapa kali, memeriksa make upku sekali lagi. Beberapa perempuan juga melakukan hal serupa denganku bedanya pakaian mereka lebih terbuka lagi, mungkin jika Lexion disini dia akan melarangku dengan keras berpakaian seperti mereka. Ayolah Qeila, kamu kenapa memikirkan laki-laki gila itu? Palingan sekarang dia sibuk bertemu dengan perempuan lain. Ada baiknya kamu menikmati waktumu saja, oke? Mengecek pakaianku, hm sudah ok. Aku memasukkan alat make-up kedalam tas dan meninggalkan toilet, didalam sana hanya aku yang tidak mempunyai teman sedangkan yang lainnya sibuk membahas bedak ataupun alat kosmetik. "Lama banget," sambutan yang cukup baik, padahal menurutku cuman sebentar. "Aku males tau daritadi diliat sama kumpulan perempuan itu, mereka mungkin kaget liat porsi makanku yang cukup banyak ditambah pakaianku hari ini hanya memakai kaos dan jeans saja padahal ini adalah restoran mahal," Lanjut Benfa, Ku tolehkan kepalaku kesamping agar dapat melihat kumpulan perempuan yang Benfa maksud, aku berusaha membuatnya semurni mungkin agar mereka semua menganggap aku sedang tidak menatap kesana. "Namanya juga perempuan yang tiap hari kerjaannya diet, makan sehari-harinya cuman roti saja. Kamu mending makan cepetan, saya mau pulang istirahat," Benfa berdecak kesal tapi tetap melanjutkan acara makannya, menikmatinya hingga benar-benar habis. Setelahnya kami langsung pergi, karena semua makanan ini sudah pak Bian bayar sebelum pergi tadi. "Aku kira kamu sudah cukup terkenal mengingat kamu adalah tunangannya Pak Lexi tapi kayaknya engga," Aku malahan bersyukur mereka tidak mengenalku. "Jangan ngawur, ayuk cepetan jalan." Ia menanggapinya dengan tawanya mana tidak menawan sama sekali membuat beberapa perempuan makin risih menatap Benfa malam ini. Sudahlah, bukan urusanku juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD