Kemarin, setelah berjalan tanpa arah bersamanya kami pulang di jemput dengan mobil jemputan masing-masing. Aku tidak ingin diantar olehnya jadi meminta Benfa untuk datang menjemput, untungnya dia mau.
Dia mengatakan sikap kami sangatlah kekanakan, bukannya sibuk mengurus kerjaan kami malah membuang waktu dengan berjalan kaki dipinggir jalan entah mau kemana dan seperti biasa, aku menanggapi ucapannya tanpa balasan.
Hari ini, aku kembali ke tempat itu memantau barang pembangunan yang baru datang. Dengan memakai sneakers, celana jeans serta baju kaos tanpa lengan. Jakarta sangat panas hari ini, jadi tidak ada untungnya memperhatikan fashion.
"Terimakasih Pak," ujarku setelah menerima sodorkan sebotol air putih dari salah satu pekerja di lapangan.
Tak lupa juga aku mamakai topi serta rambut terikat poni. Ditanganku terdapat list bahan yang datang hari ini, beberapa sudah terceklis sebagiannya lagi masih dalam perjalanan kemari.
"Cantik-cantik begini malah harus turun ke lapangan," kami sedang berteduh dibawah tenda, bukan tenda tempat acara kemarin tapi tenda yang dibuat dipinggir sekali.
"Saya suka pekerjaan ini, Pak. Saya suka sekali tantangan lagian ini tidak seberapa," jawabku, padahal hari ini aku tidak memakai make-up. Hanya moisturizer ditemani sunscreen yang banyak, plus sedikit eyeliner ditemani eye shadow berwarna nude. Tak lupa lipstik ringan, tentunya yang tidak transfer.
"Kalau dalam lingkup tempat saya mah, perempuan mana mau turun ke tempat penuh debu begini, mereka sukanya pekerjaan kantoran. Namanya juga perkotaan, anda ini bukan asli sini ya?"
Aku menoleh pada bapak-bapak yang mungkin umurnya akan memasuki umur empat puluhan, "saya asli Bandung Pak, saya kesana dulu," ku tunjuk mobil truk pasir yang baru datang, lalu berlalu kesana.
Mungkin memang tabiatnya, andaikan aku tinggal di ibu kota mungkin juga sama mengingat latar belakang keluargaku, mungkin malahan aku bisa lebih dari mereka. Tapi sudahlah, untuk apa mengungkit sesuatu yang tidak berarti.
Hari bekerja Qeila.
"Ini truk kesembilan, Bu." aku mengangguk pertanda menerima laporan supir truknya, memang hari ini akan masuk 15 truk sebagai awalnya mungkin besok lebih banyak lagi.
"Atas nama siapa?" tanyaku, supir tersebut segera menyebutkan namanya dan langsung ku centang. Aku suka pekerjaan ini, walaupun awalnya Lexion tidak menerimanya katanya ada pimpinan pekerja yang mengurusnya.
Kalau aku bisa, kenapa tidak?
Kami segera berdiskusi sebentar dan memutuskan membongkarnya di sudut Utara, setelah supir masuk kedalam mobilnya kembali. Aku juga membalikkan badanku ke tempat pengistirahatan.
Lapangan ini sangatlah luas, para pekerja bangunan juga sudah mulai bekerja di beberapa titik. Kerjaanku malahan lebih ringan berbeda dengan mereka yang harus berpanas-panasan siang hari begini. Tempat istirahat ataupun tenda tidak hanya satu tapi banyak.
"Panas banget," keluhku, melepaskan topi setelah duduk dikursi plastik tanpa sandaran. Kursi ini lebih mirip dengan kursi para penjual bakso.
"Mau saya buatkan minum?"
"Boleh Mba, minuman dingin rasa alpukat ya,"
"Oke mba."
Plusnya lagi, setiap tenda terdapat beberapa perempuan jadinya bisa langsung menyediakan makanan ataupun minuman untuk orang-orang disini. Pantas saja mengharuskan menarik banyak perusahaan, fasilitasnya saja tidak main-main.
Ku kibaskan topiku kearah wajahku sebagai pengganti kipas angin, sepertinya sepulang dari sini aku akan meminta Benfa menemaniku ke penjual barang elektronik ingin membeli kipas portable yang bisa dibawa kemari.
"Ini Mba."
Keningku berkerut bingung menerima minuman dingin pesananku, gelasnya plastik sedang tutupnya bergambar kartun. Aku juga disodorkan pipet plastik oleh mbanya, "ini namanya apa Mba?"
Perempuan yang berkisar 30 tahunan itu membulatkan matanya menatapku, butuh waktu semenit sebelum menyebutkan nama minuman ini.
"Ini namanya pop ice, Mba." beritahu nya sebelum kembali ke tempatnya.
Oh pop ice, rasanya enak. Segar.
Mataku menyipit karena tiba-tiba saja angin berterbangan tanpa henti membawa sebagian pasir kearah sini, mataku perih sekali.
"Kenapa tidak pakai kacamata?" kupaksa mataku terbuka malah menemukan orang yang tidak ingin ketemui. Siapa lagi kalau bukan Lexion?
"Masih perih?" kuanggukan kepalaku, dia menunduk meniup mataku beberapa kali.
Merasa mataku baikan, aku membuka mata sebelah malah wajah kami begitu dekat sekali. Kudorong Lexion untuk mundur, aku kembali menikmati minuman dingin yang ada di kursi sebelahku.
"Pakai ini,"
"Tidak mau,"
"Qeila, jangan membantah."
Aku mendongak menatapnya yang sejak tadi masih berdiri didepanku seolah menghalangi debu dariku, kacamata yang dia berikan juga masih ia pegang. Aku malas memakai kacamata, ini lapangan bukan tempat gaya-gayaan.
"Kenapa juga harus berpakaian terbuka begini?" kutundukkan kepalaku, pakaianku masih aman kok. Yang berbeda hanyalah tidak memiliki lengan.
"Pakai jaketku,"
Aku berdiri memundurkan kursi agak jauh darinya, menyebalkan sekali. Siapa ingin memakai jaket panas begini? Kuhabiskan minumanku cepat dan membuangnya pada tempat s****h.
Truk berisi batu datang lagi bersamaan dengan datangnya truk pasir, aku bergegas kesana mengabaikan Lexion yang menatapku dengan wajah kesalnya. Masa bodo, aku tidak pernah mengemis perhatian padanya.
***
"Pacarnya orang luar negeri ya?"
"Masih orang indo kok, Bu. Orang asli Bandung, cuman ingatannya hilang plus dulunya buta jadi banyak hal yang dia tidak tau." jelasnya panjang lebar sebelum menyusul Qeila ke lapangan.
Tadinya Lexion ingin berangkat bersama hanya saja mendadak ada meeting perusahaan pusat, jadinya tertunda. Baru bisa sekarang itupun Lexion harus memeriksa tenda satu persatu mencari keberadaan perempuan dicintai tapi dibencinya juga.
Kenapa tidak lewat telepon saja? Lexion sudah menelponnya berulang kali tapi tidak diangkat. Entah sengaja ataukah Qeila memang tidak mempunyai niat mengangkat telepon padahal tasnya selalu bergelantungan di pinggangnya seolah pengganti ikat pinggang.
"Kalau tidak mau memakai jaket setidaknya pakai kacamata," sarannya tak mau mengalah.
Karena tak ingin berdebat panjang didepan supir, Qeila menerima kacamata hitam itu memakainya menambah kesan modisnya. Lexion hanya menemani Qeila kesana kemari, sesekali menyeka keringat di dahi perempuan itu dengan tangannya sendiri.
"Besok-besok bisa kan memakai baju tertutup?"
"Kenapa tidak sekalian memintaku memakai jilbab besar plus menutup wajahnya? Sudah tau saya ini perempuan pecinta fashion masih saja diprotes terus. Sana kembali ke kantormu, saya ingin bekerja," usirnya kesal, kini duduk di tenda yang berbeda.
Memijat kakinya yang merasa lelah, sebenarnya Qeila terbiasa dengan pekerjaan sperti ini hanya saja akhir-akhir kerjaannya keluar masuk rumah sakit terus jadi sudahlah, ia meneguk segelas air yang tersedia di meja.
"Aku antar pulang? Aku mana fokus kerja kalau kamu disini terus. Bukannya kamu ingin menyetor desain kamar setiap level kamar? Kamar biasa, kamar VIP dan kamar VVIP. Aku sudah menyediakan ruangan untukmu di kantor,"
Qeila memeriksa listnya, hampir semuanya terisi tinggal dua truk pasir lagi untuk hari ini. Ia mengangguk, membuat Lexion bernapas lega akhirnya bisa membawa Qeila menjauh dari tempat berbahaya ini.
Ia mana bisa fokus, apalagi bayang-bayang bawahan Detan bisa saja mengejar Qeila sampai kemari. Keduanya berjalan beriringan menuju mobil Lexion, agak jauh dari tempat tadi tapi Qeila bukanlah perempuan penuh keluhan, ia mandiri.
Sesampainya di dalam mobil, Qeila membuka kacamata hitamnya, topinya juga. Menikmati dinginnya ac mobil. Disampingnya Lexion nanya menggelengkan kepalanya melihat kelakukan perempuan itu.
"Mampir ke apotik sebentar, saya pengen beli obat sakit kepala." pintanya, membuka ikatan rambutnya.
"Kepala kamu sakit? Apa sebaiknya kita ke dokter saja? Aku bisa membawamu ke dokter pribadi keluargaku,"
"Jangan, enak aja. Saya tidak mau terlalu mencolok. Sakit kepala mah biasa, barisan Benfa memberiku resep memintaku mampir ke apotik untuk membelinya." tolaknya mentah-mentah, menurunkan sandaran mobil agar punggungnya bisa bersandar dengan baik.
"Capek banget." keluhnya, Lexion menambah suhu AC agar Qeila makin nyaman. Untungnya ia membawa mobil yang ini jadi bisa membuat Qeila nyaman.
"Aku mengingat pernah dekat dengan temanmu, kamu tau siapa?" badan Lexion mematung mendengar perkataan itu, tak menyangka Qeila bisa secepat ini mempertanyakan.
"Tidak tau, mungkin lakilaki lain yang bisa buat kamu nyaman," jawabnya berusaha tenang,
"Mana bisa begitu? Bukannya anda dekat dengan mereka semua, ap-"
"Kita sudah sampai di apotik," potongnya cepat, untungnya matanya langsung menemukan apotik jadi bisa teralihkan.
Qeila menatap keluar ternyata benar, ia hanya mengikat asal rambutnya lalu berjalan keluar menuju apotik. Lexion bernapas cukup keras lima detik setelah Qeila keluar, jika ingatan Qeila sudah sejauh itu maka semua kisah mereka berdua pasti sudah teringat semua.
"Gue agak kasihan sama dia,"
"Dia siapa?"
"Perempuan pujaan lo itu, sejak kecil hanya tau main sama anak-anak. Masa remaja aja cuman dibantu sama kita doang ,gue engga akan pernah lupa pas dia dateng terus nangis-nangis karena baru Perdana ngerasain datang bulan, mana kita semua engga paham gituan lagi."
Lexion memukul stir mobil dengan kuat, tangannya mengepal erat hingga memerah.
"Pujaan hati lo lagi nangis, Bro. Si bos marah karena dia bangun telat, mana cucian belum dicuci juga."
"Lo bantu?"
"Dikit, gue bilang sama bos kalau semalam dia begadang temenin kita-kita, bos percaya."
"Jangan sampai lo suka sama dia,"
"Hahah, enggalah bro. Gue anggap dia sebagai adik, mirip adik gue soalnya. Bukan segi muka cuman umurnya aja sayangnya adik gue udah menghadap Tuhan duluan."
Pintu mobil yang terbuka membuat Lexion mengesampingkan amarahnya, kembali melanjukan mobilnya tanpa mengatakan apapun lagi. Membela jalanan Jakarta dengan emosi masih cukup kentara sekali.
"Saya baru tau kalau obatnya hanya satu," menoleh sekilas, ternyata Qeila sedang menelpon.
"Kalau tau cuman satu terus kenapa minta saya untuk mampir? Kamu kan lagi dirumah sakit, bisa kan beli disana aja. Mana tulisan kamu susah dibaca, saya taunya itu obatnya banyak macam ternyata mereknya cuman paracetamol doang."
Lexion tesenyum, perempuan ini.
"Bikin kakiku tambah sakit, masih syukur cuman pakai sneakers."
Mobil Lexion sudah terparkir di depan rumah Benfa, tempat tinggal Qeila sementara. Qeila hanya mengatakan terimakasih lalu turun, mulai bekerja besok di kantor Lexion.
***
Dengan kepala pening, aku memasuki rumah cukup mewah ini. Mampir di ruang tamu membuka sepatu disana, mengistirahatkan badanku yang capek sekali.
Ingatanku kembali ke suasana mobil barusan. Aku cukup tau ada yang tidak beres dengan Lexion alias Langit itu, suasana mobil yang mencekam kualihkan dengan berpura-pura menelpon dengan Benfa padahal orangnya sudah berpesan akan sibuk dan tidak mengangkat telepon hingga sore.
Bagaimana mungkin aku mengesampingkan masa lalu jika tokoh yang ada di masa lalu selalu saja membuatku penasaran, aku ingin tau siapa saja yang pernah dekat denganku. Apa salah?
"Nona, tadi ada telepon dari Tuan Bian katanya meminta anda untuk segera membalas pesannya setelah sampai rumah."
"Terimakasih, Bi."
Faktanya lagi, entah Lexion yang terlalu sibuk dengan pikirannya atau aku yang terlalu pandai berakting, ponselku tidak pernah kubuka kunciannya juga dalam mode getar saja. Mana bisa dia percaya aku menelpon dengan Benfa padahal tidak ada dering telepon sama sekali?
Sepenting itukah pikirannya saat itu?
Pak Bian Hekasa.
Qeila, tolong siapkan desain lobby hotel dalam bentuk tiga dimensi. Besok kita akan mulai rapat perharinya.
Kepalaku langsung pening setelah membaca pesan itu, semuanya memang sudah kujelaskan saat rapat penting kemarin saat masih di Bandung tapi harus dijelaskan lebih detail lagi lewat rapat.
Lexion benar, aku sebaiknya bekerja di kantor saja.
Qeila Purnamasari.
Baik Pak.
Akan saya siapkan, tapi bisakah masuk siang? Saya butuh waktu banyak di pagi hari.
Setelah mengirimkan pesan paksaan sepihak itu, aku naik keatas kamar dengan menenteng sneakers-ku plus topi juga. Berjalan tanpa sandal rumahan membuat kakiku merasakan dinginnya lantai diwaktu menjelang sore ini.
Menyimpan sepatu di raknya, dan topi ditempat cucian. Aku menarik handuk untuk segera menyegarkan badan, keluar 20 menit kemudian hanya memakai baju handuk, entah Benfa beli dimana.
Segera memakai pakaian rumahan, celana diatas lutut ditemani baju kaos nyaman. Aku segera mengambil tab, buku dan pulpen tanpa mengeringkan rambutku sama sekali.
Cantik sekali, arah balkon kamarku yang mengarah ke barat langsung menampilkan langit nan cantik ditemani semburan orange yang mulai datang. Aku suka dengan rumah ini, Pak Bian memang pintar membeli rumah.
Aku mulai memaikan jemariku diatas kertas, sesekali memperhatikan hasil karyaku yang ada tab. Disana menampilkan keseluruhan sedangkan yang mau di tampilkan besok adalah detail lobby.
Mulai dari bentuk tangga depannya terasnya, bentuk pilarnya. Harus benar-benar detail dan fokus ke lobby,sesekali aku akan berhenti menikmati semilir angin yang begitu menyenangkan plus pemandangan Indah yang tidak boleh di lepaskan begitu saja.
Ponsel yang sudah ku atur ke mode dering berbunyi didalam sana, sengaja ku simpan di ranjang. Aku tidak memperdulikan, malahan fokus menggambar step by step.
Menyenangkan bukan bisa bekerja dimana itu adalah hobby kita sendiri? Memilih jalan kita sendiri? Memikirkan pertanyaanku barusan membuatku tertawa sendirian di balkon kamar. Sesekali aku melirik ke bawah, siapa tau ada orang disana malah melihat kegilaanku.
Ponsel kembali berdering benar-benar kuanggap sebagai pengiring kenyamananku sore ini, ditambah nada deringnya adalah alunan piano kesukaanku jadinya aku tidak terganggu sama sekali.
Aku tersenyum melihat hasil gambarku yang baru terdiri dari sketsanya saja, ketika kamu mengerjakan sesuatu maka bersabarlah agar hasilnya malah lebih luar biasa dari apa yang kamu inginkan.
Aku suka bermain dengan pikiranku sendiri, bercerita dengan diriku sendiri bukan membuang waktu dengan manusia sukanya membutuhkan manusia setiap waktunya.
Tanganku kembali menggambar,mulai membuat pilar yang sangat detail. Nanti tinggal di scan di tab, kenapa tidak menggunakan tab? Aku lebih suka menggunakan pensil dan buku, hasilnya lebih memuaskan bagiku.