56 - Fakta Nyata

2048 Words
Arfan semakin merasakan kepalanya pening saat melihat orang yang seharusnya tidak hadir disini, ia berniat mengabaikannya saja pergi tanpa mengatakan apa pun tapi Ameera malah melayangkan pertanyaan padanya. "Dia bagaimana?" Menghirup nafas cepat-cepat, "urusannya dengan anda apa? Bukannya ini yang anda mau sejak dulu kan? Lalu kenapa bersikap simpati begini?" ujarnya sarkas, bayangan rapuh adiknya membuat kepalanya semakin pening. "Saya hanya ingin menjenguknya sebentar. Saya dengar dia pingsan dan itu sudah beberapa kali terjadi. Bahkan pernah saat bertemu Klien." Suara kekehan Arfan terdengar, ia merasa lucu dengan sikap Ameera sekarang. "Menjenguk? Dalam tujuan ingin semakin membuatnya jatuh terpuruk? Membuatnya semakin yakin kalau keberadaannya memang tidak diinginkan? Anda ingin mengatakan hal hina lagi padanya?" tanyanya panjang lebar, Arfan mendekati Ameera menatapnya tajam. "Ibu macam apa yang ada didepanku sekarang? Bagaimana mungkin dia melahirkan 3 orang anak tak ada satupun yang dia bahagiakan? Semuanya memiliki luka batin, tidak sedetikpun memilki kenangan Indah bersama orangtuanya. Ibu macam apa dirimu ini?" Ameera tersentak mendengar pertanyaan Arfan padanya. "Mengapa anda mengandungnya, melahirkannya jika hanya untuk merasakan hal semua ini? Ibu macam apa yang membuang anaknya sendiri hah? Ibu macam apa yang memaksa anaknya untuk terus belajar tanpa henti? Ibu macam apa yang memaksa anaknya menikah tanpa adanya Cinta demi sebuah bisnis? Hahaha, masih pantaskah anda dipanggil seorang ibu? Dimana semua anak-anak itu?" Ia maju selangkah dan Ameera mundur selangkah, wajahnya masih tetap tenang tapi tangannya gemetar. Jantungnya berdetak kencang melihat tatapan kebencian yang Arfan tujukan padanya. "Kamu tidak tau apapun, Arfan." suaranya membuat Arfan tertawa terbahak-bahak. Arfan memundurkan langkahnya, "tidak tau apapun? Apa yang tidak ku ketahui? Kebenaran apa yang kulalui?" tanyanya lagi, Masih dengan wajah tenangnya Ameera kembali berdiri tegak memperbaiki penampilannya, matanya menatap ada 6 penjaga yang berdiri disini ia mana mungkin bisa masuk kedalam. "Kalau anda telah membuangnya harusnya anda benar-benar melakukannya secara total, bukan menelepon polisi secara diam-diam untuk melaporkan markas itu. Anda pikir saya tidak tau jika yang melaporkan keberadaan markas itu adalah anda? Dengan tujuan ingin menyelamatkan Herlena tapi yang terjadi malah diluar dugaan kita." Ameera berdeham pelan, ia tidak menyangka ada yang tau tentang hal itu. Ia mengedarkan pandangannya ekspresinya berubah selama sepersekian detik melihat Lexion yang memandangnya kosong. "Jangan asal bicara, Arfan." tegasnya. "Asal bicara? Yang melakukannya memang anda, tapi semua preman disana malah menuduh Herlena sebagai pelakunya. Anda tidak tau berapa banyak siksaan yang harus dia terima demi sebuah kesalahan yang bukan salahnya sama sekali?" "Saya tidak tau apa yang sedang kamu bahas, Arfan." "Adik saya sampai ditampar berkali-kali, disentuh bergiliran, disiksa dipinggir sungai. Bahkan aku baru menemukan fakta kalau dia pernah ditembak dihari yang sama. Apa salah adik saya? Mengapa anda begitu membencinya?" Tanpa menunggu jawaban Ameera,Arfan pergi mengabaikan keberadaan Lexion yang berdiri mematung disamping lift. Arfan sudah sangat lelah dengan semuanya, keadaan yang terjadi akhir-akhir ini terlalu berlebihan untuknya. Sepeninggalan Arfan, tangan Ameera sempat gemetar selama beberapa saat. "Saya ingin bertemu dengannya sebentar." kukuhnya, feelingnya sebagai seorang ibu tidak membaik sekarang. Sejak kemarin, Ameera tidak terlalu memperhatikan berita yang tersiarkan pikirannya selalu membawanya memikirkan Herlena. Feelingnya mengatakan ada sesuatu yang tak beres pada anak satu itu. "Maafkan kami, Bu Ameera. Tapi tolong mengertilah. Nona kami benar-benar dalam masa terpuruknya sekarang, dia bahkan sampai lupa dengan kepribadiannya sebelumnya. Kami mohon kerjasamanya." Ameera memilih menyerah, memilih meninggalkan tempat ini. Lagian ia juga tidak bisa keluar lama-lama karena keadaan masih belum stabil. Suaminya juga akan marah besar kalau tau Ameera kemari, akhir-akhir ini emosi Detan selalu tidak stabil. "Anda yang melakukannya?" tangan Ameera yang ingin menekan tombol lift terhenti, menoleh menatap Lexion. "Melakukan apa?" "Orang yang melaporkan keberadaan Markas itu, anda yang melakukannya?" Ameera memejamkan matanya, "ya, saya yang melakukannya." akunya, barulah tangannya benar-benar menekan tombol lift. Masuk kedalam setelah lift terbuka, sesampainya didalam lift airmatanya jatuh. Perkataan Arfan beberapa waktu lalu kembali menghantuinya. Ditampar berkali-kali? Disentuh bergiliran? Ameera menghapus airmatanya cepat dan memperbaiki cara berdirinya. Bersikap tenang saat lift terbuka, memakai kacamatanya dengan cepat juga sedikit berjalan cepat menuju mobil yang menunggunya sejak tadi. "Jalan." titahnya setelah masuk kedalam, tangannya bergerak menutup sekat yang menampilkan bagian depan, jadinya supir tidak dapat melihat kerapuhannya. "Mama, Tante Naesa bilang ingin membawaku makan besok sore. Mama mau ikut?" "Tidak perlu sayang, kamu aja sama tante kamu. Cukup titipkan salam mama aja sama dia, besok sehari penuh mama harus menemani papa kamu bekerja, mau jenguk kakak kamu juga di asrama. Jadwal mama padat banget besok, kamu tidak masalah?" "Selama mama nyaman, aku engga pernah masalah mau sesibuk apapun mama. Tapi jangan lupa istirahat soalnya aku engga suka mama sakit." "Pasti sayang, terimakasih atas pengertiannya." Tangan Ameera dengan gemetar membuka tasnya, menatap alat make up yang bernama eye shadow tapi itu hanya sampulnya saja. Sekalinya dibuka disana menampilkan foto ketiga anak-anaknya di suasana berbeda. Ameera tidak pernah sekalipun ingin membuat anaknya merasakan semua ini, Ameera ingin anak-anaknya tumbuh dengan baik yaitu memilih jalannya sendiri bukan penuh aturan seperti dulu. Jemarinya mengusap foto masa kecil mereka, pastinya berbeda-beda tempat latar belakangnya. "Kita akan kemana, Nyonya?" Ameera tidak langusng menjawab butuh beberapa menit sebelum menjawab kemana arah tujuannya. Ia ingin pergi ke makam adik iparnya, orang yang dulunya menggantikan perannya dalam membahagiakan anak-anaknya. Pepohonan yang begitu tinggi, jalanan yang begitu lenggang juga keramaian orang yang tiada habisnya. Ameera ingin pikirannya di penuhi oleh hal-hal seperti itu bukan memikirkan bagaimana agar terlihat sempurna. Dia hanya terus menerus sibuk dengan pikirannya sampai supir mengatakan sudah sampai di tempat tujuan. Memakai kacamatanya barulah turun menuju tempat yang sudah sangat Ameera hapal diluar kepala. Penjaga memberinya kursi plastik lebih dulu barulah Ameera duduk disamping makam Naesa Hekasa. Perempuan lemah lembut yang sayangnya harus pergi karena sebuah penyakit. Tangan lentik Ameera terulur membersihkan makam Naesa. "Naesa, semua anak-anak membenciku." bisiknya, wajahnya tetap tenang tapi jantungnya berdetak kencang. "Semua anak-anakku sedang berada di titik terendahnya. Herlena dengan masa lalunya, Herlina dengan penyakit psikologisnya juga Arfan yang merasa gagal menjaga adik-adiknya. Mereka begitu membenciku, Naesa." tangannya berhenti sejenak, barulah melanjutkannya kembali. "Dulunya, kamu selalu menatapku dengan kebencian karena katanya aku tidak pernah bersyukur karena bisa merasakan megandung dan melahirkan tidak seperti dirimu, tidak bisa punya anak. Takdir memang kejam ya? Suka banget memberi keanehan." Ameera menoleh menatap ukiran nama Naesa. Ia tidak mencabut rumputnya karena ini adalah pemakaman elit, Ameera hanya menyingkirkan bunga Kamboja yang berserakan diatasnya. Disamping makam Naesa memang ada pohon bunga Kamboja. "Harusnya aku engga terlalu peduli, cukup memantaunya dari jauh tidak melakukan apapun. Hahah, kamu bisa liat sekarang? Hanya karena aku peduli padanya dia malah merasakan semuanya. Emang harusnya dia engga hidup sama aku, emang harusnya aku engga perlu peduli." Ameera mengedarkan pandangannya disini bukan hanya dirinya saja. Ada banyak orang yang juga datang mengunjungi orang yang lebih dulu pergi, ke alam entah bagaimana itu. Ameera menegakkan badannya saat Supirnya datang menghampiri membisikkan sesuatu padanya. Ameera segera berdiri, kursinya dibawa oleh supirnya. Masih banyak hal yang perlu untuk di sandiwarakan. *** Suasana restoran sangatlah ramai bahkan tak jauh dari tempatnya duduk terdapat kumpulan anak remaja yang sedang berbincang dengan suara berisik. Suara-suara mereka bisa Benfa dengar dengan jelas. "Ya kalau dia selingkuhin lo ya selingkuhin balik dong beb, jangan nangisin nanti dia kepedean padahal mukanya biasa banget, gantengan cowok yang ngejar-ngejar lo sampai sekarang." "Tapikan aku sukanya sama dia," "Ish! Sahabat gue gini amat ya Allah, kenapa harus lo sih yang sebucin ini?" Benfa menggelengkan kepalanya beberapa kali mendengar pembahasan mereka, tidak mau menambah beban pikirannya jadinya Benfa memilih pergi saja tak lupa membayar coffe lattenya yang tinggal setengah. Ponselnya yang berdering membuatnya berhenti melangkah sebentar, nama pahlawannya yang tertulis disana. Melirik jam ternyata sudah pukul 9 malam pantas saja ayahnya mencarinya, sudah berapa jam Benfa jalan kesana kemari? "Dimana?" pertanyaan Bian langsung terdengar. "Dijalan,Pa. Udah mau pulang kok tadi cuman pusing makanya cari udara segar sebentar." jawabnya enggan, matanya sesekali menatap banyaknya pasangan muda-mudi yang berlalu saling berboncengan. "Papa dengar dari Joe kamu tadi berantem sama Arfan?" "Dia menyebalkan maunya seenaknya, maunya langsung liat sembuh Herlena tapi engga mau memahami keadaannya gimana aku engga kesal coba. Dia udah pulang?" Benfa berbelok ke kanan, sejak tadi hanya berjalan tanpa arah di trotoar. "Sudah pulang sejak tadi, Ameera katanya juga kemari tapi karena kamu berpesan jangan membiarkan siapapun masuk makanya Joe melarangnya masuk. Papa juga sempat liat Lexion tapi dia engga masuk, nyapa Papa aja engga. Dia malah langsung pergi." Lelah berjalan,Benfa duduk di kursi dipinggir jalan memperhatikan banyaknya pengemudi yang berlalu lalang. Tak jauh dari tempatnya duduk terdapat banyak anak muda juga pedagang kaki lima. "Baguslah kalau Tante Ameera engga masuk, Herlena gimana? Udah mendingan? Sedang apa dia sekarang?" kakinya ia goyang-goyangkan, angin malam tidak terlalu Benfa pedulikan. "Sedang makan, alhamdulillah sudah sedikit membaik. Yaudah kamu nikmati sendiri aja dulu, tapi jangan pulang larut malam, takutnya terjadi sesuatu. Kamu tau papa mana mungkin membiarkan kamu sendirian, dari kejauhan ada beberapa orang yang menjagamu." Baru saja Benfa ingin protes tapi suara sambungan telepon terputus sudah terdengar, Bian memang selalu berlebihan setiap kali Benfa keluar padahal inikan tempat aman bukan tempat sembarangan. Kalaupun ada orang jahat, Benfa cukup berteriak karena disekitar sini sudah banyak orang. Matanya menatap sekitar kembali, tempat ini terlihat adem sekali. Penampilannya pasti sangat aneh, mana cuma memakai baju biasa bukan baju wah seperti biasanya. Sejak tadi Benfa hanya menunduk melihat kedua sandal jepit yang dipakainya. "Sendiri aja kak?" Benfa berdiri dengan cepat mendengar suara orang asing, beberapa orang berpakaian hitam juga muncul secara tiba-tiba melindungi Benfa. Orang yang bertanya tadi tertawa melihat kejadian di depannya. "Anak orang kaya ternyata, padahal tadinya cuman mau menemani karena keliatan kesepian." Benfa menggeser badannya selangkah karena wajah orang yang memanggilnya 'kak' tadi terhalang oleh badan bodyguard yang Bian berikan. Ternyata anak muda yang nongkrong sejak tadi disebelah sana. "Kalian kembali ke semula, dia orang baik." titahnya, dan mereka semua kembali. "Sorry, mereka kadang berlebihan." ujarnya tulus, kembali duduk. "Nope kak, mungkin aku yang terlalu simpati. Aku hanya ingin menyapa soalnya pengen bahas hal penting," anak muda itu duduk disamping Benfa, tetap menjaga jarak. "Hal penting?" Anak muda itu mengeluarkan foto yang ada di saku jaket kulitnya, "aku sebenarnya dari berbulan-bulan lalu pengen bertemu sama dia cuman takut engga dikenal ataupun diusir dengan cara tidak terhormat. Melihat kakak aku kayak kenal, ternyata sering bareng dia di berita TV." Benfa menerima selembar foto yang anak muda itu berikan, matanya membulat menatap siapa yang ada disini. Menoleh menatap Anak muda itu menunggu penjelasan selanjutnya. "Sebenarnya aku agak ragu, dan takut salah orang apalagi penampilannya beda banget. Sikapnya juga berbanding terbalik dengan sikap seseorang yang sangat aku kenal, pas liat kakak tadi aku sebenarnya pengen langsung sapa tapi kayaknya sibuk nelepon." "Kamu kenal Qeila?" ya, orang yang ada di foto itu adalah Qeila alias Herlena. Fotonya sewaktu melakukan pemotongan pita di peresmian hotel kemarin. "Dulu, ada orang yang berwajah sama dengan dia. Cukup kenal sama dia, tapi melihat kedekatan dia sama kak Langit buat aku semakin yakin kak. Dia kak Herlena kan? Dulunya dia buta kan?" Benfa mengerjapkan matanya beberapa kali, "kamu kenal nama itu?" Mendengar cara bicaranya membuatnya yakin jika dugaannya benar, "beneran kak Herlena ternyata. Aku senang karena dia selamat mengingat waktu kami berpisah tubuhnya lemah banget, terus kak Akbar? Dimana dia sekarang?" "Akbar? Kamu sebenarnya siapa?" "Kak Akbar engga selamat ya?" "Dia engga bisa diselamatkan apalagi mereka sempat di palak sebelum sampai di dermaga. Mata yang Herlena gunakan sekarang adalah mata milik orang bernama Akbar itu, dia sendiri yang memintanya." Anak itu tertawa pelan, padahal dia sudah sangat antusias karena sebentar lagi akan bertemu dengan Akbar nyatanya orang itu sudah meninggal. Ia memperbaiki topinya, memasukkan kedua tangannya di saku jaket. "Lalu keadaan kak Herlena? Aku lihat di berita dia pingsan. Kak Langit benar-benar menjaganya dengan baik, menjadikanya Ratu seperti yang kak Demiz selalu bilang." Walaupun orang disampingnya mengucapkan itu dengan suara pelan tapi Benfa masih bisa mendengarnya dengn jelas. Suasana yang agak gelap membuat Benfa tidak begitu bisa melihat wajahnya dengan jelas. "Kacau, Herlena sedang kacau sekarang. Ingatannya yang baru kembali membuatnya terguncang." Anak muda itu berdiri karena melihat semua teman-temannya bersiap pergi. Benfa juga ikut berdiri. "Titip Salam untuk kak Herlena, bilang saja dari Angra. Kalau mau bertemu aku cukup bilang sama Om Andatio, dia tau aku tinggal di mana sekarang." setelah mengatakan itu, ia berlari dengan cepat. Tersenyum pada Benfa sebelum kumpulan teman-temanya berlalu pergi, Benfa melihat kumpulan anak motor itu pergi hingga tak terlihat lagi. Angra. Siapa lagi dia, Kenapa banyak sekali tokoh disini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD