"Hahaha, berhenti kak Langit nanti baju aku basah semua." bukannya berhenti, orang yang ada didepannya terus memercikkan air pada perempuan berwajah cantik itu.
"Lagi? Kamu juga tidak mau jujur sama saya."
Herlena terus mundur sedang orang didepannya maju membuat anak-anak yang berada disana tertawa melihat dua orang itu kini bermain air. Herlena berhenti, menaikkan kedua tangannya di udara pertanda menyerah membuat Langit tersenyum puas.
"Jadi? Kamu mau apa besok pas aku pergi ke kota?"
Herlena merubah ekpresi wajahnya menjadi masam, melalui feelingnya ia menurunkan kakinya kebawah ternyata benar. Kakinya sampai lutut tenggelem di sungai, sedang ia duduk di bebatuan datar.
"Aku kan sudah bilang engga mau apa-apa tapi Kak Langit maksa terus. Bajuku kayaknya masih bagus semua, eh ada satu yang robek kemarin gara-gara aku engga sengaja kenain api." Mendengar hal itu Langit mendekati Herlena,
"Terkena api? Lalu bagaimana? Kamu luka? Kenapa ceroboh banget? Aku kan kemarin sudah bawain kamu kompor yang pake tabung gas kenapa tetap ngewel pake kayu bakar sih? Jadi perempuan bisa nurut?"
Ia tertawa mendengar omelan Langit padanya, memperlihatkan tangannya yang terluka tidak sengaja menggengam bara api. Namanya juga perempuan buta ya begini, termasuk resiko yang harus Herlena terima.
"Masih sakit?" tanyanya hati-hati, memegang tangan Herlena, telapak tangannya masih terlihat memerah.
"Perih sih tapi udah engga seperti kemarin kok. Makanya hari ini anak-anak yang bantuin nyuci soalnya kak Demiz kasihan katanya, perempuan buta sok berani banget kamu untung Langit lindungin kamu kalau engga tidak akan ada yang peduliin. Itu katanya," Langit menatap nanar perempuan di depannya.
Tak pernah sekalipun Herlena memasang wajah sedih setiap kali terluka akibat matanya yang buta, Herlena palingan hanya akan tersenyum lalu mengatakan semuanya baik-baik saja. Lagian hanya itu kekurangannya sedang yang lainnya masih sempurna termasuk wajahnya yang cantik.
"Ini cuman tangan kok, nanti bakal sembuh nantinya. Allah juga cuman pengen ingetin aku Sebagai orang jangan buru-buru banget, hahaha. Kak Langit selalu bilang aku cantik kan? Nah itu kelebihanku. Kehilangan mata bukan berarti kehilangan semuanya dong." ujarnya panjang lebar, menarik tangannya dari genggaman tangan Langit.
"Duh engga kebayang kesalnya kakak yang lain kalau aku terlambat pulang, anak-anak bagaimana? Sudah selesai?" Herlena berdiri dan hampir saja jatuh untungnya Langit dengan sigap memegang lengannya.
"Terimakasih bantuannya, Kak Langit." ujarnya tulus, berjalan menuju tempat anak-anak.
"Kak Langit! Kemana?" gerutunya kesal karena Langit belum juga memberinya arahan.
"Haha, lima langkah kedepan tapi hati-hati lurus aja." Herlena melakukan apa yang Langit beritahukan, "serong dikit ke kanan terus maju sampai kamu menemukan air. Anak-anak masih disana, mereka masih mencuci." lanjutnya, senyumnya tidak memudar sama sekali.
Matanya menatap tulus punggung Herlena, jantungnya sejak tadi berdetak kencang setiap kali mendengar perempuan itu dengan lemah lembutnya berbicara dengan anak-anak, Langit serasa melihat keluarga kecilnya sendiri.
"Ssstt! Kak Lexion!" Langit membalikkan badannya, membulatkan matanya menatap Angra. Ia dengan cepat kesana menarik Angra kembali masuk ke hutan agak jauh dari sungai.
"Kenapa keluar? Kamu tau kalau kakak kamu tau dia akan bagaimana?" Angra memasang wajah cemberut.
"Bosen. Mau main juga sama dia, perempuan yang kakak temani tadi kayaknya menyenangkan. Aku juga pengen main sama anak-anak lain, bukan tinggal terus dirumah pohon." curhatnya, sesekali melihat ke belakang Langit.
Mereka masih bisa terlihat tapi wajahnya tidak begitu jelas, Langit menghela napas pelan sedikit kasihan melihat tatapan sendu Angra yang begitu memprihatinkan. Tanpa mengatakan apapun dia menarik Angra ke pinggir sungai, anak-anak yang tadinya riang bercerita tiba-tiba diam membuat Herlena bingung.
"Eh kenapa? Kenapa semua diam?" tanyanya, mengambil tongkatnya yang tadi anak-anak simpan di samping kakinya.
"Ada kak Langit kak sama orang lain." bisik anak yang paling dekat dengan Herlena.
Herlena berdiri berniat menghadap dua orang yang baru datang, tangannya masih memegang tongkatnya. Langit tertawa kecil melihat betapa lucunya wajah Herlena sekarang, mana salah arah lagi.
"Salah Herlena, hadap kanan." tegurnya masih dengan kekehannya.
Herlena meringis pelan tapi tetap melakukan apa yang Langit beritahukan, setelahnya tertawa kecil. Tangannya terulur berniat kenalan dengan seseorang yang Langit bawa, Herlena memang sangat percaya dengan orang bernama Langit itu.
Menurutnya, Langit adalah seseorang yang selalu ada untuknya. Memberinya banyak kenangan, mengajarkannya banyak hal. Selalu membantunya mengerjakan apapun itu, sesekali menghiburnya ataupun mengenalkan sesuatu yang tidak pernah Herlena kenali sama sekali.
"Halo, kenalin namaku Herlena. Umurku 19 tahun kayaknya atau salah ya? Hahah. Kata sebagian orang, yang rata-rata anak-anak sih. Mereka bilangnya aku cantik, menyenangkan, sopan dan lemah lembut plus perhatian. Hahaha, banyak banget. Nama kamu siapa? Pacarnya kak Langit ya?" riangnya, tangannya masih terulur sejak tadi.
Tangannya disambut, awalnya Senyum Herlena masih ada tapi setelah menemukan gelang besi di pergelangan tangan orang itu senyumnya menghilang, memasang wajah kesal.
"Kak Langit ih! Aku mau kenalan sama pacarmu tapi kenapa kakak yang balas uluran tanganku sih?" kesalnya, andaikan tidak ada orang lain di sini mungkin Herlena sudah mengayunkan tongkatnya untuk memukul Langit.
Kali ini Langit tertawa terbahak-bahak termasuk hal biasa yang biasa anak-anak lihat, mereka bahkan sering menemukan dua orang besar itu saling melempar kekesalan, terutama Herlena. Mereka menyukai interaksi kedua orang paling penting untuknya.
"Kak Langit diem. Halo kamu? Namamu siapa?"
"Masa aku pacaran sama laki-laki sih? Oh iya namanya rahasia. Dia tinggal di sekitar sini pastinya bukan di markas. Kamu balik gih, yang penting sudah kenalan nanti kalau mau ketemu bilang aja temannya Langit dan Herlena akan bertemu denganmu."
Langit memandang Angra, walaupun enggan dia tetap menuruti keinginan orang yang juga ia anggap kakak. Berlari masuk kedalam hutan tanpa membuka suara sama sekali. Tentu saja Herlena bisa mendengar langkah kakinya yang menjauh.
Perempuan buta itu hanya tersenyum kembali melanjutkan kegiatannya memasukkan pakaian yang sudah dibilas kedalam bakul yang dibawanya. Langit mendekat, ikut jongkok disampingnya.
"Kenapa? Kamu marah?"
Herlena tertawa kecil, "marah kenapa? Aku hanya memaklumi apa yang seharusnya kakak jaga. Orang tadi pasti penting banget, lagian anak-anak sudah liat dia terus tau orangnya gimana. So? Kalau nantinya aku kepo, aku cukup nanya sama mereka bagaimana orang itu."
Langit mengambil alih tempat cucian setelah semua pakaian masuk, mengambil ukuran yang paling besar dimana Herlena yang akan membawanya. Herlena tidak memaksa, ia hanya tersenyum meraba baskom yang lain lalu membawanya.
"Ayo pulang, kalian kan harus siap-siap." senyumnya tidak menghilang sama sekali, ada 8 anak yang ikut dengannya dan semuanya akan dibawa pergi.
Memang selalu begini, ia selalu membawa anak-anak yang akan pergi ikut bersamanya sekedar memberikan mereka memori yang Indah sebelum dibawa entah kemana. Entah untuk dijadikan pembantu diluar negeri ataukah dijadikan anak oleh orang-orang disana.
Herlena tidak pernah ingin tau tujuannya padahal kalau dia ternyata pasti Langit akan menjawabnya dengan sangat baik. Mereka berjalan dalam diam, tapi hanya untuk Langit dan Herlena sedang anak-anak suaranya terus terdengar membicarakan apapun itu.
"Capek engga?" bisik Langit pada Herlena.
"Capek tapi ini menyenangkan," jawabnya, jawaban yang selalu sama setiap kali Langit bertanya Seperti tadi.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku mengenai apa yang akan aku belikan besok untukmu dikota, kan pasar deket sini lebih dominan menjual bahan makanan, bilang aja nanti aku cariin." suaranya lagi, Herlena menggeleng.
"Padahal aku pengen memberikan apa yang kamu mau, Herlena." ujarnya dengan suara dibuat sesedih mungkin, ia tau cara ini akan berhasil.
"Hm apa ya? Aku pengen dibelikan bando. Kemarin ada anak-anak yang sebelum pergi memberikan sesuatu padaku katanya itu namanya bando. Dipake di kepala untuk menahan rambut juga mempercantik penampilan. Tapi sayangnya pas aku bangun subuh tadi, aku tidak sengaja injak jadinya rusak." ia berhenti melangkah sebentar, menyimpan ember ditanah.
Memijat lengannya yang terasa sangat lelah, Langit merasa prihatin melihat semua itu.
"Anak-anak ambil ember yang kak Herlena bawa ya, kasihan tangannya capek." dua anak laki-laki yang tadinya kebagian membawa sabun mendekat, mengambil ember yang berisi kumpulan baju preman disana.
Membawanya dengan masing-masing sisi dipegang oleh satu orang, Herlena kembali berjalan sudah sangat hapal jalan pulang menuju markas.
"Bando ya? Nanti aku cariin. Kayaknya aku pernah melihat perempuan memakai benda itu." Herlena sedikit memiringkan badannya berharap menghadap Langit.
"Hahaha, kamu ngapain? Aku berada di sebelah kiri Herlena bukan kanan." Herlena dengan cepat mengubah arahnya, tawa Langit masih terdengar.
"Aku pengen seperti tokoh perempuan yang ada didalam n****+ yang biasa kak Langit bacakan itu loh, berjalan sembari berbicara dengan laki-laki tapi arah badannya mengarah ke laki-laki ternyata gagal," wajahnya murung sejenak sebelum kembali ceria, "engga papa, yang penting kan sudah mencoba." lanjutnya ceria.
Langit memandang sendu Herlena, berusaha tetap tersenyum seolah-olah Herlena dapat melihatnya. "Kamu ikut aku aja ya besok? Kamu bisa pilih model bando yang kamu mau." tawarnya, Herlena menggeleng.
"Kamu kenapa keras kepala banget." keluhnya, Herlena terkikik mendengar hal itu.
"Modelnya banyak?" tanyanya heran.
"Banyak. Aku saat ke kota biasa melihat perempuan memakainya, modelnya bermacam-macam." jawabnya hangat.
"Hm, apakah cantik?"
"Ya, cantik."
Herlena diam sebentar, "itu berarti kak Langit berbohong padaku."
"Berbohong? Dalam hal?"
"Kakak bilang hanya aku perempuan yang paling cantik, terus tadi kakak bilang perempuan-perempuan yang ada di kota cantik. Berarti selama ini kak Langit berbohong padaku ya?"
Langit tertawa terbahak-bahak mendengar asumsi yang Herlena katakan, menikmati ekspresi kekesalan Herlena saat ini. Beberapa anak-anak sesekali menoleh tapi mereka tidak menegur,masih terus berjalan berbincang dengan temannya yang lain.
"Kamu cemburu?" godanya.
"Cemburu? Untuk apa aku cemburu?" jawabnya masih dengan suara kesal.
"Padahal tadinya yang aku jawab cantik itu bandonya loh bukan orang yang pakai. Bentuk bando kan banyak, bukan cuman satu. Tapi asyik juga lihat kamu cemburu gini,"
"Siapa yang cemburu sih?" kesalnya, berjalan cepat ke depan melewati kumpulan anak-anak. Terus kebelakang hingga ketempat jemur cucian.
Belasan tahun melakukan ini tentu sudah Herlena hapal tempatnya diluar kepala, menjemur cucian bukanlah hal mudah. Saat merasakan Langit menyimpan cuciannya pun tidak Herlena gubris sama sekali, memilih menyibukkan dirinya sendiri.
"Hayoo, kak Herlena ngambek." jahil salah satu anak-anak yang baru menyimpan ember cucian.
Langit hanya tertawa kecil, meninggalkan tempat itu dengan bersiul senang. Sepeninggalan Langit, Herlena menghentikan kegiatannya sejenak merasakan detak jantungnya yang begitu menggila didalam sana.
Di usia seperti ini mana mungkin Herlena tidak tau arti perasaannya hanya saja ia cukup tau diri malahan sangat tau diri. Mana mungkin perempuan buta spertinya mengharapkan lelaki sempurna? Sekelas Langit? Yang biasa anak-anak katakan sangatlah tampan.
---
Kubuka pejaman mataku, tanganku terulur meraba pipiku sendiri ada airmata disana. Ku perbaiki posisi selimut yang sempat ingin terjatuh barulah menikmati Langit malam Bandung yang begitu megah.
Kenangan yang cukup Indah untuk dikenang, sayangnya tokoh utama yang berada didalam kenangan itu menghilang entah kemana. Sudah tiga hari berlalu, aku layaknya orang hilang arah sekarang. Setiap hari hanya sibuk mengingat kenangan yang sudah kembali.
Dimana kak Langit? Kenapa dia meninggalkanku sendirian? Apa maksudnya mengklaimku sebagai calon istrinya tetapi malah hilang tanpa kabar. Joe hanya bilang tuannya sempat datang tapi hanya sampai depan Lift setelahnya pergi.
Setelah itu tak ada kabar lagi.
"Ini hanya asumsi saya, Nona. Tuan mendengar jika Bu Ameera lah yang melaporkan keberadaan Markas itu. Jadinya Tuan merasa kecewa dengan dirinya sendiri, maka dari itu dia pergi. Mungkin malu bertemu dengan anda,"
Dimana kak Langit sekarang? Aku bahkan sudah menelpon Andatio tetapi katanya dia juga tidak tau dimana Langit sekarang. Aku menunduk menatap Bando yang sejak tadi kugenggam, kenangan itu datang karna aku memegang bando.
Dinginnya angin malam tidak urung membuatku segera masuk kedalam kamar, Benfa saja sampai lelah menyuruhku masuk hanya mengatakan terserah lalu kembali masuk kedalam kamar, meninggalkanku sendirian disini.
Aku tak tau sudah berapa jam aku disini, yang ku tau sudah sangat lama. Jemariku mengusap bando kain ini, yang anak-anak itu berikan adalah bando yang terbuat dari plastik keras berbeda dengan yang kupegang sekarang.
Jika kalian pikir aku tidak menangis atas hilangnya Langit maka kalian salah besar. Sejak tau dia pergi tanpa pamit, aku terus menangis terus berasumsi yang tidak-tidak.
Menangis dengan begitu pilu.
Berteriak hingga lelah.
Engga makan.
Semuanya sudah kulakukan dan aku baru makan pagi tadi, setelah tiga hari bersikap layaknya orang ditinggal kekasihnya. Aku tersenyum, padahal kemarin aku enggan setuju menjadi tunangan pura-puranya lalu sekarang aku bersikap layaknya perempuan ditinggal tunanganya.
Angin malam yang berhembus membuatku semakin memperbaiki selimut yang tadi Benfa bawa dari dalam. Katanya lebih baik begini daripada terus menangis layaknya orang gila.
Tunggu sebentar.
Beberapa hari lalu Benfa mengatakan padaku jika seorang anak muda bernama Angra ingin bertemu denganku. Aku teringat dengan seseorang yang Langit bawa pas di sungai, apa orang itu juga Angra?
Aku berdiri, sekali lagi menatap hamparan Bintang yang sangat cantik juga kumpulan orang-orang dibawa sana. Setelahnya masuk kedalam, menemukan Benfa yang sudah terlelap terbuai dalam mimpinya.
Sejak hari itu,dimana keduanya debat panjang. Aku belum pernah melihat mereka berdamai, masih perang dingin hingga sekarang.
Tapi setidaknya, mereka selalu ada untukku.