"Yakin tidak mau ditemani?"
Pertanyaan yang sama sejak beberapa menit yang lalu, aku menatap jengah kearah Kena yang ingin sekali menemaniku hari ini karena katanya bosan dirumah saja.
"Bosan Qei dirumah terus lagian kak Arfan hari ini lembur, mau ngapain aku seharian ini?" rengeknya kembali, tidak kupedulikan. Aku memilih meraih buku sketsa dan berjalan keluar kamar.
Semalam, ada project disekitar ini karena sudah terlalu mengantuk akhirnya aku memilih menginap dirumah Kena dan Arfan. Kalau tau paginya akan diganggu Kena seperti ini maka aku lebih memilih menyewa hotel saja meskipun semalam saja.
"Janji Qei, aku engga bakal gangguin kegiatan kamu. Oke?" tidak ada yang bisa aku lakukan selain menganggukkan kepala, Kena tersenyum senang berjalan begitu semangat menuju kamarnya untuk berganti pakaian secepatnya, katanya.
Ting.
Aku berjalan kearah ruang keluarga, setelah mendudukan diri meraih ponsel dan membaca pesan yang baru saja masuk.
Dokter Arfan
Beneran kamu terima project dari perusahaan mereka?
Suami istri ini kenapa begitu khawatir? Dan membaca pesan ini aku yakin dan sangat yakin yang menyuruh Kena ikut denganku adalah Dokter Arfan, bukan siapapun.
"Aku udah siap, yuk berangkat."
Kami berjalan bersisian keluar rumah, pesan dari Dokter Arfan tidak aku balas sama sekali. Sudah tau jawabannya tapi masih bertanya, sangat lupa sekali.
Karena aku keluar bersama Kena maka tentunya kami dibawa supir jika tidak tentunya suaminya akan marah besar membiarkan istrinya keluar tanpa pengawalan, tipe-tipe suami yang sudah tertolong atau bisa dikatakan sudah jatuh Cinta sampai mati pada istrinya.
Mengenai akhir dari Kena dan Dokter Arfan, aku tidak begitu tau bagaimana mereka bisa bersama karena saat itu aku begitu sibuk belajar cepat, yang aku ingat Dokter Arfan tiba-tiba datang padaku selepas pulang kursus dan mengatakan akan menikah dalam waktu dekat.
Dokter Arfan sempat meminta pendapatku kubalas dengan wajah datar, dia yang mau menikah kenapa harus pendapatku yang dia inginkan? Sangat pasaran. Misalkan aku tidak merestui maka mereka tidak akan menikah begitu? Kenapa sebagian manusia selalu saja membawa dirinya kedalam hal rumit?
"Kamu melamun Qei? Kita sudah sampai."
Aku tersenyum, membuka pintu mobil dan menunggu Kena turun juga. Setelahnya kami berjalan masuk kedalam restoran, jaraknya memang dekat dengan rumah Kena dan salah satu alasanku menginap disana agar tidak keteteran pas pagi tiba.
"Kenapa laki-laki tua sepertinya begitu gila akan kesempurnaan? Padahal manusia adalah tempatnya salah masih aja mau sempurna. Wajahnya aja biasa-biasa banget lebih ganteng Kak Arfan." gerutu Kena dengan sangat pelan, hanya aku yang bisa mendengarnya.
"Sudahlah Kena, kamu tadi mengatakan tidak akan menganggu kan?" peringatku yang dibalas decakan kesal olehnya.
"Selamat datang Bu Qeila, silahkan duduk." kami disambut sapaan ramah, mungkin sekertarisnya.
Sambari duduk, aku menelusuri penampilan sekertaris si penggila sempurna ini. Baju yang sangat elegan tentunya sangat mahal, make-up tipis tetapi sangat cantik, senyum ramah dan suara lembut yang langsung membuat orang nyaman saat berbincang dengannya, sanggulan rambutnya sangat rapi tidak ada rambut yang menjuntai satu helai pun. Perfect,sangat perfect dalam mata semua orang.
Tapi tidak sempurna dimataku, lipstik yang dia gunakan terkesan asal tabrak dan tidak searah, blush on yang harusnya merata malah lebih dominan dibawah mata, bentuk eye liner yang harusnya dipakai ke pesta malah digunakan untuk bisnis, dan dari semua ini aku simpulkan kalau pagi ini dia terburu-buru dalam bersiap.
"Bisa kita mulai?" tanya Sang Sekertaris padaku yang kubalas dengan senyuman, iya.
"Bangunan yang akan dibangun berada tepat didekat hotel, bisa dikatakan tempat para pengujung mengistirahatkan pikiranya dan juga saling mengobrol. Kami ingin desainnya terkesan santai dan tidak terlalu mencolok, unik dan langka."
Aku memperhatikan tablet yang sekertaris itu perlihatkan, hotel itu bukannya milik Dokter Arfan? Dia pernah membawaku kesana untuk tinggal sementara 2 tahun lalu.
"Kalau Ibu kesana maka akan menemukan tanah kosong, mungkin jika ingin melihat langsung bisa saya kasi alamatnya untuk mencari ataupun mengetahui keadaan disana. Sebenarnya setelah ini kami harus terbang ke Medan karena ada pertemuan mendadak jadinya mohon maaf atas tidak kesopanan kami, Bu Qeila." raut rasa bersalah, tetapi aku tau kalau itu tidak asli.
"Tidak papa, kirim saja alamatnya ke e-mail saya. Mungkin sore nanti saya akan meninjau langsung atau memutuskan menginap di hotel itu semalam untuk benar-benar merasakan keadaannya."
"Terimakasih atas pengertiannya, Bu Qeila." ia membereskan barangnya, laki-laki tua yang sejak tadi duduk disampingnya tidak pernah bersuara tetapi aku tau, sejak kedatanganku matanya tidak pernah beralih dariku, menilai.
"Kamu duluan ke mobil, Azura."
Jadi namanya Azura? Kenapa aku tidak asing dengan nama itu?
"Baik Pak, saya permisi Bu Qeila." Azura berlalu, aku menatap laki-laki didepanku dengan senyuman manis yang masih terpasang.
"Herlena..." gumamnya pelan, tetapi masih mampu kudengarkan dengan jelas.
"Maaf? Anda berbicara sesuatu Pak Detan?" dengan cepat dia menggeleng, sekilas aku melihat Kena tersenyum mengejek.
Detan Jespara, pemimpin keluarga Jespara saat ini. Begitu terkenal dengan keluarganya yang tidak kekurangan apapun, anak-anak yang begitu cantik dan tampan membuat sebagian keluarga lainnya iri ketika ada pertemuan ataupun pesta antar rekan bisnis.
"Anda tidak lekas berjalan Pak Detan? Bukankah Mba Azura tadi mengatakan kalian akan terbang ke Medan untuk pertemuan mendadak hari ini?" dia masih tidak tergeming, menatapku dengan binar ragu. Apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya? Aku sangat ingin tau jawabannya saat ini.
"Hotel itu memang milik Arfan yang dia bangun dengan jerih payahnya sendiri, tapi karena dia memutuskan untuk keluar dan menghapus namanya dari keluarga Jespara maka saya membuatnya memilih. Herlena atau menyerahkan hotel kebanggaannya itu dan dengan lantang dia menjawab, Herlena."
Aku tau Kena pasti kaget dengan kenyataan ini, aku menoleh dan Kena sudah menatap Denta dengan binar kebencian yang begitu besar.
"Saya tidak tau apa tujuan Pak Detan memberitahukan hal ini kepada saya, jika memang ingin membahas secara pribadi dengan Kena maka carilah waktu luang jangan melibatkan saya dalam lingkup keluarga Anda. Saat ini Kena juga sedang mengandung jadi tolong pengertiannya, Pak Detan."
Aku cukup puas melihat wajah kagetnya, merasa sangat senang bisa bermain kata seperti ini. Tidak peduli jika sebenarnya dia ayahku atau bukan karena bagiku keluarga itu tidak berharga. Bisa membuatnya kaget saja sudah menjadi hiburan tersendiri untukku, membalas perkataannya dengan halus tapi menyakitkan.
Pak Detan berdiri, aku kira dia kira dia benar-benar akan pergi tetapi perkataannya sebelum melangkah menjauh membuat Kena kehabisan kesabaran, tapi aku tidak terusik sama sekali karena selagi ingatanku tentang mereka semua masih kosong maka hatiku akan tetap hampa dan kosong.
Napas Kena memburu, senyumku masih terpasang seolah itu tidak terpengaruh untukku sama sekali.
Jadi Dokter Arfan mengorbankan Hotelnya demi bersamaku? Cukup membuatku terkesan tapi sayangnya belum cukup membuatku percaya akan semua ini.
Hai Bandung, apa yang pernah terjadi padaku di masa lalu? Kenapa si tua itu begitu gila?
"Mau sebagaimana pun kamu sekarang, Herlena. Saya tetap menganggap kamu adalah kesalahan dan kegagalan paling fatal yang pernah ada dalam keluarga Jespara, walaupun bagi semua orang saat ini kamu adalah kesempurnaan tapi bagi saya kamu kegagalan paling fatal, sangat dan sangat fatal."
Kuterima penghinaanmu, Detan. Tapi obsesiku untuk membuatmu bertekuk lutut didepanku memohon maaf masih besar dan sangat besar. Malahan semakin besar setelah mendengar ucapanmu hari ini.
Mari memulai permainan wahana ini, Tuan Detan Jespara.