"Kamu mau saya temani ke pasar?"
"Aku bisa sendiri kok, lagian hanya mataku yang tidak berguna selebihnya masih bisa digunakan dengan baik. Kakiku masih mengingat dengan jelas jalanan mana yang harus aku lewati saat menuju pasar, telingaku masih berfungsi dengan baik untuk mengenal penjual langgananku."
"Tapi Herlena, aku khawatir. Akhir-akhir ini para pembeli sedang keluar masuk markas,lalu bagaimana jika salah satu dari mereka malah menginginkan kamu sebagai barangnya?"
"Ihh Langit, jangan berlebihan. Aku berangkat dan segera pergi dari sini atau aku akan menjadi sasaran kemarahan kakak-kakak ganas diluar sana."
"Kenapa kamu begitu keras kepala, Herlena?"
"Langit?"
Mataku menatap jendela, hujan datang begitu deras seolah mendukung kesan mencekamku saat ini. Mimpi apa itu? Kenapa Langit selalu saja menghantuiku akhir-akhir ini? Jika aku bertanya pada Dokter Arfan maka akan berakhir dengan bentakan dan wajah frustasinya.
Pukul dua dini hari, harusnya aku masih terlelap hingga Adzan tubuh tiba tapi harus terbangun karena mimpi aneh itu. Sepulang dari Restoran tadi harusnya aku check in di hotel yang Azura maksud tapi besok saja, akan lebih menyenangkan mensurvei sesuatu pas weekend tiba.
Karena tidak ada tanda-tanda mengantuk, aku memutuskan berjalan keluar kamar menuju ruang tengah. Rumah ini cukup sederhana tetapi nyaman, Dokter Arfan selalu memaksaku untuk tinggal bersamanya tapi tentunya kujawab, tidak.
"Langit, Langit dan Langit. Siapa dia?" gumamku, menyandarkan punggungku di sofa kemudian memejamkan mata mencoba menggali ingatanku yang entah sampai sekarang belum kembali sama sekali.
"Kamu tunggu Bunda disini, Bunda mau beli minuman dulu di supermarket sana."
"Jangan lama-lama Bunda,Herlena takut ada orang jahat."
Mataku terbuka dengan cepat, kenapa ingatan menyedihkan itu yang datang? Bukan bersama Langit?
Qeila Purnamasari, perempuan berumur 22 tahun yang dikenal orang-orang sebagai salah satu Arsitek terbaik di Bandung. Cukup cantik dan selalu tampil natural tetapi elegan diwaktu yang sama, itulah kata sebagaian orang.
Bukan hal mudah bisa sampai dititik ini, butuh waktu panjang bagi Dokter Arfan untuk membujukku untuk memulai karier dan butuh waktu berhari-hari hingga akhirnya aku memutuskan untuk menempuh karier dibidang Arsitek.
"Apapun akan aku lakukan demi membuat tua bangka itu mengakui prestasimu. Dia begitu dibutakan dengan sandiwara Herlina sampai lupa jika sebenarnya yang sempurna adalah Herlena."
Itu adalah potongan perkataan Dokter Arfan saat berusaha membujukku untuk memulai kursus cepat, pastinya memerlukan biaya yang sangat besar tapi Dokter Arfan tidak peduli.
"Berapapun biayanya akan aku keluarkan, selagi kamu bisa menjadi perempuan utuh tanpa direndahkan maka biaya tidak penting. Belajarlah dengan giat untuk membungkam mulut dan pandangan keluarga gila sempurna itu."
Andai aku bisa mempercayai Dokter Arfan, tapi sayangnya hatiku hampa dan tidak bisa menaruh sepersen pun kepercayaan padanya. Tidak tau terimakasih itulah aku, tidak peduli toh dia sendiri yang membawaku kemari.
Aku memilih memejamkan mata kembali, jika memang harus tertidur disini tidak papa daripada harus menahan kantuk esok hari padahal ada banyak deadline yang harus aku kerjakan.
***
"Anak seperti kamu harusnya tidak perlu dilahirkan." langkahku terhenti, aku membalikkan badanku menatap perempuan yang berpenampilan anggun di usianya yang tak lagi muda.
"Maaf, anda berbicara dengan siapa?" tanyaku sopan, aku menatap sekitar dan hanya aku yang berada disekitarnya. Itu berarti perkataannya tadi di labuhkan padaku.
"Herlena, harusnya kamu tidak hadir hingga keluarga Jespara tidak memiliki kecacatan." aku tertawa pelan, ada apa dengan otak perempuan ini?
"Nama saya adalah Qeila Purnamasari bukan Herlena yang tadinya Anda sebutkan, bukankah Herlena sudah lama mati? Lalu mengapa anda mengungkitnya apalagi dengan orang asing seperti saya?"
Aku tidak menunggu jawabannya, aku memilih melanjutkan langkahku masuk kedalam restoran, ada klien baru hari ini jadinya aku kemari tetapi malah bertemu dengan perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik. Ada apa dengannya? Apakah otaknya benar-benar sudah diracuni oleh suaminya sendiri?
"Permisi, maaf menunggu lama." sapaku setelah duduk didepan laki-laki berjas rapi, cukup tampan juga.
"Tidak papa, aku baru saja tiba beberapa menit yang lalu."ujarnya yang kubalas dengan senyuman formal. Aku membuka membuka tablet kemudian memperlihatkan sketsa yang lamaku.
"Di email yang anda kirim, anda mengatakan ingin gazebo yang cukup menarik dan menyatu dengan alam. Di sketsa ini terlihat sebidang ruang yang kosong tetapi mengarah tepat ke hutan. Anda menjelaskan secara singkat jikalau tanah itu dekat dengan hutan rindang dan sejuk. Bagaimana? Tertarik?"
Laki-laki tampan itu memperhatikan sketsa yang kuperlihatkan kemudian beberapa menit selanjutnya ia tersenyum pertanda sangat setuju, untungnya beberapa bulan lalu saat aku sedang liburan di Puncak aku membuat sketsa ini dan akhirnya bisa digunakan dengan baik, bisa menghasilkan uang yang banyak.
"Tidak salah aku mengikuti saran temanku untuk menggunakan jasamu, sebenarnya nantinya rumah ini akan ku hadiakan untuk istriku karena kami akan menikah dalam waktu dekat. Tolong kerjakan secepatnya dan aku akan mengirimkan kontak pekerjanya."
Dia berdiri dan kami bersalaman, cukup cepat dan tidak banyak maunya padahal biasanya aku akan menghadapi permintaan klien yang sangat cerewet. Aku memijat pelipisku, terasa sangat pening karena kurang tidur.
"Mau sebagaimana pun kamu berusaha, kamu akan tetap cacat dimataku." astaga perempuan tua ini, ada dengannya?
Aku membuka pejaman mataku, menatapnya malas. "Anda punya masalah hidup apa? Saya tidak pernah mengusik kehidupan anda dan nama saya tidak ada Jespara di belakangnya dan saya sama sekali tidak punya niat berada di tengah-tengah keluarga anda."
Untungnya secangkir coklat panas yang sudah dipesankan pria tadi sudah di bayar, sangat disayangkan karena aku belum meminumnya sama sekali tetapi harus aku tinggalkan karena ulah perempuan tua ini. Aku membereskan semuanya kemudian berjalan meninggalkan meja itu, dasar perusak suasana.
"Dokter Arfan," panggilku setelah sambungan telepon masuk.
"Ada apa? Kamu membutuhkan sesuatu atau terjadi sesuatu padamu?" selalu khawatir seperti biasanya.
"Ibumu mengusikku, beritahu padanya untuk berhenti mengangguku." setelah mengatakan itu aku memutuskan sambungan telepon, aku berjalan menyeberangi jalanan setelah sebelumnya memastikan jalanan aman.
Mungkin dengan berbelanja pikiranku akan kembali tenang, perempuan itu kenapa begitu gencar membuat mentalku semakin menurun padahal aku tidak mengganggu kehidupannya sama sekali.
Ting.
Aku membuka ponselku, berdecak kesal melihat pesan yang baru saja Dokter Arfan kirimkan padaku.
Dokter Arfan.
Kamu dimana? Apakah masih bersamanya atau dia melukai mu?
Aku memilih membacanya saja, memutuskan fokus berbelanja untuk baju-baju terbaru. Untuk apa aku mencari uang kesana kemari jika hanya untuk penghias rekening saja? Akan lebih baik aku habiskan dengan tumpukan pakaian cantik dan cukup memikat.
Ameera Jespara, perempuan cantik dan anggun di usianya yang tak lagi muda. Sangat penting dicari jika ada pesta ataupun pertemuan bisnis yang memungkinkan membawa pasangan masing-masing, semua para istri pebisnis selalu iri dengan keanggunan seorang Ameera Jespara.
Tetapi aku tau satu hal, dibalik kesempurnaan yang dia miliki hatinya telah mati rasa sejak bertahun-tahun lalu, sejak seorang Ameera harus membuang anaknya sendiri demi harga diri keluarga Jespara.
Dibalik sempurnanya make-up cantik itu, ada topeng kesedihan yang begitu mendalam dan juga penyesalan yang begitu besar dibalik softlens berwarnanya. Aku tau dia merindukanku, tapi sayangnya harus terhalang oleh dinding-dinding harga diri kelaurga Jespara.
Aku mencintai keindahan Bandung dan juga keramahtamahan semua orang tetapi sayangnya keluarga Dokter Arfan itu pengecualian. Tidak ada yang bisa mengenal keluarga itu dengan baik kecuali pernah hidup disana tanpa keluarga itu memasang topengnya.