Hatiku bukan diagram,
Sebagai tolok ukur seberapa tingginya rasa benci padamu.
***
Wajah ceria itu cukup kentara, semanis mentari pagi yang sudah menyambut semua makhluk di bawah naungannya. Telinganya sudah tersumbat oleh headset, mendengarkan musik menambah semangat pagi Permata hari ini.
Permata terus mengayuh sepedanya menuju SMA Gautama, hari ini adalah hari keduanya bersekolah sebagai siswi kelas XI IPA. Kotak berisi donat juga sudah tersedia di dalam keranjang sepedanya, jika Bangkit hari ini merusak semua donatnya lagi—akan Permata pastikan Bangkit yang harus menghabiskan semuanya.
Lagipula ruam kebiruan pada lengan kiri Permata adalah hasil perbuatan Bangkit meski bukan dia pelakunya, tapi alasan di balik perbuatan kasar Adara kembali terjadi.
Jaraknya dengan sekolah sudah cukup dekat, sebentar lagi ia akan sampai dengan selamat.
Hingga sebuah mobil sport warna merah terus membunyikan klaksonnya tepat di belakang gadis itu, sayangnya Permata tidak terusik karena suara musik lebih dulu menguasai telinganya.
Bangkit dan kedua temannya kalah telak, gadis itu sudah melewati gerbang sekolah.
Bangkit berdecak, "Itu tukang donat kenapa nggak noleh sih, heran!" gerutunya sembari mengacak rambut. Ia duduk di sebelah Kevin.
"Jangan-jangan dia b***k lagi, parah nih," sahut Kevin.
Mobil milik Kevin melewati gerbang sekolah yang terbuka lebar tanpa tergores sedikit pun, jika hal itu terjadi bisa saja satpam sekolah tak mendapatkan gajinya selama beberapa tahun karena harus bertanggung jawab atas sebuah bentuk kelecetan, terkadang orang kaya memang berlebihan.
"Berhenti! Berhenti!" pinta Bangkit sembari menepuk bahu Kevin.
"Iya sabar, kayak mau apaan aja lo. Sampai parkiran aja belom, Bang."
"Udah berhenti aja, t*i!"
"Kucrut emang si Bangkit." Akhirnya mobil Kevin berhenti meski belum memasuki area parkir khusus mobil, ia membiarkan Bangkit turun dan berlari entah mengejar apa.
Gadis itu yang membuat Bangkit sampai rela berlarian menghampirinya yang tengah melangkah di koridor utama sembari membawa kotak donat yang ia peluk di dadanya, ia ingin benda itu aman hari ini dan seterusnya.
"Heh!" tegur Bangkit menyamai langkah Permata.
Gadis dengan rambut hitam diikat tinggi itu menoleh, membulatkan matanya lalu menarik juntaian kabel headset hingga telinganya bisa mendengar dengan jelas lagi.
"Kamu ngapain di situ? Kamu ngikutin aku?" tanya Permata terlihat tak suka.
"Ogah! Lo ngapain masih bawa-bawa itu donat, bukannya gue udah bilang donat elo itu nggak higienis jadi mending bawa pulang aja sana, gue takutnya orang-orang keracunan habis makan itu," hina Bangkit.
Permata menghentikan langkahnya, begitu juga dengan Bangkit.
"Sekarang bukan bulan puasa, pantas aja setan masih berkeliaran. Kalau bulan puasa pasti diborgol deh," ujar Permata membalas penghinaan Bangkit, ia kembali melanjutkan langkahnya menghampiri lift yang terlihat ramai karena banyak antrean.
"Jangan lewat situ." Tiba-tiba Bangkit menarik lengan kanan Permata ke arah lain.
"Aduh! Aduh! Kamu ngapain sih! Tarik-tarik nanti baju aku sobek gimana, donat aku bisa jatuh juga!" hardik Permata kesal.
Bangkit tak peduli, dia sengaja tuli dan terus menarik gadis itu hingga tiba di depan lift yang terlihat sepi. Barulah Bangkit melepaskan lengan Permata cuma-cuma.
"Kenapa di sini?" tanya gadis itu kebingungan, ia tak melihat satu pun murid di dekat mereka.
"Ini lift khusus guru, naik ini aja biar sampai di atas," ujar Bangkit.
"Apa? Nggak mau! Kamu nggak sopan banget sih jadi orang, udah ada fasilitas khusus siswa kenapa harus pakai punya guru," tegur Permata tak setuju.
Bangkit menginterupsi, menempelkan telunjuk pada bibirnya sendiri.
"Emangnya kenapa? Ini sekolah punya kakek gue jadi bebas dong mau pakai yang mana, nggak usah ribet. Daripada lo ngantri di sana mending lewat sini aja, lagian belum ada guru yang datang kok."
"Tetep aja nggak bisa, itu namanya ngelanggar aturan. Jangan karena kamu cucu yang punya sekolah jadi seenaknya gitu, aku nggak mau."
"Lo jadi cewek dikasih tahu ngeyel banget sih!" Dengan kesal Bangkit menarik lengan Permata hingga mendekat ke arahnya, jika tak memeluk kotak donatnya dengan erat pasti benda itu bisa jatuh lagi.
"Kamu bisa hati-hati nggak sih! Kalau donat aku jatuh lagi gimana!" hardik Permata, ia makin kesal dengan senior di sebelahnya. Ingin sekali Permata menginjak wajah Bangkit hingga tak berbentuk lagi.
"Bodo! Bagus malah, lo nggak bisa jualan lagi. Lo masih inget kan apa yang gue bilang kemarin."
"Apa, hm? Apa?" Gadis itu mengangkat dagu, menantangnya.
"Gue bakal buat lo keluar dari sekolah ini."
Permata memutar bola mata, "Oh ya? Terus aku harus gimana? Loncat-loncat kayak kelinci atau koprol di lapangan, kamu nggak akan berhasil!"
Kening Bangkit berkerut, tak habis pikir dengan sikap gadis yang selalu punya kata untuk melawan ucapannya.
"Lo kenal gue nggak sih, gue ini Bangkit Gautama. Apa pun yang gue mau pasti bisa gue dapetin, termasuk—"
"Singkirin aku dari sekolah ini?" sela Permata memotong ucapan Bangkit. "Kamu tahu nggak sih, yang kasih beasiswa ke aku itu yayasan dari sekolah ini dan kakek kamu langsung yang ngasih ke aku. Dia kenal sama orang tua aku, jadi sekeras apa pun kamu mau nakal, jahilin aku silakan aja, nggak ngaruh!" jelas Permata.
Bangkit terdiam, apa ucapan gadis itu benar? Kakeknya kenal orang tua Permata? Memangnya gadis itu siapa?
"Gue juga nggak terpengaruh sama ucapan lo, yang jelas lo pasti bisa gue buat keluar dari sekolah ini apa pun caranya," ujar Bangkit optimis.
"Coba aja kalau kamu bisa, aku nggak takut ya sama kamu. Kata nenek aku kalau lihat setan tinggal dibacain ayat kursi aja, nanti juga hilang. Jadi, sekarang aku mau bacain ayat kursi buat kamu."
"Heh! Apa-apaan lo! Gue ini manusia bukan setan, jangan sembarangan!"
"Yakin kamu manusia? Kenapa ada tanduknya tuh di kepala kalau lagi marah?" Permata hampir saja tertawa mendengar penghinaannya sendiri.
"Lo harus nurut sama gue kalau masih mau tetap di sini!"
"Apa-apaan, enak aja emang kamu siapa sih? Pangeran Charles? William? Apa Edward Cullen? Eh, iya kamu mirip sama Vlad Dracula yang ada di Walacea, galak bin kejam."
Emosi Bangkit mulai tersulut mendengar gadis itu terus menghinannya, dia mencengkram lengan Permata tepat di bekas cubitan Adara yang tertutup seragam putihnya itu.
"Lo jadi cewek jangan sok jual mahal ya, gue bisa dapetin cewek model apa pun termasuk elo," desis Bangkit.
Mati-matian Permata menahan rasa sakit akibat cengkraman Bangkit yang mengena luka cubitannya, dia menatap tajam seniornya itu.
"Jadi cewek emang harus jual mahal! Biar yang jadi cowok nggak berlaku sesuka hati, kayak kamu!" Setelah itu Permata menggigit punggung tangan Bangkit yang masih mencengkramnya dengan keras, sontak saja Bangkit memekik dengan keras dan membuat orang-orang yang berada tak jauh dari mereka menatap kebingungan.
"Argh! Lepas! Lepas!"
Permata melepas gigitannya lalu berlari meninggalkan Bangkit tanpa merasa bersalah—apalagi minta maaf, ia menghampiri kerumunan anak-anak yang berkerumun di depan lift lantai satu.
Sedangkan Bangkit mengusap punggung tangannya, gadis itu benar-benar kurang ajar. Bagaimana bisa dia seberani itu terhadapnya, kini Bangkit menatap Permata dengan alis bertaut. Bukannya takut, gadis itu justru meledeknya sambil menjulurkan lidah, seolah yang ia lakukan hanyalah sebuah lelucon.
***
Bangkit melangkah mondar-mandir di depan dua temannya yang sibuk dengan ponsel masing-masing sambil duduk di atas meja mereka yang terletak di sisi pintu kelas, keduanya asyik dengan game online mereka tanpa peduli dengan kejengkelan Bangkit terhadap Permata pagi ini.
"Bisa-bisanya itu cewek nggak takut sama gue, sedangkan orang lain mati-matian hindari masalah sama gue," gumam Bangkit sembari mengacak rambut belakangnya.
Adam melirik temannya itu sekilas, lalu tersenyum miring. "Artinya, dia emang nggak terpengaruh sama posisi ataupun status lo di sekolah ini, Bang."
"Bener tuh, artinya itu cewek nggak peduli siapa sebenernya elo di sini," timpal Kevin tanpa menghilangkan fokusnya dari layar ponsel.
"Gue harus pakai cara apa biar dia takut sama gue. Dia jual mahal banget lagi," sahut Bangkit lalu berdiri pada ambang pintu, menatap anak kelas dua belas yang lewat.
"Kalau gitu lo tembak dia aja," celetuk Kevin, ia langsung mendapat hadiah jitakan kepala dari Adam.
"Lo gila, Vin!" hardik Adam tak mengerti, bagaimana bisa jalan pikiran Kevin menuntunnya untuk berkata hal bodoh itu.
Bangkit menghampiri teman-temannya, dia menarik lengan Kevin, membuatnya tak lagi fokus dengan ponsel dan berdiri.
"Lo tadi bilang apa, hm? Gue tembak Permata, lo gila!" Bangkit menghempas Kevin hingga ia kembali duduk.
Kevin menatap Bangkit dan Adam bergantian, "Kalian berdua kenapa sih? Jangan emosi dulu kalau nggak tahu alesannya, emosi aja yang tinggi lo berdua, otak pada di pantat."
"Terus maksud lo apa ngomong kayak gitu, hm?" Bangkit meminta penjelasan.
Kevin berdiri, menarik napasnya lalu menarik Bangkit untuk mendekat.
"Nih, lo tadi bilang dia sok jual mahal dan nggak peduli sama status lo di sekolah ini, iya 'kan? Caranya kalau lo mau tahu sifat aslinya ya tembak dia, Bang. Maksud gue tuh kalau dia emang terima elo artinya itu cewek emang cuma bibirnya doang yang lemes sok angkuh di depan elo," jelas Kevin.
Bangkit merenung, menggaruk pelipisnya.
"Kalau dia nggak terima elo, baru bisa dipastikan itu cewek emang nantang elo luar dalam," imbuh Adam.
"Luar dalam? Maksdunya gimana?" tanya Kevin.
"Hati sama raga Bangkit atuh Dede Kevin, kunaon sih?" sahut Adam seraya mengangkat kedua alisnya.
"Bacot lo berdua, tapi bener juga sih. Boleh dicoba," sela Bangkit, dia menyeringai kali ini.
Sedangkan pagi ini kelas Permata tengah melangsungkan olahraga basket di lapangan, kaus hitam hijau olahraga khas SMA Gautama dipakai anak kelas XII IPA satu itu.
Mereka semua asyik saling berebut bola warna oranye yang cukup berat itu, terlihat Permata begitu lihai mendribble bola melewati teman-temannya yang berusaha merebut bola itu, ia terlalu pandai menghindar hingga ketika dekat dengan ring basket gadis itu melompat, melempar bola yang dipegangnya ke atas ring dan meluncur mulus melewati lubang bulat itu.
Ia bersama timnya melakukan tos karena berhasil menambah angka untuk tim mereka.
"Semuanya semangat ya, ini cuma permainan kok!" seru Nikita yang juga satu tim dengan Permata.
Terlihat Amira menghampiri Permata, dia mengusap peluh di dahinya.
"Ta, permainan basket lo lumayan juga, kayak udah ahli gitu deh," ujar Amira.
Gadis yang mencepol rambutnya itu tersenyum simpul. "Dulu aku kapten basket perempuan dari kelas tujuh SMP, terus jadi kapten basket lagi di SMA yang lama," jelasnya.
"Lo serius? Jadi lo kapten basket? Ya ampun keren banget, Ta. Beruntungnya kelas kita kedatangan kapten basket secantik elo," puji Amira.
"Apaan sih kamu, berlebihan. Aku mau main lagi deh." Permata berlari ke arah teman-temannya yang sibuk berebut bola basket, tanpa diduga dengan mudahnya Permata merebut bola itu dari tangan Reka.
Ketika Permata memutar arah. Hendak menghampiri ring basket lawan, tangan seseorang berhasil merebut bola yang tengah dikuasainya.
Gadis itu langsung tertegun ketika menyadari remaja di depannya adalah Bangkit, Permata hanya bisa diam mematung. Apa-apaan ini?
Semua anak kelas XI IPA dua juga tercengang melihat kehadiran senior mereka yang tiba-tiba masuk ke lapangan basket.
Sedangkan Bangkit terlihat menikmati menjadi pusat perhatian, karena itulah dia, di mana ada Bangkit maka akan banyak mata tertuju padanya. Seketika dia memasukan bola ke dalam ring dengan mudah, lalu kembali meraih bola yang baru meluncur melewati lubang bulat itu dan membawanya ke hadapan Permata.
"Mau kamu apa!" hardik Permata tak suka dengan ulah Bangkit.
"Mau lo, gimana?" Ia tersenyum miring.
"Aku nggak ngerti, kamu bukan anak kelas sebelas dan sekarang masih jam pelajaran kenapa keluyuran." Gadis itu menggeleng. "Kayaknya emang nggak ada yang baik dari diri kamu," imbuhnya.
Bangkit berdecih, dia menatap anak kelas sebelas di sekitarnya.
"Semuanya kumpul sini, gue mau bilang sesuatu," seru Bangkit.
Benar saja, seluruh anak kelas sebelas yang berada di lapangan mengitari keduanya. Permata hanya bisa diam menghadapi apa yang akan Bangkit perbuat setelah itu.
"Oke, karena kalian semua udah kumpul. Gue mau bilang sesuatu ke Permata," ucap Bangkit memberi prolog.
Beberapa orang mengeluarkan ponselnya dari saku mereka, mereka sudah menerka jika sesuatu yang berhubungan dengan Bangkit pasti akan menarik, seperti sekarang.
Bangkit mengeluarkan setangkai mawar putih dari saku belakang celanannya, dia menunjukannya di depan Permata.
"Gue mau lo jadi pacar gue, kalau lo terima ini berarti artinya lo mau. Gimana?" akunya di depan banyak orang.
Mereka semua jelas tercengang mendengar pengakuan Bangkit yang tiba-tiba, istilahnya Permata adalah gadis kemarin sore yang baru menginjakan kaki di SMA Gautama tapi sudah mencuri perhatian Bangkit. Sedangkan gadis yang sudah populer di kalangan SMA itu saja perlu kerja ekstra.
Permata hanya diam, menatap diam laki-laki di depannya.
"Gimana? Lo mau kan jadi pacar gue? Gue nggak akan ngulang lagi."
Permata menarik napasnya dalam-dalam, "Listen to me Bangkit Gautama, aku selalu percaya sama satu pedoman dan itu semua benar. Good girl just for good boy, and bad girl just for bad boy. I'm good girl, but you bad boy." Setelah bekata demikian Permata melenggang pergi melewati teman-temannya yang melingkar di sekitar mereka.
Apa?
Bangkit ditolak?
Luar biasa!
Seketika Bangkit membanting bola basketnya dengan keras, dia menatap gadis yang kini melangkah dengan angkuh di koridor utama. Sekali lagi, Permata sudah membuat Bangkit benar-benar malu di depan semua orang.
***