1.
"Untuk apa sempurna jika hati saja tidak punya."
***
"Kamu!" seru Permata pada seseorang yang terus saja melangkah kian jauh tanpa merasa bersalah sedikit pun meski telah menabraknya dari belakang dan membuat semua donat yang Permata bawa terjatuh berserakan di permukaan lantai koridor.
Permata memunguti semua donat yang ia bawa ke dalam sebuah kotak, orang-orang yang melewatinya juga tak peduli pada urusannya seolah gadis itu transparan jadi tak terlihat. Begitukah sikap murid-murid SMA Gautama itu? Semoga Permata takkan pernah menyesal karena mendapat beasiswa di sana.
Setelah memasukan semua donatnya gadis itu kembali menengadah, siswa yang menabraknya tadi masih terlihat melangkah santai tanpa menoleh sedikit pun. Permata begitu kesal karena untuk pertama kalinya menemukan laki-laki tak bertanggung jawab dan menyepelekan perempuan.
"Hey kamu! Tunggu!" serunya lagi, Permata tak berniat mengejarnya. Dia melepas salah satu sepatunya dan melemparkan benda itu ke arah siswa yang menabraknya hingga tepat menyentuh punggung siswa tersebut dan membuat langkahnya terhenti.
Permata tersenyum puas, semua orang yang melihat kegilaan sikap Permata berdecak dan mengumpat dalam hati, tak tahukah gadis itu tengah berhadapan dengan siapa?
Shit!
Permata siswi baru.
Itu cewek udah gila? Nyari mati!
Dia minat jadi Cinderella di sekolah.
Gila! Si Bangkit dilempar pake sepatu!
Dasar cewek oneng!
Parah! Bangkit gegar punggung lama-lama!
Siswa bernama Bangkit itu menunduk, menatap sepatu lusuh warna merah yang sudah tak sopan menyentuh punggung tegapnya, tahukah pemilik sepatu itu bahwa ia selalu pergi ke tempat fitness dua kali seminggu demi menyempurnakan bentuk tubuhnya? Siapa pun pelakunya akan dikutuk oleh Bangkit!
Bangkit membungkuk dan meraih benda lusuh itu dengan ibu jari serta telunjuk, cara memegangnya saja terlihat jika ia begitu jijik dan geli dengan benda itu. Di SMA Gautama siapa yang akan memakai benda lusuh seperti itu?
Bangkit memutar tubuh, dia menatap orang-orang di sekitarnya dengan alis tebal yang bertaut, semua orang dapat menerka bahwa Bangkit Gautama pasti sangat marah sekarang. Dasar pelempar sepatu terkutuk!
"Siapa yang lempar gue pakai beginian!" tanya Bangkit tegas pada orang-orang yang melewatinya.
"Gue nggak tahu swear!" sahut orang-orang dengan raut ketakutan, satu sekolah jelas tak ada yang ingin berhadapan dengan remaja cucu pemilik sekolahan elite itu. Ibaratnya lebih baik menerjang badai daripada harus menghalangi langkah Bangkit.
"Siapa! Mata lo buta semua sampai nggak tahu sepatu ini punya siapa!" bentak Bangkit sudah tak sabar, dia harap pemilik sepatu itu segera datang agar Bangkit dapat memukul wajahnya hingga berdarah hingga tak bisa berangkat esok hari.
"Aku yang lempar!" Suara berani itu muncul dari sosok gadis berambut legam lurus yang diikat tinggi—tengah melangkah ke arahnya, menerobos orang-orang yang menatap nanar dirinya. Sebenarnya anugerah apa yang Tuhan berikan pada gadis itu sampai berani mengusik Bangkit.
Gadis itu kini sudah berada di depan Bangkit, menatapnya dengan alis bertaut tanpa rasa takut sedikit pun. Apakah Permata tidak sadar jika ia tengah berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa?
Sekali lagi.
Permata siswi baru.
Gadis itu mengangkat dagunya, sengaja dia menunjukan keberanian di depan Bangkit sambil berkacak pinggang. Sedangkan laki-laki itu sudah sangat dibuat mendidih oleh sikap tak sopan yang Permata lakukan.
Sengaja, Bangkit melempar sepatu di tangannya dari railing lantai dua SMA Gautama hingga terjatuh di area lapangan sekolah.
Semua orang menggeleng tak percaya melihat sikap Bangkit, ada pula yang tertawa karena sudah paham betul seperti apa sikap seorang Bangkit di sekolah milik kakeknya.
Pemilik iris cokelat terang di depannya mendelik, dia jelas tak terima sepatu miliknya dibuang sejauh itu.
"Kamu!" Permata kembali menunjuk Bangkit tepat di depan matanya. "Kenapa buang sepatu aku?"
Dengan tegas Bangkit menurunkan tangan gadis itu dari hadapan matanya, mengotori pemandangan. Semua orang makin keasyikan melihat pertunjukan drama live mereka berdua.
"Jadi lo yang lempar sepatu itu, hm? Bukannya terima kasih karena gue udah bantu lempar lebih jauh," celetuk Bangkit tak merasa bersalah sedikit pun.
Nyali Permata tidak ciut, melihat setan pun ia berani, apalagi setan yang ia hadapi sekarang memiliki nyawa.
"Aku lempar kamu pakai sepatu karena kamu pergi seenaknya aja sebelum minta maaf," ujar Permata menjelaskan maksudnya.
Kening Bangkit mengernyit, "Maaf? Gue siapa ngemis maaf dari lo, hm?"
Beberapa orang terlihat merekam kejadian menyenangkan itu, mereka memang selalu senang jika Bangkit tengah bertingkah di depan seseorang, apalagi yang tengah Bangkit hadapi adalah gadis yang sama sekali tak mengenalnya.
"Kamu nggak bisa bilang maaf? Cuma maaf aja? Hey, kamu nggak sadar udah tabrak aku dari belakang dan buat semua donat-donat aku jatuh. Aku nggak minta tanggung jawab kok, cuma maaf."
Tangan kiri Bangkit mencengkram lengan gadis itu dan menariknya lebih dekat. "Lo nggak tahu siapa gue!" Matanya melirik name tag pada seragam baru SMA Gautama yang baru dipakai gadis itu hari ini, Permata Aurora.
"Oh, jadi lo siswi baru di sini? Pantes nggak tahu!"
"Lepas!" Permata berhasil menepis tangan remaja itu. "Aku nggak peduli kamu siapa ya, yang jelas bukan anak Presiden, apalagi raja Mesir. Karena jelas mustahil, kayaknya kamu lebih cocok jadi anaknya Firaun."
Beberapa orang tertawa mendengar celotehan receh gadis itu, tapi tidak untuk Bangkit. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun dan bersiap menyembur dari kedua lubang telingnya yang mulai berasap.
"Lo!" Bangkit menunjuk gadis itu. "Urusan lo sama gue akan makin panjang setelah ini, gue janji nggak akan pernah biarin hidup lo di sekolah ini tenang sampai lo nyerah dan milih mundur dari sekolah ini!" tandas Bangkit dengan ancamannya yang jelas tidak akan pernah main-main, apa yang ia katakan selalu ia realisasikan dan berhasil. Jika sekarang dia mengancam seorang gadis maka hal itu juga akan segera terwujud.
Bangkit merasa terhina karena ucapan asal gadis bernama Permata itu, setelah memproklamirkan ancamannya di depan banyak orang dia memutar tubuh dan beringsut pergi tanpa menoleh sedikit pun.
Semua orang juga kembali pada urusan mereka masing-masing termasuk Permata yang kini menatap sepatunya dari tembok pembatas lantai dua.
"Ya ampun jadi aku harus ke sana? Ambil sepatu?" gumam gadis itu, tanpa menunggu lama akhirnya Permata turun ke lapangan—tanpa meninggalkan donat yang harus ia jual hari ini.
***
Tak sampai menunggu waktu sepuluh menit karena video penghinaan terhadap Bangkit sudah menyebar luas di kalangan anak SMA Gautama, jika video itu sampai menyebar luas keluar dari sana—maka Bangkit lebih malu lagi. Untuk pertama kalinya seorang gadis dengan berani menghinannya di depan umum, Bangkit tak bisa mentolerir kebodohan siswi baru itu.
"Gue yakin itu anak sarapannya sama paku! Ngomongnya nusuk banget, Bang!" seru Kevin sambil terkekeh geli usai melihat video Bangkit dari ponselnya sendiri, dia duduk di salah satu meja kelas.
"Bener tuh bener-bener, Bangkit ternyata keturunan Firaun, lahirnya dari peti mati!" timpal Adam tanpa melepas kekehan gelinya, mendengar Bangkit dihina rasanya seperti sebuah penghargaan besar.
"Bacot lo berdua diem nggak!" kesal Bangkit seraya memukul pintu di dekatnya, meski tak bicara lagi, tapi Kevin dan Adam tetap tertawa.
Mereka berada di dalam kelas, hanya bertiga. Kevin dan Adam duduk di atas meja paling depan sedangkan Bangkit berdiri di ambang pintu sambil menatap orang-orang yang lewat.
"Sabar, Bang, sabar. Orang sabar kuburannya lapang, lapangan malah," celoteh Adam.
Tangan kanan Bangkit mengepal dan memukul lagi pintu di sebelahnya, "Kalau emang itu cewek anggap gue begitu, mari kita lanjutkan apa yang seharusnya." Setelah berucap demikian Bangkit melangkah meninggalkan kedua teman-temannya.
"Kebiasaan, apa-apa ninggalin!" gerutu Adam, lalu menarik Kevin keluar dari kelas.
Gadis itu tengah berdiri bersama seorang siswi yang baru dikenalnya di kelas hari ini, Permata menyesal karena tak bisa menepati janjinya pada salah satu pemilik stand di kantin yang seharusnya ia titipi donat hari ini.
"Lain kali nggak akan ceroboh lagi kok, Bu. Maafin Permata yah," sesal gadis itu meski bukan salahnya.
"Nggak apa-apa kok, Neng. Lagian yang salah udah kelihatan Mas Bangkit-nya itu mah, dia kebiasaan suka bikin gara-gara," ujar Bi Imah, penjual snack di kantin SMA Gautama.
"Jadi namanya Bangkit?" ucap Permata memastikan kebenaran pendengarannya.
"Kalau iya kenapa!" Suara lantang laki-laki itu terdengar di belakang Permata—ia serta Amira refleks memutar tubuh—menemukan Bangkit yang kini melangkah ke arah mereka disertai amuk dalam d**a.
"Kamu ngapain di belakang aku? Nguping pembicaraan orang? Nggak sopan," tegur Permata tanpa takut sedikit pun, sedangkan tangan Amira menarik Permata agar menjauh dari tempat itu karena merasa mereka dalam bahaya siaga satu.
"Kita keluar aja yuk, Ta," ajak Amira basa-basi.
Permata melirik teman barunya, "Ngapain? Kamu takut sama dia?" celetuknya sambil menunjuk Bangkit.
"Cari aman aja, Ta."
"Bener apa yang diomongin sama teman lo ini, mending lo cari aman. Sebelumnya lo harus minta maaf sama gue dan tarik kata-kata lo di koridor tadi pagi!" perintah Bangkit tanpa melepas tatapan elangnya, seolah dia siap mencakar gadis asing tersebut.
"Maaf? Hey, bukannya kamu yang salah udah bikin donat aku jatuh semua dan nggak bisa dijual, kamu yang harusnya minta maaf!" maki Permata tak terima.
"Gue minta maaf? Emang lo siapa!" Bangkit meneliti penampilan Permata dari ujung kaki hingga kepala, sama seperti remaja sekolah itu kebanyakan yang mengenakan seragam putih dengan dasi warna hitam dan rok lipit hitam selutut. Hanya saja ada gelang perak melingkar di pergelangan kaki Permata beserta sepatu merah lusuhnya.
Bangkit mendengkus, "Nama lo Permata? Nggak cocok, penampilan lo aja udah kayak tukang pasar loak. Gue saranin lo ganti nama, kalo terlalu berat nanti lo yang sakit, buru pulang ganti nama."
"Jangan dijawab, Ta. Please jangan," bisik Amira sambil melirik ke arah Bangkit, ia benar-benar takut berada dalam situasi seperti ini, pasalnya Amira selalu menghindari konflik dengan semua orang di sekolah.
"Siapa yang nyuruh lo jualan di sini, hm? Kantin sini semua makanannya harus higienis, dan donat lo itu nggak pantes ada di sini."
Permata masih diam, berusaha tak memedulikan penghinaan Bangkit yang terus-terusan menghunjam dirinya, kesabaran Permata memang berada di tingkat Dewa.
"Gue akan tarik kata-kata gue soal tadi pagi, gue akan buat lo nyaman sekolah di sini kalau lo minta maaf sama gue sekarang, cepet!"
"Udah minta maaf aja, Ta. Biar semuanya baik-baik aja," bisik Amira lagi.
Permata tetap diam tanpa berkedip menatap laki-laki gila itu.
"Ayo minta maaf, gue bakal buat semuanya lebih mudah. Gini aja." Tiba-tiba Bangkit meraih tangan gadis itu dan menariknya ke arah sebuah meja, dia naik ke atas meja kosong itu bersama Permata.
"Kamu mau ngapain lagi sih! Lepas nggak!" Permata menepis tangan Bangkit, lalu dia turun dari meja sebelum orang-orang berkumpul menghampiri. "Aku nggak mau ya minta maaf sama kamu."
Bangkit ikut turun dan mencekal lengan gadis itu, tapi lagi-lagi dengan berani Permata menepisnya kasar.
"Jangan suka megang aku seenaknya, aku nggak izinin!" tegur Permata makin kesal dengan sikap tak sopan laki-laki di depannya.
Semua orang sudah berkumpul, tiba-tiba Bangkit meraih pinggang seseorang. Dengan senang hati gadis itu merelakan pinggangnya ditarik hingga menubruk tubuh Bangkit, aroma wangi parfum laki-laki itu cukup membiusnya untuk dijadikan mainan sesaat.
"Oh ya? Lo lihat, gue langsung dapetin cewek dalam sekejap," ucap Bangkit begitu pongah.
"Aku nggak peduli, intinya kamu nggak bisa berbuat seenaknya sama aku. Aku bukan mainan! Dasar anak Firaun!"
Bangkit melepaskan gadis yang sempat ditariknya lalu mendorong Permata dengan sengaja, tapi sayang—satu tangan seseorang lebih mendahului tubuh Permata agar tak jatuh ke lantai.
"Bangkit!" hardik remaja itu.
Bangkit berdecak dan mengacak rambutnya frustrasi, haruskah begini tiap kali ia melakukan ulah. Haruskah ada Tegar yang selalu menghalangi aksi yang baginya menyenangkan, ingatlah jika Bangkit itu devil dan Tegar adalah Angel, selamanya akan tetap begitu.
***