Kebodohanmu menukik tajam,
Menyesatkanku hingga ke jurang curam.
***
Bangkit membuka pintu kamar Tegar dengan hati-hati, ia hanya tak ingin si pemilik tahu bahwa ia mengincar sesuatu yang ada di dalam kamar saudara kembarnya itu. Setelah pintu terbuka sedikit akhirnya Bangkit masuk, ternyata keberuntungan benar-benar sedang memihak dirinya karena Tegar tak berada di dalam kamar. Sepertinya Tuhan paham betul apa yang ingin dilakukan remaja itu.
Bangkit menatap sekeliling, dia langsung menghampiri laci kecil di dekat tempat tidur sembari menariknya hingga menemukan benda yang ia cari, kontak motor Tegar.
Sudah dua minggu belakangan Bangkit tak pernah menyentuh motornya sendiri karena disita oleh sang ayah akibat beberapa balapan liar di jalan ketika malam tiba yang selalu ia ikuti, hingga semuanya terbongkar dan ia mendapat hukuman yang semestinya.
Bangkit segera memasukan benda itu ke dalam saku celana, ia mendorong laci agar tertutup lagi—lalu keluar dari kamar Tegar dan menutup pintunya dengan rapat, seperti semula.
Laki-laki yang sudah mengenakan pakaian dengan rapi itu menapaki tangga dari lantai tiga menuju lantai satu, ia tak melihat siapa pun di bawah, sepertinya orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing atau sedang keluar dari rumah.
Bangkit mendapat jalan yang mulus, ia terus melangkah menghampiri pintu utama yang sudah terbuka lebar tanpa terhalang siapa pun.
"Ehem."
Deheman itu membuat langkah Bangkit terhenti, dia menoleh mendapati Tegar berada di belakangnya menatap Bangkit curiga.
"Lo mau ke mana?" tanya Tegar datar.
"Hangout lah, emangnya elo kuper di rumah terus," cibir Bangkit sarkastik.
"Dijemput?"
"Iya, sama Kevin. Udah, gue mau pergi dulu."
"Lo udah izin sama orang rumah?"
"Nah ini, lagi izin sama lo. Abang gue yang sama gantengnya kayak gue, gue pamit dulu." Setelah itu Bangkit beringsut pergi.
Tegar yang tak tahu jika saudaranya itu sudah mengambil kontak motornya tanpa izin terlihat biasa saja, ia melenggang menapaki tangga dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana pendeknya.
Sedangkan Bangkit tengah berusaha mendorong motor Tegar yang memang masih terparkir di halaman rumah, motor trail hijau itu cukup berat hingga Bangkit perlu tenaga ekstra.
Setelah motor berhasil ia dorong keluar dari area rumah dan menjauh dari sana dengan jarak sekitar sepuluh meter—barulah Bangkit naik duduk di motor, mengenakan helm hijau khas motor trail lalu menancapkan kunci pada tempatnya. Barulah Bangkit menghidupkan gas dan melaju sekencang mungkin seperti orang yang baru bebas.
***
Gadis itu jelas tak bersemangat untuk malam ini, ia duduk di depan meja belajarnya sembari bertopang dagu menatap ke arah jendela dengan tirai terbuka. Haruskah ia pergi malam ini? Ke diskotek? Menyebut namanya saja Permata sudah merinding apalagi harus datang ke tempat itu, bersama Bangkit pula. Rasanya seperti didorong dari atas jembatan yang tinggi hingga jatuh ke dalam air tanpa bisa kembali menemui permukaan.
Jika bukan karena gelang kaki itu, ia takkan berdandan seperti sekarang meski hanya mengenakan sweater putih serta celana jeans.
Permata menghela napas panjang, ia menjatuhkan kepalanya di atas meja dan berdecak.
Terdengar suara klakson motor, seketika Permata mengangkat kepala dan beranjak menghampiri jendela lebih dekat.
Setannya udah datang, batin gadis itu makin tak bersemangat. Ia meraih sling bag dari permukaan meja belajar dan keluar dari kamarnya.
Permata menghampiri dapur, menemui Adara dan neneknya yang sibuk membuat donat untuk dijual besok.
"Bu, Nek. Permata pergi dulu ya," izin gadis itu sembari mengecup punggung tangan keduanya.
"Jangan pulang malam," pesan Nenek Rumi yang sedang duduk sembari mengaduk adonan donat di atas meja.
"Iya, Nek. Nggak akan pulang malam, sebentar kok."
"Jangan macam-macam di luar sana," timpal Adara.
"Iya, Bu. Enggak kok." Setelah itu Permata melenggang keluar dari rumah, ia menghampiri Bangkit yang masih bertengger di motornya tanpa berniat turun—apalagi izin pada nenek dan ibu Permata. Benar-benar tak punya tata krama.
"Kamu tahu rumah aku dari mana?" tanya gadis itu setelah sampai di depan Bangkit yang berada di halaman rumah Permata.
Bangkit menaikan kaca helmnya, terlihat sorot mata beriris cokelat itu, mata yang tadi sudah ditatap begitu lekat oleh Permata.
"Gue ini cucu pemilik sekolah, masuk ruang Tata Usaha juga langsung tahu alamat rumah lo," jelas Bangkit. "Cepat naik."
Permata manggut-manggut, ia duduk di belakang Bangkit, atau lebih tepatnya pada motor milik Tegar yang dicuri saudaranya.
"Jangan pegangan, gue nggak mau dipegang," celetuk Bangkit.
Kening Permata mengernyit, "Idih! Lagian siapa yang mau pegang-pegang kamu, nanti tangan aku berlumur dosa," balas Permata sarkas. Gadis itu memang selalu mudah membalas perkataan Bangkit.
Tak mau ambil pusing, Bangkit menyalakan mesin motor dan melaju pergi menuju tempat kesukaannya—diskotek.
***
Tegar merebahkan tubuhnya di permukaan tempat tidur sembari memainkan game online dari ponselnya, hingga ia menyadari sesuatu bahwa motornya belum dimasukkan ke dalam bagasi, pasalnya tak ada satpam yang berjaga, jadi bisa saja pencuri masuk tanpa canggung.
Tegar beranjak membuka laci hendak mengambil kontak motornya tapi tak ada, dia terdiam untuk sesaat. Lalu membuka dua laci di bawahnya, tapi semuanya juga nihil dari barang itu.
Segera Tegar bangkit menghampiri jendela dan menarik tirainya hingga semuanya terlihat jelas, dari kamarnya di lantai tiga ia bisa melihat halaman rumah yang luas itu, Tegar makin terkejut tatkala mendapati motornya tak ada di bawah sana.
Laki-laki itu menutup tirai, beringsut keluar dari kamarnya dan melangkah cepat menuruni anakan tangga hingga lantai satu, siapa yang tak cemas jika motornya menghilang.
Hingga ia berhasil keluar dari rumah dan menemukan kendaraan kesayangannya itu memang tak ada di sana. Tegar melangkah mundur sambil mengacak rambutnya frustrasi, segera dia memutar arah dan berlari masuk ke dalam rumah.
Tegar menapaki tangga hingga masuk ke dalam kamar, membuka lemari dan mengambil laptopnya. Untung saja ia ingat jika sudah menempelkan sebuah GPS pada motornya agar mudah dilacak jika tiba-tiba hilang.
Dari layar laptop Tegar melihat motornya yang ditandai sebagai bulatan warna merah bergerak terus, artinya kendaraan itu tengah melaju.
"Jangan-jangan perbuatan si Bangkit nih, macem-macem aja itu bocah," gumam Tegar terus memperhatikan pergerakan motornya.
***
Setelah sampai di tempat yang dituju dan menepikan motornya, gadis itu tak lantas turun. Ia memperhatikan keadaan sekitar yang terlihat ramai oleh mereka para wanita berpakaian seksi bersama om-om yang entah suaminya atau bukan, ada juga remaja seumuran dirinya yang datang ke sana. Apa Permata juga akan jadi bagian dosa malam ini? Ia mengumpat dalam hati, Bangkit sialan yang sudah membawanya ke tempat penuh dosa.
"Lo ngapain sih diam aja, turun!" perintah Bangkit yang lelah menunggu.
Permata turun, dia meremas tali sling bag dengan gemas, tak kuat melihat pemandangan di sekitarnya—di mana banyak orang yang bukan pasangannya saling merangkul atau berciuman di depan umum.
Bangkit yang melihat kegelisahan gadis itu tersenyum miring, ia melepas helm dan turun, lalu berbisik di telinga Permata.
"Jangan lihatin kayak gituan, nanti lo kepengin lagi," celetuknya asal.
Bola mata Permata membulat, ia melotot menatap laki-laki di sebelahnya.
"Mending kita pulang," usul Permata.
"Mending kita masuk!" Bangkit meraih salah satu tangan Permata yang masih meremas tali sling bag dan menariknya masuk ke dalam diskotek yang ramai itu.
Begitu masuk, aroma alkohol begitu menguar hingga Permata terpaksa menutup hidungnya dengan tangan lain yang tak dipegang Bangkit, sedangkan laki-laki itu terlihat biasa saja.
Permata bisa melihat keadaan di dalam sana dengan jelas, alunan musik yang diputar disk jockey mengalun keras hingga membuat banyak orang menari sesuka hati, bahkan mencumbu di depan banyak orang. Gadis itu ingin sekali muntah melihat pemandangan penuh dosa di depan matanya, lampu bulat yang berpendar kerlap-kerlip penuh warna menggantung di langit-langit diskotek.
Asap rokok juga tak kalah mengganggu indra penciuman gadis itu, ia tak tahan berlama-lama di sana, tapi Bangkit terus menariknya hingga bertemu dengan Kevin dan Adam yang tengah duduk di sofa hitam sembari menyesap batang rokok, jika di sekolah tak mungkin mereka melakukan hal gila itu, bisa-bisa langsung dikeluarkan dari SMA Gautama yang beken.
"Akhirnya lo datang juga, Bang," seru Kevin sembari melirik gadis di sebelah Bangkit yang belum dilepaskan tangannya, gadis itu terlihat mengedarkan pandangannya ke sekitar, menatap orang-orang yang baginya aneh.
Apakah good girl akan jadi bad girl malam ini?
Permata mengumpat dalam hati, bisakah ibu peri lekas datang dan membiarkannya hilang sekarang. Ia merasa jadi orang yang tinggal di planet asing, bahkan lebih asing dari planet yang ada pada sistem tata surya.
Adam juga terus menatap gadis itu, dari ujung kaki hingga kepala, ternyata Permata cukup menggemaskan.
"Kayaknya ada yang nggak mau kehilangan nih," celoteh Kevin menyindir Bangkit yang masih saja memegangi tangan Permata.
"Pegang saja tanganku sayang kalau kamu iri, aku ada untukmu," ledek Adam sembari meraih tangan Kevin, hendak menciumnya.
"Najis mugholadhoh, cuh!" Kevin segera menarik tangannya agar tak tersentuh air liur Adam.
Bangkit baru sadar maksud ucapan kedua temannya, ia langsung melepas tangan Permata dan memperhatikan gadis yang kentara akan rasa tidak nyaman berada di sana, tapi memang itu tujuan Bangkit. Membuat Permata merasa tersiksa.
"Ikut gue." Baru beberapa detik Bangkit melepas tangan Permata, kini diraihnya lagi. Menarik Permata ke arah lain, menjauhi keramaian dan hanya duduk berdua.
"Kamu bawa masker nggak?" tanya gadis itu.
"Buat apaan?"
"Tutup mulut sama hidung, rasanya mau muntah," sahut Permata terdengar menggelitik.
Bangkit terkekeh, jelas dia menghina ucapan gadis itu.
"Lo nggak pernah ke tempat beginian emang?"
"Enggak lah, ngapain aku ke sini. Mending tidur di rumah biar sehat, kamu nggak bisa sehat kalau tiap malam ada di sini. Duit kamu cepat habis, kesehatan kamu juga terancam," ujar Permata mengingatkan.
"Berisik lo sok bijak." Bangkit mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celanannya, ia mengambil sebatang dan menyalakan pemantik api hingga asap rokok mulai membumbung keluar dari bibir remaja itu.
"Kamu sembarangan!" hardik Permata sembari menutupi mulut dan hidungnya dengan sling bag, lama-lama ia bisa mati jika terus-terusan berada di tempat itu.
"Gue mau pesan dulu."
"Pesan apa?"
"Minum." Bangkit beranjak menghampiri meja barista yang tak jauh dari tempatnya duduk, entah berkomat-kamit apa dengan barista itu yang jelas Permata ingin pergi secepatnya.
Sebelum ibu peri datang dan mengutuk Bangkit jadi batu.
Sebelum planet itu akhirnya diberi azab oleh Tuhan.
Sebelum gadis baik berubah jadi gadis buruk.
Bangkit kembali dan duduk dengan santai, dia terlihat menikmati pemandangan sekitar bahkan ada beberapa gadis yang sengaja mampir untuk menggodanya, memintanya untuk dilayani atau mereka yang memang sengaja menawarkan jasa gelap-gelapan.
"Aku mau pulang," rengek gadis itu.
"Ngapain? Urusan lo sama gue aja belum kelar, gue udah pesan minum dan lo harus nikmati itu."
"Minum apa? Jus bukan?"
Bangkit terkekeh geli, "Jus rasa kaus kaki basah."
Seorang barista datang dan meletakan dua botol beer serta dua gelas sloki kosong.
"Makasih," ucap Bangkit sebelum barista itu melengos pergi.
"Ini apa?" tanya gadis itu dengan kening berkerut, baru pertama kali melihat.
"Ini beer, masing-masing satu botol ya," ucap Bangkit.
"Kamu gila!" bentak Permata tak percaya, bagaimana bisa laki-laki itu mengajaknya mabuk sekarang. Permata beranjak, hendak pergi karena sudah tak kuat lagi berada di sana, tapi Bangkit mencegah lengannya dan memaksa Permata kembali duduk.
"Lo ikuti mau gue atau gue buang gelang itu, gampang kok lo habisin aja lima gelas, habis itu kita pulang. Itu aturan main buat malam ini."
Permata ingin sekali menangis, bagaimana ia terjebak dalam keadaan yang tak pernah diinginkannya. Ia menatap Bangkit dengan raut sendu, berharap laki-laki itu segera mengubah keputusannya.
"Nggak usah sok memelas gitu lah, udah cepat minum. Katanya mau pulang."
Jika Permata jadi ibu peri, ia bersumpah akan mengubah Bangkit menjadi kelinci saja agar bisa menarik telinganya setiap saat.
"Aku nggak mau, Bangkit. Aku mau pulang," rengek Permata lagi, tak bisakah Bangkit iba sedikit saja dengan gadis itu?
"Enggak! Gue masih kesel ya sama lo, sama penolakan lo di lapangan. Lo kira gue nggak malu apa."
"Pada dasarnya kamu emang malu-maluin kok, nggak usah canggung gitu buat mengakui."
"Berisik! Udah cepat minum, lima gelas."
Permata pasrah, antara iya dan tidak ternyata gadis itu memilih iya. Dia ingin lekas pulang dari sana dan melakukan salat sepertiga malam, meminta doa kepada Tuhan agar Bangkit dihilangkan saja dari bumi.
***