Kepala Vaye rasanya ingin pecah saat dia memaksakan diri untuk membuka matanya yang sedari tadi terpejam. Tubuhnya seakan remuk di semua sisi, membuat Vaye tanpa sadar mengerang jika dia mencoba bergerak sedikit saja.
Mata coklatnya mengerejap lucu saat sadar bahwa tempat dia berbaring sekarang bukanlah kamarnya, apalagi rumah sakit. Ini adalah kamar mewah yang elegan, semuanya tertata rapi dan membawa nilai artistik misterius yang tidak bisa Vaye ucapkan dengan kata-kata.
Vaye juga baru sadar jika lukanya telah diobati dan ditutup dengan baik oleh seseorang. Para Alpha itu memang keterlaluan, memukulinya seperti hendak membunuhnya saja.
Padahal Vaye tidak pernah membuat masalah dengan mereka, kenapa hidup nyaman saja baginya begitu sulit sih?
Tanpa sadar Vaye mengulang kebiasaan buruknya, terduduk dengan lutut menempel di d**a dan menundukan kepalanya lalu terisak pelan. Vaye tidak pernah salah, namun kenapa orang-orang selalu membencinya?
Vaye hanya ingin bahagia, bukan dia yang ingin hidup seperti ini.
Clek
Vaye segera menghapus air matanya kasar begitu langkah kaki terdengar semakin mendekatinya. Vaye tidak boleh terlihat lemah di depan si penolongnya, jadi setelah beberapa saat barulah Vaye berani mengangkat wajahnya namun terkejut melihat wajah orang yang selama beberapa ini dia hindari kini tepat berada di depannya.
“Lukamu sudah baikan? Aku akan memanggil pelayan agar membawakanmu sesuatu untuk dimakan terlebih dahulu.”
Tidak ada wajah dingin yang dulu lelaki itu selalu tampakan. Tidak ada lagi wajah kesal saat mereka berdua tidak sengaja berpapasan.
Vaye menunduk dalam diam. Apa orang ini akan memintanya membayar atas segala yang dia lakukan waktu itu? Vaye tidak dalam kondisi baik sekarang, dia tidak akan bisa melawan seperti biasanya.
Langkah kaki pria itu terdengar menjauh, keluar dari kamar tersebut lalu kembali dengan semangkuk bubur beraroma lezat yang segera membuat perutnya berdemo keras.
“Momku yang memasakan ini untukmu. Makanlah, dia akan sedih jika kamu menolaknya dan aku benci benci melihatnya sedih.”
Ingin rasanya Vaye mendelik mendengar pemaksaan itu. Namun tidak, Vaye dengan patuh memakannya perlahan walaupun beberapa kali dia harus meringgis saat bubur hangat itu tanpa sengaja menyentuh bagian luka dalam mulutnya.
“Pelan-pelan saja, bubur ini tidak akan lari kej mana pun,” peringat Lussac halus sambil menyerahkan tisu dari nakas sebelah tempat tidur pada Vaye untuk membersihkan makanan yang terselip di sudut-sudut bibirnya.
Pipi Vaye sedikit bersemu merah, mengambilnya perlahan lalu melakukan apa yang memang harus ia lakukan.
“Terima kasih telah mau menolong orang asing sepertiku,” ujar Vaye tulus. Matanya masih fokus terhadap bubur yang dia pegang, tidak ada niatan untuk melihat Lussac sama sekali.
“Kamu bukan orang asing.” Lussac menjeda kalimatnya. “Kamu adalah orang yang merusak jas mahalku dengan alkohol tanpa mau meminta maaf, kabur setelah menendang selangkanganku lalu pergi membawa belanjaan yang telah kubayar, dan bahkan mencoba untuk memarahiku hanya karena aku membeli semua coklat yang ada di syawalan tersebut.”
Wajah Vaye yang semula melembut, berubah menjadi sebal kembali. Matanya menatap tajam Lussac, ingin membalas namun sadar bahwa dia adalah pihak yang salah disini.
“Yang menabrakmu itu kan si pria mabuk, tidak ada yang memintamu membayarkan semua belanjaanku dan siapa yang senang ditarik-tarik oleh pria aneh sepertimu tanpa saling mengenal? Lalu-”
Sebuah coklat tiba-tiba saja menyumpal mulut Vaye yang tengah memberikan pembelaannya. Lussac memandangnya malas, bertopang dagu dan malas memandang lawan bicaranya yang tengah mengunyah coklat itu dengan perlahan kini.
“Kenapa kamu bawel sekali sih? Makanlah coklat itu, aku takut adikku sakit perut jika memakan semua coklat yang kubeli waktu itu sekaligus,” ujar Lussac ketus. Vaye menatap coklat yang ada di mulutnya dengan ekspresi bingung. Ini memang coklat yang dia inginkan, rasanya benar-benar enak saat indra pengecapnya menyentuh makanan manis tersebut.
“Te-terima kasih,” ucap Vaye malu-malu. Bagaimana pun, orang ini telah berbaik hati mau merawat lukanya dan bahkan memberinya satu batang coklat gratis. Vaye bukan orang tidak tahu diri yang enggan mengucapkan terima kasih sekesal apa pun dia pada penolongnya itu.
Jantung Vaye seakan berdetak semakin cepat saat wajah tampan Lussac sesekali mencuri pandang kepadanya. Ternyata Alpha ini tidak seburuk yang dia pikirkan. Mungkin selama ini, Vaye saja yang terlalu berlebihan. Suasana hening sesaat, sampai pada akhirnya Lussac buka suara.
“Kamu harus membayar untuk semua ini.”
Crak
Tidak jadi. Ingin rasanya Vaye menggelepak Alpha sombong di depannya ini jika dia dalam kondisi baik saat ini.
“Bukan dengan uang. Aku ini sangat kaya, tidak butuh sama sekali upah materi jika kamu memang berpikir begitu,” sambung Lussac datar. Dirinya kini memandang serius Vaye, membuat remaja yang hampir kembali mengumpat itu jadi salah tingkah sendiri.
“Ceritakan padaku kenapa kamu bisa dipukuli seperti itu oleh mereka.”
Lussac sebenarnya sudah tahu alasannya, namun dia ingin mendengarnya dari mulut Vaye sendiri. Lussac ingin tahu alasan kenapa remaja di depannya ini terlihat sangat membenci kaum Alpha dan selalu mengaku sebagai Beta. Padahal jelas-jelas dirinya itu adalah seorang Omega dari kalangan elit.
Vaye bungkam, matanya menyiratkan tatapan ‘bukan urusanmu.’ kepada Lussac.
Namun bukan Lussac namanya jika dia menyerah begitu saja. Lussac melihat cerminan Al saat melihat Vaye, mendorongnya untuk mengetahui lebih dalam tentang remaja berpakaian preman tersebut sekalipun lelaki itu mals mengakuinya sendiri.
“Kalau begitu aku akan menelepon pemilik bar tempatmu bekerja saja.... Um... Siapa namanya? Jay? Lalu mengadukanmu yang tidak sopan berkali-kali padaku dan melaporkan semua perbuatan tidak sopanmu pada polisi,” ancam Lussac dengan wajah serius. Sungguh, ini hanya gertakan agar remaja itu tunduk pada perintahnya.
Benar saja, mata Vaye membola kaget dengan mulutnya yang terbuka tertutup seperti ikan kekurangan air. Ingin rasanya Lussac tertawa, jika saja tidak ada yang perlu dia capai saat ini.
“Dasar Alpha sialan pemaksa,” umpat Vaye kasar. Lussac mengerutkan keningnya, seumur-umur baru kali ini dipanggil sialan oleh seseorang yang tahu siapa dirinya.
Omega ini..... Memang berbeda dari yang lain.
“Mulutmu itu, tolong dicuci menggunakan pemutih agar lebih bersih lagi dasar preman feminim,” balas Lussac tidak mau kalah. Padahal biasanya, dia akan langsung memukul atau menendang orang yang sedikit saja salah bicara padanya. Tapi tidak. Dia lebih memilih beradu mulut dengan seorang Omega saat ini.
Vaye memelotot kesal. “Aku tidak feminim!” elaknya keras kepala.
“Katakan itu pada tubuhmu sendiri, cebol.”
“Ce-, dasar tiang listrik!”
“Ikan teri.”
“Beruang kutub!”
“Ya,ya moluska cerewet.”
“Yuck!”
Tok
Tok
Tok
Keduanya berhenti berdebat saat seseorang mengetuk pintu kamar di mana tidak lama kemudian masuk Gena dengan senyuman lebarnya. Omega itu tidak pernah menyangka, bahwa anak sulungnya bisa juga berdebat seperti anak kecil dengan orang selain anggota keluarganya.
Sedangkan Vaye sendiri, dia jadi salah tingkah diperhatikan oleh Omega berparas lembut yang menatapnya dengan tatapan teduh. Wajahnya sangat cantik, bahkan lebih cantik dari para Omega lain yang sering Vaye lihat sebelumnya.
“Apa tubuhmu masih sakit? Aku begitu khawatir ketika melihatmu datang dengan luka di sekujur tubuhmu sebelumnya,” ucap Gena lembut. Perlahan mata Vaye memanas, belum pernah dia merasakan kasih sayang seperti ini dari seseorang selain Jay.
“Dia baik-baik saja Mom. Dia bahkan telah begitu lancar menyumpahiku sejak tadi,” ejek Lussac yang dibalas jitakan lembut dari sang ibu.
“Dia sedang sakit Lussac, jangan membuatnya merasa terbebani dengan mulutmu yang kadang tidak bisa disaring jika bersama orang lain,” ujar Gena tajam. Lussac hanya mengelus kepalanya, masih cukup waras untuk tidak membalas momnya lebih jauh lagi.
Diam-diam Vaye merasa sakit melihat adegan itu. Ibunya adalah seorang Alpha perempuan, yang seharusnya lebih peka dari para Omega. Tapi, seumur hidupnya, belum pernah dia mendapatkan perlakuan seperti yang Gena berikan kepada putra sulungnya itu.
“Nak, kamu baik-baik saja?”
Gena menghentikan perdebatannya saat melihat air mata tanpa sadar menetes di pipi Vaye. Anak itu sedih, mengingat kembali bahwa orang tuanya begitu membenci keberadaannya.
“Ini semua karenamu anak nakal! Minta maaflah padanya!” gerutu Gena kesal
“Tapi Mom…”
“Bu-bukan salahnya hiks, aku hanya kelilipan,” elak Vaye sedih. Semakin lama dia melihat kedekatan ibu dan anak itu, semakin sakit pula rasa gemuruh yang ada di dalam dadanya.
Vaye benci iri pada orang lain, namun sekarang dia tengah melakukannya. Dia selalu ingin bisa dipeluk seorang ibu seperti yang Lusaac baru saja dapatkan. Dia ingin dilindungi seseorang saat heatnya dulu datang. Dia butuh memiliki tempat aman sehingga para anak elit lain tidak bisa selalu mengejeknya lagi.
Dia hanya menginginkan hal itu. Sesuatu yang tidak mungkin dia dapatkan dari keluarga kandungnya.
Grep
Vaye tersentak kaget saat Gena memeluknya erat sambil membelai kepalanya lembut. Omega tiga anak itu tahu benar bahwa anak di depannya ini hanya membohongi dirinya sendiri dengan perkataannya barusan, itu terlihat jelas dari sikapnya.
“Jika kamu ingin menangis, menangislah. Tidak perlu menahannya dan menyiksa dirimu sendiri setiap saat Sayang,” ucap Gena yang berhasil membuat pertahanannya runtuh. Vaye memeluk Gena erat sekali, merasakan rasa hangat yang sebelumnya belum pernah dia rasakan dari keluarganya.
Pertemuannya dengan teman-teman saat ia masih sekolah dulu cukup untuk membuat semua yang dia usahakan hancur begitu saja. Memangnya dia yang ingin terlahir sebagai Omega? Siapa yang sebenarnya salah disini?
Lussac memandang kompleks Vaye yang tengah menangis tertahan sampai Omega itu akhirnya tertidur dipelukan momnya. Vaye menangis sama seperti Al, penuh akan kesedihan yang tidak lagi mampu mereka ucapkan. Entah kenapa Lussac juga ingin ikut membelai kepala itu, jika saja ego besarnya tidak menahan tindakannya.
Setelah Vaye tertidur, Gena dengan hati-hati memakaikan lagi selimut hangat untuk menutup tubuh Vaye sampai d**a. Dirinya mencium pelan dahi putih itu. Anak ini sungguh mengingatkannya pada Al.
“Namanya siapa Lu?” tanya Gena penasaran.
“Vaye, Mom. Kita bisa bicara lebih banyak diluar setelah ini,” jawab Lussac. Lussac tahu banyak yang ingin ditanyakan momnya setelah ini, jadi dia berinisiatif mengajak Gena keluar untuk bicara lebih banyak. Bagaimana pun, Lussac tidak ingin tidur Vaye terganggu akibat obrolannya.
Perhatian? Tidak. Lussac saja belum terpikir bahwa sikapnya yang dingin pada orang lain bisa perlahan berubah karena kehadiran Vaye. Lelaki itu masih murni menganggap Vaye sebagai pengganti Al, entah dari bagian apanya.
Berbeda dengan Gena, yang memandang putranya lega karena tahu akhirnya Lussac sedikit demi sedikit mau membuka hatinya untuk orang lain yang juga dia sukai.
To be continued