His Secret

1473 Words
“Vaye, kamu tidak berbuat yang macam-macam di belakangku kan?” tanya Jay curiga pada Vaye yang tengah bermain dengan ponselnya di sofa ruang tengah rumah mereka. Sesekali anak itu mendengus, apalagi saat melihat tulisan game over pada layarnya. “Kenapa kakak bisa berpikirkan seperti itu?” Vaye yang telah jengah mengalami kekalahan terus menerus pada game yang dia mainkan, menyimpan handphonenya dan sepenuhnya memerhatikan Jay yang tengah memasak makan siang untuk mereka berdua. "Kamu tahu, aku baru saja mengecek e-bankingku dan sadar bahwa uangku bahkan tidak berkurang sama sekali setelah kamu berbelanja sebanyak ini. Aku bukan orang bodoh Vaye, uang saku yang kuberikan padamu tidak akan cukup jika kamu berbelanja sebanyak ini. Ah ya. Belum lagi aku sudah tahu sepelit apa kamu selama ini,” ujar Jay curiga. Matanya tidak lepas dari tatapan curiga pada Vaye yang terlihat mulai gugup. “Dan lagi, kau ini bukan orang yang senang berhemat. Kebalikannya, kau ini sangat boros. Tidak mungkin kamu memiliki banyak uang dalam waktu singkat,” sambung Jay telak. Vaye merasa tertohok sekarang. Benar juga, kenapa Vaye tidak memikirkan kemungkinan ini ya? “Aku ditraktir teman Kak,” elak Vaye ragu. Wajah ragu itu tidak luput dari penglihatan Jay, yang benar-benar hafal sikap adik angkatnya itu. “Vaye... Aku tahu kamu tidak memiliki teman.” “Aku belum lama ini mengenalnya. Dia orang yang sangat baik dan senang mentraktir teman-temannya. Lain kali aku akan mengajaknya main kesini Kak,” tambah Vaye cepat. Sesaat setelah mengatakan hal tersebut, Vaye baru merasa menyesal. Bagaimana bisa dia membawa teman saat orang yang ia kenal hanyalah para pekerja di bar dan Jay sendiri? Diam-diam Vaye meruntuki mulutnya yang kadang tidak bisa dikontrol. Jay masih memandangnya curiga, kemudian memutuskan untuk tidak membahas topik ini lagi melihat akting percaya diri Vaye yang luar biasa. “Bawalah dia kemari lain kali. Aku ingin melihat temanmu itu,” ujar Jay pada akhirnya. Mendengar itu, kini Vaye benar-benar ingin memukulkan kepalanya sendiri ke tembok atas kebohongan bodoh yang baru saja dia katakan. ***** “Vaye Miracy. Anak pasangan Alpha elit yang memutuskan untuk pergi dari rumahnya karena alasan yang tidak diketahui. Mencoba mencari pekerjaan di kota dan berakhir putus sekolah. Dia diadopsi oleh seorang pemilik bar bernama Jay dan memilih bekerja dibawah intruksinya. Tidak bersekolah lagi dan merupakan seorang Omega elit sekalipun nama keluarganya telah dia buang.” Lussac menyimpan kertas-kertas yang sdari tadi dia lihat. Matanya kini memandang sekertarisnya datar namun tajam. “Bisa ulangi kalimat terakhirmu?” Sekertaris itu terlihat bingung, namun segera mengerti bahwa bosnya butuh balasan dia secepat mungkin. “Tidak bersekolah lagi dan merupakan seorang Omega kelas elit sekalipun dia telah membuang nama keluarganya, Tuan Lussac,” ulang sekertaris itu lagi. Kali ini Lussac benar-benar dibuat shock. Bagaimana tidak? Orang yang mengotori pakaian mahalnya, yang memarahinya di swalayan dan yang menendang.... Menendangnya adalah seorang Omega elit? Omega elit seperti adiknya begitu? Yang Lusaac lihat dari kebayakan Omega elit hanyalah rasa lemah dan manja yang biasa mereka tunjukan untuk para Alpha. Kebayakan dari mereka berisik, egois, dan menyusahkan di mata Lussac. Namun itu semua tidak berlaku untuk adiknya. Al adalah eksistensi polos dan putih bersih sepanjang masa. Tidak peduli apa pun yang dilakukannya, Al adalah anugerah terbaik yang bisa diberikan Tuhan kepada keluarganya. Al tidak cerewet, lemah, apalagi menyusahkan bagi Lussac. Al selalu sempurna dan apa pun yang dia lakukan, Lusaac akan percaya itu. Mengingatnya membuat Lussac merindukan malaikat kecilnya... “Aku akan pulang sekarang,” final Lussac lalu segera beranjak dari kantornya. Lussac tidak bisa tahan untuk menahan rasa rindunya pada sang adik, bahkan jika itu hanya tidak bertemu dalam waktu satu menit. Lussac selalu rindu adiknya, setiap hari dalam setiap hembusan nafas yang dia keluarkan. Supirnya segera bersiap di depan kantor saat melihat Lussac keluar dari lift khusus sendirian. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, dan Lussac tidak ada keinginan sedikit pun untuk membuka suaranya kali ini. Keluarga Miracy. Lussac kenal keluarga elit itu sejak dia masih kecil. Namun belum pernah sekalipun dia tahu bahwa keluarga itu memiliki putra seorang Omega, karena keluarga mereka memang berasal dari kalangan militer yang biasanya terlahir sebagai Alpha maupun Beta. Tapi sekertarisnya tidak mungkin salah informasi apalagi berbohong. Jadi untuk apa mereka menyembunyikan anak itu? Dan masalah besar apa yang membuat keluarga Alpha elit seperti mereka sampai membiarkan Omega tanpa mate seperti Vaye berkeliaran sampai putus sekolah begitu seorang diri? Bukannya apa. Kehadiran seorang Omega darlam sebuah keluarga elit biasanya dianggap sebagai pembawa berkah. Merupakan kasus yang sangat langka, bahwa sebuah keluarga elit bernar-benar tega membuang Omega seperti itu ke kehidupan kejam seorang diri. Pantas saja, perilakunya begitu kasar tidak mencermikan sikap seorang Omega elit seharusnya. “Berhenti!” Supir tersentak kaget mendengar komando dari Tuannya. Mata Lussac memicing melihat keributan yang ada disebuah taman yang sepi, ada banyak remaja berpakaian rapi di sana. Lussac berani bertaruh, mereka pasti sekumpulan Alpha elit dilihat dari pakaian mahal yang mereka kenakan. Ah tidak tidak. Bukan mereka yang menarik perhatian orang seperti Lussac, tapi remaja yang telah tersungkur yang menjadi fokus utamanya. Lussac kenal remaja itu, orang yang berhasil membuatnya merasa tertarik sekaligus kesal dengan keberadaannya belum lama ini. Dengan cepat Lussac segera turun dari mobil, diikuti oleh supirnya jika saja Lussac membutuhkan sesuatu. “Apa kamu masih menjadi seorang jalang Vay? Cih, pantas saja keluargamu membuangmu. Kamu ini memang aib untuk keluarga elit seperti kita.” Samar-samar Lussac dapat mendengar ucapan bernada ejekan itu. Dirinya semakin geram, jelas tidak terima jika ada seseorang berani menjelekan kasta Omega. Sekalipun Lussac tidak tertarik untuk mengencani Omega mana pun, itu bukan berarti Lussac tega merendahkan kasta yang sama seperti ibu dan adiknya itu. Lussac selalu menolak perjodohan Pemerintah secara hormat, manly layaknya seorang bangsawan sejati. Gena ibunya selalu mengajarkan Lussac untuk menghormati semua orang tanpa memandang kastanya. Tidak suka boleh saja, asal tidak merendahkan apalagi membully seperti ini. “Kudengar kamu juga sudah berhenti sekolah. Apa kamu jadi bodoh sekarang? Ah.... Jangan bilang otakmu hanya berisi hal m***m sekarang. Kamu kan kerja di bar malam sekarang ini.” Salah satu dari mereka kembali menendang wajah Vaye yang sungguh buruk kedaannya sekarang. Vaye tidak menangis, dia menatap kumpulan itu seperti dia baru saja melihat sampah yang begitu menjijikan. “Dasar b******n pengecut. Kalian hanya berani menggertakku saat kalian bersama bukan?” ejek Vaye di sisa-sisa kesadarannya. Matanya hendak menutup, rasanya sakit sekali menahan bekas pukulan diseluruh badannya. “Kamu!” “Pukul dia lagi maka kamu akan berurusan denganku.” Semua anak menoleh ke sumber suara. Lussac memandang mereka dengan tajam, mengeluarkan feromone Alphanya yang membuat mereka begidik takut. Sekalipun mereka Alpha, mereka tidak akan sebanding dengan Lussac yang merupakan Alpha dewasa dari keluarga yang lebih terhormat daripada mereka. Setidaknya mereka masih tahu tempatnya di depan Alpha seperti itu. Mereka segera pergi begitu saja, meninggalkan Vaye yang berbaring tidak berdaya di atas tanah sambil mengerang kecil. Matanya telah tertutup, sepertinya akan pingsan karena pusing di kepalanya yang berdarah. Lussac segera menggendongnya tanpa ragu. Ada sedikit rasa kasihan saat melihat keadaannya seperti ini. Anak bernama Vaye ini mengingatkan Lussac pada adiknya, dalam kondisi seperti ini tentu saja. Tubuh Vaye seringan kapas, membuat Lussac mengerutkan keningnya saat menggendong tubuh Vaye dengan hati-hati. Supir Lusaac segera membukakan pintu mobil untuk Lussac, dia duduk dikursi belakang karena harus membawa Vaye tetap dalam dekapannya agar tubuhnya tetap stabil saat mobil melaju kencang. “Ke rumah saja,” titah Lussac singkat. Matanya masih senang memperhatikan lekuk wajah Vaye, yang saat dilihat lebih dekat ternyata lumayan manis jika tidak sedang memasang wajah menyebalkannya. Wajah tidurnya terlihat polos, walaupun tidak sepolos wajah Al saat adik manisnya itu tengah tertidur. Mengingat-ngingat, ini adalah kali pertama Lussac terdorong untuk meladeni seseorang yang jelas tidak memiliki hubungan apa pun dengannya. Apalagi, secara ajaib Lussac bahkan membatalkan kenginannya untuk bertemu sang adik tersayang demi menolong Vaye. Lussac menyingkirkan rambut kotor Vaye secara perlahan, ingin melihat wajahnya lebih baik lagi. “Ibu..... Ayah.... Maafkan Vaye....” Tangan Lussac berhenti bergerak saat mendengar rengekan sedih keluar dari bibir pucat Vaye. Vaye mulai demam, dan tampaknya anak itu kini tengah mengigau tentang keluarganya. “Vaye tidak salah...... Vaye tidak mau....” Dahi Lussac berkerut mendengar igauan tersebut. Apa yang sebenarnya dialami si nakal ini dulu? Apa Ayah dan Ibu yang dimaksud di sini adalah salah satu bagian dari keluarga Miracy? “Vaye-” “Sshhh..... Tidurlah untuk sementara” Diam-diam mata si supir membola kaget mendengar suara lembut Tuannya yang biasanya hanya akan begitu di depan keluarganya. Tangan Lussac memeluk Vaye hangat, berusaha menghentikan rancauannya yang semakin parah. Tidak ada wajah datar yang biasa Lussac berikan pada semua orang. Yang ada kini hanyalah wajah penuh kasih sayang yang tengah memperhatikan wajah seseorang sambil terus membelai rambut seorang lelaki berpenampilan nakal yang sedang merancau di pelukan Lussac. Supir itu tidak mengatakan apa pun lagi. Membawa mobil Lussac dengan hati-hati agar tidak menganggu ketenangan tuannya dengan lelaki yang ada dalam pelukannya.. To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD