1- Bertengkar Lagi
Selamat Membaca
"Mas, aku tak bisa lagi hidup denganmu. Aku tak bisa hidup dengan pria yang tak bisa berubah! Aku tak bisa hidup dengan pria yang selalu mengulangi kesalahan yang sama!"
Leo terhenyak dari lamunannya.
Kata-kata Fira seakan selalu terngiang di telinganya, padahal itu sudah lebih dari setahun. Dia menyesali saat itu, saat hakim ketuk palu dan membuat hubungannya dengan Fira selesai.
Saat ini, Leo sedang duduk memperhatikan Mia yang sedang menyuapi Rafa anak mereka.
"Mas aku bosan gini terus! Gini terus nggak ada perubahan! Aku malu sama tetangga dengan hidup kita yang seperti ini! Susah! Bahkan kadang, aku harus ngutang ke warung dulu!"
Mia merajuk, berkata dengan ketus. Raut wajahnya tampak masam.
Leo, suaminya. Hanya menghela nafas dalam. Lalu berkata dengan lembut.
" Maafin aku ya, Mia. Karena, aku belum bisa menuhin semua keinginan kamu. Tapi aku sedang berusaha dan aku akan terus berusaha bekerja keras agar aku bisa memenuhi kebutuhan kamu dan juga anak-anak," ujar Leo.
Mia hanya memasang muka cemberut sambil menyuapi anaknya, Rafa. Yang kini sudah berusia satu tahun lewat sedikit.
"Kalau seperti ini, aku mau kerja saja!" sahut Mia tanpa menghentikan tangannya yang sedang menyuapi sang anak.
Leo terjengkit, mendengar perkataan Mia. Bukan kali ini saja, dia mengatakan hal itu. Akan tetapi, sudah beberapa kali.
Tentu saja, dia tidak mendukungnya. Karena saat ini anaknya, Rafa masih kecil.
Sementara, dirinya tidak sanggup untuk membayar jasa baby sitter.
" Mia! Sudah berapa kali aku bilang sama kamu! Aku nggak setuju kamu kerja, Rafa mau siapa yang ngasuh!"
Leo masih berkata dengan nada pelan dia masih bisa mengontrol emosinya.
Leo memang pria baik sebenarnya, dia tidak pernah meninggikan nada bicara, membentak-bentak ataupun bersikap kasar kepada istrinya.
Dia sedang berusaha memperbaiki diri. Memperbaiki semua kesalahannya di masa lalu, yang sudah menjadi lelaki tidak setia kepada istri.
Hingga akhirnya harus berpisah dengan Fira istri pertamanya, dan menikahi Mia yang sudah terlanjur hamil anaknya.
Sekarang ini, dia hanya bisa menyesali semua yang sudah dilakukan di masa lalu. Tetapi, semua itu takkan mungkin bisa kembali seperti semula.
Apalagi, ternyata Mia tidaklah sesabar Fira.
Di masa lalu di masa hidup-hidup sulitnya, Fira tak pernah mengeluhkan masalah keuangan. Meski nyatanya dirinya hanya memberikan sedikit saja, padahal saat itu dia mampu memberikan lebih banyak.
Leo menyadari itu kesalahan terbesarnya, dulu dia menggunakan uang untuk berfoya-foya dan selingkuh dengan wanita lain.
Mungkin sekarang ini Leo sedang menuai karma, atas apa yang pernah dia lakukan di masa lalu.
Setiap hari, dia selalu saja bertengkar dengan Mia. Hanya karena masalah uang, uang dan uang.
Awalnya, dia sempat berpikir untuk rujuk kembali dengan Fira, tetapi apa yang ada dalam pikirannya itu kandas. Karena Fira, ternyata sudah menikah lagi dengan laki-laki lain yaitu Yudha.
" Aku nggak peduli Mas! Aku nggak peduli kamu larang aku! Pokoknya aku mau kerja! Aku mau kayak orang lain! Pakai baju bagus, makan enak gak kayak gini! Lihat baju yang aku pakai sekarang ini, bahkan sudah lebih dari setahun! Sudah lusuh, dan aku masih memakainya!"
Mia masih saja berkata dengan ketus.
Sebagai lelaki, tentu saja harga diri Leo merasa terinjak, mendengar semua perkataan Mia.
Bukannya tak ingin membelanjai istrinya itu banyak, tetapi kemampuannya hanya segitu, hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari saja sudah bersyukur.
Huuuh
Leo mendesah kasar, rasanya emosinya hampir meledak mendengar semua ocehan yang Mia katakan.
"Mia bersabarlah sedikit lagi, saat ini aku sedang mencari modal untuk membuka rumah makan," sahut Leo, dia sedang coba menahan emosi.
" Modal? Memangnya siapa yang mau ngasih modal Mas, sama orang kayak kita? Memangnya kamu punya jaminan apa?" Mia tertawa pelan dengan sinis, meremehkan apa yang suaminya katakan.
Leo mendesah, bukannya mendukung. istrinya itu malah menurunkan semangatnya. Padahal, dia sedang berusaha untuk mencari modal agar bisa membuka rumah makan.
Siapa tahu rezekinya ada di sana.
"Dukunglah suamimu ini sedikit Mia! Siapa tahu kamu bisa bantu-bantu aku nanti di rumah makan, jadi kamu nggak perlu kerja di luar. Kamu itu kan pintar masak."
Leo membelai kepala Mia dengan lembut dan penuh kasih sayang, berusaha membujuk istrinya untuk lebih bersabar hingga tidak perlu kerja di luar.
"Bosan kerjaannya masak terus masak terus! Aku itu ingin jadi Bosnya biar saja orang lain yang memasak! Bukannya mau menjadikan istrimu ini seorang Nyonya, eh malah ingin menjadikanku tukang masak! Bagaimana kamu ini Mas, sudah ah aku bosan!
Lalu Mia berdiri, meninggalkan Leo dan Rafa yang sudah selesai dia suapi.
Beranjak ke dapur, mencuci piring.
Sementara Leo menjaga anaknya.
Saat ini waktu menunjukkan jam delapan pagi.
Leo sedang tidak jualan dulu, karena kakinya sakit. Terkilir, akibat keserempet motor saat jualan beberapa hari yang lalu.
Selesai mencuci piring, Mia duduk kembali di depan suaminya, dengan memasang raut cemberut.
Membuat Leo mendesah panjang, melihat muka masam istrinya itu. Sama sekali tidak ada manis-manisnya.
"Mas kamu itu kan lulusan sarjana, masa gitu aja kerjanya. Cari kerjaan ke perusahaan kek, kantoran kek. Biar punya gaji bulanan!" ujar Mia masih ketus.
Leo mulai menggusar wajahnya kasar, mendengar perkataan Mia rasanya isi otaknya semakin panas saja. Masih pagi-pagi begini sudah mendapatkan banyak ocehan yang hanya memojokkan dirinya saja.
"Lihat Yudha suami mantan istrimu itu, kaya dan sukses. Lihatlah kehidupan mantan istrimu itu semakin mewah saja!" mulai lagi irinya muncul.
"Mia! Cukup!" Leo berdiri, menggendong Rafa yang sedang asik memainkan mobil-mobilannya. Lalu keluar dari rumah.
Menghadapi Mia, hanya akan membuat otaknya semakin panas.
" Mas Leo kebiasaan kamu Mas!"
Prrang
Terdengar suara benda pecah.
Leo sudah tahu apa itu. Seperti biasa, Mia jika kesal pasti akan melemparkan piring, gelas atau apapun yang bisa diraih yang ada di hadapannya.
Tak heran jika piring atau gelas di rumahnya cepat sekali habis. Karena Mia memang sering sekali melemparkannya saat marah.
Beberapa tetangga keluar dari rumahnya, mulai kepo dengan apa yang terjadi.
Beberapa di antaranya mulai julid.
" Mas Leo nggak bosan apa setiap hari bertengkar! Kami saja yang dengernya bosan, dan merasa capek!" ujar salah seorang ibu-ibu, tetangga dekat rumahnya.
Leo diam tak berkata-kata. Toh apa yang diucapkan oleh tetangganya itu memang benar adanya.
Sebenarnya, dia sendiri merasa bosan harus bertengkar terus, tetapi ternyata hal itu sulit dihindarkan. Selalu saja ada hal yang membuat mereka selalu ribut.
"Aduh Mas, istri kayak gitu tinggalin aja, carilah wanita yang lain pasti banyak loh yang ngantri! Orang Mas Leo ganteng!" ujar seorang tetangganya yang lain.
Leo hanya tersenyum sambil kecil, lalu pamit meninggalkan mereka. Menghadapi tetangganya, sama saja dengan menghadapi istrinya. Membuat otaknya semakin panas.
Dan setelahnya, Mia menangis meraung-raung di dalam rumahnya.
"Aku nikah sama kamu karena aku ingin hidup enak Mas! Bukannya hidup sengsara kayak gini!" teriak Mia sambil membanting barang, lalu dia terisak sambil duduk di atas kursi yang dia kredit bulan lalu.
Bahkan cicilannya masih sembilan bulan ke depan lagi.
Menatap ke arah TV, semakin kesal saja dia. TV itu juga masih cicilan, cicilannya sekitar tujuh bulan lagi.
"Capek! Aku rasanya mau lepas saja dari kamu Mas!" gumamnya disela isakan.
Belum lagi dari luar terdengar suara yang mengetuk pintu, rasanya Mia malas membukanya.
Dia tahu itu adalah Bank keliling yang menagih hutang kepadanya.
"Mbak Mia! Saya tahu kamu ada di dalam, cepat keluar! Jangan mau enaknya saja minjem! Waktu mau bayar susah!" terdengar suara gerutuan penagih hutang itu dari luar.
Akan tetapi, Mia lebih memilih untuk bersembunyi saja di dalam dan tak membuka pintu.
Dia tak punya uang untuk membayar mau apa yang dikasih, pikir Mia.
Hingga akhirnya penagih hutang itu pun pergi dengan menahan dongkol, karena tak berhasil menagih hutang.
Mia mengintip dari balik tirai yang dia buka sedikit, dia bersyukur karena penagih hutang itu tidak lama, dan langsung pergi.
Sementara itu, Leo melangkahkan kaki menuju ke sebuah tanah lapang yang tidak jauh dari rumahnya. Biasanya anak-anak kecil menggunakan tanah lapang itu untuk tempat bermain, main bola atau badminton misalnya.
Tampak berderet tiga pohon buah asam di sana, ada sebuah bangku panjang teronggok, yang biasa dipakai orang-orang untuk duduk santai, termasuk Leo.
Leo menurunkan anaknya, membiarkan bermain di tanah.
Rafa memang sudah berusia lebih dari satu tahun, dan sudah bisa berjalan. Meski belum lancar.
Leo tersenyum menatap anaknya itu, hanya dialah pengobat hati dikala hatinya sedang tidak tenang.
"Mas Leo, kok anaknya dibiarin main di tanah?"