PROMISE - BAB 4

1054 Words
Akhirnya Habibi di izinkan oleh Papahnya untuk kembali ke Indonesia tanpa menunggu 7 bulan lagi. Ya, karena Rumah Sakit di sana juga membutuhkan Habibi. Kini aku dan Habibi Kembali ke Indonesia. Aku sudah sangat merindukan abahku. Aku ingin memeluk Abah, opa, dan bunda. Habibi membawaku dalam dekapannya. Kami saat ini sedang berada di pesawat pribadi milik suamiku. Habibi tidak melepasku dari pelukannya. Dia masih memelukku erat, menyandarkanku di d**a bidangnya dan mengusap kepalaku. "Kamu senang kita akan pulang ke Indonesia?" tanya Habibi. "Iya, aku senang sekali, aku kangen dengan Abah," jawabku. Habibi mencium keningku. Aku semakin mengeratkan pelukanku. Aku merasa nyaman di dekapannya. Hingga aku tertidur di pelukannya. ^^^ Tak terasa kami sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Kami sudah di jemput oleh orang suruhan Habibi. Kami sudah berada di dalam mobilnya. Badanku terasa sangat pegal sekali. Aku sudah ingin cepat-cepat sampai rumah dan merebahkan tubuhku di tempat tidur. "Mau langsung ke rumah Abah?" tanya Habibi. "Kita ke rumah dulu, sayang. Aku lelah sekali. Kamu juga pasti lelah," jawabku. Habibi menuruti apa yang aku inginkan. Dia memang selalu begitu. Dia menyayangiku lebih dari menyayangi dirinya. "Tidurlah, wajahmu sangat pucat Ainun, apa kamu merasa tidak enak badan?" tanya Habibi. "Aku hanya kecapean, sayang. Jangan khawatir seperti itu." Aku mendongak dan mengusap pipinya karena aku tidur di pangkuannya. "Jangan sakit, nanti siapa yang menemani ku ke rumah sakit lagi?" Habibi mengusap lembut pipiku dengan sayang. "Aku tidak sakit, sayang." Aku semakin gemas dengan wajah dia yang begitu mencemaskanku. "Habibi, aku boleh membuka butik lagi?" tanyaku pada Habibi. "Boleh, tapi jangan full di sana, karena aku tidak bisa kalau sehari tanpa kamu," jawab Habibi dengan senyuman manisnya. "Kamu itu sukanya gombal, ya. Apa aku harus selalu ikut kamu ke rumah sakit?" Aku bangun dari di tidurku dan duduk menghadap suamiku. "Harus sayang, karena kamu adalah semangatku," jawab Habibi. "Gitu, ya? Aku hanya kangen saja suasana butik. Sudah enam bulan ini aku di tidak ada kegiatan, paling ke rumah sakit, ke rumah singgah, dan main di butik Nuri. Aku kangen mencorat-coret Sketchbook dan membuat gaun. Pokoknya kangen semua tentang butik," ucapku. "Kengen yang mengirim bunga setiap pagi juga?" tanya Habibi dengan menggodaku. "Kok bicara seperti itu? Ya sudah, aku tidak jadi membuka butik," ucapku dengan nada rendah. Bukan aku marah dengan Habibi. Aku hanya teringat saja dosa masa laluku lagi. Aku yang sudah sedikit lupa, tapi Habibi selalu seperti itu. Kadang meledek aku yang membuat aku ingat lagi "Maafkan aku, sudah jangan cemberut. Maafkan aku, sayang. Kalau kamu mau buka butik, aku akan carikan tempat untuk kamu membuka butik lagi." Habibi mencoba meredakan rasa sesalku dengan memelukku. "Tidak usah, nanti kamu cemburu," ucapku dengan memeluknya erat. "Aku tidak cemburu. Nanti aku akan Carikan tempat untuk membuka butik lagi. Tapi, harus ada karyawan yang bisa kamu andalkan juga. Karena aku butuh kamu, kalau suatu hari nanti aku akan seminar, atau urusan apapun itu, aku tidak mau berangkat sendiri. Harus dengan kamu," ucap Habibi. "Oke," ucapku sambil mencium pipinya. Aku memang sensitif sekali jika mengingat semua masa lalu ku. Aku juga tidak tahu, jika nanti bertemu dengan Dio dan Rania saat di rumah Abah, aku harus bicara apa. Aku belum siap, aku takut sekali. Tapi aku harus berusaha tidak takut, dan aku harus bisa menjadi istri yang terbaik buat Habibi. Setelah melalui perjalanan panjang dan melelahkan, akhirnya aku dan Habibi sampai di rumah Habibi. Aku sebelumnya belum pernah tinggal di sini, di rumah Habibi. Karena satu minggu setelah menikah kami langsung kembali ke Budapest. Dan ini pertama kalinya aku tinggal di rumah Habibi. Kami di sambut oleh asisten rumah tangga yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah Habibi. "Selamat malam, tuan, nyonya," sapa seorang asisten rumah tangga di rumah Habibi. "Malam Mba Asih, kamar saya sudah di siapkan, kan?" tanya Habibi. "Sudah, tuan," jawabnya. "Oh iya, kalian belum kenalan, kan? Mba, ini Ainun, istriku. Dan, Ainun, ini Mba Asih, nanti Mba Asih yang akan membantu pekerjaan kamu. Bukan membantu lagi, aku ingin kamu tidak boleh kecapean. Jadi, serahkan semua apa keperluanku pada Mba Asih." Habibi mengenalkan aku pada Mba Asih. Aku menjabat tangan Mba Asih. Mba Asih membawakan koperku menuju ke kamar. Kamar yang sangat luas sekali dengan desain warna putih. Meja rias dan Lemari pakaian juga berwarna putih senada dengan ranjangnya. "Sayang, ini kamar kita." Habibi memelukku dan mencium pipi ku saat Mba Asih sudah pergi dari kamar kami. "Kamu suka dengan kamarnya?" tanya Habibi. "Suka sekali, terima kasih." Aku memeluk Habibi. Aku ingin sekali memberikan malam ini pada Habibi. Tapi rasa takut masih saja bersarang pada diriku. Aku semakin mengeratkan pelukannya pada Habibi. "Bersihkan badan kamu, lalu istirahat, kamu pasti sangat lelah," ucap Habibi. Aku menganggukkan kepalaku, tapi aku tidak mau melepas pelukanku pada Habibi. Tubuh Habibi menenangkan jiwaku. Rasa takut itu semakin pudar jika aku memeluk tubuhnya. Habibi melonggarkan pelukannya dan mengisyaratkan padaku untuk membersihkan tubuhku. Aku merebahkan diriku di tempat tidur, setelah aku selesai membersihkan badanku. Gaun tidur berwarna biru muda membalut tubuhku. Habibi memakai piyama dengan warna biru tua. Dia merebahkan tubuhnya di sampingku. Dan mulai merengkuh tubuhku. Darahku berdesir, saat sentuhan lembut dari telapak tangan Habibi mengenai perutku. Aku memejamkan mataku saat aku merasakan embusan napas Habibi yang lembut menembus celah rambutku. Keringat dingin ku kembali muncul saat Habibi akan melakukan hal yang lebih dari itu. Habibi membalikan tubuhku, aku hanya memandang wajah Habibi yang raut wajahnya seperti sudah menginginkan aku untuk melayaninya. "Tidurlah, aku akan menunggumu siap." Habibi memeluku erat. Aku menenggelamkan wajahku di d**a Habibi. Sungguh aku istri yang sangat berdosa. Aku tidak tahu harus bagaimana menghilangkan rasa trauma ini. Apa aku harus menemui psikiater? Atau aku harus selalu mencoba dan menghilangkan rasa takut ini? Bagaimanapun, Habibi laki-laki normal. Dia menginginkan itu pastinya. Kadang aku yang jahat, saat dia sudah hendak melakukan aku yang menolak karena rasa takut masih bersemayam dalam diriku. "Ainun, ayolah. Kamu harus bisa. Ini kebutuhan manusiawi, Ainun. Jangan sampai Habibi kehilangan kesabaran karena ulahmu ini." Aku bergumam sambil memeluk erat tubuh Habibi. Aku menangis, di pelukan Habibi. Habibi menyadari aku yang sedang menangis. Habibi meregangkan pelukannya dan memandangi wajahku yang sudah basah dengan air mata. "Kenapa menangis?" tanya Habibi. "Lakukanlah, Habibi, jika kamu menginginkannya. Lakukanlah, aku siap," ucapku dengan berlinang air mata. "Kamu berkata siap, tapi kamu menangis. Aku tahu hatimu, Ainun. Aku akan menunggu, kamu jangan seperti ini. Ayo tidur, jangan menangis. Aku janji akan menunggu kamu benar-benar siap." Habibi mengusap air mataku dan mencium kelopak mataku. Aku memejamkan mataku di pelukan suamiku. Pelukan yang sangat nyaman dan membuat hati ini tenang. Hanya Habibi yang bisa mengerti aku. Dan aku janji akan berusaha memberikan yang terbaik untuk Habibi, dan menghilangkan trauma ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD