“Nikmati waktu kalian,” ucap Puti lalu ke luar dari kamar hotel yang akan ditinggali oleh Darka dan Tiara untuk menghabiskan malam pertama mereka.
Puti dan Nazhan sendiri tinggal di salah satu kamar hotel yang tak kalah mewahnya. Mereka menikmati waktu istirahat setelah seharian harus menyambut tamu yang datang menghadiri acara pernikahan dan resespi. Tentu saja, Puti dan Nazhan sudah menyiapkan kamar yang pantas untuk ditinggali oleh pasangan suami istri baru yang akan menjalani momen paling penting dalam kehidupan mereka. Puti dan Nazhan tahu jika ini bukan pengalaman pertama bagi Darka, tetapi ini adalah pengalam pertama bagi Tiara. Setidaknya, mereka harus menyiapkan suasana yang cocok dan nyaman untuk pengalaman pertama Tiara tersebut. Mereka tidak mau menantu baru mereka merasa tertekan atau ketakutan di malam pertamanya.
Namun, suasana yang dipersiapkan oleh kedua orang tuanya itu malah membuat Darka merasa jengkel. Suasana romantis di kamar tersebut malah membuat Darka muak. Ia menghancurkan semua penataan ranjang lalu berbalik menatap Tiara yang masih berada dalam balutan gaun yang tampak membuatnya begitu cantik. Ya, saking cantiknya Tiara, Darka malah merasa muak karena menurutnya Tiara sama sekali tidak berhak mendapatkan anugerah kecantikan semacam itu. Darka menatap tajam pada Tiara yang menatap polos padanya. Ia berdecih sebelum berkata, “Aku akan mandi duluan. Sebelum aku ke luar, kau harus merapikan semua ini. Aku tidak mau melihat penataan ruangan yang menggelikan ini. Selain itu, aku sama sekali tidak akan malam pertama denganmu. Kau tidur di lantai!”
Setelah mengatakan hal tersebut, Darka berbalik dan memasuki kamar mandi. Darka memang sudah mengatakan pada dirinya sendiri, untuk tidak tergoda oleh Tiara yang memiliki pesona memukau di balik wajah polosnya itu. Darka tidak boleh goyah. Karena itulah, Darkan harus memberikan tekanan pada gadis satu itu, dengan bertingkah seperti ini. Darka memang tidak mengharapkan apa pun dari hubungan pernikahannya dengan Tiara. Namun, Darka hanya mengambil keuntungan dari kebebasan yang ia dapatkan dari kesepakatan dari kedua orang tuanya. Darka tidak akan berusaha untuk memperlakukan Tiara sebagai seorang istri, kecuali memberikannya uang untuk mengurus urusan dapur. Darka memang tidak akan berupaya untuk membuat Tiara bertahan dalam pernikahan yang terasa memuakkan ini.
Karena bagi Darka, jika sampai nanti Tiara meminta cerai, itu adalah keuntungan besar baginya. Darka sama sekali tidak perlu memaksa Tiara untuk menandatangani berkas perceraian mereka, karena Tiara sendiri yang sudah meminta cerai. Selain itu, Darka juga tidak perlu pusing mencari-cari alasan untuk diberikan pada kedua orang tuanya yang pastinya mempertanyakan perceraiannya dengan Tiara. Itu adalah rencana yang sempurna untuk terlepas dari wanita yang menurut Darka sama sekali tidak bisa disejajarkan dengannya. Mereka benar-benar berada di level yang berbeda. Darka pun bersiul dan melanjutkan acara mandinya. Ia harus segera menyelesaikan acara bersih-bersihnya ini, agar tidak memberikan waktu yang cukup bagi Tiara untuk membereskan apa yang diminta oleh Darka.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Darka ke luar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit pinggangnya. Namun, begitu ke luar dari kamar mandi, Darka terkejut dengan kamar yang sudah sangat rapi, tanpa lilin atau pun kelopak bunga yang terasa menjengkelkan bagi Darka. Sedetik kemudian, tatapan Darka terpaku pasa pakaian tidur yang sudah disiapkan di atas ranjang. Darka terpaku menatap itu beberapa saat. Tentu saja, Darka merasakan hatinya mulai aneh. Selama ini, Darka tidak pernah memiliki seseorang yang mempersiapkan semua keperluannya seperti ini. Tiara yang sebelumnya duduk di sofa, segera bangkit dan mendekati Darka yang masih berada di ambang pintu kamar mandi. Darka yang tersadar, segera menatap Tiara yang masih menggunakan gaun pestanya.
“Jangan berpikir jika aku akan memberikan pujian atas apa yang sudah kau lakukan ini,” ucap Darka.
Tiara tersenyum tipis dan menggeleng. “Kakak tidak perlu memberikanku pujian,” ucap Tiara tidak keberatan dengan nada kasar yang sebelumnya sudah dilemparkan oleh Darka padanya.
Darka memicingkan matanya saat mendengar sebutan Tiara padanya. “Kakak? Aku bukan kakakmu! Aku tidak suka kau memanggilku seperti itu,” ketus Darka sembari melangkah melewati Tiara.
Tiara pun berbalik lalu menatap Darka yang mengambil pakaian yang sudah disiapkan oleh Tiara. “Lalu, aku harus memanggil Kakak seperti apa?” tanya Tiara.
“Terserah,” tukas Darka masih dengan ketusnya.
“Kalau aku panggil bapak boleh?” tanya Tiara membuat Darka berbalik dengan wajahnya yang terlihat kesal bukan main.
“Apa aku sudah terlihat seperti bapak-bapak? Buka matamu dengan lebar-lebar, orang seperti apa yang patut kau panggil bapak! Kau juga bukan bawahanku atau muridku, jadi apa pantas memanggilku bapak?!” tanya Darka benar-benar kesal dengan tingkah Tiara yang menurutnya sungguh menjengkelkan.
“Lalu, harus seperti apa aku memanggilmu?” tanya Tiara lagi.
“Terserah,” jawab Darka lagi lalu berbalik untuk mengenakan pakaiannya.
Tiara menatap Darka dengan jengkel. Ia pikir, hanya anak-anak panti saja yang sering kali berkata terserah saat ditanya ingin sesuatu atau makan apa. Tapi ternyata, pria dewasa seperti Darka juga sangat menjengkelkan. Padahal, akan lebih mudah bagi Tiara jika Darka mengatakan langsung panggilan seperti apa yang ingin ia gunakan. Namun, Darka malah mengatakan terserah, tetapi mengomentari panggilan yang sudah dipilih oleh Tiara. Darka yang menyadari jika Tiara masih belum beranjak segera menatap Tiara dan berkata, “Apa kau ingin melihatku mengenakan celana? Jika iya, aku akan menunjukkannya.”
Tiara tersadar. Ia terlihat sedikit memerah dan segera beranjak memasuki kamar mandi dengan gaun tidur yang berada di kantung kertas. Pakaiannya dan pakaian Darka sebenarnya sudah disiapkan oleh Puti. Jadi, Tiara hanya perlu mengeluarkan pakaian Darka dari kantung kertas dan meletakkannya di atas kasur. Sementara ia bisa membawa pakaiannya sendiri saat mandi. Namun, Tiara sama sekali tidak tahu jenis pakaian tidur seperti apa yang dipersiapkan oleh mertuanya itu. Tiara menatap pantulan dirinya yang sudah keramas dan mengenakan gaun tidur yang disiapkan oleh Puti. “Aku seperti hanya mengenakan pakaian dalam saja,” ucap Tiara mengeluh.
Tiara pun tidak hilang akal. Ia beranjak membiarkan rambutnya yang masih cukup basah untuk tergerai, dan membalut tubuhnya dengan handuk berbentuk kimono yang tersedia di dalam kamar mandi. Kimono tersebut berukuran cukup besar dan bisa menyembunyikan lekuk tubuh Tiara dengan sempurna. Pajangnya bahkan mencapai pertengahan betis dan membuat Tiara merasa hangat. Ini adalah keuntungan bagi Tiara. Karena ia akan tidur di atas lantai, kimono bisa membuat tubuhnya tetap hangat. Tiara pun ke luar dari kamar mandi dan melihat Darka yang selesai dengan teleponnya. Darka mendengkus melihat Tiara yang ke luar dengan balutan kimono handuk. Tentu saja Darka sudah bisa menebak jika pakaian tidur yang digunakan Tiara sangat tipis, hingga membuatnya perlu untuk melindungi tubuhnya dengan handuk semacam itu.
“Apa kau pikir aku akan tergoda dengan tubuhmu? Kau tidak perlu susah payah melindungi dirimu seperti itu. Karena aku jelas tidak akan tergoda karenamu,” ucap Darka.
Tiara mengernyitkan keningnya. “Bukan seperti itu. Kimono ini bisa membuat tubuhku tetap hangat. Aku akan tidur di atas lantai, jadi tentu aku membutuhkan ini,” ucap Tiara lalu beranjak menuju tempat tidurnya yang berada di samping ranjang king size yang sudah dikuasai oleh Tiara.
Sayang sekali, jika saja sofa itu tidak memiliki sekat-sekat, Tiara pasti bisa tidur dengan nyaman di atas sofa daripada harus tidur di atas lantai dengan beralaskan karpet dan tidak menggunakan selimut karena selimut dikuasai oleh Darka. Namun, Tiara bersyukur. Setidaknya, ia memiliki kesempatan sekali seumur hidup untuk tinggal di kamar hotel semewah ini. Tiara membaca doa dan tertidur dengan pulas. Tiara lebih dari yakin, jika Darka sama sekali tidak akan melakukan apa pun padanya. Darka tidak tertarik padanya, dan rasanya sangat mustahil untuk menyentuhnya karena merasa bernafsu. Sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh Tiara, Darka memang tidak melirik pada Tiara dan berusaha untuk tidur. Sayangnya, Darka sama sekali tidak bisa tidur. Ia berulang kali mengubah posisi berbaringnya. Namun, itu tetap saja tidak bisa membuatnya tidur dengan nyaman.
Hingga, Darka benar-benar kesal dan menendang selimut yang menutupi tubuhnya dengan kasar. Darka duduk dari posisi berbaringnya dan melihat jam yang sudah menunjukkan jam satu pagi. Ini sudah hampir fajar. Tubuh Darka jelas merasa sangat lelah, tetapi ia tidak bisa tidur sama sekali. Entah mengapa, dirinya bisa merasakan hal seperti ini. Saat melirik sisi ranjang yang kosong, Darka pun melihat Tiara yang benar-benar tidur dengan nyenyak. Tanpa sadar, Darka berdecih karena kesal dengan kemampuan tidur Tiara yang baik, walaupun berada di tempat yang pastinya tidak nyaman untuk tidur. Lalu, tanpa sadar, Darka menatap gaun tidur Tiara yang tersingkap dan membuat paha mulus Tiara terungkap dengan jelasnya. Darka berdecak dan berniat untuk mengalihkan pandangannya. Namun, Darka sama sekali tidak bisa mengalihkan pandangannya yang sudah terpaku pada paha mulus Tiara yang mungkin saja terasa begitu halus saat ia sentuh, rasanya jari jemari Tiara terasa sangat gatal untuk merasakan kelembutannya.
Darka mengerang kesal, saat Tiara bergerak dalam tidurnya dan membuat gaun tidur dan kimono handuknya semakin tersingkap hingga hampir membuat pantatnya yang mulus terlihat. Dengan kesal, Darka melemparkan selimut pada Tiara yang secara naluriah menarik selimut tersebut dan mengenakannya untuk melindungi tubuhnya dari serangan hawa dingin. Tiara tersenyum manis dan melanjutkan tidurnya yang lelap. Namun, hal itu malah membuat Darka semakin kesal. Darka menunduk dan menatap bukti gairahnya yang menegang. “Sialan! Bagaimana mungkin aku b*******h karena wanita semacam dirinya?!” seru Darka kesal lalu turun dari ranjang.
Tentu saja, Darka sama sekali tidak bisa tidur dengan kondisi seperti ini. Ia harus menenangkan dirinya dengan berendam atau mandi air dingin. Benar, Darka harus mandi air dingin di pagi buta yang jelas terasa sangat dingin ini. “Betapa sialnya diriku,” ucap Darka dengan wajah megerut kesal dan memasuki kamar mandi dengan langkah cepat.
* * *
Darka dan Tiara ke luar dari lift di pagi hari yang cerah. Kedatangan keduanya disambut dengan sangat antusias oleh Puti dan Nazhan yang memang sudah menunggu kedatangan keduanya di lantai teratas hotel, yang difungsikan sebagai restoran di mana para pelanggan VIP menginap. Puti terlihat senang dan memeluk Tiara dengan erat, sebelum membawa gadis itu melangkah menuju meja prasmanan. Tentu saja, Puti akan memanjakan menantunya dengan makanan yang terasa sangat lezat. Sementara itu, Nazhan menatap putranya yang terlihat memasang ekspresi kusut. Puti sendiri menyadari ekspresi itu, tetapi ia tidak peduli dan memilih untuk berinteraksi dengan menantunya yang tampak manis dengan gaun yang dipilih langsung oleh Puti. Nazhan menepuk bahu Darka dan bertanya, “Apa malam kalian baik-baik saja?”
Darka menatap ayahnya dengan kesal. “Apa aku terlihat baik-baik saja di mata Papa?” tanya Darka.
“Tidak. Dan itu terlihat menyenangkan bagi Papa,” ucap Nazhan sembari terkekeh dan melangkah meninggalkan Darka.
Darka pun mengikuti langkah sang ayah yang ternyata memilih untuk duduk di meja yang bisa ditempati oleh empat orang. Begitu duduk di seberang ayahnya, Darka mendapatkan pernyataan yang menohok, “Sepertinya tadi malam kalian sama sekali tidak melakukan malam pertama.”
“Apa Papa sangat ingin mengetahui masalah itu?” tanya Darka jelas menunjukkan rasa tidak sukanya pada sang papa. Namun, Nazhan terlihat tidak mau menarik diri begitu saja. Ia mengangguk dan tersenyum lebar.
“Tentu saja. Papa ingin mendengar jawaban yang mengonfirmasi apa yang sudah Papa tebak. Jika benar, pasti itu akan sangat menyenangkan untuk mengabarkannya pada mamamu. Kita bisa melihat reaksinya yang pasti sangat menghibur,” ucap Nazhan terlihat antusias. Sepertinya, ia sangat tertarik untuk menggoda putranya itu.
Jelas, Darka bisa melihat niatan sang ayah, dan ia tidak mau membuat ayahnya itu merasa puas karena berhasil mempermainkannya. Darka pun mellipat kedua tangannya di depan dadanya dan berkata. “Tidak, aku tidak akan berkomentar apa pun. Itu ranah pribadiku dan istriku, Papa dan Mama sama sekali tidak berhak untuk mengetahui hal itu. Aku tidak mau menceritakan apa pun yang berkaitan dengan hal itu,” ucap Darka.
Nazhan yang melihat hal itu merasa semakin tergoda untuk menggoda putranya itu. “Ah, benarkah? Kalau begitu, Papa akan menanyakannya pada Tiara saja. Dia tidak mungkin bisa berbohong pada Mama dan Papa. Tentu saja, Tiara pasti akan memberikan jawaban yang jujur atas pertanyaan yang akan Papa ajukan nanti,” ucap Nazhan sembari melihat ekspresi Darka.
Darka mengernyitkan keningnya dalam-dalam dan berkata, “Papa dan Mama tidak boleh lupa dengan apa yang sudah kita sepakati. Papa dan Mama kan sudah berjanji untuk tidak ikut campur dalam masalah apa pun mengenai pernikahanku dengan Tiara. Jika Papa dan Mama melanggar janji itu, maka aku sama sekali tidak memiliki merasa berkewajiban untuk melaksanakan tugasku sebagai seorang suami. Aku akan kembali bertingkah seperti dahulu.”
Nazhan yang mendengar ancaman tersebut terlihat geli. Ia terkekeh dan bertanya, “Apa sekarang kau tengah mengancam Papa?”
Darka mengangguk. “Papa bisa menganggapnya seperti itu,” ucap Darka penuh percaya diri.
Nazhan yang mendengar ucapan penuh kepercayaan diri Darka tersebut tiba-tiba merasa sangat geli. “Kalau begitu, cobalah untuk mengatakan hal seperti itu pada mamamu. Apa kau berani mengatakannya pada Mama atau tidak?” tanya Nazhan.
Tiba-tiba wajah Darka berubah pucat. Jika sampai pembicaraan ini terungkap dan diketahui oleh Puti, bisa-bisa Darka akan dipaksa untuk berlatih fisik dengan Puti sebagai pelatihnya. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka dirinya sudah dipastikan salah satu tulang tubuhnya patah. Puti tidak akan menolelir apa yang sudah dikatakan oleh Darka. Ia pun berdeham dan berkata, “Sebaiknya pembicaraan ini jangan sampai terdengar oleh Mama. Papa tidak mau membuatku kesulitan, bukan?”
“Sayangnya, Papa senang membuatmu kesulitan,” jawab Nazhan dengan nada yang terdengar begitu sneang. Darka yang mendengar hal itu memejamkan matanya merasa sangat jengkel dengan tingkah sang ayah yang benar-benar selalu senang membuatnya menderita.
Saat Darka akan membuka mulutnya, tiba-tiba Puti dan Tiara sudah muncul dengan masing-masing satu nampan makanan berada di tangan mereka. Keduanya duduk di samping suami mereka masing-masing dan merapikan menu makanan yang mereka ambil dari meja prasmanan. Darka menatap Nazhan yang memberikan tatapan penuh goda, tanda jika dirinya akan mengatakan sesuatu yang seharusnya tak Nazhan katakan di hadapan Puti. Nazhan pun merangkul bahu Puti dengan lembut dan berkata, “Sayang, apa kau ingin tau sesuatu?”
Wajah Darka tiba-tiba berubah panik. Tiara yang duduk di samping Darka tentu saja menyadari hal itu dan menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. Namun, Tiara tidak menghentikan gerakan tangannya yang tengah membereskan makanan di atas meja. Seentara itu, Darka memberikan isyarat pada papanya agar tidak mengatakan apa yang ia bayangkan. Nazhan terlihat geli saat menyadari jika Darka benar-benar takut jika apa yang akan ia tanyakan pada Puti adalah hal yang memang ia takutkan. Puti sendiri menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. “Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Puti meminta suaminya untuk tidak mengatakan sesuatu yang berbelit.
Darka semakin pucat saja saat melihat ekspresi Nazhan yang sepertinya akan membeberkan apa yang sudah ia ketahui. Namun, Nazhan sendiri tidak akan tega mengatakan hal itu. Ia mengulum senyum dan berkata, “Kau terlihat sangat cantik. Semakin cantik tiap harinya. Aku mencintaimu.”
Nazhan lalu mencium bibir Puti dengan penuh kasih dan tertawa saat Puti memukul dadanya dengan manja. Sementara itu, Tiara yang melihat hal itu terbatuk kecil. Ia sama sekali tidak menyangka jika Nazhan dan Puti bisa berinteraksi semanis itu di hadapannya. Wajahnya yang mungil bahkan memerah. Darka yang melihat interaksi papa dan mamanya mengernyitkan keningnnya dan berkomentar, “Apa Papa dan Mama bisa berhenti melakukan hal itu? Ketahuilah, itu sangat menjengkelkan.”
Puti yang mendengar hal itu menarik atensinya dari sang suami dan mengarahkannya pada Darka. “Kenapa menjengkelkan?” tanya Puti.
“Karena kalian terlihat sangat menikmati waktu kalian tanpa peduli padaku,” keluh Darka seperti anak kecil. Tiara yang menyadari hal itu terlihat tersenyum tipis. Ia jelas tidak menyangka jika Darka bisa bertingkah seperti itu. Apa mungkin karena Darka tengah berhadapan dengan kedua orang tuanya? Menurut Tiara, Darka memiliki sisi manis di balik tingkah kasarnya.
“Kenapa kau mengeluh pada Papa dan Mama? Sekarang kau sudah memiliki istri, kenapa tidak kau tidak melakukan hal seperti yang kami lakukan bersama istrimu? Toh, kalian sudah halal. Kalian berhak untuk melakukannya,” ucap Nazhan.
Darka pun merengut. Puti pun menatap Tiara yang tampak tidak peduli dengan apa yang dibicarakan oleh mereka dan menatap makanan yang tersaji di atas meja. Puti tersenyum, ia mengerti jika Tiara sudah merasa sangat lapar. Puti pun berkata, “Lebih baik, kita mulai sarapan. Setelah sarapan, kita bisa dengan puas berbicara atau menyusun rencana bagi kalian berdua.”
Tiara sendiri tidak mengatakan apa pun dan menyiapkan alat makan Darka dengan terampil. Tiara melakukan semua itu tanpa diminta oleh Darka, dan Darka sendiri tidak terlihat keberatan saat Tiara melakukan hal itu. Darka mengambil alat makan yang sudah disiapkan oleh Tiara dan makan saat orang tuanya sudah memulai acara makan mereka. Tiara sendiri baru makan saat Darka sudah makan. Tentu saja, etika Tiara sebagai seorang istri tidak terlepas dari pengamatan Puti dan Nazhan. Keduanya yakin jika kemampuan Tiara membaca situasi dan melakukan semua tugasnya dengan terampil, tidak terlepas dari dirinya yang tumbuh besar di panti asuhan. Tiara sendiri bekerja untuk mengasuh anak-anak di panti hingga membuatnya terbiasa dengan tugasnya untuk mengurus urusan rumah tangga. Rasanya, Puti dan Nazhan sama sekali tidak perlu merasa cemas akan Darka, karena keduanya yakin jika Tiara bisa mengurus Nazhan dengan baik.
Tiara sendiri tidak makan terlalu banyak, dan membuat Puti yang melihat hal itu mengernyitkan keningnya. Ia menatap Darka yang fokus dengan makanannya tanpa memperhatikan Tiara. Puti pun berkata, “Darka, ke depannya kamu harus memperhatikan Tiara dengan lebih baik.”
Darka yang mendengar hal itu mengangkat pandangannya. “Memangnya dia kenapa?” tanya Darka.
Puti menatap Darka dengan tajam. “Bukan ‘dia’ tapi, Tiara. Biasakan memanggil istrimu dengan benar!” seru Puti memberikan peringatan pada putranya.
Darka hampir mendengkus saat mendengar peringatan ibunya. Namun, Darka sadar tepat waktu hingga tidak melakukan kesalahan itu. Bisa-bisa, piring sarapan ibunya akan melayang dan menimpa wajahnya yang tampan. Puti memang selalu menekankan kesopanan saat berhadapan dengan orang tua. Jadi, Darka membenarkan perkataannya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh ibunya, agar perempuan cantik itu tidak marah atau melakukan tindakan yang membuat Darka menderita. “Maksud Darka, memangnya apa yang terjadi pada Tiara? Kenapa Darka harus memberikan perhatian lebih padanya?” tanya Darka tidak mengerti dengan apa yang diminta oleh ibunya.
“Kamu bertanya kenapa?” tanya balik Puti seakan tidak percaya dengan pertanyaan yang barusan diajukan oleh putranya.
Darka sendiri hanya mengangguk. Tiara tidak terlibat dalam pembicaraan tersebut dan hanya mendengarkannya dengan tenang. Tiara rasa, jika dirinya memang tidak bisa terlibat dalam pembicaraan ini. Puti terlihat begitu kesal dengan sikap putranya ini. Sementara itu, Nazhan yang menyadari hal itu segera ikut andil dalam pembicaraan. “Bagi seorang suami, tidak ada alasan untuk memberikan perhatian lebih pada istrinya. Toh, kalian ini sudah dibilang menjadi satu paket. Jika Tiara saja memberikan perhatian padamu, dengan menyiapkan perlatan makan dan memperhatikan menu makanan yang sesuai dengan seleramu, kenapa kau kau tidak mencoba untuk melakukan hal yang sama untuknya? Bukankah itu akan terasa lebih nyaman? Hubungan kalian juga pasti akan semakin membaik,” ucap Nazhan.
“Lihatlah, Tiara itu terlalu kurus. Harusnya kamu memperhatikannya, termasuk porsi makannya,” tambah Puti.
Darka pun melirik Tiara dan ia baru tersadar jika tulang selangka dan tulang pergelangan tangan Tiara memang terlihat begitu jelas, seakan-akan berat badannya memang tidak seharusnya seperti itu. Namun, Darka mengalihkan pandangannya berusaha untuk tidak peduli. “Dia bisa makan sendiri, Ma, Pa. Aku yakin memaksanya makan lebih banyak juga tidak akan baik untuk tubuhnya,” tukas Darka tidak ingin melanjutkan pembicaraan tersebut.
Puti sendiri menghela napas. Ia menatap Tiara dan menggenggam tangan Tiara dengan erat dan berkata, “Tiara, kamu harus makan lebih banyak. Isi tenagamu, dan naikkan berat badanmu. Karena mengandung membutuhkan fisik yang kuat.”
Darka yang mendengar hal itu hampir menyemburkan jus jeruk yang ia minum dan melotot pada Puti. “Memangnya siapa yang mau menghamili dia?!”