7. Hal-hal Mencurigakan

2554 Words
Siang ini Kaivan diminta menghadap Haidar di ruang pimpinan NAMA Group. Beberapa hari ini Kaivan selalu sulit diminta bertemu oleh ayahnya saat jam pulang kantor. Alasannya selalu sibuk mengurusi klien. Padahal Kaivan sibuk memperbaiki hubungannya yang sempat merenggang dengan Litani. Ya, hubungan Kaivan dan Litani kembali membaik sejak Litani kembali ke Jakarta setelah selama 30 hari meninggalkan Jakarta. Malam itu ketika Kaivan memenuhi janjinya untuk mengunjungi Litani, membuat Litani lupa harus melakukan interogasi pada kekasihnya itu terkait hasil informasi yang disampaikan oleh Meghi. Karena sikap Kaivan yang mendadak kembali manis dan lemah lembut seperti Kaivan sebelumnya. Kaivan bermanja-manja pada Litani, dan mau menerima tawaran makan malam yang sebelumnya ditolak oleh Litani. Bahkan sebelum Litani memulai pertanyaan seputar Helena dan segala gosip yang menyebar di seantero NAKA, Kaivan sudah lebih dulu memberi penjelasan soal Helena pada Litani. “Kamu pasti sudah dengar soal kedekatan aku dengan seorang perempuan yang beberapa waktu terakhir sering terlihat datang mengunjungiku ke kantor,” ujar Kaivan tiba-tiba malam itu. Litani menggeleng ragu. Dia berusaha menutupi bahwa dirinya sudah dengar soal Helena dari Meghi. “Aku belum mulai ngantor sejak kembali ke Jakarta,” jawab Litani santai. “Aku harap kamu lebih percaya padaku ketimbang omongan orang lain, apalagi itu omongan karyawan, Lita.” “Emangnya aku kelihatan lagi nyurigain kamu, Van?” “Ya, nggak juga. Aku khawatir aja kamu berpikiran yang nggak-nggak soal aku.” “Kalau memang nggak terjadi apa-apa, ya, santai aja lagi. Aku juga nggak akan nuduh kamu sembarangan tanpa bukti, kok.” “Kamu benar. Terima kasih ya, Sayang,” ucap Kaivan sembari mengecup kening Litani. “Tapi bisa kamu jelaskan siapa perempuan yang bikin kamu sampai khawatir aku berpikiran macem-macem soal kamu dan perempuan itu?” “Dia adik perempuan temen aku. Kebetulan kakaknya yang membantu aku menyelesaikan masalah kesalahpahaman dengan pihak developer.” “Trus apa hubungannya dengan perempuan itu?” “Cuma buat tambah-tambah temen aja kok. Dia seorang desainer pakaian. Kebetulan dia mau ngadain pameran untuk karya-karya terbarunya tahun depan. Dan dia minta aku ngehandle semua desain panggung sampai konstruksi panggungnya.” “Kita nggak pernah pegang pekerjaan seperti itu, Van.” “Tapi seru, loh. Dan menguntungkan tentunya.” “Lalu kapan kamu akan memperkenalkan klien itu pada senior arsitek NAKA? Kamu nggak lupa, kan? Kalau senior arsitek NAKA itu kekasihmu ini?” ucap Litani sembari menunjukkan ekspresi wajah jenaka yang membuat Kaivan gemas dan tertawa. “Tentu saja. Nanti kalau kamu sudah mulai ngantor dan udah jelas kepastian kontrak kerjasamanya. Pasti akan aku perkenalkan kamu pada klien kita yang baru itu.” “So… bisa dibilang kamu yang menghandle sendiri tender itu ya? Dari mulai negosiasi, pendekatan dan closing,” ucap Litani sambil bertepuk tangan sendiri. “Jangan sampai aja kamu mengambil alih job aku juga ya, Van?” sambungnya sembari memicingkan mata penuh curiga. Kaivan tersenyum tipis. Reaksi di wajahnya menyimpan sebuah kecemasan yang terbaca oleh hati kecil Litani. Sebuah keyakinan muncul dalam hati Litani detik itu juga. Bahwa ada sesuatu yang coba disembunyikan oleh Kaivan darinya. “Aku meminta dengan sangat agar kamu selalu percaya padaku, Lita…” ucap Kaivan membalas yang tidak ada hubungannya dengan omongan Litani sebelumnya. Meski dalam hati Litani masih tetap mencurigai Kaivan, tapi di wajahnya dia tetap berusaha menampilkan reaksi yang berbeda jauh dengan hatinya. “Aku percaya, kok, sama kamu,” ujar Litani.” “Aku mencintaimu, Lita, ucap Kaivan sembari mengelus wajah Litani kemudian mengecup bibir kekasihnya itu. Tanpa sadar Kaivan kembali mengulang ungkapan cinta itu di dalam hatinya siang ini. “Aku mencintaimu, Lita.” “Bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan putrinya Kusworo?” tanya Haidar pada Kaivan yang pikirannya sedang tidak berada pada tempatnya. “Ya, Pap?” Kaivan bertanya balik karena tidak mengerti pada pertanyaan ayahnya. “Kamu melamun? Siapa yang sedang kamu pikirkan sampai membuat tidak fokus, Van?” tegur Haidar tampak kesal pada putranya. “Aku sedang memikirkan pekerjaan. Tadi Papi tanya apa? Maaf, aku benar-benar nggak dengar,” jelas Kaivan sopan. “Papi tanya soal hubunganmu dengan putrinya Kusworo.” “Oh, Helena? Baik-baik saja. Kami bertemu sesekali kalau ada waktu,” jawab Kaivan santai. “Belum ada kemajuan?” “Kemajuan seperti apa yang Papi harapkan? Aku sama Helena kenal baru beberapa bulan ini, Pap. Itu pun nggak intens banget. Kami sama-sama punya kesibukan.” “Kamu harus mempercepat proses pendekatan dengan Helena. Minimal sudah menikahinya sebelum perayaan natal tahun ini.” Kaivan tertawa sinis dan gurat kekesalan sama sekali tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. “Kenapa harus aku, Pap? Kenapa tidak Kaina atau Kanza saja yang dijodohkan pada Antonio Kusworo?” balas Kaivan dengan nada bicara naik satu tingkat dari biasanya. “Tutup mulutmu! Papi melakukan ini supaya kamu yang bisa menggantikan posisi Papi tahun depan. Kamu mau posisi kamu digeser oleh orang lain?” Kaivan mendengkus pasrah. Dia tidak lagi membantah karena percuma. Yang bisa dia lakukan saat ini adalah memperlambat proses pendekatan. Kaivan sebenarnya tertarik pada Helena. Sekarang laki-laki mana yang tidak pada segala kelebihan dan kesempurnaan yang ada pada diri perempuan itu, tak terkecuali Kaivan. Sayangnya kalau harus dikasih pilihan tidak menikah, maka Kaivan akan dengan senang hati mengambil pilihan itu. Demi Tuhan menikah adalah satu-satunya hal yang tidak pernah Kaivan pikirkan dalam hidupnya. Sekalipun itu dengan Litani. Dia merasa dirinya masih belum waktunya terikat ke dalam ikatan tali suci pernikahan. “Syarat utama diterimanya penerus perusahaan diambil dari ahli waris yang telah disetujui oleh dewan komisaris dan para pemegang saham adalah ahli waris tersebut telah menikah.” “Tapi aku belum ingin menikah dalam waktu dekat, Pap. Aku nggak mau menikah dan menghabiskan sisa usiaku bersama perempuan yang nggak aku cintai,” jelas Kaivan dengan suara rendah. Haidar tersenyum mencemooh. Dia menatap Kaivan dengan tatapan tak percaya anak laki-lakinya berbicara soal cinta di hadapannya. “Dengar, ya, Van. Tidak ada cinta di bumi ini. Yang ada itu hanya keuntungan. Dekatlah pada orang yang mendatangkan keuntungan buat kamu. Dan jauhi orang yang tidak mendatangkan keuntungan. Camkan ucapan Papi itu,” ujar Haidar. “Tapi, Pap-” “Tidak sulit sebenarnya. Kalau kamu ingin dihapus dari daftar calon ahli waris NAMA Group ya, tidak masalah. Kamu tidak perlu menikahi Helena. Kita tinggal tunggu saja proses pemilihan pimpinan NAMA Group yang baru melalui voting yang akan dilakukan oleh dewan komisaris, jajaran direksi dan para pemegang saham dan keturunan Naratama akan jadi fosil purbakala dalam waktu dekat.” “Ya, Pap. Aku akan berusaha semaksimal mungkin agar apa yang Papi takutkan nggak sampai kejadian.” Haidar terdiam sejenak. Pria itu berdeham kemudian kembali mengajak Kaivan berbicara kembali. “Setelah kamu dan Helena menikah suksesi dengan Grup Kusworo Bersaudara harus segera dilakukan sebelum sesuatu yang buruk terjadi pada Kusworo. Karena yang Papi dengar kondisi kesehatannya terus menurun akhir-akhir ini. Kalau sampai pria itu meninggal mendadak Papi berasumsi Helena akan mewarisi semuanya secara otomatis.” “Tapi masih ada Antonio,” sanggah Kaivan. “Antonio hanyalah anak selingkuhan Kusworo. Jadi Antonio tidak berhak atas warisan Kusworo sepeserpun. Maka dari itu Kusworo memenuhi semua kebutuhan privilege untuk Antonio. Dari mulai pendidikan yang tinggi sampai dibuatkan sebuah firma hukum sebesar Antonio and partner. Dan info soal itu tidak ada satupun yang tahu.” “Lalu Papi tahu dari mana?” “Papi dan Kusworo bersahabat sudah sejak lama. Dia telah menceritakan hampir semua rahasianya pada Papi. Maka dari itu dia setuju untuk menjodohkan Helena dengan kamu. Selain karena tak ingin hartanya jatuh ke tangan orang tak dikenal. Dia juga takut semua rahasianya akan terungkap kalau sampai Helena menikah dengan orang lain nantinya.” “Soal warisan Grup Kusworo Bersaudara memang benar secara saham Helena yang akan mewarisi semuanya. Tapi pemindahan manajemen harus disetujui oleh para pemegang saham, kan, Pap? Aku dengar dari Helena ada dua investor dari Eropa yang menanamkan saham cukup besar di perusahaan orang tuanya. Besar sahamnya sekitar 30 persen dari saham Grup Kusworo Bersaudara.” “Tapi mereka tidak mungkin terlibat dalam urusan pemindahan manajemen. Artinya keputusan akan dilimpahkan pada para pemegang saham yang ada di dalam negeri. Biar Papi yang urus soal itu. Tugasmu hanya segera nikahi Helena. Dan jangan sampai isu pernikahan karena perjodohan sampai terdengar ke telinga para pemegang saham. Papi mau semuanya terjadi secara alamiah. Kalau sampai para pemegang saham tahu kalian menikah karena perjodohan pihak manajemen pasti tidak akan mendukung pemindahan manajemen.” “Artinya aku harus benar-benar melakukan pendekatan dengan Helena, Pap. Nggak bisa instant.” “Kamu yang lebih tahu soal itu. Gunakan insting kamu sebagai seorang laki-laki. Lakukan segala upaya agar Helena bisa bertekuk lutut sama kamu dalam waktu singkat. Kalian bisa melakukan pendekatan kembali setelah menikah nanti.” “Tapi, Pap-” Haidar bangkit dari kursinya. Dia melangkah lebar meninggalkan ruangannya. Dia sudah malas menghadapi anak laki-lakinya yang tidak cepat tanggap itu. Sama sekali tidak memiliki insting yang tepat soal bisnis. Haidar tidak berani membayangkan apa jadinya perusahaan kalau dirinya meninggal mendadak dan tidak sempat mendidik anak pertamanya itu dengan baik, versinya. ~~~ Sejak berada di Indonesia dua hari yang lalu Rafel belum sempat keluar ke manapun. Dia masih berdiam diri di kamar hotel yang disewanya tak jauh dari lokasi butik milik Helena. Dia mengawasi Helena dari kamar hotelnya yang mengarah tepat di depan pintu butik. Selama dua hari terakhir belum pernah ada laki-laki yang patut dicurigai Rafel mendatangi butik tersebut. “Apa kamu sudah mencari tahu siapa laki-laki yang akan menikah dengan Helena?” tanya Rafel pada Pak Wira. “Saya sudah mengerahkan beberapa orang kepercayaan saya untuk mencari petunjuk soal itu. Mereka sekarang sedang bekerja dan kita akan tunggu hasilnya dalam beberapa hari ke depan.” “Apa orang itu bisa mencari tahu secepatnya?” Pak Wira tertawa lirih. “Kamu sedang bermain petak umpet?” Rafel mengernyit bingung. “Petak umpet? Apa hubungannya?” tanyanya. “Iya, dulu kamu sering memainkan permainan itu untuk menghibur Lili.” “Lili?” tanya Rafel tambah bingung. “Iya, Lili. Dia adik angkatmu. Dulu kamu sangat mengasihinya. Kalian akan bergantian bersembunyi di suatu tempat. Lalu saling mencari orang yang bersembunyi. Seingat saya, kamu yang sering kalah dari Lili. Karena Lili pandai memainkan permainan itu. Dia menggunakan strategi dalam bersembunyi. Ditambah badannya yang mungil sehingga dia mendapatkan keuntungan tambahan jadi tidak mudah ditemukan tempat persembunyiannya. Begitu juga yang terjadi sekarang ini. Saya yakin ada sesuatu yang besar di balik pernikahan mantan kekasihmu itu.” “Maksud Pak Wira bagaimana? Saya tidak mengerti.” “Untuk mencari tahu soal itu dibutuhkan strategi khusus. Tidak bisa asal-asalan.” “Pak Wira tidak sedang mencari alasan karena merasa tidak mampu menemukan orang yang akan menikah dengan Helena, kan?” Pak Wira kembali tertawa. Kali ini terdengar suara tawanya. Hal itu membuat Rafel sedikit jengah pada pria itu. “Keluarga Helena itu termasuk dalam golongan orang-orang paling berpengaruh dalam satu dekade terakhir. Jadi tidak bisa sembarang orang yang bisa masuk ke dalam keluarga itu. Kesimpulan saya yang masuk ke dalam keluarga Helena sekarang ini pasti juga berasal dari jajaran orang-orang paling berpengaruh. Saya sudah mengumpulkan beberapa nama keluarga yang kemungkinan besar ada hubungannya dalam pernikahan Helena. Salah satunya adalah keluargamu.” “Keluarga saya?” “Keluarga dari pihak ayahmu lebih tepatnya. Naratama.” “Jadi maksudnya Helena akan menikah dengan salah satu anggota keluarga Naratama?” “Kurang lebihnya begitu. Informasi yang saya dapat dari salah satu informan Haidar Naratama memiliki hubungan cukup akrab dengan Kusworo, ayah Helena.” Tangan kanan Rafel mengepal mendengar informasi yang diberikan oleh Pak Wira. Mendengar nama itu saja sekelebat bayangan masa lalu yang begitu berat dan menyakitkan kembali memenuhi benak Rafel. “Tapi ini masih asumsi saya saja. Masih ada tiga nama keluarga paling berpengaruh yang kemungkinan besar bisa dikaitkan dengan pernikahan Helena. Dan masing-masing keluarga itu juga memiliki anak laki-laki seumuran Helena dan masih single tentunya.” Rafel menarik napas berat. Dia merasa ada sesuatu hal besar yang akan terjadi dalam hidupnya dalam beberapa waktu dekat. Hal itu bahkan lebih besar dari sekadar diputuskan oleh kekasih yang sangat dicintainya. “Tiba-tiba saja saya kepikiran Lili. Sudah lama saya tidak mendengar kabar soal anak gadis itu. Kebetulan sekarang kamu kembali ke Indonesia, sempatkanlah untuk mengunjungi gadis itu walau hanya sebentar. Minimal kamu lihat sudah sebesar apa dia sekarang.” Rafel tersenyum getir lalu lalu menatap ke arah jendela yang sedang menampilkan pemandangan langit biru kota Jakarta. Tanpa sadar pikirannya kini sedang melayang ke masa 15 tahun silam ketika dia harus kehilangan orang-orang yang paling dicintainya secara mendadak. Saat itu setelah pimpinan NAMA Group dinyatakan telah meninggal dunia hanya Pak Wira yang mendampingi Rafel yang baru berusia 20 tahun. Semua pihak mengatakan kakaknya yang akan mengambil alih perusahaan beserta aset-asetnya. Kala itu Rafel tidak pernah memikirkan soal hidup karena sepanjang waktu yang dilakukannya hanyalah belajar, belajar dan belajar sesuai permintaan sang ayah yang tidak ingin membebani pikiran Rafel dengan perusahaan dan segala konflik di dalamnya. Dia tidak tahu harus bagaimana setelah kedua orang tuanya meninggal. Tidak ada lagi yang akan mengarahkannya karena sejak kecil Rafel memang terbiasa diarahkan dan dibantu dalam mengambil keputusan oleh kedua orang tuanya. Ditambah lagi namanya dicoret dari daftar ahli waris karena ibunya hanyalah istri kedua dan pernikahan kedua orang tuanya tidak memiliki keabsahan di mata hukum. Sehingga yang bisa mewarisi NAMA Group hanyalah ahli waris yang sah. Lalu kemudian di hadapannya berdiri seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun yang memohon kehidupan padanya dan ayahnya juga memberi wasiat pada Rafel agar menjaga gadis itu. Tentu saja Rafel bingung harus berbuat apa. Dia hanya bisa meminta maaf pada gadis itu. Dan berharap suatu hari nanti waktu akan membantunya untuk bertemu kembali dan membalas segala hal yang terlewatkan selama 15 tahun meninggalkan gadis itu di dalam neraka mengerikan ciptaan Haidar Naratama. Rafel kemudian menggeleng pelan. “Saya belum punya nyali menunjukkan diri sama anak perempuan itu. Dia pasti menyimpan dendam yang cukup besar pada saya karena telah meninggalkan dia begitu saja di neraka yang mengerikan. Saya hanya bisa mengirimkan doa yang terbaik untuk kehidupannya. Semoga dia hidup dengan baik sampai saat ini.” “Apa kamu tidak ingin mengunjunginya?” “Itu bukan prioritas saya. Saat ini yang utama adalah mencari titik terang soal laki-laki yang dikabarkan akan menikah dengan Helena.” “Sepertinya kamu benar-benar mencintai perempuan itu?” “Dia adalah orang pertama yang bisa saya percaya setelah kematian Papa dan Mama.” “Saya bukan?” Rafel tertawa sumbang. “Apa saya bisa percaya sepenuhnya pada orang yang juga menerima uang dari orang yang telah membuat saya menderita?” “Saya tidak punya pilihan lain. Hanya Haidar yang membantu saya hidup dengan layak sampai detik ini.” “Dengan mengorbankan harga dirimu?” “Saya memang tidak punya harga diri. Jadi saya rasa saya memang tidak ada yang benar-benar dikorbankan selama ini.” Keduanya kemudian tertawa terbahak. Menertawakan nasibnya masing-masing lebih tepatnya. “Kalau tidak begini bagaimana mungkin saya masih bisa tetap terhubung dengan Haidar? Kamu pasti akan mengalami hal yang lebih sulit kalau Haidar tidak sepenuhnya mempercayai saya waktu itu.” “Ya, kamu benar. Kamu memang penjilat ulung.” “Entah saya harus marah atau tersanjung mendengar kata-kata itu.” Rafel beranjak dari kursi yang didudukinya kemudian berjalan ke arah kamar mandi setelah mempersilakan Pak Wira kembali ke pekerjaannya. “Kamu yakin tidak penasaran pada Lili? Saya dengar dia bekerja di salah satu anak perusahaan NAMA Group. Nanti saya bantu cari informasi soal gadis itu.” “Terserah!” jawab Rafel dari dalam kamar mandi. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD