6. Kebohongan Pertama Terungkap

1929 Words
Ponsel Litani berdering menjelang pukul tiga sore. Dia terlonjak kaget mendengar bunyi nada dering ponsel sendiri yang sebenarnya berada di volume suara terendah. Litani memang tidak terlalu suka menggunakan volume terlalu tinggi. Namun karena dia sedang melamun jadilah suara rendah itu mampu membuatnya terkejut bukan main. Litani melihat ke layar ponsel lebih dulu. Melihat ada nama Meghi yang muncul dia tidak serta merta menerima panggilan telepon tersebut walau hatinya sudah acakadut dibuatnya. Benar, Litani memang menunggu panggilan telepon dari Meghi sejak pukul satu siang tadi. Namun tidak lantas membuat dia jadi melunturkan gengsinya dengan menunjukkan bahwa sedang menunggu telepon dari asistennya. “Hallo?” sapa Litani selang sepuluh menit kemudian setelah dia melewatkan tiga panggilan dari Meghi. “Maaf, Bu Litani sedang istirahat?” tanya Meghi merasa bersalah. “Iya, lagi tiduran. Capeknya nggak ilang-ilang abis kerja rodi sebulan,” ujar Litani hiperbola, menunjukkan seolah dia bisa istirahat dengan tenang. Padahal sedari tadi Litani mondar mandir di dalam kamarnya menunggu panggilan telepon dari Meghi. “Apa Bu Litani masih butuh informasi soal Helena Kusworo?” tanya Meghi lagi. “Oh, iya. Ada apa dengan Helena Kusworo?” balas Litani pura-pura tak acuh. “Tadi itu saya sudah ngorek-ngorek informasi dari anak junior arsitek, Bu. Katanya memang Helena itu beberapa kali pernah bertemu dengan Pak Kaivan. Terakhir ketemu malah akhir-akhir ini. Di kantor ini juga. Di ruangan Pak Kaivan,” ujar Meghi menggebu-gebu. “Nah, kata anak-anak, vertical blind Pak Kaivan itu kan jarang banget ditutup kalau ada tamu kecuali emang klien penting dan mau membahas sesuatu yang penting banget. Sementara setiap Nona Helena itu datang vertical blind selalu dalam posisi ditutup.” “Oh, ya? Helena datang bersama kakaknya yang pengacara?” tanya Litani memperbaiki posisi duduknya lebih santai dari sebelumnya. “Udah nggak pernah lagi malah sama Pak Antonio. Sejak kasus yang ruko itu kelar Pak Antonio udah nggak pernah datang lagi ke kantor, Bu.” “Tapi Helena itu?” “Ya tetap datang. Tapi sendiri.” “Oh, gitu.” “Iya, Bu. Tapi Bu Litani jangan sampai bocor ke Pak Kaivan ya, kalau saya yang ngasih info soal itu pada Bu Litani.” “Helena kapan terakhir ke kantor?” tanya Litani sambil menahan sesak di dadanya. “Kemarin Nona Helena ada di kantor sejak sore sampai jam pulang kantor katanya masih ada di ruangan Pak Kaivan.” Litani berdecak. Dia sudah tidak tahan lagi mendengar berita ini. “Dari tadi kamu panggil Nona Helena, Nona Helena terus. Memangnya dia majikan kamu? Kamu ART-nya gitu? Trus juga kenapa sama dia panggil Nona, sama saya malah panggil Ibu? Memangnya perbedaan usia kami sejauh itu sampai sebutan untuk saya dan dia berbeda jauh?” cecar Litani, meluapkan emosinya dengan cara mengalihkan amarahnya pada hal lain yang tidak ada sangkut pautnya pada kemarahannya terhadap kebohongan pertama Kaivan yang berhasil diungkap. Ya, kebohongan pertama itu adalah alasan Kaivan yang menolak makan malam masakan Litani semalam karena baru saja makan malam bersama klien penting. Klien penting dari Hongkong? Maki Litani dalam hatinya saat mengetahui kebohongan itu terungkap. “Ma, maaf, Bu… Saya sama sekali nggak berniat untuk membeda-bedakan dan menyinggung perasaan Bu Litani. Hanya saja saya takut salah bicara. Nanti kalau saya sebut nama Helena aja, di cap sebagai bawahan kurang ajar karena kan, dia dekat sama Bos. Sementara kalau sama Bu Litani, kan, udah biasa. Itu karena saya terlalu menghormati Bu Litani. Saya panggil Bu juga terhadap Bu Litani aja. Yang lain, mah, saya panggil nama doang, meski usia orang itu terpaut cukup jauh dengan saya,” jelas Meghi terbata-bata tapi akhirnya berhasil menyelesaikan penjelasannya. Terdengar suara desah napas Litani di speaker ponsel. Dia menyesal telah melampiaskan kemarahannya pada Meghi. Dia jadi khawatir Meghi tertekan lalu mencurahkan pada teman kantornya yang lain dan sekejap mata pembicaraan soal Kaivan dan Helena ini akan terungkap dan menjadi bahan empuk dunia per-hibahan kantor NAKA. Siap-siap saja bahan baku ghibah itu akan digoreng menjadi berbagai menu yang sedap untuk dijadikan santapan dalam setiap sesi per-ghibahan. Ah, Litani tidak mau sampai hal itu terjadi. Jadi dia harus segera mengambil tindakan untuk mengambil hati Meghi. “Maaf, ya, Meg. Sepertinya saya butuh istirahat. Saya bukan marah sama kamu. Beneran.” “Tapi Bu Litani beneran nggak apa-apa?” “Nggak apa-apa, kok. Cuma kurang istirahat.” “Emhh… maksud saya nggak apa-apa dengar kabar soal Helena dan Pak Kaivan?” tanya Meghi ragu. “Nggak apa-apa gimana dulu, nih?” “Nggak apa-apa, Bu. Cuma perasaan saya aja mungkin. Emosi Bu Litani agak kurang stabil setiap membicarakan soal Helena.” “Saya sudah bilang tadi, kan? Cuma kurang istirahat.” “I, iya, Bu. Saya paham. Makanya tadi saya bilang cuma perasaan saya aja kayaknya.” Kemudian panggilan telepon diakhiri. Litani melempar ponselnya ke atas ranjang. Entah kenapa dia sulit sekali menangis padahal ingin menangis. Dia mengatur napas berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Tenang, Lita. Mungkin itu cuma gosip murahan di kantor. Yakinlah Kaivan nggak akan menduakan kamu.” Litani memberi afirmasi positif pada hati kecilnya yang terus memberontak untuk mencetuskan rasa bernama kecewa pada Kaivan. Namun otaknya terus melarang dan meminta hati kecil untuk tetap berpikir positif. Masih sambil berusaha menenangkan emosinya. Dia melakukan aktivitas keluar kamar seperti berkebun, membantu Bik Mila merapikan rumah. Dan Litani kembali lagi ke kamarnya menjelang petang. Setelah mandi dan berganti pakaian Litani meraih kembali ponselnya dan mencari kontak ponsel Kaivan lalu menghubungi kekasihnya itu lewat panggilan video. “Hey, Van. Sibuk?” sapa Litani dengan nada bicara tenang setelah wajah Kaivan muncul di layar ponselnya. “Iya, lumayan. Ada apa, Lita?” tanya Kaivan. “Aku bosan sendiri di rumah. Bisakah kamu datang berkunjung malam ini? Aku akan masak bistik kesukaanmu,” rayu Litani seolah dia belum mendengar berita apa pun soal Kaivan. “Aku masih ada meeting,” jawab Kaivan sambil menunjukkan wajah menyesal. “Kalau agak malem gimana? Kamu mau nunggu?” Litani mengangguk. “Meetingnya di mana kalau boleh tahu? Sampai jam berapa kira-kira aku harus nunggu kamu?” “Di restoran dekat kantor calon klien. Until dinner, nggak apa-apa?” “Yakin cuma sampai makan malam?” Litani melihat ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah menunjukkan pukul enam petang. Dia menggeleng ragu. “I doubt it-” ucapan Litani terpotong oleh suara derit pintu ruangan Kaivan dibuka lalu terdengar suara perempuan berkata, “Hei.” tapi terpotong begitu saja ketika Kaivan mengangkat tangannya lalu menunjuk ke arah layar ponsel sambil tersenyum ramah. “Paling cuma satu jam aja meetingnya,” ujar Kaivan tiba-tiba sambil bangkit dari kursi kerjanya. “Ya, sudah jangan buru-buru. Enjoy your time. Aku akan tunggu kedatangan kamu sampai jam berapapun,” ujar Litani santai. Kaivan mengenakan jasnya sambil menghadap ke arah layar ponsel. “I hope soon. Kalau gitu aku berangkat meeting dulu ya. Sekretaris aku udah nungguin.” “Oke, take care ya, Van. See you at home.” Bukannya bertanya lebih jauh soal rencana meeting Kaivan, Litani malah menampilkan senyum terbaiknya. “Thank you, Lita. Oiya, kalau capek nggak perlu repot-repot masakin bistik buat aku. Next time aja nggak apa-apa, kok.” “Oh, nggak apa-apa. Kebetulan bahan-bahannya udah ada, tinggal eksekusi aja. Aku juga lagi pengen makan daging-dagingan.” Kaivan tertawa renyah. “Jangan terlalu banyak. Udah malam ini. Nggak baik makan makanan berlemak secara berlebihan saat malam hari,” ujar Kaivan sambil menampilkan senyum dengan satu sudut bibir saja yang terangkat. Kalau menurut orang senyum itu adalah senyum angkuh, tapi tidak bagi Litani. Justru senyum Kaivan yang seperti itu adalah jenis senyum favoritnya. Litani bisa menebak saat ini Kaivan sedang berjalan saat menerima teleponnya. Saat mendengar bunyi pintu lift terbuka Litani memutuskan untuk mengakhiri sambungan teleponnya. ~~~ Rafel tiba di Indonesia malam hari. Dia sengaja mencari penerbangan yang memungkinkan dirinya tiba di tanah air di malam hari karena tidak ingin ada yang menyadari kedatangannya. Ketika melangkahkan kaki melewati terminal kedatangan luar negeri yang cukup lengang pada malam hari, pandangannya menyapu ke seluruh penjuru bandara. Suasananya sangat berbeda dengan 15 tahun lalu ketika dia meninggalkan negeri tercintanya ini. Sudah banyak hal baru di bandara internasional ini. Dia memerhatikan dengan saksama desain interior dan desain bangunannya. Rafel mengangguk-anggukkan kepala ketika melihat sesuatu yang menurutnya menarik dan unik menurut versinya. Ketika sampai di ruang tunggu pandangan Rafel seolah ada yang menarik ke arah layar televisi yang sedang menayangkan sebuah tayangan iklan perusahaan konstruksi. Dalam tayangan iklan ditunjukkan berbagai hasil bangunan yang telah didesain dan berdiri di bawah naungan perusahaan konstruksi tersebut. Di akhir tayangan iklan tampil seorang laki-laki yang mengajak masyarakat untuk memercayakan pembangunan propertinya pada perusahaan konstruksi tersebut. “Kaivan Naratama, General Manager Naratama Karya s***h NAKA,” gumam Rafel sambil membaca keterangan yang tampil di bawah. “Kamu sudah sebesar itu sekarang, Nak.” Rafel tersenyum sinis setelahnya. Setelah iklan berakhir Rafel melanjutkan langkah keluar dari terminal kedatangan luar negeri untuk menemui orang yang berjanji akan menjemputnya di bandara malam hari. Akhirnya orang yang ditunggu oleh Rafel selama hampir setengah jam itu datang juga dengan raut wajah bersalah. “Den Rafel? Apa benar itu Anda?” sapa pria yang kini usianya sekitar 60 tahun itu. Rafel menunjukkan senyum sambil mengangkat salah satu alisnya. “Ya, benar. Itu saya,” jawab Rafel ramah. “Anda sudah banyak berubah.” Rafel berdecak pelan lalu tersenyum kemudian. “Tentu saja berubah. 15 tahun kita tidak bertemu. Masa iya saya mau tetap seperti yang terakhir kamu lihat? Kamu juga banyak berubah, Pak Wira. Semakin kelihatan tua. Apakah Haidar tidak memberimu cukup uang untuk melakukan perawatan?” Pria bernama Pak Wira itu tertawa terbahak. “Anda bisa saja, Den. 60 tahun kalau masih tetap muda seperti 15 tahun lalu yang ada istri saya nanti curiga saya main serong di belakang dia,” jawab pria itu. “Jangan-jangan memang seperti itu? Kelihatan tua cuma akal bulusmu supaya tidak ketahuan main serong?” “Oh, Tuhan. Kenapa anak yang dulu sangat manis ini sekarang berubah menjadi kurang ajar sekarang?” gerutu Pak Wira. “Karena dengan menjadi anak kurang ajar membuat saya tetap bertahan hidup sampai sekarang,” ujar Rafel dengan wajah serius. Detik berikutnya Rafel tertawa kemudian memeluk Pak Wira yang memiliki tinggi badan hanya sebatas dadanya saja. Rafel terus memeluk pria yang telah mengurusnya dengan sangat baik sejak masa kanak-kanak hingga masa remajanya. Rafel ingat berkat pria itu jugalah dia bisa meninggalkan Indonesia secara diam-diam dan mengganti identitasnya tanpa sepengetahuan siapapun berkat bantuan salah satu kerabat Pak Wira yang bekerja di dinas imigrasi dan kependudukan. Rafel sangat berhutang budi pada Pak Wira dan keluarganya. Kelak dia akan membayar semua kebaikan yang pernah dilakukan oleh Pak Wira dengan setimpal. Rafel telah berjanji pada dirinya sendiri. Pak Wira sendiri bukan hanya sebagai seorang kepala pelayan di rumah orang tua Rafel. Akan tetapi pria tua itu adalah orang kepercayaan mendiang Ayah Rafel. Dan hingga kini lanjut menjadi tangan kanan Haidar Naratama, kakak laki-laki Rafel yang ambisius. Namun tanpa sepengetahuan Haidar Pak Wira telah memberi banyak bantuan dan dukungan pada Rafel dalam hal apa pun. Keduanya lalu bersama-sama meninggalkan ruang tunggu di terminal kedatangan luar negeri. Keduanya berjalan beriringan menuju tempat mobil Pak Wira diparkir. Rafel menolak ketika Pak Wira menawarkan agar menunggu saja di drop zone. “Kita sudah sama-sama dewasa. Bisakah mulai sekarang jangan terlalu berbicara secara formal dengan saya?” pinta Rafel ketika sudah memasuki mobil yang dikendarai sendiri oleh Pak Wira. “Bisa-bisa saja. Tapi saya terbiasa seperti ini, Den. Butuh waktu untuk penyesuaian kembali.” “Ah, lupakan saja. Berbicara denganmu sama saja seperti berbicara dengan tembok.” Pak Wira hanya tertawa lalu menepuk pundak Rafel seolah sedang menunjukkan ketulusan serta kebanggaannya pada anak kesayangan mendiang majikannya itu. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD