“Ngapain kamu di sini?” tanya Tania galak pada lelaki yang dengan cueknya langsung menarik kursi di sebelah Frans.
“Kalian sudah saling kenal? Wah pertanda bagus, dong ini?” kata Frans bertepuk tangan.
Tania memandang keduanya dengan tatapan ngeri. Apa lagi ketika dilihatnya Frans dan Aryo saling high five. Buru-buru dilihatnya lagi berkas perjanjian kerja sama mereka. Tertulis di sana kalau nama pimpinan EQ Entertainment ada Aryo Dewangga.
Please … nama Aryo di Batam ini bukan cuma satu kan?
Kenapa dunia terasa begitu sempit?
Tania ingin berteriak karena menyadari nasib sial yang sedang menimpanya.
“Perjanjian kita batal! Pak Vendra, tolong cari EO lain saja yang bisa menghandle acara!” kata Tania keras, membuat seisi ruangan mendadak lengang. Dilemparkannya surat perjanjian ke atas meja. Tania melirik ke arah Aryo. Lelaki itu terlihat biasa dengan keputusan Tania. Bahkan perempuan itu bersumpah melihat Aryo tersenyum. Bukan jenis senyuman sinis atau melecehkan, tapi Aryo terlihat senang dengan keputusan Tania.
Oh, begitu. Baiklah. Sepertinya baik-baik saja kalau perjanjian mereka batal.
“Bu, kenapa batal? Ini sudah separuh jalan, lho. Kita udah klik sama mereka. Kalau harus cari EO baru nanti ubah konsep lagi. Biaya lagi. Dan … ada penalty yang harus kita bayar kalau kesepakatan ini gagal.” Vendra memandang cemas pada Tania.
Mata Tania membola. Penalty? Sejak kapan dia setuju ada penalty kalau sampai perjanjian ini batal? Diambilnya lagi kertas-kertas di meja dan dibacanya satu per satu poin perjanjian.
“Ibu sendiri yang bilang oke kalau ada penalty. Dan … ibu sendiri yang yakin kalau perjanjian ini nggak akan batal.” Friska menambahkan.
Tania terduduk lemas. 20 persen? Jumlah yang lumayan besar yang harus dibayarkan oleh perusahaannya kalau kesepakatan mereka batal. Bisa-bisa dia dipanggil pusat dan diminta tanggung jawab. Bukan itu saja, dia juga bisa dianggap tidak profesional dalam bekerja. Cih, diliriknya lagi Aryo yang kini sedang menatapnya senang. Rupanya ini arti senyuman menyebalkan yang muncul di bibir merah jambu itu.
Mata Tania menyipit. Baiklah, kalau memang mereka harus bekerja sama, dia akan menahan diri. Toh, tidak selalu dia akan berhubungan dengan Aryo. Ada Frans dan Anna yang pasti akan selalu berada di depan Aryo. Mereka penanggung jawab event ini. Aryo cuma atasan dan tugasnya cuma mengawasi. Oke, nggak masalah, pikir Tania.
Tapi semuanya buyar, ternyata Aryo mengekorinya seperti lintah yang baru lepas kalau disulut dengan bara api.
“Kita meeting teknis. Berdua. Acara sudah tinggal tiga hari lagi, kan?” katanya sambil tersenyum manis di depan pintu rumah Tania.
Tania melirik arloji di tangannya. “Sudah jam sembilan, jam kerjaku sudah lama selesai.” Tania hendak menutup pintu tapi kaki Aryo mengganjal celah.
“Ini penting banget, kalau dibesokin nggak bisa. Ada perubahan konsep dan besok harus sudah oke.”
“Oke!” Tania membalas singkat. Di tekannya lagi pintu sampai Aryo mengaduh karena kakinya terjepit.
“Kalau kamu oke artinya ada penambahan bugdet sepuluh persen!” teriak Aryo sambil meringis menahan nyeri di kakinya. Pintu rumah Tania sudah tertutup dan dia bersiap pergi.
“Seharusnya kamu katakan tadi ketika masih jam kerja. Bukannya sekarang,” kata Tania dingin ketika pintu dibukanya lagi. Soal budget memang kritis. Apa lagi kalau ada rencana penambahan. Dia sudah mewanti-wanti jangan sampai over budget karena sisa budget yang dikirim dari pusat mau dia alokasikan ke promosi bentuk lain.
“Aku baru terima memo dari mallnya tadi sore setelah jam kantor selesai. Dan kamu tidak mengangkat teleponku,” tuduh Aryo.
Tania memang malas mengangkat telepon dari lelaki ini setelah dia tahu kalau Aryo mengambil ponsel Tania diam-diam dan menelepon ke ponsel miliknya. Itulah mengapa malam itu dia bisa melakukan panggilan sexx kepada Tania.
“Kalau saja kamu tidak melakukan phone sexx kayak dulu, dengan senang hati aku bakal nerima telepon darimu.”
Arya menatap Tania yang membuka pintu lebar untuknya. “Aku minta maaf soal itu. Aku kesal karena kamu mengerjai kopiku.”
“Aku juga kesal karena dijadikan babu sama kamu.”
“Dan kamu membawa ibu-ibu buat ngegerebek rumahku.”
Tania tersenyum sinis. “Terus aku harus membiarkan saja kamu membawa perempuan setiap malam minggu dan membuat mereka mendesah di sebelah kamarku?”
Kali ini Aryo terdiam. Memang salahnya. Selama ini rumah di sebelah kosong jadi dia bebas berbuat mesuum dengan wanita sewaan yang dia bawa. Aryo tidak tahu kalau malam itu sudah ada orang di rumah sebelah.
“Aku tidak tahu kalau kamu sudah pindah ke sini.”
“Sekarang sudah tahu dan masih juga berbuat mesuum.”
Salah lagi, pikir Aryo. Tapi dia tidak tahan kalau tidak mengerjai Tania. “Iya, iya, besok aku pasang peredam.” Aryo berjalan masuk ke ruang tamu Tania. Duduk dan meletakkan berkas di meja.
“Kenapa nggak main di hotel saja, sih?” tanya Tania tanpa mengurangi wajah ketusnya.
“Harga diri. Kamu nggak tahu kalau aku ini begitu terkenal di Batam, kan?”
Tania mencibir. Memangnya dia peduli? Diambilnya berkas dari hadapan Aryo dan dibacanya. “Jadi … ada perubahan apa?”
“Aku nggak ditawari minum?”
“Kalau dikasih minum nanti lama.”
“Oke.”
Aryo pun menjelaskan dengan cepat perubahan terbaru yang baru saja dia dapatkan. Ada kecelakaan kecil di event sebelum mereka sehingga sound systemnya rusak dan belum bisa berfungsi dengan baik sampai sekarang. Pihak Aryo diminta mencari sound sendiri dan itu artinya menyewa dari tempat lain yang jelas harganya jauh lebih mahal. Kalau di mall sudah sepaket sama harga sewa tempat jadi pengeluaran pun bisa ditekan.
Mereka berdiskusi lumayan lama sampai tak menyadari dua orang lelaki berada di depan pintu rumah Tania.
“Permisi, Bu. Saya mendapat laporan warga kalau katanya Bu Tania masih menerima tamu padahal sudah lewat jam sepuluh malam. Sesuai peraturan di kompleks, mohon maaf tamunya harus pulang.”
“Oh, maaf, Pak Cik. Saya dan Bu Tania kebablasan bahas kerjaan.”
“Loh, Pak Aryo? Kenapa Bapak ada di sini?”
“Saya lagi ada kerjasama dengan perusahaan Bu Tania. Tapi sudah selesai. Dilanjutkan besok saja.”
Aryo permisi meninggalkan rumah Tania, begitu juga dua orang security kompleks. Tania pikir masalahnya sudah selesai. Ternyata tidak.
Keesokan paginya, ketika dia sedang menunggu ojek langganannya datang, Wulan tetangga depan menghampirinya.
“Aku dengar kamu sama Mas Aryo berduaan di rumahmu tadi malam. Berani sekali kamu berbuat mesuum seperti itu,” ujarnya dengan tatapan sadis.
“Mesuum? Saya dan Aryo bahas kerjaan.” Tahulah Tania siapa yang melaporkan pada security kalau semalam ada tamu di rumahnya.
“Cih. Nggak sopan. Pake nyebut nama. Sok akrab!” Bibir Wulan berlipat-lipat mengejek Tania.
“Kalau seandainya saya akrab dengan Aryo itu wajar. Kami sama-sama single. Nah, kalau kamu, baru nggak wajar. Orang udah ada suami juga masih gatel lihat cowok bening yang lain.”
“Eh, kurang ajar anak baru sudah berani sama anggota lama, ya! Dikucilkan baru tahu!” teriak Wulan berkacak pinggang.
“Emang saya takut?” cibir Tania sembari berjalan menuju ojek langganannya yang baru datang.
Pada saat bersamaan, Aryo keluar dari rumahnya dan menyalakan mobil. Dia menoleh ke arah Tania dan Wulan lalu tersenyum sedikit. Tidak menawari tumpangan karena percuma saja, pasti Tania menolak. Namun ide jahil berkelebat di kepala Tania. Dibayarnya ojek online yang tadi dia pesan lalu dengan langkah dibuat-buat dia berjalan ke arah mobil Aryo. Membuka pintu penumpang dan masuk ke dalamnya.
“Daggg Wulaaannnn!” serunya disengaja sambil melambaikan tangan dari jendela yang terbuka.©