Second Story of Valens (Abraham Muller)

1903 Words
(Abraham Muller)Putra kedua yang lahir dengan membawa seribu ketenangan dimalam kelahirannya, ia adalah Abraham Muller. Kelahirannya begitu istimewa karena diberkati oleh rembulan yang amat terang, ia lahir bersama dengan seekor naga bernama Szam yang memiliki arti sebuah lagu, Szam merupakan naga dengan warna hitam pekat, ia memiliki gari-garis berapi ditubuhnya yang masing-masing memiliki jarak seimbang, seperti artian dari namanya, Szam tidak mengeluarkan api dari mulutnya, melainkan hanya cahaya merah yang terlihat dari dalam mulutnya yang kemudian memunculkan sebuah nada atau suara dan berakhir dengan terbakarnya wilayah yang dihitari oleh nada tersebut, lain dari naga pembimbing lainnya yang berwujud seorang lelaki, Szam adalah seekor naga yang memiliki wujud seorang wanita cantik yang kuat. Abraham pun dianugerahi seorang jiwa kedua yang memiliki tato dipunggung tangan kirinya dengan kata Rex yang akhirnya tato tersebutlah menjadi nama dari Jiwa keduanya. Rex memiliki artian seorang pemimpin, kelahirannya juga tidak hanya menjadi pusat perhatian rakyat Valens namun kelahirannya itu menjadi perhatian dari banyak Kerajaan. ‘pesona’ itulah yang dikatakan oleh raja peramal dari Clairchanter, Ginormous. “jiwa kedua dari putra keduamu, memiliki pesona yang luar biasa besarnya, Pesona yang akan membuat banyak Kerajaan memperebutkan dirinya hanya untuk menjadikannya sebagai seorang raja” kedua mata Regard kini menatap lelaki berperawakan tinggi dengan rambut hitam yang berdiri dikepalanya, hidung mancung dan besar, kedua matanya memiliki warna abu-abu muda yang kini duduk tepat berhadapan dengannya, “apakah itu buruk, Ginor??” kedua mata Ginormous kini memicing dengan tajam kearah bayi yang kini terlelap di atas buaian* yang berdesain naga berwarna silver kehitaman. Ia menghela nafasnya dengan berat sebelum akhirnya menatap sang sahabat karibnya Regard, dan berucap, “akan ada peperangan yang amat besar dalam memperebutkannya, jika jiwa kedua ini tidak dikurung sesegera mungkin” raut pucat ditunjukan oleh Regard ketika mendengar ucapan Ginormous, ia merasa khawatir dengan keadaan yang seperti saat ini, “bagaimana caraku untuk mengurungnya? Aku tidak memiliki keahlian itu” ucapan Regard membuat Ginormous kini beranjak dari kursinya dan berjalan menuju jendela yang kala itu terbuka lebar, membiarkan sinar rambulan masuk kedalam ruangan itu, “kau memiliki dua harta yang hebat di Kerajaan ini, pemimpin ke VII lah yang mengikatnya” memahami maksud dari apa yang diucapkan oleh Ginormous saat itu membuat Regard akhirnya memutuskan untuk mengikuti usulan dari Ginormous dan memerintahkan dua harta yang dimaksud, yakni Ray dan Alexandra. Mereka diutus untuk mengurung Rex (jiwa kedua) dari Abraham Muller ke tempat yang tidak pernah dipijaki oleh manusia, yang akhirnya membuat keduanya memutuskan untuk mengurung Rex di hutan terlarang, hutan Inanis. Hutan yang terletak berdampingan dengan wilayah kerajaan Valens yang dibatasi langsung oleh sungai Issen. Tak ada yang mengetahui hal tersebut selain empat orang yang terlibat. Raja Muller X, Raja Clairchanter, Ray serta Alexandra. Seluruh rakyat serta kerajaan lain dan bahkan sang Ratu hanya mengetahui bahwa jiwa kedua dari Abraham Muller tidak pernah menunjukkan dirinya lagi karena memiliki sifat yang pemalu atau lebih tepatnya enggan untuk bersosialisasi.   … Delapan tahun pun berlalu dengan cepat, seorang anak yang baru saja lahir kemarin, kini sudah menjadi anak lelaki yang amat tampan. Abraham atau mereka sering memanggilnya dengan Pangeran Ab ini adalah pangeran yang memiliki keahlian yang hebat dalam seni lukis, ia dikenal sebagai Pangeran yang memiliki kelembutan hati serta Pangeran yang selalu mengikuti aturan yang tersedia, tanpa adanya aturan maka dia akan memikirkannya berkali-kali untuk akhirnya melakukan hal tersebut, meski tutur katanya tidak mencirikan bahwa dia adalah seorang Pangeran yang demikian dan ia juga sangat senang membututi sang kakak yakni Reglus Muller. Anak lelaki dengan kulit putih sedikit kemerahan itu memiliki rambut coklat yang sengaja ia potong pendek hingga menyisakan panjang lima centimeter, ia memiliki hidung yang mancung, bibir berbentuk M tajam dengan warna merah pucat, mata yang kecil dengan warna mata biru serta pupil hitam yang terdapat ditengahnya, itu, kini tengah berjalan melewati lorong yang terbuka, lorong itu langsung mengarah ke jalanan menuju gerbang luar kerajaan yang menjadi pembatas antara kerajaan dan desa. Lengan kanannya saat ini tengah menggenggam sebuah kanvas, kuas serta beberapa cat yang tertata rapi di dalam wadahnya. Kedua matanya kini menoleh kesamping kanan, ketika mendengar derap langkah kaki kuda yang saling bersautan di sana, pandangannya kini tertuju pada sang kakak, Reglus Muller serta sahabat karibnya Raph tengah mengendarai kuda tersebut, dengan santai mereka melewati dirinya yang berdiri dilorong itu, “kakak!” sebuah panggilan darinya membuat Reglus sang kakak menoleh dan menghentikan laju kuda miliknya disertai dengan Raph yang ikut menghentikan laju kudanya. Pandangan keduanya kini tertuju pada Abraham yang kini berjalan keluar dari lorong itu dan langsung berhadapan dengan mereka yang duduk di atas kuda tersebut, “apa yang akan kalian lakukan?” pertanyaan yang dilontarkan oleh Abraham membuat sang kakak memperlihatkan sebuah busur yang ia ikat di- bahunya seraya berkata, “aku akan berburu, kau ikut?” tawaran sang kakak, yang kala itu berperawakan gagah dengan bahu lebar tegap, serta otot yang terbentuk dikedua lengannya yang kini tersingkap, rupa tampan dengan kulit Warm beige, hidung mancung, kedua mata yang naik bersorot tajam dengan warna mata biru dengan pupil hitam ditengahnya, rambut coklat yang kini memiliki gaya short dengan pinggiran yang lebih pendek dari atasnya, serta bibir tipis tanpa philtrum berwarna nude kemerahan yang pudar, langsung ditolak olehnya yang kini dengan cepat menggelengkan kepalanya, “aku tidak suka melakukannya, aku tidak bisa menyakiti hewan yang malang itu” mendengar ucapan Abraham membuat Reglus terkekeh dan begitu pula dengan Raph yang tersenyum, “kami tidak membunuh hewan malang yang engkau maksud, Pangeran Ab… kami hanya akan berburu hewan buas seperti beruang dan harimau” kedua mata Abraham kini menoleh dan menatap lelaki dengan tubuh yang tidak terlalu besar seperti sang kakak, namun memiliki postur tegap itu memiliki rambut undercut wave hair, serta yang alis tebal, hidung yang kecil mancung, dan mempunyai bibir kecil berwarna pucat serta mata bulat lebar berwarna hijau muda yang amat indah itu dan beralih menatap Reglus yang menganggukkan kepalanya, “bukankah mereka juga adalah hewan yang malang? Karena kurasa mereka akan berakhir secara tragis akibat anak panah yang akan kalian lesatkan pada mereka” mendengar ucapan dari Abraham membuat Reglus menggelengkan kepalanya seraya berucap, “kau belum sepenuhnya belajar, Ab” Kedua mata Abraham kini menatap dengan penuh tanda tanya ke arah sang Kakak Reglus yang saat itu hanya terkekeh melihatnya, “jika boleh saya ketahui, kemana anda akan pergi, Pangeran? Saya lihat anda juga akan meninggalkan istana” kedua mata Abraham kini beralih kembali menatap Raph yang baru saja mengalihkan topik pembicaraan, “sungai issen, aku akan melukis di sana” jawab Abraham seraya memperlihatkan kanvas dan peralatannya. “jika anda berkenan, maukah anda saya antar ke sungai Issen? Kebetulan rute kami melewati sungai Issen, benarkan Reglus?” kedua mata Reglus kini menatap Raph dengan ujung matanya yang saat itu terlihat tersenyum kearahnya dan akhirnya Reglus menganggukkan kepala menanggapi pertanyaan Raph, “ya… jika kau ingin, naiklah bersamaku dan biarkan Raph yang membawa barangmu itu” mendengar hal itu, Abraham tersenyum dan meraih tangan Reglus, sang kakak yang terulur padanya “tak apa, biarkan aku yang membawa barangku sendiri” jawab Abraham seraya naik ke atas kuda milik kakaknya. Kedua kuda itu pun kembali melaju keluar dari gerbang istana dan melewati desa, kuda-kuda itu menelusuri kabun Hamush*. Kedua mata Abraham sempat menangkap seorang wanita yang dibaluti kain putih yang amat cantik tengah memetiki apel hitam di sana, senyumannya amat indah hingga ia terpukau karenanya. Namun detik kemudian ketika ia mengedipkan kedua matanya, secara spontan wanita itu menghilang dilahap sesuatu yang amat gelap. Ingin sekali ia bertanya, namun karena laju kuda yang kala itu kencang membuatnya berpikir bahwa hal yang baru saja ia lihat hanya sebuah ilusi semata. … Cukup jauh mereka melajukan kuda, hingga akhirnya kedua kuda itu berhenti tepat di pinggir sungai Issen. Abraham turun dari kuda sang kakak dengan wajah ragunya yang akhirnya membuat Reglus dan Raph menyadari hal itu,  “ada apa, Pangeran?” pertanyaan yang dilontarkan oleh Raph membuat Abraham menghela nafasnya singkat, “tidak… aku hanya berhalusinasi tadi” jelasnya lagi, ia nampak kembali berpikir mengenai hal yang sempat ia saksikan, ia menebaknya… apakah itu benar nyata atau tidak.  “halusinasi??” dianggukannya kepala Abraham menanggapi pertanyaan Reglus, “aku melihat seorang wanita cantik yang tiba-tiba menghilang di tengah kebun Hamush, ketika kita melewatinya beberapa saat yang lalu” penjelasan dari Abraham membuat Raph menoleh menatap Reglus yang kini terlihat menggertakan giginya amat kuat, terlihat jelas bahwa ia marah akan sesuatu hal yang tidak diketahui oleh Abraham saat itu, “ada apa kak? Adakah sesuatu hal yang membuatmu marah saat ini??” mendengar pertanyaan Abraham membuat Raph kini mengulum bibirnya dan kemudian tersenyum tipis seraya berucap, “kurasa ia hanya ingin segera berburu, ayo Reglus… lebih baik kita segera pergi ke hutan!”, mendengar hal itu membuat Abraham yang tadi sempat mencari-cari sesuatu yang mungkin saja membuat sang kakak marah pun akhirnya menoleh menatap Reglus yang mengangguk dan segera melajukan kudanya pergi meninggalkan dirinya begitu saja.   Abraham sama sekali tidak keberatan ditinggal seorang diri di samping sungai Issen, ia slelau senang jika mereka meninggalkannya seperti saat ini. Karena baginya, hal itu akan memudahkannya untuk memfokuskan diri pada suasana yang akan dilukis olehnya nanti.  Goresan-goresan tinta yang terlukis di atas kain kanvas itu terlihat begitu indah meski hanya sebuah lukisan dasar yang ia gambar di dalamnya, dengan senyuman yang merekah, ia terlihat amat tulus ketika menggoreskan tinta itu dengan tangannya. “Pangeran Ab!” Namun, ketika sebuah panggilan terdengar dan menginterupsi kesunyian alam membuatnya kini menghela nafas dan menoleh menatap Ray yang berdiri di samping pohon yang tidak jauh dari tempatnya, “ah, Ray… ada apa? Kau menganggu aktivitasku, tau!” keluhan dari sang pangeran membuatnya sedikit menyunggingkan senyum dan berjalan mendekati sang Pangeran. “maaf jika saya menganggun aktivitas anda, Pangeran” kedua mata biru itu kini menatap Ray dengan tatapan yang memincing dan akhirnya pemilik mata biru tersebut berucap, “sudah kukatakan untuk tidak menggunakan bahasa Formalmu jika kita berada di luar Kerajaan, Ray… kau lebih tua dariku, jadi semestinya akulah yang berlaku sopan padamu” mendengar ucapan dari sang pangeran membuatnya menggelengkan kepala dan berjalan mendekatinya, “saya tidak diperkenankan melakukan hal seperti itu, sebelum anda benar-benar mengerti mengenai tata krama Kerajaan yang sebenarnya, Pangeran” mendengar hal itu membuat Abraham yang sedari tadi tetap melukis dan enggan untuk menatapnya, kini menghentikan aktivitasnya dan berbalik menghadapkan tubuhnya pada sang Panglima dan menatapnya seraya berucap, “jadi hal apa yang membuatmu mendatangiku, Ray?”perubahan sikap yang ditunjukkan Abraham membuat Ray mengulum senyumannya dan menjawab pertanyaan sang pangeran, “saat ini seharusnya anda mengikuti jadwal anda yang sebenarnya, yaitu strategi perang dan perundang-undangan negara” bibir Abraham menganga menyadari kesalahan yang telah ia perbuat dan akhirnya ia menyunggingkan senyuman yang lebar seraya berdalih, “ah… kupikir jadwal itu akan berlangsung esok hari” ia menoleh menatap sang Panglima dengan kedua pandang yang penuh dengan rasa tak berdosa, “tolong jangan membuat alasan seperti itu, Pangeran. Karena saya percaya bahwa sebenarnya anda sengaja membolos darinya” mendengar perkataan Ray membuatnya kini mendesahkan nafasnya seraya mengangguk,  “ya, ya… kau benar, aku sengaja membolos karena pelajaran itu sudah sepenuhnya ku kuasai” ucap Abraham seraya menganggukkan kepalanya dan kini meletakan kuas yang ia genggam di kotak tempatnya berasal, “tapi setidaknya anda tetap harus menghadiri jadwal yang tertulis” kembali dianggukannya kepala Abraham, “ya, ayo… aku akan menghadirinya” dan pada akhirnya sang Pangeran pun  segera membereskan seluruh peralatan lukisnya untuk kemudian kembali ke kerajaan dan melaksanakan Jadwal yang sebenarnya, diawasi penuh oleh Ray yang membuatnya tidak bisa membolos lagi. to be continue  *Buaian : Tempat tidur bayi, yang berbentuk kotak/bundar/ lonjong. Dengan kasur yang amat empuk yang disisinya diberi semacam pagar untuk menghalangi jatuhnya sang bayi.  *Hamush : Adalah kebun apel hitam yang sengaja ditumbuhkan tepat menghintari Aidanum oleh Joseph Muller (Raja ke VII), kebun itu selain diperuntukan untuk warga dan kerajaan namun juga memiliki peran penting dalam menjebak seorang dewi. Hamush diambil dari kata ‘hamus’ (latin) yang memiliki arti “umpan”, dan umpan itu diperuntukan untuk para dewi.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD